Masukan nama pengguna
Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, Danar tiba di kantor pukul 07.53. Tiga menit lebih awal dari jadwal masuk, cukup untuk duduk, menyalakan komputer, dan menghela napas sejenak sebelum dunia mulai menuntut sesuatu darinya.
Langkahnya menyusuri lorong dengan lantai keramik kusam yang kadang memantulkan bayangan tubuhnya. Lampu neon di langit-langit bergemerisik halus, tak ada yang memperbaikinya sejak bulan lalu. Namun suara itu justru menjadi bagian dari rutinitas yang ia kenali, seperti suara sendok bersentuhan dengan cangkir di pantry, atau suara printer yang bergemuruh saat lembur tiba.
Di meja kerjanya, segalanya masih sama. Monitor berukuran 21 inci, peta dunia kecil yang tergantung miring, dan sticky notes berwarna kuning pucat berjejer seperti catatan dari masa lalu yang tidak pernah benar-benar dibaca ulang. Danar duduk, menyandarkan tubuh, lalu membuka laptop. Loading. Wajahnya diam, tapi jari-jarinya mengetuk pelan meja, berirama. Seolah sedang mencoba mengingat bahwa dirinya masih hidup.
"Danar!" suara itu muncul dari balik bilik. Suara Lisa, rekan satu divisinya. “Kopi di pantry baru diseduh. Masih panas!”
Danar melirik jam di pojok layar. 08.07. “Oke, bentar lagi,” sahutnya pendek. Ia tahu kopi itu akan jadi pelarian pertama sebelum tenggelam dalam spreadsheet dan grafik penjualan. Tapi ia juga tahu: rutinitas itu semacam pelindung. Selama masih ada kopi pagi, segalanya terasa biasa-biasa saja.
Di pantry, suasana lebih hangat. Bau kopi robusta menggantung di udara. Di sebelah mesin kopi, Lisa dan dua staf lain dari bagian pemasaran sedang berbincang, tertawa pelan. Bukan tawa yang lepas, tapi cukup untuk membuat pagi tidak beku.
“Kamu kelihatan ngantuk, Nar,” celetuk Lisa sambil menyodorkan gelas kertas. “Lembur lagi semalam?”
Danar hanya tersenyum tipis. “Enggak. Cuma susah tidur.”
“Kenapa? Mikirin kerjaan?” Lisa menyipitkan mata curiga. “Atau... mikirin siapa?”
“Dua-duanya mungkin,” jawab Danar ringan, padahal hanya satu yang benar. Ia tidak tidur semalam. Bukan karena kerjaan, bukan karena seseorang. Tapi karena suara dalam kepalanya terlalu ramai. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak ia temukan jawabannya di meja kerja atau di kopi pagi.
Obrolan di pantry berpindah topik. Tentang manajer baru di lantai atas yang katanya suka marah tanpa aba-aba. Tentang rumor reshuffle divisi. Dan, akhirnya, tentang satu isu yang membuat semua suara sedikit merendah.
“Dengar-dengar bagian produksi bakal dikurangi,” kata Toni, salah satu staf lama. Suaranya lebih pelan dari biasanya. “Katanya sih... ada efisiensi.”
“PHK?” tanya Lisa cepat.
“Ya... belum tahu pasti. Tapi bos besar udah beberapa hari ini sering rapat sama HR.”
Danar diam. Ia meneguk kopi yang sudah mulai dingin. PHK. Kata itu meluncur seperti bayangan yang mendadak muncul di siang hari. Mengusik kenyamanan yang baru saja tumbuh di antara tawa dan aroma kopi.
Jam menunjukkan 08.31 saat Danar kembali ke mejanya. Ia membuka email, membaca brief proyek, menulis beberapa catatan. Semua dilakukan dengan gerakan yang efisien, terlatih. Tapi pikirannya sedikit terpecah. Kata-kata Toni berputar di kepala seperti suara mesin lama yang tak kunjung mati.
Meski begitu, rutinitas tetap berjalan. Danar mengikuti rapat online, memeriksa revisi desain, memberi komentar pada proposal rekan satu tim. Kadang ia menyelipkan senyum pada chat internal, sesekali melemparkan candaan. Tapi ada sesuatu yang perlahan-lahan berubah. Suara di kantor terasa lebih datar. Tawa lebih pendek. Suara printer lebih nyaring. Dan detik pada jam dinding terdengar terlalu jelas.
Menjelang siang, suasana makin sunyi. Tidak ada yang mengatakannya langsung, tapi semua seolah tahu: ada sesuatu yang menggantung di udara. Seperti kabut tipis yang menyelimuti langit biru. Seperti isyarat akan datangnya hujan, meski matahari masih bersinar.
Saat makan siang, Danar duduk di kantin bersama Lisa dan dua orang lainnya. Makanan di piring mereka tinggal separuh, tapi pembicaraan nyaris tak ada. Hanya gemericik air dari dispenser yang terdengar jelas, seperti suara yang datang dari jauh.
“Kalau beneran ada PHK,” Lisa membuka suara pelan, “kamu bakal gimana, Nar?”
Danar mengunyah perlahan, lalu menelan. “Enggak tahu,” jawabnya jujur. “Kayaknya... belum siap.”
Lisa menatapnya lama. “Padahal kamu yang paling tenang di sini. Kukira kamu udah siap kalau apa pun terjadi.”
Danar menatap piringnya. Telur dadarnya sudah dingin. “Tenang itu bukan berarti siap.”
Dan itu benar. Di luar, ia selalu tampak kalem, stabil. Tapi di dalam, ada ribuan suara yang menjerit, takut kehilangan ritme hidup yang sudah ia pertahankan bertahun-tahun. Kantor ini mungkin bukan tempat terbaik, tapi itu satu-satunya tempat yang memberinya rasa ‘cukup’. Cukup sibuk untuk tidak tenggelam. Cukup tenang untuk tetap berfungsi.
Pukul 15.42, notifikasi email masuk. Subjeknya mencolok:
[UNDANGAN RAPAT MENDADAK – WAJIB HADIR]
Danar membacanya dua kali. Lalu melirik ke arah Lisa yang juga menatap layar dengan ekspresi sama. Satu per satu kepala terangkat. Suara ketikan berhenti. Seseorang di bilik sebelah menghela napas panjang.
Tak ada yang bicara. Tak ada yang berani menebak. Tapi semua orang tahu: suara yang hening itu adalah pertanda sesuatu sedang bergerak. Dan bukan ke arah yang mereka inginkan.
Danar menyandarkan punggung ke kursi. Tangannya mengepal di bawah meja. Rasanya seperti sedang duduk di ruang tunggu, menanti hasil diagnosis yang mungkin akan mengubah seluruh hidupnya.
Suara detik jam terdengar makin keras. Dan tak ada satu pun yang berani bersuara.
***
Pagi itu datang dengan hawa yang tak biasa. Langit di luar jendela kantor masih kelabu, seperti menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Danar berdiri lama di depan cermin lift, dasinya miring sedikit tapi tak ia perbaiki. Matanya sayu, sisa tidur yang tak utuh sejak semalam. Mungkin karena perasaan ganjil yang mengendap di pikirannya sejak undangan rapat darurat kemarin sore tersebar.
Ketika lift terbuka, lantai tempat timnya bekerja terasa lebih lengang dari biasanya. Bukan karena terlambat masuk, tapi karena memang ada yang tidak datang atau lebih tepatnya, tidak kembali.
Meja Rendi sudah bersih. Tidak ada lagi mug bergambar Gundam yang biasa duduk di pojok meja. Tidak ada kabel headset yang menjuntai malas dari layar monitor. Semalam, saat semua pulang, rupanya Rendi disuruh ke ruang HR dan... selesai. Danar memandang kursi kosong itu dengan tenggorokan yang menegang.
“Cepat sekali, ya,” gumam Ira dari balik cubicle.
Danar hanya mengangguk pelan. Tak perlu membalas. Semua tahu apa maksudnya.
Tak lama, datang email dari HR. Judulnya singkat: Kebijakan Restrukturisasi Personalia - Tahap Pertama.
Ira memanggil nama Tuhan. Jaya di belakang menyumpah pelan. Danar tidak membuka email itu langsung. Ia hanya menatap layarnya lama, hingga pantulan wajahnya sendiri membayang di monitor.
Suara printer di sudut ruangan menyembur pelan. Entah siapa yang mencetak. Di kejauhan, langkah-langkah terdengar menuju ruang manajer. Satu per satu nama dipanggil lewat telepon internal.
“Yusuf dari divisi logistik barusan dipanggil,” bisik Jaya dengan nada nyaris tak terdengar.
“Lusi dari procurement juga,” sahut seseorang dari belakang.
Danar mencoba bekerja. Tangan di keyboard, kursor bergerak, tapi tidak ada kata yang muncul. Semua jemari terasa kaku.
Jam makan siang, pantry penuh sesak. Tapi tak ada suara seperti biasanya. Biasanya ada candaan receh, cerita sinetron, atau debat bola. Sekarang, semua hanya duduk dengan mata penuh tanya.
“Ada yang tahu berapa orang yang di-cut hari ini?” tanya seseorang.
“Katanya 20 persen dari total karyawan.”
“Itu banyak, ya Tuhan...”
Danar berdiri sambil membawa kopinya. Ia memilih sudut pantry yang dekat jendela. Matanya menatap jalanan yang ramai di bawah. Ironis, dunia di luar tetap berjalan, padahal di dalam sini, seolah dunia perlahan runtuh.
“Lo aman, Nar?”
Suara itu datang dari belakang. Rio, kepala divisi kreatif, berdiri dengan wajah pucat.
“Belum tahu,” jawab Danar singkat.
Rio mengangguk, matanya kosong. “Gue juga belum. Tapi meja gue kayaknya udah mulai dilirik.”
Tak ada yang tertawa. Bahkan nada bercandanya pun terdengar seperti ucapan duka.
Sore menjelang, meja-meja yang tadinya penuh mulai terlihat bolong. Beberapa orang keluar membawa kardus kecil. Ada yang diam, ada yang menangis, ada yang tersenyum pahit sambil pamit.
“Udah duluan ya, Nar.”
Itu suara Tari, staf marketing. Matanya sembab, senyumnya terpaksa.
Danar hanya bisa mengangguk, lalu berdiri dan menyalaminya.
“Semoga ada yang lebih baik setelah ini.”
Tari mengangguk sambil memeluk Danar sebentar, lalu melangkah keluar.
Ia kembali duduk. Menatap ke arah tempat Tari tadi, kini kosong. Seperti ada lubang di lantai yang perlahan menyedot satu per satu temannya ke dalam kehampaan.
“Kenapa ya... aku masih di sini?” gumam Danar.
Ia tahu seharusnya bersyukur. Tapi justru itulah yang membuat dadanya semakin sesak. Ia merasa seperti penumpang terakhir di kapal yang karam, berdiri di dek dengan pakaian masih kering, sementara yang lain sudah tenggelam satu per satu.
Ada semacam rasa bersalah yang mengendap. Survivor’s guilt, begitu katanya. Tapi rasanya lebih dari itu. Lebih sunyi. Lebih dingin.
Malam mulai turun. Lantai kantor nyaris kosong. Hanya beberapa orang yang masih bertahan, termasuk Danar. Ia memandangi meja-meja yang kini sunyi. Tanpa tawa, tanpa gerakan.
Monitor masih menyala, sebagian dalam mode sleep. Kursi-kursi yang dulu jadi saksi obrolan dan lembur kini hanya benda mati yang menunggu nasib.
Danar menoleh ke mejanya sendiri. Ia menyentuh sisi lacinya, mencoba memastikan bahwa ia masih nyata, masih ada. Tapi ia tahu, tak ada yang benar-benar aman. Hari ini bukan akhir ini hanya permulaan dari sesuatu yang lebih besar.
“Berapa lama aku akan bertahan?” pikir Danar dalam diam.
***
Pagi itu, langit seperti tak punya rencana. Mendung, tapi tak hujan. Terang, tapi tak benar-benar cerah. Seperti menggantung. Dan begitulah perasaan Danar sejak beberapa hari terakhir menggantung, menggembung, seperti bisul yang tak kunjung pecah.
Pintu lift terbuka dengan bunyi khas yang seolah terlalu riang untuk pagi seperti ini. Langkah Danar masuk ke koridor kantor seperti biasa, tapi tak ada lagi yang benar-benar biasa. Kursi Dito sudah kosong, layar monitornya mati, dan stiker kecil bertuliskan “Never Give Up” di sisi kanan CPU-nya sudah dicabut. Meja Rina yang dulu penuh dengan tanaman mini kini hanya tersisa tanah kering dan pot pecah. Aroma kopi pagi pun tak lagi tercium.
Danar menyapa satpam yang masih tersisa dengan anggukan singkat. Di mejanya, sudah tergeletak amplop putih.
Ia tahu. Amplop itu bukan tawaran promosi, bukan pula undangan rapat. Ini waktunya. Danar menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat meraih surat itu, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi.
Ia duduk perlahan, membuka amplop dengan hati-hati seperti membuka luka lama yang baru saja mengering.
“Dengan ini kami menyampaikan bahwa terhitung tanggal... Anda tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan...”
Kalimat-kalimat itu menghantam lebih keras dari pukulan. Bukan karena ia tidak menduganya, tapi karena begitu surat itu terbuka, dunia dalam dirinya runtuh tanpa suara, tapi meninggalkan puing.
Di rumah, Danar menyimpan surat itu di dalam laci paling dalam. Ia tak langsung bicara pada siapa pun. Bahkan pada Nita istrinya yang sejak semalam menatapnya seperti seseorang yang tahu badai akan datang.
“Kantor gimana?” tanya Nita sambil menyendokkan nasi ke piring.
Danar hanya mengangguk. “Biasa.”
Kata itu menggantung di udara seperti asap. Nita menatapnya, tak puas. Tapi ia juga tahu, suaminya bukan tipe yang langsung bisa bicara ketika hatinya luka. Danar butuh waktu. Dan ia, sebagai istri, harus menunggu waktu itu datang sendiri.
Orang tuanya baru tahu beberapa hari kemudian. Ayahnya diam cukup lama saat Danar akhirnya bercerita. Ibunya malah sempat menyeka air mata diam-diam, lalu cepat-cepat pergi ke dapur dengan alasan merebus air.
“Ayah juga pernah dipecat dulu,” kata sang ayah lirih, sembari menepuk pundak Danar. “Bukan salahmu, Nar.”
Tapi kata-kata itu tidak menambal apapun. Yang rusak di dalam Danar bukan sekadar kehilangan pekerjaan. Ia kehilangan identitas.
Ia bukan tipe yang hidup dari satu gelar ke gelar lain. Tapi pekerjaan ini kantor, ruangannya, meja kerjanya, jam makan siang yang itu-itu saja, kebosanan yang anehnya menenangkan semuanya adalah bagian dari dirinya. Kini, semua itu hilang. Ia merasa seperti kehilangan bayangannya sendiri.
“Lo serius udah dapet surat?” tanya Rio, saat mereka nongkrong di warung kopi kecil di ujung kompleks.
Danar mengangguk, lalu meneguk kopinya yang mulai dingin. Rio menggeleng pelan.
“Gue kira lo salah satu yang aman. Maksudnya, lo senior, udah loyal...”
Danar tersenyum pahit. “Loyalitas bukan jaminan, ternyata.”
Rio tertawa pendek, canggung. “Lo mau ngapain sekarang?”
Danar mengangkat bahu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia benar-benar tak tahu. Dunia yang selama ini ia susun rapi seperti rak buku, kini berantakan. Buku-buku beterbangan, tak ada urutan, tak ada genre.
“Gue bahkan belum bilang ke anak,” gumam Danar.
Pagi itu, ia datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Entah kenapa, ia ingin melewati momen perpisahan itu sendirian. Tak ingin ada pelukan palsu, ucapan basa-basi seperti “Semoga sukses, ya,” yang terdengar hampa. Ia ingin berpamitan dengan sepi.
Ia melangkah pelan ke mejanya. Menyentuh permukaan kayu yang dingin. Di sudutnya masih ada bekas lingkaran gelas kopi. Keyboard-nya sedikit berdebu, mungkin karena ia mulai jarang benar-benar bekerja di sini belakangan. Komputer sudah dikunci HR.
Ia membuka laci, mengambil beberapa benda kecil yang tersisa: pulpen hitam kesukaannya, foto keluarga, dan kertas catatan yang isinya sudah tak relevan.
Setelah itu, ia berdiri.
Melihat sekali lagi sekeliling ruangan.
Satu demi satu lampu mulai menyala seiring waktu kerja yang semakin dekat. Tapi lampu di ruangannya sendiri masih mati.
Ia menatap tombol lampu di dinding.
Danar mengulurkan tangan, menekannya perlahan.
Klik.
Cahaya yang sempat terang sesaat kembali padam.
Danar mematikan lampu ruangannya sendiri untuk terakhir kali.
Lalu ia berjalan keluar. Tanpa menoleh. Tanpa pamit.
Karena kadang, perpisahan yang paling dalam adalah yang dilakukan dalam diam.
***
Danar terbangun tanpa alarm pagi itu seperti pagi-pagi sebelumnya. Tidak ada suara notifikasi email masuk, tidak ada panggilan Zoom mendadak dari atasan, tidak ada tergesa-gesa menyeduh kopi sambil menyisir rambut dengan tangan kosong. Semua itu sudah hilang sejak surat putih itu mampir ke tangannya tiga minggu lalu.
Ia menatap langit-langit kamarnya, mencoba mengingat hari. Rabu, atau Kamis, atau mungkin Senin? Rasanya semua hari kini larut dalam kabut yang sama. Cahaya matahari masuk dengan malas lewat sela gorden, menyinari meja kecil di samping tempat tidurnya. Di atasnya, ponsel mati kehabisan daya. Entah sejak kapan.
Di dapur, suara air mendidih terdengar seperti gemuruh ombak. Ia menuangkan kopi instan ke dalam gelas usang, lalu duduk di ruang makan yang kosong. Nita, sudah berangkat lebih pagi. Mereka tak lagi sarapan bersama. Kalaupun masih, percakapannya tak lebih dari gumaman formal seperti dua rekan serumah yang kebetulan menikah.
Ia membuka laptop, membuka folder berisi puluhan file: CV terbaru, surat lamaran, portofolio proyek, semua rapi dan terorganisir. Ia mulai mengirim lagi ke perusahaan yang berbeda, yang bahkan belum pernah ia dengar namanya sebelumnya. Startup kecil, lembaga pelatihan, firma konsultasi pinggiran. Ia tak lagi pilih-pilih. Satu per satu ia tekan “kirim,” lalu kembali menatap layar.
Tidak ada bunyi balasan. Tidak ada notifikasi baru. Hanya jam digital di pojok kanan bawah yang perlahan berpindah angka.
Pukul 10.11.
Pukul 10.17.
Pukul 10.25.
Lambat. Terlalu lambat. Danar merasa seperti terjebak dalam ruang tanpa gravitasi. Hari-hari tak bergerak, hanya waktu yang mengulur, seperti tali yang kian mencekik.
Malamnya, Nita pulang dengan langkah berat. Riasan wajahnya masih tampak rapi, tapi matanya menyorotkan lelah. Ia tak langsung menyapa Danar, hanya mengganti pakaian dan masuk ke dapur.
“Ada kabar hari ini?” tanya Nita pelan.
Danar mengangguk pelan, lalu menggeleng. “Belum.”
Suara piring yang diletakkan terlalu keras di atas meja menyentaknya. Nita duduk, tapi tak menatapnya. “Sudah tiga minggu, Dan.”
“Aku tahu.”
“Kamu tahu tapi… kamu cuma di rumah terus. CV itu udah kamu kirim ke mana aja?”
“Hampir ke semua tempat.”
“Hampir?” nada suara Nita mulai naik. “Kamu tahu kita nggak bisa terus kayak gini, kan? Kita masih harus bayar cicilan rumah, listrik, air, makan…”
Danar meremas sisi kursinya. Ia tahu semua itu. Ia sudah menghitung, menyusun, mengatur ulang semua anggaran. Tapi tak satu pun dari hitung-hitungan itu menghapus suara kekosongan di dalam dirinya.
“Bukan berarti aku nggak usaha,” ucapnya, lebih keras dari yang ia niatkan.
Nita menatapnya, dan dalam tatapan itu ada sesuatu yang berbeda. Seperti seseorang yang menatap puing-puing rumahnya sendiri. Tak ada lagi marah, hanya nyaris pasrah.
Setelah makan malam yang senyap, Danar masuk ke kamar kerja ruangan kecil di pojok rumah yang dulu ia banggakan sebagai ‘markas produktivitasnya’. Meja kerjanya bersih, terlalu bersih. Tak ada tumpukan dokumen, tak ada catatan rapat, tak ada sketsa ide. Hanya laptop yang mulai usang dan sebotol air mineral setengah kosong.
Ia menatap jam dinding. Jarumnya bergerak lambat, seperti menyeret beban dari detik ke detik.
Ia mencoba membuka situs lowongan kerja lagi, tapi koneksi internetnya lemot. Browsernya tak kunjung memuat halaman. Ia menghela napas, lalu menutup laptopnya.
Pukul 21.02.
Waktu tetap bergerak. Tapi tidak hatinya.
Di hari berikutnya, ia mencoba bangun lebih pagi, mencoba jogging di sekitar kompleks. Tapi langkahnya goyah, dadanya sesak, dan pikirannya berisik. Seorang tetangga menyapanya, Danar hanya bisa tersenyum kaku dan melambaikan tangan. Ia tahu mereka tahu. Desas-desus cepat menyebar di lingkungan yang terlalu tenang.
Malamnya, Nita pulang lebih malam dari biasanya. Ada bekas tawa yang dipaksakan di wajahnya. Danar tak bertanya. Ia hanya duduk di ruang tengah, menonton acara televisi yang tidak ia pahami. Jam di tembok berdetak lambat, seolah-olah waktu sendiri pun ikut kehilangan semangatnya.
Beberapa hari kemudian, ia bertemu dengan Raka, sahabat lamanya di sebuah kafe kecil. Raka datang dengan wajah cerah dan kemeja mahal.
“Kabar lo gimana, Nar?” tanya Raka, sambil menyeruput kopinya.
“Lagi cari kerja.”
“Wah, sorry banget ya gue baru tahu. Tapi ya, zaman sekarang emang gitu sih. Gue juga udah dua kali pindah kerja. Nggak ada yang stabil, cuy.”
Danar hanya mengangguk. Ia tahu maksud baik Raka, tapi kalimat itu tak lebih dari perban yang ditempel di luka dalam.
“Kalo butuh bantuan, kirim CV ke gue ya. Siapa tahu kantor gue lagi buka.”
Danar tersenyum kecil. “Iya. Makasih.”
Setelah pertemuan itu, ia merasa lebih kosong. Seolah-olah semua kata penghiburan hanya memperkuat betapa hampa ia sekarang. Ia pulang dan mendapati Nita sudah tidur lebih awal, lampu kamar sudah padam. Di ruang tamu, jam dinding berdetak pelan.
Pukul 00.37.
Danar duduk di karpet, memandangi cahaya lampu dari luar jendela. Mobil-mobil lewat satu-satu. Dunia di luar tetap bergerak.
Tapi dirinya tidak.
Untuk pertama kalinya, ia merasa takut akan waktu. Bukan karena ia ingin menghentikannya, tapi karena ia tahu waktu tidak pernah menunggu siapa pun. Bahkan untuk seseorang yang masih mencoba berdiri di tengah puing-puing hidupnya sendiri.
Jam itu berdetak lagi.
Terlalu pelan, tapi tetap saja bergerak.
***
Pagi itu berbeda. Ada sesuatu yang mengusik rutinitas muram Danar. Bukan karena cahaya mentari yang merayap masuk dari sela-sela tirai jendela kamar, bukan juga karena suara-suara tetangga yang seperti biasa terdengar samar. Tapi karena satu email di kotak masuknya.
Subjek: Panggilan Wawancara – Posisi Staf Administrasi
Tangannya sempat gemetar saat membuka email itu. Rasanya sudah terlalu lama ia tidak melihat sesuatu yang mengandung kata "panggilan kerja". Seolah seluruh dunia hanya tahu bagaimana caranya menolak, menutup, atau mengabaikan. Tapi pagi ini, sebuah pintu kecil itu terbuka meski ia tahu, ada ratusan tangan lain yang siap meraihnya.
Ia duduk di tepi ranjang, lama. Memandangi layar ponsel, membaca ulang isi email yang hanya dua paragraf itu. Tak ada ucapan selamat. Tak ada kalimat hangat. Hanya tanggal, waktu, dan alamat kantor. Tapi itu cukup. Lebih dari cukup.
Setelan lamanya masih tergantung di belakang pintu lemari, berdebu tapi masih layak pakai. Ia menyetrikanya perlahan, seperti sedang membenahi sesuatu yang telah lama ia biarkan rusak. Kancingnya sedikit longgar, dasinya kaku, sepatu kulitnya agak kusam. Tapi ia berdiri di depan cermin dan berkata pada dirinya sendiri, “Hari ini aku berperang.”
Sesampainya di gedung itu, antrean sudah mengular. Sebagian besar mengenakan baju putih dan celana hitam, rapi, kaku, dan terlihat gugup. Beberapa tampak jauh lebih muda darinya, sebagian bahkan bisa saja seusia mahasiswa magang.
Matanya menangkap papan informasi kecil di meja resepsionis:
"Posisi: Staf Administrasi (1 orang)"
Jumlah pelamar yang sudah hadir: 219
Dan hari belum genap pukul sepuluh pagi.
Danar menelan ludah. Kursi tunggu di ruang lobi sudah dipenuhi pelamar. Sebagian membaca berkas lamaran, lainnya berlatih menjawab pertanyaan di kepala masing-masing. Ia memilih duduk di sudut, mencoba menenangkan napasnya yang tiba-tiba terasa sesak.
Lalu sebuah suara menyapanya.
"Danar?"
Ia menoleh.
Seorang pria berbadan agak tambun, mengenakan jas biru gelap, berdiri di depannya sambil tersenyum kecil.
"Yusuf?"
"Ya Tuhan, iya! Gila, udah berapa tahun ya?"
Danar berdiri, menjabat tangannya dengan perasaan yang campur aduk. Yusuf dulu adalah rekan kerjanya di perusahaan lama. Mereka pernah berada di tim yang sama sebelum semuanya hancur.
"Kamu juga ngelamar posisi ini?"
Yusuf mengangguk sambil tersenyum kecut. "Iya. Dunia kerja sekarang kejam, ya? Aku kira dengan pengalaman kita, semua akan lebih mudah."
Danar mengangguk pelan, tapi tak berkata apa-apa.
Yusuf duduk di sampingnya. Mereka mengobrol sebentar, basa-basi yang canggung. Tentang keluarga, tentang tempat tinggal, dan tentu saja tentang pekerjaan yang tak kunjung datang. Obrolan mereka berhenti ketika salah satu petugas HR memanggil beberapa nama berikutnya untuk wawancara. Nama Danar belum dipanggil. Masih ada puluhan orang di depannya.
Ia berdiri dan pergi ke toilet. Wajahnya tampak letih di depan cermin. Matanya sedikit sayu, rahangnya tegang. Di luar, dunia seolah berpacu dalam kecepatan tinggi, dan ia merasa seperti pelari tua yang tertinggal jauh.
Air dari keran mengalir deras, membasahi wajahnya, tapi tak cukup menghapus kegugupan. Ia tatap pantulan dirinya di cermin. Tak muda lagi. Tak sepenuh percaya diri dulu. Tapi masih ada sisa-sisa tekad di sana, meski tipis dan nyaris patah.
Ia menggenggam pinggiran wastafel, menguatkan dirinya. Tapi suara di kepalanya tak bisa dibungkam.
"Masih pantaskah aku dipercaya lagi?"
Pertanyaan itu bergema, lama, menusuk lebih dalam dari yang ia kira.
Kembali ke ruang tunggu, Danar mengambil tempat duduk yang kosong. Gilang sudah masuk ke dalam ruang wawancara. Beberapa pelamar tampak keluar dengan wajah cemas, beberapa lainnya tersenyum palsu. Danar menunduk, memejamkan mata.
Ia tahu, dunia tak berhenti untuk siapa pun. Tapi di tengah hiruk-pikuk seleksi ini, dalam ruangan dingin yang hanya menyediakan satu kursi bagi ratusan pencari harapan, ia merasa seperti angka yang bisa dihapus kapan saja.
Namun ia tetap duduk di sana.
Menunggu.
Dengan napas yang tak stabil, tapi dengan harapan yang masih menolak mati.
***
Langit pagi itu tidak biru, tapi juga tidak muram. Ia abu-abu seperti halaman kosong, seperti pikiran Danar yang pelan-pelan melepaskan semua ekspektasi. Waktu seolah menepi, memberinya ruang yang tak lagi menekan. Ia duduk di bangku panjang depan gedung tua itu, masih menggenggam map berisi CV yang sudah lecek di ujung-ujungnya. Antrian telah lama usai. Panggilan terakhir sudah bergema, disusul pintu yang tertutup rapat. Tapi ia masih di sana, seakan menunggu sesuatu yang tak mungkin kembali atau mungkin justru menunggu dirinya sendiri untuk muncul kembali.
Tadi, di toilet, ia menatap cermin terlalu lama. Garis-garis di wajahnya lebih jujur daripada apapun yang pernah ia katakan dalam hidup. Di balik ketenangan yang ia rawat bertahun-tahun, ada puing-puing keyakinan yang pernah utuh tapi kemudian rontok satu per satu. “Masih pantaskah aku dipercaya lagi?” tanyanya pelan, dan tidak ada jawaban, selain suara tetesan air dari keran rusak.
Ia tak tahu apa yang membuatnya tetap duduk di bangku itu. Panggilan wawancara sudah lewat. Bahkan pria yang tadi duduk di sebelahnya yang bicara soal kursus manajemen daring dan memuji jam tangan Danar dengan antusias tak terduga sudah lama pergi. Tapi Danar masih diam. Seperti seseorang yang tahu bahwa apa yang ia cari bukan ada di dalam ruang wawancara itu.
Angin membawa suara kendaraan yang lewat di kejauhan. Jakarta tidak pernah benar-benar sepi, tapi pagi ini terasa seperti sebuah jeda panjang. Danar menunduk, menatap sehelai kertas dari dalam map: surat rekomendasi dari bos lamanya. Pria itu yang dulu memanggilnya “andalan divisi logistik” sebelum memecatnya dengan satu email dingin.
Surat itu sudah ia baca ratusan kali. Kalimat-kalimatnya terlalu manis untuk sebuah kebenaran. Ia pernah bangga karenanya. Tapi hari ini, ia hanya menatapnya dengan rasa lega aneh seolah akhirnya ia bisa menerima bahwa bukan surat itu yang menentukan siapa dirinya.
Tak jauh dari bangku, ada penjual kopi keliling. Danar berdiri, mendekat. “Kopi hitam, Bang. Nggak usah manis.”
Penjual itu hanya mengangguk. Ia menyeduh dengan cara seadanya, tapi wangi kopi itu membawa sesuatu yang menenangkan. Danar menyeruput perlahan. Panasnya menyentuh langit-langit mulut, membakar sedikit lidah, tapi justru membuatnya merasa hidup.
Ia lalu memandang ke arah gedung itu. Di balik kaca-kaca yang mulai buram, para pesaingnya mungkin sedang membanggakan pengalaman kerja, prestasi akademik, atau koneksi dalam jaringan profesional yang rumit. Tapi Danar hanya punya luka yang belum sembuh dan keberanian untuk tetap datang.
“Aku tidak kalah,” bisiknya. “Aku hanya sempat jatuh.”
Ia ingat percakapan singkat dengan mantan rekan kerjanya pagi tadi. Rani yang dulunya duduk di meja sebelahnya dan suka membawa bekal salad menyapanya dengan mata sedikit terkejut. Mereka saling bertanya kabar, basa-basi tipis yang menyakitkan karena terlalu banyak yang tak bisa diucap. Tapi dalam suaranya, Danar menangkap sesuatu: ia tidak dilupakan. Setidaknya, bagi seseorang, ia masih punya tempat dalam kenangan.
Dan itu cukup. Tidak semua kehilangan perlu ditebus dengan kemenangan. Kadang, cukup dengan mengakuinya, memeluknya, dan kemudian perlahan melangkah lagi.
Ia menatap CV-nya sekali lagi. Di sana ada riwayat yang pernah ia banggakan. Tapi juga kekosongan dua tahun terakhir masa-masa ketika ia menghindari cermin, menghindari panggilan telepon, dan menghindari dirinya sendiri. Kini, ia tahu, ia tak perlu menghapus bagian itu. Ia hanya perlu menuliskannya dengan cara lain.
Mungkin bukan pekerjaan itu yang akan menyelamatkannya. Mungkin bukan panggilan wawancara yang akan membawa hidupnya kembali pada jalur. Tapi pagi ini, duduk di bangku kayu yang sedikit goyah, meminum kopi yang terlalu pahit dan memandangi jalanan yang tak pernah berhenti bergerak, Danar merasa sesuatu berubah.
Ia belum menang. Tapi ia juga tidak lagi kalah.
Sisa kopi ia habiskan perlahan, sebelum berdiri. Map ia genggam erat, bukan sebagai tiket menuju pekerjaan baru, tapi sebagai pengingat bahwa ia masih di sini utuh meski tidak sempurna, lelah tapi masih mau melangkah.
Langit mulai membuka dirinya, sedikit lebih terang daripada tadi. Danar mendongak, lalu tersenyum tipis. Ia tidak tahu harus ke mana setelah ini. Tapi ia tahu, ia akan melangkah. Bukan untuk membuktikan apa-apa kepada siapa pun, tapi karena ia akhirnya mulai percaya pada satu hal yang lama hilang: dirinya sendiri.
Ia berjalan menjauh dari gedung itu. Tapi langkahnya tidak tampak seperti orang yang gagal. Justru, ada keteguhan baru dalam setiap tapak. Seolah ia tahu, meski dunia belum menyambutnya kembali, ia telah menyambut dirinya sendiri.
Di persimpangan jalan, ia berhenti sebentar. Matahari mulai merambat turun, mencuri celah diantara gedung-gedung tinggi. Danar mengeluarkan lagi selembar CV dari map, menatapnya lama.
Kertas itu bukan lagi bukti dari siapa ia pernah menjadi. Tapi janji bahwa ia belum selesai.
“Aku belum selesai,” katanya pelan.
Lalu ia
melangkah, tidak terburu-buru, tapi pasti.