Masukan nama pengguna
Pagi itu, cahaya matahari yang masuk ke kamar Rian terasa seperti tamu yang datang tanpa diundang. Tidak hangat, hanya memaksa matanya terbuka pada kenyataan. Ia meraih ponsel butut di samping bantal, layarnya penuh retakan seperti jalan desa yang dibiarkan rusak bertahun-tahun.Langsung ke ikon biru portal lowongan kerja meski ia tahu pola harinya tidak akan berubah: scroll, baca, simpan, kirim, dan tunggu yang tak pernah berakhir.
Lamaran terakhirnya, yang ia kirim tiga bulan lalu ke sebuah pabrik otomotif di kawasan industri, masih berada di folder “terkirim”. Tak ada tanda centang ganda, tak ada “terima kasih atas minat Anda”, bahkan tak ada penolakan sopan. Hanya hening.
Hening yang semakin membuatnya yakin, mungkin ia sudah berada di luar jalur waktu yang dianggap berguna.
Dari ruang depan, suara Ibu terdengar, ritmis seperti doa: plastik keresek yang disusun, kardus kue dibuka, aroma serabi dan pisang goreng menyelusup masuk.
“Rian, nanti jangan lupa jemur pakaian,” suara Ibu memecah udara. Tidak ada nada marah, tapi ada sesuatu yang terselip keletihan yang terlalu sering disembunyikan di balik rutinitas.
Ia hanya menjawab, “Iya, Bu,” sambil menatap layar yang kini menampilkan lowongan ‘dibutuhkan segera’ yang seperti bercanda, karena setiap ia kirim lamaran, balasan tak pernah datang segera.
Ibu keluar kontrakan, menenteng tampah berisi kue, langkahnya cepat tapi bahunya miring sedikit ke depan, tanda tubuh yang sudah terlalu lama memanggul beban.
Rian melihat dari jendela dari arah berlawanan, buruh-buruh pabrik mulai berjalan pulang, masih pagi, seragam mereka kusut. Beberapa bercakap pelan, beberapa diam sambil meremas slip kertas. PHK. Ia tahu dari wajah mereka. Ada semacam tatapan yang sama pada orang-orang yang kehilangan pekerjaan: pandangan kosong yang mencoba menutup rasa takut.
Pak Anwar, tetangganya, melintas di depan. Mantan mandor pabrik tekstil itu kini membawa ember dan kain pel, menawarkan jasa bersih-bersih rumah.
“Pabrik makin banyak nutup, Yan,” katanya singkat saat melihat Rian di jendela. “Yang buka, nyarinya anak baru. Katanya biar murah gaji.”
Rian tersenyum hambar. “Iya, Pak.” Tidak ada lagi yang bisa ia tambahkan. Kata-kata seperti kehilangan fungsinya di hadapan kenyataan yang terlalu telanjang.
Ia duduk kembali di lantai, menyandarkan punggung pada dinding yang catnya mulai mengelupas. Mencoba mencari lowongan lagi, kali ini di luar bidangnya: staf gudang, penjaga toko, operator call center. Semua meminta pengalaman, semua menyebut “usia maksimal 24 tahun”.
Terkadang ia berpikir, mengapa satu angka di KTP bisa membuatnya seolah sudah kedaluwarsa di mata perusahaan.
Waktu merayap. Jam di dinding menunjuk pukul sembilan, tapi rasanya seperti tengah hari. Ia melihat jemuran tetangga berkibar tertiup angin, seperti sedang mengolok-oloknya yang belum juga menjemur pakaian.
Namun, tubuhnya berat. Bukan karena malas, tapi karena setiap gerakan seakan tidak membawa hasil apa-apa. Ia menatap layar ponsel lagi, jarinya bergerak otomatis. Lowongan demi lowongan, kota demi kota, semua terasa jauh bukan jaraknya, tapi harapannya.
Suara langkah Ibu kembali terdengar menjelang siang, lebih pelan dari ketika ia pergi. Tampah kue sudah kosong, tapi kantong belanja hanya setengah terisi.
“Laris, Bu?” tanya Rian, mencoba memberi senyum.
“Alhamdulillah… lumayan,” jawab Ibu sambil menaruh kantong di dapur. Tapi dari cara Ibu merapikan uang receh di toples, ia tahu ‘lumayan’ berarti harus berhemat lebih dari kemarin.
Rian ingin bilang kalau ia akan dapat kerja dalam waktu dekat. Tapi kata-kata itu seperti batu di tenggorokan tak bisa ia keluarkan tanpa takut terdengar seperti kebohongan.
Ia kembali ke ponsel. Satu lowongan baru muncul: ‘Operator Produksi – Pabrik Otomotif’. Nama perusahaannya sama dengan yang ia lamar tiga bulan lalu. Dadanya sesak. Ia membuka halaman itu, membaca syaratnya, dan di baris terakhir matanya tertahan: Lamaran sebelumnya tidak akan diproses.
Seolah ada yang menutup pintu di hadapannya dengan suara klik yang dingin.
Pagi itu, sekali lagi, ia merasa sudah terlambat bukan hanya mengejar pekerjaan, tapi mengejar hidup yang entah sejak kapan meninggalkannya.
***
Siang itu, Rian berjalan di trotoar jalan utama kota. Matahari terasa lebih dekat dari biasanya, memantulkan panas dari aspal yang retak-retak. Di atas kepalanya, sebuah baliho raksasa memamerkan senyum putih seorang anak muda berseragam kantor, jas biru rapi, dasi terikat sempurna. Tulisan besar di bawahnya berbunyi: “Masa Depan Ada di Tanganmu”.
Ia menatap baliho itu cukup lama, sampai-sampai langkahnya melambat. Kalimatnya terdengar sederhana, tapi di telinga Rian terasa seperti sindiran. Masa depan, pikirnya, bukan di tangannya kalau benar ada, pasti sudah direbut orang lain sebelum sempat ia genggam.
Ia melanjutkan langkah, melewati deretan toko yang sebagian sudah tutup permanen. Beberapa pintu bergembok, catnya mengelupas, menandakan bahwa “untuk disewakan” sudah bukan janji manis, melainkan doa yang tak terkabul.
Di perempatan, ia melihat seseorang melambai. Nina. Rambutnya dipotong pendek, wajahnya lebih cerah dari terakhir kali mereka bertemu di acara wisuda dua tahun lalu.
“Rian! Eh, lama banget nggak ketemu!” seru Nina sambil menghampiri.
Rian tersenyum tipis. “Iya, udah lama. Lagi sibuk kerja, ya?”
Nina mengangguk, matanya berbinar. “Iya, tapi kerja dari rumah aja. Aku udah setahun di startup fintech Singapura. Minggu depan pindah ke sana sekalian, kantornya minta aku handle project langsung di sana.”
Kata-kata itu seperti kabar dari planet lain. Rian mencoba ikut tersenyum, tapi di dadanya ada sesuatu yang mengencang. Mereka pernah duduk di kelas yang sama, mengerjakan tugas akhir di bengkel kampus yang bau besi dan oli. Sekarang Nina punya masa depan yang sudah menunggu di bandara, sementara dia
“Wah, hebat. Selamat, ya,” ucap Rian akhirnya.
Nina tertawa kecil. “Ah, nggak hebat-hebat banget. Cuma kebetulan nemu lowongan yang pas. Kadang aku pikir, kerja itu soal momentum juga.”
Kebetulan. Kata itu menancap. Bukan soal pintar atau rajin, tapi soal berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Rian menatap lagi baliho di belakang Nina. Senyum di wajah model iklan itu terasa semakin lebar, seakan ikut mendengarkan pembicaraan mereka.
“Aku masih nyari kerja,” kata Rian pelan, seolah takut suaranya terdengar kalah.
“Oh? Kok bisa? Kan kamu pinter banget di mesin,” jawab Nina, tampak tulus heran.
Rian mengangkat bahu. “Mungkin… nggak cukup pintar. Atau mungkin… nggak ada lagi yang nyari orang kayak aku.”
Hening sebentar. Lalu Nina menepuk bahunya, memberi senyum yang hangat tapi juga sedikit canggung. “Jangan nyerah, ya. Kadang rezeki datang pas kita nggak nyangka.”
Rian hanya mengangguk. Di kepalanya, kalimat itu terdengar seperti pengulangan dari baliho: slogan yang bagus untuk orang yang masih punya pintu terbuka.
Mereka berpisah di pertigaan. Nina masuk ke kafe, mungkin untuk rapat daring dengan rekan kerjanya di luar negeri. Rian kembali menyusuri jalan yang panas. Kepalanya terasa berat.
Ia teringat pertanyaan yang mulai mengganggunya beberapa bulan terakhir: apakah benar masalahnya ada pada dirinya tidak cukup pintar, tidak cukup cepat, tidak cukup pandai menjual diri di wawancara atau sebenarnya dunia kerja sudah menyusut, menyisakan peluang hanya untuk segelintir orang?
Di depan, ia kembali melihat baliho itu dari sudut berbeda. Dari bawah, senyum modelnya seperti senyum orang yang tahu rahasia yang tak akan pernah ia bagikan. Kata-kata “Masa Depan Ada di Tanganmu” kini terasa seperti kalimat yang menggantung di udara, tanpa pijakan.
Rian menghela napas, dan untuk pertama kalinya, ia merasa iklan itu bukan memotivasi tapi mengejek.
***
Rian sampai di depan kantor bursa tenaga kerja saat matahari baru muncul dari balik atap ruko. Meski masih pagi, antrean sudah memanjang hingga ke luar gerbang. Barisan manusia berdiri rapat, sebagian duduk di trotoar dengan map biru lusuh di pangkuan, menunggu giliran yang entah kapan datangnya.
Ia ikut bergabung di ekor antrean, berdiri di belakang seorang bapak berkaos pudar yang baunya bercampur antara keringat dan oli mesin. Bapak itu menoleh, memberi anggukan singkat. Di tangan kirinya, map plastik yang tepinya sudah sobek. “Udah dari jam enam, Mas,” katanya.
Rian mengangguk. “Saya juga baru datang.”
Bapak itu tersenyum tipis. “Kalau telat, bisa-bisa nggak kebagian nomor. Padahal lowongan yang bagus udah jarang banget.”
Barisan bergerak lambat. Udara mulai memanas, membuat baju Rian lengket di punggung. Di depannya, dua bapak-bapak lain berbincang lirih.
“Gue udah kirim lamaran ke seratus lebih perusahaan,” kata yang satu, mantan sopir truk kontainer. “Jawaban? Nihil.”
“Seratus? Gue malah udah nggak ngitung,” sahut satunya lagi, bekas satpam pabrik. “Semua minta pengalaman tiga tahun. Lah, kerjaan yang cocok aja udah susah, gimana mau ngumpulin pengalaman?”
Mereka tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti batuk kering.
Saat giliran Rian mendekat ke pintu, ia bisa melihat papan pengumuman di dinding. Selembar kertas putih tertempel, daftar lowongan tercetak dengan font kaku. Hanya ada tujuh posisi untuk seluruh kota: operator mesin, teknisi pendingin, admin gudang. Hampir semua diiringi catatan: “Pengalaman minimal 3 tahun.”
Di dalam, udara tidak lebih sejuk. Ruangan sempit dengan kursi plastik berjajar. Di depan, meja panjang memisahkan para pencari kerja dari seorang pria berkemeja abu-abu: Pak Herman. Ekspresinya datar, matanya lelah. Ia memanggil nomor antrean dengan suara monoton, seolah sekadar membaca daftar belanja.
Saat nomor Rian dipanggil, ia maju sambil menyerahkan map biru yang sudah mulai kusam. Pak Herman membukanya sekilas, lalu menunduk pada kertas daftar. “Kamu lulusan teknik mesin?”
“Iya, Pak.”
“Hm.” Pak Herman menelusuri baris-baris lowongan. “Yang sesuai… cuma ada operator mesin di pabrik plastik. Tapi ini minta pengalaman tiga tahun. Ada?”
“Belum, Pak.”
Pak Herman mengangguk singkat, tanpa menatap. “Kalau begitu, saya masukkan ke daftar tunggu. Nanti kalau ada yang cocok, kami hubungi.” Kalimatnya terdengar seperti mantra yang diucapkan ratusan kali sehari.
Rian ingin bertanya berapa lama biasanya orang menunggu di daftar itu? tapi suaranya tercekat. Ia menandatangani selembar formulir, lalu bergeser memberi tempat bagi pencari kerja berikutnya.
Di luar, antrean masih sama panjangnya seperti saat ia datang. Seakan tidak ada yang benar-benar bergerak maju, hanya berganti wajah di ujung pintu. Rian berdiri sebentar di bawah terik matahari, memandang barisan orang-orang yang bersaing untuk remah-remah. Beberapa wajah terlihat pasrah, beberapa masih menyimpan sisa harapan, tapi semuanya memegang map biru yang warnanya semakin pudar, seperti masa depan mereka.
Ia berjalan pulang perlahan, merasakan langkahnya sama beratnya seperti pagi-pagi lain. Papan iklan “Masa Depan Ada di Tanganmu” di jalan utama kembali menyapanya, senyumnya tak berubah, seperti tidak tahu bahwa di sebuah ruangan panas tadi, masa depan hanya bisa dibaca di selembar kertas dengan syarat yang mustahil.
***
Hujan sore itu meninggalkan aroma tanah basah di halaman kecil kontrakan. Rian duduk di meja makan, menatap piringnya. Tempe goreng, sambal, dan sedikit nasi. Sudah entah berapa kali ia melihat susunan itu, nyaris persis dari malam ke malam, seolah dapur mereka hanya mengenal satu menu.
Ibu menaruh piringnya sendiri di meja, lalu menyibukkan diri mengambil air minum. “Makan, Ran. Nasinya masih hangat.”
Rian mengangguk, tapi matanya menangkap sesuatu: nasi di piring Ibu jauh lebih sedikit. Potongan tempenya hanya satu.
Ia menunduk, pura-pura tidak melihat. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang mengendap perasaan seperti melihat kain yang mulai robek di sudut, perlahan meluas. Ia tahu Ibu sengaja mengurangi porsinya, membiarkan Rian makan lebih banyak.
Suara hujan di luar berganti dengan tetes-tetes air dari talang bocor. Mereka makan tanpa banyak bicara. Hanya bunyi sendok bertemu piring, kadang diselingi batuk kecil dari Ibu. Kehangatan meja makan yang dulu penuh cerita kini tergantikan oleh keheningan yang menekan.
Usai makan, Ibu membereskan piring. Rian masih duduk, menatap permukaan meja yang mulai kusam. Ia ingin bertanya soal porsi makan Ibu, tapi justru keluar kata lain. “Bu, tadi siang aku dapat kabar.”
Ibu menoleh sambil membawa piring ke bak cuci. “Kabar apa?”
“Teman dari bursa kerja… dia nawarin kerja proyek bangunan. Di luar kota. Bayarannya nggak seberapa, kontrak cuma dua bulan.”
Air dari keran mengalir, menenggelamkan sejenak percakapan. Ibu menaruh piring terakhir di rak, lalu duduk di seberang Rian. Wajahnya lembut, tapi sorot matanya tajam, seperti menimbang sesuatu. “Kamu mau ambil?”
Rian mengangkat bahu. “Nggak tahu. Kerjanya berat, bayarannya kecil… lagi pula, itu berarti ninggalin Ibu sendirian di sini.”
Ibu tersenyum tipis. “Ran… yang penting kamu kerja dulu. Daripada nunggu balasan lamaran yang nggak jelas kapan datangnya. Ibu di sini bisa jaga diri.”
“Tapi…” Rian menunduk. Kata-kata yang ia simpan selama ini berdesakan, tapi sulit keluar. Ia tidak tega membayangkan malam-malam di meja ini hanya diisi satu piring.
Hening kembali menyelimuti ruangan. Angin malam masuk lewat celah jendela, membawa aroma tempe goreng yang masih tersisa di dapur. Rian merasa udara itu dingin, bukan karena cuaca, tapi karena ia tahu di balik dorongan Ibu, ada kenyataan bahwa hidup mereka tak bisa lagi menunggu.
Ia menatap piring-piring yang kini kosong di rak. Meja makan ini, yang dulu jadi tempat tawa dan cerita, kini terasa seperti catatan pengeluaran yang harus dihemat.
***
Matahari di kota pelabuhan ini terasa seperti paku-paku panas yang dihujamkan dari langit. Sejak pagi, Rian sudah mengangkat besi, menyusun papan, dan mengaduk semen. Udara bercampur debu pasir menempel di kulit, membuat napas terasa berat.
Di sekelilingnya, suara besi beradu, mesin pemotong kayu menderu, dan teriakan mandor memberi perintah. Tak ada ruang untuk melamun, tapi pikirannya terus kembali pada meja makan kontrakan yang ia tinggalkan dan wajah Ibu yang berpura-pura kuat.
“Bro, air!” Yusuf, rekan kerjanya, menyodorkan botol plastik yang warnanya sudah keruh. Rian menerimanya, meneguk sedikit, lalu duduk di atas tumpukan kayu. Yusuf, yang kulitnya lebih gelap karena terbakar matahari, menatap langit sambil mendengus. “Dulu gue kuliah di kota besar. Sempat mimpi bikin usaha. Tapi… ya, sekarang gini.”
Rian menatapnya. “Kenapa keluar?”
“Biaya. Bokap kena PHK. Gue pikir kerja dulu, nanti lanjut kuliah. Tapi kerjaannya selalu begini… nggak pernah tetap.” Yusuf tertawa hambar. “Kota ini kayak janji yang nggak pernah ditepati.”
Rian mengangguk. Di proyek ini, hampir semua pekerja punya cerita gagal masing-masing ditolak pabrik, dipecat, usahanya bangkrut. Tak ada yang datang ke sini karena mau, mereka datang karena tak ada pilihan lain.
Teriakan Mandor Rahmat memutus percakapan. “Ayo, jangan malas! Selesain bagian itu hari ini juga!” Rahmat selalu berbicara dengan nada memerintah, tak pernah peduli kalau punggung mereka terasa seperti mau patah.
Menjelang sore, pekerjaan selesai lebih lambat dari target. Rian dan Yusuf membersihkan area, mengikat peralatan. Mereka berharap besok gaji minggu pertama cair. Tapi ketika mereka mendekati Rahmat, jawaban yang keluar hanya datar:
“Belum ada instruksi dari atas. Tunggu aja.”
“Tapi, Pak… janji awalnya tiap minggu dibayar,” protes Yusuf.
Rahmat hanya mengangkat bahu. “Saya cuma nyampaikan perintah. Kalau nggak mau tunggu, silakan cabut. Banyak yang mau kerja di sini.”
Kalimat itu terasa seperti pintu besi yang dibanting di depan muka mereka. Rian menelan kekesalannya. Di pelabuhan, mudah saja mengganti pekerja lepas. Tak ada kontrak tertulis, tak ada jaminan.
Malamnya, di kamar sempit yang disewa bersama tiga pekerja lain, Rian berbaring menatap plafon yang penuh bercak air. Angin laut membawa bau amis yang menusuk. Di luar, suara kapal bersahut-sahutan.
Ia memikirkan Ibu, membayangkan bagaimana uang yang belum ia terima itu sebenarnya sudah dihitung-hitung untuk membeli beras dan membayar listrik di kontrakan.
Di kota ini, janji memang sering diberikan. Tapi seperti ombak di dermaga, janji itu datang hanya untuk kembali pergi, meninggalkan sisa buih yang tak bisa dipegang.
***
Rian tiba di depan pintu kontrakan saat senja merambat. Langkahnya berat, punggungnya masih pegal dari proyek dua bulan di kota pelabuhan. Di teras, Ibu sedang duduk dengan bungkusan kain di pangkuan. Matanya menyipit melihat Rian datang, lalu tersenyum tipis.
“Ada surat datang tadi siang,” katanya.
Rian merasa dadanya menegang. Ia sudah terbiasa menunggu kabar seperti itu, meski hampir selalu berakhir kecewa. Ibu menyodorkan sebuah amplop besar berlogo perusahaan manufaktur yang dulu pernah ia lamar. Jemarinya gemetar saat meraihnya.
Namun sebelum ia sempat membuka, Ibu berkata pelan, “Ini… untuk Mas Adi, tetangga sebelah. Kurirnya salah taruh di sini.”
Amplop itu seolah berubah jadi batu dingin di tangan Rian. Ia memandang namanya yang tidak tertulis di sana, hanya sederet huruf lain yang bukan miliknya. Seperti bercermin di kaca orang lain dan melihat betapa asingnya diri sendiri.
“Mas Adi sudah di rumah?” tanyanya, suaranya hambar.
“Belum. Ibumu tadi sudah titipkan ke istrinya,” jawab Ibu sambil berdiri, masuk ke dapur.
Rian melangkah masuk, menurunkan tasnya di sudut kamar. Bau dinding lembap menyambutnya. Meja makan kecil itu hanya diisi dua piring dan sepiring tempe goreng. Ibu mengajaknya makan, tapi ia hanya duduk sebentar, menggenggam sendok seperti tak tahu apa yang harus dilakukan.
Malam itu, setelah Ibu tidur, Rian duduk sendirian di dekat jendela. Dari luar terdengar suara radio tetangga, memutar lagu lawas tentang perjalanan panjang dan tujuan yang tak pernah sampai. Ia mengambil buku tulis lusuh dari rak kecil buku yang dulu dipakai mencatat mata kuliah teknik mesin.
Di halaman pertama, ia menulis tanggal hari ini. Lalu:
"Hari ini surat panggilan kerja datang… tapi bukan untukku."
Ia tidak menulis untuk mengeluh. Tidak juga untuk meminta simpati. Catatan itu ia tulis supaya kelak, jika semua usahanya terlupakan, ia bisa mengingat: pernah ada masa ia mencoba, meski tak ada yang menjawab.
Beberapa halaman berikutnya ia isi dengan daftar tempat yang sudah ia lamar: pabrik, bengkel, gudang logistik, perusahaan pelayaran. Semuanya berujung pada “menunggu” atau “tidak diterima.” Seakan-akan setiap lamaran hanyalah pesan yang dilempar ke laut tanpa alamat.
Di luar, suara sepeda motor berhenti. Ia mengintip lewat celah gorden Mas Adi turun dengan wajah berbinar, memeluk istrinya sambil menunjukkan amplop itu. Rian menutup buku, menahan napas. Ada perasaan aneh di dadanya: bukan iri murni, tapi semacam kesadaran pahit bahwa giliran itu mungkin tak akan pernah datang padanya.
Lampu kontrakan dimatikan. Gelap memenuhi ruangan, menyisakan hanya suara detak jam dan tarikan napas Ibu dari kamar. Rian berbaring di tikar tipis, menatap langit-langit, dan dalam hati bertanya apakah ia masih menunggu, atau hanya sedang menua di tempat yang sama.
***
Listrik padam tepat setelah azan magrib. Lampu-lampu di sepanjang gang mati serempak, meninggalkan kampung dalam kegelapan pekat. Suara kipas berhenti, dan panas mulai menempel di kulit seperti selimut lembap.
Rian duduk di depan pintu kontrakan, mencoba menangkap angin malam yang nyaris tak ada. Dari rumah sebelah, terdengar suara anak-anak mengeluh lapar, sementara orang dewasa menyalakan lilin atau lampu minyak seadanya. Bau asap dari sumbu yang terbakar menguar, menusuk hidung.
Ibu sedang di dapur, mengipasi tungku arang. Ia tetap menanak nasi meski gelap, suaranya pelan memanggil Rian agar membantunya. Tapi Rian hanya menjawab singkat, pandangannya kosong menatap lorong gang.
Pak Anwar lewat, membawa bangku kayu kecil. “Daripada panas di dalam, mending duduk di luar,” katanya, menaruh bangku di samping Rian. Lelaki tua itu tampak tenang, wajahnya diterangi cahaya redup dari lampu minyak yang ia bawa.
Mereka duduk bersebelahan, tak segera bicara. Suara jangkrik mengisi jeda, bercampur dengan bunyi sesekali dari radio baterai milik tetangga yang memutar berita singkat tentang harga beras naik.
“Aku ingat waktu muda dulu,” kata Pak Anwar tiba-tiba, suaranya berat tapi datar. “Kalau mau kerja, tinggal pilih. Pabrik besi di ujung kota butuh orang, pelabuhan butuh tenaga bongkar muat, bengkel pun selalu ramai. Kalau nggak betah, pindah kerja pun gampang.”
Rian menoleh, setengah ragu. “Sekarang?” tanyanya, meski ia tahu jawabannya.
“Sekarang,” Pak Anwar menghela napas panjang, “anak-anak muda malah ramai pergi ke luar negeri. Katanya di sana masih ada harapan. Tapi… nggak semua pulang bawa cerita bagus.”
Kata-kata itu menempel di kepala Rian. Ia membayangkan wajah beberapa teman lamanya yang kini bekerja di Malaysia atau Taiwan. Ada yang mengirim kabar gembira, foto-foto dengan latar gedung tinggi, tapi ada juga yang tak pernah terdengar lagi.
Lampu-lampu gang tetap padam. Cahaya dari lilin di rumah-rumah hanya membuat kegelapan terlihat lebih pekat di sela-selanya. Rian menyandarkan punggung ke kusen pintu, mendengarkan suara-suara orang mengobrol pelan. Tapi percakapan itu, entah mengapa, terdengar hambar seperti bara yang sudah kehilangan nyala.
Bukan hanya listrik yang mati malam ini, pikirnya. Semangat banyak orang di kampung ini pun padam perlahan. Mereka bicara tentang masa lalu dengan mata sayu, dan tentang masa depan dengan nada ragu.
Ibu keluar membawa dua cangkir teh panas. “Minumlah, biar nggak dingin,” katanya sambil duduk di tikar depan pintu. Wajahnya diterangi cahaya lilin yang kecil, membuat keriput di sekitar matanya tampak lebih dalam.
Rian menyesap teh itu, merasakan hangatnya mengalir ke tenggorokan. Tapi pikirannya tetap melayang. Apakah ia harus ikut arus teman-temannya? Meninggalkan kampung ini, mencari kerja di negeri orang, meski tak tahu akan kembali sebagai siapa?
Di ujung gang, seseorang menyalakan gitar, menyanyikan lagu patah hati dengan suara serak. Nada-nadanya melayang-layang di udara panas, lalu hilang di tengah malam yang terlalu panjang.
Pak Anwar berdiri, menepuk bahu Rian. “Kalau kau masih muda, jangan biarkan waktu mengalahkanmu. Waktu itu cepat, Nak. Lebih cepat dari yang kau kira.”
Rian tak menjawab. Ia hanya memandang ke arah gelap, membayangkan kapal-kapal di pelabuhan jauh yang membawa orang pergi, dan kota-kota asing yang namanya hanya pernah ia dengar dari televisi.
Malam itu, listrik tak kunjung menyala. Rian tertidur di depan pintu, dengan gelap dan pikirannya yang tak berhenti berjalan.
***
Fajar belum sepenuhnya membuka langit ketika Rian menutup pintu kontrakan pelan-pelan. Udara pagi terasa basah, membawa aroma tanah dan aspal yang dingin. Di tangannya, ia menggenggam tas kecil berisi dua pasang baju, map biru berisi fotokopi ijazah, dan sebuah botol air mineral.
Ibu berdiri di ujung lorong gang, tubuhnya dibalut sweater tipis yang sudah mulai berbulu. Wajahnya setengah tertutup kerudung, matanya merah tapi tidak menangis. Mereka berjalan beriringan, langkah pelan menyusuri jalan sepi menuju terminal.
Tak ada kata-kata berlebihan di antara mereka. Hanya suara langkah, desah napas, dan sesekali derit ban sepeda motor yang melintas. Rian tahu, kalau ia membuka mulut, yang keluar hanya akan jadi janji kosong. Janji bahwa ia akan pulang membawa kabar baik sesuatu yang bahkan ia sendiri tak yakin bisa tepati.
Terminal itu setengah tertidur. Beberapa kios masih tutup, pedagang rokok melilitkan syal di leher, dan sopir-sopir bus duduk melingkar sambil menyeruput kopi panas dari gelas plastik. Uapnya naik tipis ke udara yang pucat.
Di sebuah bangku panjang, Rian duduk di samping ibunya. Suara klakson bus sesekali memecah pagi, bercampur dengan panggilan kernet yang menawarkan jurusan.
“Ada kabar pasti?” tanya ibu, suaranya nyaris seperti bisikan.
Rian menggeleng. “Katanya… ada lowongan di kota pelabuhan. Tapi cuma dengar dari Yusuf. Dia nggak janji apa-apa.”
Ibu menatap jalanan terminal yang mulai ramai. “Kalau pun nggak ada, kamu cari yang lain. Jangan pulang sebelum ada yang pasti.” Kalimat itu diucapkan datar, tapi Rian bisa merasakan beratnya di balik nada tenang itu.
Ia mengangguk pelan. Dalam kepalanya, gambaran gagal lagi terlintas begitu saja tinggal di kamar kos sempit, kehabisan uang, pulang dengan tangan kosong. Tapi bayangan lain segera menyusul: tetap tinggal di kampung, menunggu, berharap ada pintu yang terbuka, sementara waktu dan semangatnya habis sedikit demi sedikit.
Pak Anwar pernah berkata waktu lebih cepat dari yang disangka. Rian mulai percaya.
Suara pengeras suara memanggil penumpang jurusan kota pelabuhan. Rian berdiri, mengangkat tasnya. Ibu ikut berdiri, merapikan kerah kemejanya, lalu menepuk pundaknya sekali.
“Jangan lupa makan. Dan telepon kalau sudah sampai.”
Rian mengangguk lagi, lalu menunduk untuk mencium tangan ibunya. Kulitnya hangat, tapi jemarinya terasa rapuh. Ia ingin berkata banyak hal tentang rasa takut, rasa bersalah, dan rasa rindu yang pasti akan datang tapi semua kata itu hanya menumpuk di kerongkongan.
Ia naik ke bus, duduk di dekat jendela. Dari sana, ia melihat ibunya berdiri memegang ujung sweaternya, wajahnya setengah tersenyum, setengah lelah. Klakson bus berbunyi panjang.
Rian menatap luar, menahan pandangan sampai terminal mulai menghilang di tikungan. Udara di dalam bus dingin, tapi dadanya terasa berat. Jalanan kota pagi itu masih basah oleh embun, dan lampu-lampu toko mulai padam berganti sinar matahari yang redup.
Ia tak tahu apa yang menunggunya di ujung perjalanan. Mungkin sebuah kesempatan kecil. Mungkin kebuntuan baru. Tapi ia tahu satu hal tetap tinggal berarti membiarkan dirinya mati perlahan, terjebak di hari-hari tanpa balasan yang sama.
Kepalanya bersandar ke kaca, matanya menatap jalan yang terbentang. Bus melaju meninggalkan kota, menembus kabut tipis, membawa Rian menuju sesuatu yang tak punya bentuk pasti.
Kadang, pergi bukan untuk mencari, tapi untuk berhenti mendengar pintu yang tak pernah diketuk dari dalam.