Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,299
24 Jam Yang Menghapusku
Drama

Dunia di kelasku kecil. Tapi cukup untukku.

Cukup untuk tidak terlihat, cukup untuk bertahan.

Aku duduk di barisan ketiga dari belakang, dekat jendela. Kursi dengan baret tinta dan meja yang salah satu sudutnya pernah kutambal dengan lakban bening. Di situ aku menetap, seperti lukisan yang digantung di pojok ruangan tak ada yang bertanya kenapa ia di sana, tak ada juga yang benar-benar melihat. Kadang aku menulis sesuatu di balik kertas tugas, semacam catatan tentang hal-hal sepele yang kupikirkan terlalu dalam. Tentang cahaya matahari yang pecah jadi serpih emas di lantai kelas. Tentang suara detak jam dinding yang lebih jujur dari percakapan manusia.

Setiap pagi, langkah kakiku membawa tubuh ini masuk ke kelas 11 IPA 3 dengan irama yang sama: pelan, diam, menunduk. Tidak ada yang memanggil namaku, dan aku tak berharap ada. Teman-teman satu kelas bicara seperti mereka hidup di dimensi yang berbeda dengan frekuensi suara lebih tinggi, gestur yang terbuka, dan tawa yang mudah meledak. Sementara aku... aku seperti hening yang menyelip di sela kalimat mereka.

Aku Nara Irawan. Tak ada yang istimewa dari namaku, sama seperti tak ada yang istimewa dari cara aku menjalani hari.

Di rumah, aku lebih banyak mengurung diri di kamar. Dindingnya pucat, cat biru muda yang mulai kusam. Di satu sudut berdiri rak buku kecil berisi komik, novel usang, dan satu-satunya benda paling bernyawa di ruangan ini: tablet gambar yang kubeli dari hasil menabung sejak SMP. Di dunia itu, aku lebih bebas. Lebih bisa bernapas.

Nama akunku di Instagram: @iraw.illus. Hanya seribu lebih pengikut, tapi itu cukup. Cukup untuk merasa tak sepenuhnya hilang.

Aku menggambar wajah-wajah yang tidak kukenal. Kadang potret perempuan dengan rambut panjang, mata teduh, dan senyum yang tidak pernah benar-benar bahagia. Kadang lelaki yang berdiri membelakangi laut, menunggu sesuatu yang tak akan datang. Setiap garis yang kutarik seperti potongan cerita yang tak sempat kuceritakan dengan kata.

“Kenapa kamu sering gambar cewek nangis, Nar?” tanya salah satu followers-ku di kolom komentar.

Aku tak membalas. Karena aku sendiri tak tahu. Atau mungkin tahu, tapi memilih diam.

Dan lalu ada dia. Lala.

Nama itu ringan, seperti bulu dandelion yang melayang di udara. Lala duduk dua baris di depanku. Rambutnya sebahu, agak berantakan tapi entah kenapa selalu terlihat rapi di mataku. Dia tak terlalu cerewet, tapi tak pernah kesepian. Punya banyak teman, tapi tidak sombong. Lala adalah suara yang kadang mencairkan sunyi di kelas bukan karena keras, tapi karena tulus.

Aku menyukainya dalam diam.

Bukan cinta yang membara, hanya kekaguman yang menetap, seperti embun di kaca pagi hari. Tidak menuntut, tidak berharap. Hanya ingin dia tetap ada di dunia kecilku. Meski dari jauh.

Pernah suatu hari dia meminjam penghapusku. Tangannya menyentuh sedikit ujung jemariku, dan aku seperti kehilangan detak. “Makasih, Nara,” katanya sambil tersenyum.

Nama itu, keluar dari bibirnya, membuatnya terasa seperti nyata.

Hari-hari berjalan seperti jam pasir yang mengalir diam-diam. Aku hadir, tapi tak pernah benar-benar diingat. Nilai-nilaiku cukup, sikapku sopan, dan aku tidak pernah membuat masalah. Seperti kursi di pojok ruang tamu berguna, tapi tak pernah dijadikan pusat perhatian.

Wali kelasku, Bu Ratna, pernah bilang, “Nara itu anak baik. Tapi terlalu tenggelam di dunianya sendiri.”

Mungkin benar. Tapi dunia itu nyaman. Dunia yang penuh keheningan, diisi dengan tarikan garis dan warna-warna murung, tempat suara hati bisa terdengar tanpa harus diteriakkan.

Kadang aku bertanya-tanya: bagaimana rasanya jadi seperti Riko? Temanku sekelas yang setiap langkahnya mengundang tawa dan pelukan. Atau seperti Intan, yang pandai bicara dan punya banyak prestasi. Tapi lalu aku sadar, itu bukan aku. Dan aku tak ingin jadi siapa pun selain diriku sendiri, meski dunia tidak memanggil namaku.

Jam dinding di atas papan tulis selalu terdengar keras saat diam-diam aku menatap Lala dari belakang. Kadang ia menyenderkan dagu di tangan, menatap ke luar jendela, dan aku ikut menatap. Seolah kami melihat langit yang sama, walau dari jarak berbeda.

Pernah kulihat ia menangis. Waktu itu hujan deras dan semua orang sibuk membuka payung. Lala berdiri di dekat rak sepatu, menunduk, dan matanya basah. Aku ingin menyapa, tapi langkahku terlalu pengecut. Yang kulakukan hanya mengingat wajah itu, dan malamnya kujadikan sketsa. Judulnya: “Gadis Hujan”. Kutunggah di akun Instagramku tanpa keterangan.

Komentarnya ramai. Tapi tak satu pun dari mereka tahu bahwa itu Lala. Dan aku tak pernah ingin mereka tahu.

Kadang aku berpikir, apakah dunia akan berubah jika aku hilang? Mungkin tidak. Tidak ada yang akan menangis di kelas. Tidak ada yang akan membaca namaku dengan suara lirih. Tidak akan ada peringatan di majalah dinding.

Tapi tidak apa-apa. Dunia kecilku bukan untuk dikenal, melainkan untuk dijalani. Dalam diam, dalam gambar-gambar yang hanya aku mengerti. Dalam ketertarikan rahasia pada seorang gadis yang mungkin tak pernah benar-benar melihatku.

Dan dalam kesadaran bahwa… hidup ini rapuh. Tapi selama masih bisa menggambar, masih bisa mengingat, masih bisa melihat Lala duduk di barisan depan, aku akan bertahan. Sedikit lagi. Satu hari lagi.

Karena dunia ini mungkin tidak adil, tapi masih ada ruang kecil di sudutnya yang bisa kutempati.

Dan itu cukup.

Untuk saat ini… cukup.

“Beberapa orang hidup untuk dilihat.

Beberapa lagi, hidup untuk melihat.

Aku, hanya ingin hadir tanpa mengganggu.”

catatan kecil, halaman belakang buku Matematika

***

Jam dinding kelas tetap berdetak pelan seperti biasa, suara detiknya nyaris tak terdengar di antara obrolan dan tawa teman-teman sekelasku. Aku masih duduk di bangku ketiga dari belakang, di dekat jendela, tempat cahaya selalu jatuh dengan lembut ke permukaan mejaku. Biasanya, jam istirahat adalah jeda sunyi bagiku. Kududuk sambil membuka buku gambar atau membaca komentar-komentar baru di akun Instagram seniku yang pelan-pelan mulai punya pengikut tetap. Tapi hari ini tidak seperti biasanya.

Ada sesuatu di udara semacam getaran asing yang belum sempat kudefinisikan. Bisik-bisik mulai menjalar dari bangku ke bangku, seperti virus yang menyusup lewat celah kata. Beberapa mata mencuri pandang padaku. Yang lainnya menahan tawa. Lalu handphone berbunyi, getarannya seperti menggerus ruang tenang yang biasa kuhidupi.

Aku membukanya. Dan melihatnya.

Sebuah video.

Tampilan reels. Suara distorsi kecil, efek musik murahan yang dibuat dramatis. Seorang perempuan wajahnya tidak ditunjukkan, hanya tangannya yang memegang ponsel menampilkan tangkapan layar sebuah DM. Namaku tidak ada. Tapi profilnya gambar burung origami biru di pojok kanan, caption bio dengan kutipan puisi Sapardi, dan jumlah pengikut yang cocok itu aku.

Pesan itu terbaca:

"Kamu cantik banget waktu duduk di dekat jendela. Gimana kalau kita ngobrol lebih personal?"

"Jangan salah paham ya, aku cuma kagum."

"Kalau nggak suka, tinggal bilang aja. Tapi aku harap kamu mau jawab, meskipun satu kata."

Lalu layar digeser. Balasan dari si pemilik akun tidak ada sunyi. Tapi caption video itu membubuhkan opini:

"Awalnya sopan. Lama-lama mengganggu. Harus sampai kapan kita diam?"

Aku terpaku. Dunia kecilku duniaku yang penuh lukisan, kata-kata, dan ketidakterlihatan mulai terbelah perlahan seperti kaca retak.

Layar ponselku dipenuhi komentar.

@bocah_baik1997

"Cowo2 cupu ternyata predator ya???"

@lalabilu

"Gue ngerasa kenal sama foto profilnya. Mirip akun yang suka komen di post seni gitu..."

@viralkanaja

"DM dia aneh bgt sumpah merinding…"

@detectif_IG

"Nih orang suka gambar burung origami, bio-nya kutipan puisi, dan follow akun2 puisi juga. Fix anak-anak sekolah artsy yang sok kalem."

@truthfinderz

"Ayo viralkan. Jangan kasih ampun."

Aku menggulir ke bawah. Tangan gemetar. Duniaku bukan lagi tentang warna dan kata, tapi tentang teropong digital yang menyasar. Mereka sedang menguliti perlahan, teliti, dan tanpa ampun. Mereka sedang merangkai teka-teki yang tak kuminta. Dan setiap potongan dari hidupku bio Instagram, komentar lama di postingan, bahkan emoji yang pernah kupakai diangkat ke atas meja autopsi.

Aku belum mengatakan apa-apa.

Belum sempat berpikir.

Tapi jari-jari mereka lebih cepat dari hatiku.

@lalasoraya.ig

"Entah kenapa merinding. Kayaknya aku pernah liat komentar dia juga di akunku. Nggak terlalu aneh sih, tapi… vibes-nya itu."

@sadgrl1999

"Yang kayak gini biasanya diem2 nyimpen chat. Satu dua kata bisa bikin trauma. Udah deh, jangan belain, kita ga pernah tau apa yg dirasain korban."

@anonymoodz

"Kalau bukan dia, ya tinggal klarifikasi dong. Gampang kan?"

Kelas menjadi senyap seperti kuburan. Seolah semua sudah menonton video itu, membaca komentar, dan menatapku seperti bukti yang belum dibacakan. Mereka tidak bertanya langsung. Tapi tatapan mereka lebih nyaring daripada suara. Beberapa mencibir diam-diam. Yang lain berpura-pura tidak tahu. Dan Lala dia tidak bicara. Tapi matanya mencari. Aku tidak tahu apakah itu mata bertanya atau menuduh.

Jantungku terasa seperti pecahan kaca yang diinjak diam-diam.

Aku membuka DM Instagram. Tidak ada pesan baru. Tapi notifikasi komentar di akun seniku mengalir cepat.

@chaoticangel: "Kamu pikir DM gitu keren ya?"

@watchingu007: "Ngaku aja bro, malu2in dunia seni sumpah."

@lirik_hati: "Lo tuh bukan orang yang puitis. Lo tuh serigala pake topeng kata-kata."

Aku ingin menjerit. Tapi tak ada kata yang cukup kuat untuk menembus lapisan internet yang sudah memutuskan arah. Semua bergerak begitu cepat. Tanpa konfirmasi. Tanpa ruang untuk bernapas. Semua berdasarkan asumsi. Berdasarkan kesamaan profil. Berdasarkan rasa tidak nyaman.

Aku tahu aku pernah mengirim pesan itu sekali, dua kali, bertahun lalu, saat aku masih bodoh dan mencari cara berbicara tanpa canggung. Tapi aku tidak pernah memaksa. Tidak pernah mengancam. Tidak pernah melanjutkan jika tidak dibalas. Lalu kenapa ini menjadi monster yang merayap ke seluruh hidupku?

@pixelnara (akun seni Nara)

Postingan terakhir: lukisan mata yang separuh terpejam. Caption:

"Kadang, yang melihat terlalu tajam bukan matamu, tapi prasangkamu."

Suka: 38.

Komentar: 141.

Aku tutup ponsel. Tapi dunia tidak bisa kututup. Dunia sudah menyorotiku dari sudut yang tak kukenal.

Dan aku belum bicara sepatah kata pun.

***

Aku mencoba bicara. Tapi tak ada satu pun suara yang mau mendengar. Aku seperti menjerit di dalam air.

Suara itu hanya bergema di dadaku sendiri, berputar-putar, menabrak dinding batin yang rapuh. Hari-hari yang dulu berjalan seperti arloji tua yang tenang, kini bergerak dengan detik yang berduri. Ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan, tapi bisa kurasakan menusuk tajam dan dingin, seperti mata pisau yang menempel di tengkuk.

Kelas kami, yang biasanya ramai oleh suara Lala dan canda para lelaki barisan belakang, tiba-tiba senyap ketika aku masuk. Tidak ada yang menatap, tidak ada yang menyapa. Tapi justru keheningan itulah yang paling lantang.

Bangku kosong di sebelah Lala yang biasanya kugunakan untuk menitipkan pensil warna atau sekadar meminjam koreksi cat air, kini tampak jauh, seperti pulau yang tak bisa kusambangi.

Aku duduk di pojok. Tempatku biasanya. Tapi kali ini bukan karena aku nyaman di sana. Melainkan karena tak ada satu pun tempat lain yang tersisa.

Guru seni, Pak Adi, yang biasa memuji sketsaku dan menanyakan update akun Instagram, kini bahkan tak menyebut namaku saat absen. Aku masih hadir. Masih bernapas. Tapi tak ada satu pun yang bertanya apakah aku benar-benar ada.

Di papan tulis, guratan kapur membentuk garis-garis teori perspektif. Tapi di mataku semua kabur. Seperti hidupku, kehilangan arah pandang. Setiap kali aku mencoba fokus, bayangan video itu datang lagi. Aku bahkan belum sempat melihatnya. Tapi semua orang bertingkah seolah aku pelakunya.

Padahal aku bahkan tidak tahu siapa yang merekamnya, siapa yang menyebarkannya, siapa yang menciptakan narasi di baliknya.

Apakah aku terlihat seperti monster?

Aku ingat betul sore itu. Lala tertawa karena goresan tanganku membuat pipinya di kertas terlihat seperti buah persik. Kami duduk bersebelahan, membandingkan lukisan. Ia tak pernah merasa terganggu. Ia bahkan memintaku menggambar ulang di kertas miliknya.

Tapi kini, setiap kali aku mendekat, ia menarik tubuhnya seperti daun yang tersentak angin dingin.

"Maaf," bisikku. Tapi ia tak menjawab. Hanya berjalan menjauh, menyembunyikan wajah di balik rambut panjangnya.

Aku mengerti rasa takut. Tapi aku tidak mengerti mengapa aku harus menanggungnya.

Di rumah, ibuku mulai gelisah. Tapi belum dengan pertanyaan-pertanyaan besar. Belum dengan amarah. Hanya pertanda kecil yang tak kumengerti dulu, tapi kini kupahami tatapannya lebih panjang, suaranya lebih pelan.

"Kenapa kamu pulang cepat?" tanyanya suatu sore, saat aku memutuskan keluar lebih awal karena tak kuat menanggung tatapan seisi sekolah.

"Guru-guru banyak rapat," jawabku singkat.

Ia mengangguk, lalu meletakkan teh di meja. Tapi tangannya gemetar sedikit. Dan kulihat ia memeriksa ponselnya berkali-kali, seolah menanti kabar yang tak ingin datang.

Aku ingin bilang bahwa semuanya baik-baik saja, tapi suara itu tersangkut di tenggorokan. Karena aku tahu itu bohong.

Yang aneh bukan hanya guru-guru yang berubah jadi patung tanpa wajah, tapi juga tetangga yang biasanya menyapaku saat lewat menuju sekolah.

Bu Sulastri yang selalu memanggilku untuk bantu membawa belanjaan tiba-tiba menutup pintu perlahan saat aku lewat. Pak Lurah yang pernah memuji mural buatanku di tembok gang kini berpaling ke arah lain.

Semuanya diam. Tapi diam mereka seperti peluru.

Aku tak punya kata-kata untuk melawan tuduhan yang tak kuketahui asalnya. Tak ada forum untuk menyuarakan kebenaran. Tak ada ruang untuk berkata: aku bukan seperti itu.

Satu-satunya tempatku bicara hanyalah sketsa. Tapi bahkan aku takut membuka Instagram. Aku takut membaca komentar yang mungkin sudah menghancurkan semua yang kubangun dengan sabar selama dua tahun terakhir.

Akunku @iraw.illus, kini tak lagi terasa seperti rumah. Ia mungkin telah berubah menjadi ruang eksekusi.

Aku duduk di lantai kamar, membuka buku gambar lama. Halaman demi halaman kuputar. Wajah Lala di berbagai ekspresi. Sebagian dengan senyum yang menggantung, sebagian dengan sorot mata lembut. Kini semua tampak seperti hantu.

Kupikir dunia kecilku cukup kuat. Tapi ternyata ia hanya seperti kaca. Indah, rapuh, dan mudah retak.

Suara notifikasi berdenting pelan dari ponselku. Pesan dari nomor tak dikenal.

"Semoga kamu puas, Nara. Karma datang lebih cepat, kan?"

Aku membaca ulang. Jari-jariku dingin.

Apa maksudnya?

Aku tak punya musuh. Tak punya sejarah buruk dengan siapa pun. Satu-satunya konflik yang pernah kualami adalah ketika hasil ujianku dikira dicontek oleh Arman tapi itu sudah lama. Dan Arman bahkan sudah pindah sekolah.

Kupikir, jika aku cukup baik, dunia akan memperlakukanku dengan baik juga. Tapi hari ini aku tahu, dunia tidak menunggu alasan. Ia hanya menunggu momen.

Dan ketika momen itu datang, ia akan membakar semuanya. Tanpa sisa.

Aku mencoba bicara. Tapi tak ada satu pun suara yang mau mendengar. Aku seperti menjerit di dalam air. Nafasku habis sebelum sempat bersuara.

Malamnya aku menggambar bayangan. Hanya bayangan.

Bayangan seorang anak laki-laki berdiri di pinggir kolam, menatap pantulan wajahnya yang pudar di permukaan air.

Garis-garis itu kabur. Seperti aku. Seperti citraku yang tak bisa kupulihkan. Seperti nama yang mulai dihapus dari percakapan.

Esok adalah hari keempat. Dan aku masih belum tahu: Apa sebenarnya yang sedang kuhancurkan?

Atau... siapa yang sedang menghancurkanku?

***

Notifikasi tak pernah berhenti.

Layar ponsel Nara menyala berkali-kali, detik demi detik. Ada yang mengetuk, bukan pintu rumah, tapi pintu pikirannya yang mulai retak.

Ia belum sempat bicara dengan siapa pun. Belum sempat bernapas lega sejak Lala tak membalas pesannya, sejak kelas gaduh, sejak semua terasa berubah. Dan sekarang…

[DM Masuk: 21.17]

@anonblur: “Predator kayak lo gak pantes hidup. Mati aja.”


[DM Masuk: 21.19]

@truth_exposer: “Baru juga jam segini, tapi wajah lo udah di mana-mana. Lo viral bro. Nikmatin.”

[Komentar di unggahan sketsa 3 hari lalu]

artbynara_: “kalau langit bisa bicara, mungkin ia akan menolak cahaya.”

@user9821: “Langit juga jijik liat lo.”

@userXhunt: “Ngaku-ngaku bikin puisi, padahal tukang pegang2 cewek. Dasar psikopat.”

Nara menggulir layar dengan tangan gemetar. Semakin ia baca, semakin tak percaya.

Semua itu

Tumbuh liar dari sesuatu yang belum sempat ia mengerti.

Ia menyentuh ikon DM, mencoba menutup semua, tapi jari-jarinya seperti beku.

[DM Masuk: 21.24]

@deepwebleaks: “Nomor lo udah gue sebar. Enjoy the calls.”

Ia buru-buru mengecek pengaturan profil. Nomor ponsel tak tertaut. Tapi ia tahu dari satu foto saat ia pamer gambar mural di taman kota, latar belakangnya bisa ditelusuri. Dari satu komentar di akun kelas yang menyebut nama lengkapnya, semua bisa dirangkai.

Internet tak butuh waktu.

Internet hanya butuh alasan.

[Telepon Masuk: Nomor Tidak Dikenal] 21.26

Ia diam. Bergetar.

Suara dari seberang: tertawa pelan, seperti napas yang memuakkan.

Klik.

Putus.

Lalu bunyi dering lagi.

[Telepon Masuk: Nomor Tidak Dikenal] 21.27

Klik.

Putus.

Deras. Berulang. Sampai lima kali dalam sepuluh menit.

[DM Masuk: 21.30]

@lala_truevoice: “Banyak yang bilang lo pegang-pegang Lala di kelas. Lo orangnya diem, tapi ternyata iblis ya.”

[Komentar di unggahan sketsa 5 hari lalu]

@slicedmind: “Nara, bikin tutorial cara ngerusak hidup sendiri dong.”

@crycloud: “Bikin akun seni tapi ternyata cuma nutupin sisi gelap.”

@lalafansclub: “Lo beneran udah gila. Mau viral ya, pake nama cewek baik kayak Lala?”

Nara mematikan data. Napasnya sesak.

Ia hanya ingin menggambar. Ia hanya ingin menyukai Lala dalam diam. Ia bahkan tak pernah menyentuh, tak pernah bicara lebih dari tiga kalimat dengannya.

Lalu, siapa yang bilang? Siapa yang mulai?

Mata Nara menatap cermin. Kantung matanya menghitam.

[Pesan WhatsApp: Grup Kelas] 21.37

Darwis: “Eh Nara kayaknya ilang ya?”

Fani: “Lah dia terakhir duduk di pojokan bareng Lala minggu lalu. Pas banget.”

Angga: “Biarin. Udah jelas. Udah lama gue curiga.”

Mita: “Seriusan, kita harus lapor guru kalo dia ganggu temen.”

Ia menutup aplikasi.

Sunyi tak lagi jadi rumah.

Sunyi sekarang memeluk seperti jerat.

Ia ingat pernah menggambar Lala sedang berdiri di bawah pohon, tangannya memegang bunga kamboja. Ia tak pernah unggah itu. Tapi pernah simpan. Pernah tulis puisi kecil di bawahnya:

"Kau tak tahu betapa kau menyelamatkanku setiap hari, hanya dengan diam."

Ia bahkan tak tahu siapa yang menyebar gambar itu ke story fake account yang sekarang dituduh akun pribadi rahasia miliknya.

Tuduhan datang dari arah yang tak terlihat.

Dan ia berdiri sendiri.

[DM Masuk: 21.42]

@justiceforlala: “Kami tahu semuanya. Bukti udah dikumpulin. Tunggu aja. Kami pantau lo.”

[Komentar di unggahan sketsa 7 hari lalu]

@kapalhantu: “Karya lo jadi kotor setelah tau siapa lo.”

@helloyourname: “Gue pernah liat dia natap cewek di koridor. Serem.”

@kebisingan: “Bukan cuma Lala, katanya ada korban lain juga. Tunggu aja. Satu per satu.”

[DM Masuk: 21.47]

@unknowntruth: “Nara... tau gak, cowok kayak lo cuma butuh satu hal: dihancurkan. Biar dunia aman.”

Tangannya meraih headset.

Dipaksa dengar musik. Lagu-lagu ambient yang dulu jadi tempat pulang. Tapi malam ini tak satu pun memberi pelukan. Semua jadi denting yang menyayat.

Ia mencoba mencari tahu.

Menelusuri nama-nama akun yang memulai tuduhan. Tapi sebagian besar akun palsu. Kosong. Tanpa wajah.

Lalu, satu nama mencuri perhatian:

@eyesbehindyou

Postingan pertama:

Foto sepatu sekolah Nara. Dikelilingi kata-kata: "Jejak pelaku dimulai dari sini."

Postingan kedua:

Cuplikan puisi Nara yang dikirim ke akun fans Lala: “Bolehkah aku mencintaimu dalam senyap?”

Caption-nya:

“Kamu pikir ini romantis? Ini menjijikkan.”

Nara gemetar.

Itu bukan dari akun aslinya.

Itu bukan dari dirinya.

Tapi

Teksnya familiar. Ia pernah menulis kalimat itu. Di catatan pribadi, dalam draft yang belum dipublikasikan.

Siapa yang tahu?

Siapa yang menyimpan?

[DM Masuk: 21.59]

@eyesbehindyou: “Kamu kira bisa bersembunyi, Nara? Aku tahu semua tentangmu. Bahkan hal yang tak kau tulis.”

Nara meletakkan ponsel.

Ia ingin kabur dari semua layar. Tapi bahkan dinding kamarnya tak bisa menutup suara dering. Tak bisa menyembunyikan ketukan horor dari internet yang menjelma monster.

Di luar, angin malam bertiup pelan.

Dan di dalam, dunia kecil Nara sedang terbakar. Perlahan. Dalam sunyi yang memekakkan.

***

Pukul dua pagi. Rumah terasa beku.

Telepon rumah tak lagi berdering. Tapi sunyi yang menggantung jauh lebih bising. Suara jangkrik di luar jendela pun terdengar seperti jeritan yang menyayat. Nara duduk di ujung tempat tidurnya. Lampu kamarnya mati sejak sejam lalu, namun layar ponsel masih menyala. Menyilaukan. Menyayat.

Tak ada notifikasi baru. Hanya jejak dari ribuan pesan yang masuk tadi siang, tadi sore, tadi malam. Beberapa masih belum sempat dibaca. Beberapa terlalu kejam untuk diulang.

Suara langkah perlahan mendekat. Pintu kamar terbuka sedikit. Lalu terdengar suara ibunya, pelan, seperti takut kata-katanya akan meruntuhkan segalanya.

“Nara…”

Ia tidak menjawab. Tak berani.

Ibunya masuk. Duduk di lantai, di depan pintu, seperti dulu saat Nara masih kecil dan tidak mau tidur karena mimpi buruk.

"Ada yang telepon... dari sekolah. Juga dari Pak RT," suara itu gemetar. “Katanya… kamu terlibat sesuatu di internet.”

Sunyi.

“Apa benar, Nak?”

Nara menunduk. Matanya basah. Tapi bukan karena rasa bersalah.

“Enggak, Bu.”

Ibu menghela napas. Panjang. Matanya menatap lurus ke lantai, seperti berusaha memahami semesta yang tiba-tiba berubah wujud. Kemudian perlahan, seperti rantai yang patah satu-satu, wajahnya runtuh.

Air matanya jatuh.

Nara menatapnya, untuk pertama kali dalam hidupnya: melihat ibunya menangis. Bukan karena sakit, bukan karena lelah, tapi karena dirinya.

“Kenapa semua orang bilang begitu? Aku gak tahu harus jawab apa ke mereka, ke tetangga, ke kepala sekolah… Aku bingung, Nara…”

“Bu, aku gak ngelakuin apa-apa,” suaranya lirih. “Demi Tuhan.”

“Tapi ada buktinya. Katanya... tangkapan layar. Katanya DM kamu… Aku nggak ngerti...”

“Itu bukan aku. Atau… aku gak tahu dari mana asalnya. Tapi bukan aku, Bu... aku gak pernah kirim DM kayak gitu…”

Ibunya menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Tangisnya pelan, tapi lebih menyakitkan dari teriakan mana pun.

“Kau percaya aku, Bu?” suara Nara nyaris tak terdengar.

Ibunya diam. Dan di dalam diam itu, ada sesuatu yang patah.

“Aku ingin… Tapi dunia terlalu keras untuk itu, Nak.”

Nara menelan perih yang rasanya menyesakkan di dada. Ia berdiri pelan. Menyambar jaket. Menaruh ponsel di saku. Tidak bilang ke mana akan pergi. Hanya berkata,

“Aku butuh udara, Bu.”

Ibunya tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan, seolah tubuhnya lelah bahkan untuk menolak.

Langkah Nara berat menuruni anak tangga. Dunia di luar seperti lembar kertas yang basah luruh, rapuh, dan tak bisa ditulisi ulang.

Ia berjalan menembus dini hari. Jalanan kosong. Lampu jalan kuning temaram. Angin dingin menampar pelan wajahnya, seperti sedang menyadarkannya bahwa ia masih hidup. Masih ada. Tapi entah untuk siapa.

Langkahnya membawanya ke taman kecil dekat sekolah. Bangku kayu tua yang biasa sepi kini terasa seperti satu-satunya tempat yang mengerti.

Ia duduk.

Menengadah.

Langit tidak hitam. Ada sisa biru yang digerus pagi.

Ia membuka ponsel. Notifikasi tetap masuk. Komentar baru:

“Masih hidup aja? Malu bgt sih.”

“Gue liat ibu lo di warung, kasihan banget mukanya pucet. Pantes anaknya predator.”

“Nara... cowok pengecut. Gak bakal bisa balik sekolah lagi deh.”

Ia mematikan notifikasi. Semua.

Napasnya pendek. Tidak ada yang memegang tangannya. Tidak ada yang berkata, “Aku percaya kamu.” Bahkan ibunya pun… ragu. Dunia telah mengadili sebelum ia bicara.

“Aku mencoba bicara,” gumamnya lirih, pada angin, pada langit, pada bangku tua.

“Tapi tak ada satu pun suara yang mau mendengar. Aku seperti menjerit di dalam air.”

Ia mendongak. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Dunia memeluknya dengan dingin, dan sepi itu tak memberi ruang.

Namun ia tetap duduk.

Tetap hidup.

Untuk saat ini.

***

Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 22.47 saat Nara masih duduk di halte kecil yang remang, tak jauh dari taman yang sepi. Malam seperti menutup dunia dengan sunyi yang lembap. Kepalanya menunduk, bahunya kaku, dan napasnya mulai tak teratur. Bukan karena dingin, tapi karena sesuatu di dalam dirinya mulai mengeras: kegelisahan yang berubah jadi dorongan. Ia butuh tahu. Butuh alasan untuk semua luka ini.

Sejak duduk di bangku semen taman tadi sore, ia mulai menyisir semua jejak digital. Komentar-komentar terus bermunculan seperti jeritan dalam kabut.

"Serius, nih anak bisa sejahat itu? Gak nyangka." "Dulu temen gue pernah digituin juga. Tapi gak ada yang percaya." "Kalau lo kenal dia dari zaman SMP, pasti ngerti kenapa dia pantas dapet ini."

Kalimat terakhir itu membuat jarinya berhenti mengetik. Zaman SMP?

Nara membuka satu-satu akun anonim yang seolah tahu terlalu banyak. Salah satu di antaranya punya nama mencurigakan: @kenanganLama13. Akun itu aktif, membalas komentar satu per satu, melempar narasi, dan menyiramkan bensin ke kobaran rumor.

Lalu ia membuka DM isi dari akun itu seperti ditulis oleh seseorang yang sangat mengenalnya.

"Karma gak harus datang cepat. Yang penting datang." "Muka lo buram di video, tapi gue pastiin semua bakal tahu siapa lo sebenarnya." "Masih ingat kelas 1C?"

Deg.

Nara menahan napas. Kelas 1C.

Seketika, sebuah memori lama meletup dari sudut gelap ingatannya.

SMP, kelas 1C.

Pelajaran Matematika. Guru mereka saat itu memberi kuis dadakan. Nara duduk di barisan tengah, sedang si anak kurus di bangku belakang Indra terlihat gelisah.

Indra, anak yang jarang berbicara. Selalu sendiri, selalu pendiam. Saat itu, Nara melihatnya mengintip buku catatan di bawah meja. Naluri anak remaja yang ingin terlihat benar membuat Nara reflek mengangkat tangan.

"Bu, Indra nyontek..."

Kalimat itu seperti tembakan. Satu kalimat yang menyudahi ketenangan seseorang.

Seketika ruang kelas diam. Guru menegur. Teman-teman lain menoleh, menahan senyum atau menatap sinis. Indra tak berkata apa-apa, hanya menunduk, lalu perlahan menyimpan bukunya.

Setelah itu, Nara lupa. Lupa pernah melukai seseorang dengan satu kalimat. Tapi luka itu, rupanya, tak pernah lupa padanya.

Malam itu, Nara kembali menyusuri akun itu. Di bio tertulis:

“Aku tak pernah benar di matamu. Tapi kali ini, lihat siapa yang percaya padaku.”

Ia mengklik ‘about’ dan terpaku pada foto kecil yang terlampir di sana. Meski sudah dimanipulasi, namun ada satu detail yang tak berubah: topi merah yang dulu selalu dipakai Indra setiap jam olahraga.

Tangan Nara bergetar. Ia menutup mata, berusaha menenangkan diri, tapi justru tenggelam lebih dalam.

“Semua ini karena ejekan di kelas 1 dulu? Karena aku bilang kamu nyontek?”

Tak ada jawaban langsung. Tapi notifikasi masuk dari akun itu kembali muncul.

"Bukan cuma karena itu. Tapi karena kamu membuat semua orang menjauhiku. Seolah aku penyakit." "Kamu lupa, tapi aku mengingat setiap tawa kecil setelah kejadian itu. Tawa yang menghancurkan aku sedikit demi sedikit." "Aku tahu kamu gak bermaksud jahat, Ra. Tapi dunia gak peduli niat. Mereka cuma lihat hasil."

Nara menggigit bibir bawahnya. Tangannya tak mampu menulis balasan.

Ia terdiam cukup lama. Memandangi taman yang sunyi. Angin meniup pelan dedaunan jatuh. Rasanya seperti dirinya: satu per satu tercerabut dari tempatnya.

Ponselnya kembali bergetar.

“Lo yang mulai, tapi gue yang harus hidup dengan luka. Sekarang biar lo ngerasain.”

Nara tak tahu harus membalas apa. Ia mengusap wajahnya, lalu menunduk.

"Aku gak tahu... aku bisa jadi setega itu..."

Di saat semua orang hanya ingin membakar, Indra memilih merancang pembalasan yang senyap dan panjang. Satu kesalahan kecil yang tumbuh dalam diam, mengeras jadi dendam, lalu meledak jadi badai yang menghapus identitas seseorang.

Langit malam seperti turun ke bumi. Nara berjalan perlahan, langkahnya tak punya tujuan. Tapi hatinya seperti diikat oleh satu nama: Indra.

Sesampainya di jembatan pejalan kaki, ia menatap jauh ke bawah. Jalanan sepi. Lampu jalan menyinari tubuhnya dengan terang kuning pucat.

Ia ingin meneriakkan semua ini ke langit. Ingin menanyakan kenapa sebuah kesalahan kecil bisa tumbuh sebesar ini. Tapi ia sadar dunia tak memberi kesempatan untuk pertanyaan. Hanya memberikan akibat.

Dan yang paling menyakitkan adalah: ia memang bersalah, tapi tak pernah tahu kapan menjadi monster.

***

Aku memutus semuanya.

Tidak ada lagi suara notifikasi. Tidak ada lagi dunia yang berdenyut dari layar kecil yang dulu kubawa ke mana-mana seperti denyut nadi. Tidak ada lagi Instagram, tidak ada WhatsApp, tidak ada email. Tidak ada siapa pun yang bisa mencariku dan aku juga tidak ingin ditemukan.

Sejak pagi itu, setelah menatap mata Ibu yang tak lagi bisa menahan tangis, aku tahu: aku harus hilang. Bukan karena aku bersalah, tapi karena dunia sudah memutuskan bahwa aku tidak layak untuk dibela. Di mata mereka, aku adalah pecahan kaca yang tak bisa disatukan lagi.

Dan kini, aku duduk di sebuah tempat yang jauh dari bising kota. Di antara suara dedaunan yang tidak pernah menghakimi. Angin yang tidak pernah menyebarkan rumor. Langit yang tidak memfiltrasi wajahku.

Aku menulis ini bukan untuk dikirim, bukan pula untuk dimengerti. Hanya ingin ada satu ruang yang bisa menampung suaraku tanpa dibungkam, tanpa ditertawakan, tanpa dicemooh karena terlambat menjelaskan sesuatu yang tidak sempat kupertahankan.

Ibu…


Kalau Ibu membaca ini suatu hari nanti, aku ingin Ibu tahu… aku tidak pernah pergi. Aku hanya mundur, hanya mengambil jeda dari dunia yang terlalu keras bahkan untuk sekadar bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi?”

Aku masih ingat mata Ibu yang gemetar. Masih terngiang suara Ibu malam itu:

"Kau percaya aku, Bu?"

Dan jawaban Ibu yang membuat dadaku luruh:

"Aku ingin… Tapi dunia terlalu keras untuk itu, Nak."

Kalimat itu menghantamku lebih dari ribuan komentar yang masuk. Lebih tajam dari teror yang membanjiri DM-ku. Karena kalimat itu datang dari satu-satunya tempat yang selama ini kupikir akan selalu menjadi pelindung terakhirku.

Tapi aku tidak marah, Bu.

Tidak bisa.

Ibu hanya manusia, dan aku tahu betapa menakutkannya badai yang menerpa kita berdua.

Mungkin kalau aku jadi Ibu, aku juga akan goyah.

Pada akhirnya, bukan rasa malu yang membunuhku perlahan. Tapi sunyi. Sunyi karena tak ada satu pun yang ingin tahu versi ceritaku.

Tidak ada tempat untuk bertahan.

Tidak ada keinginan untuk menjelaskan lagi.

Aku tahu siapa yang menyebarkannya. Indra. Teman sekelas yang dulu duduk dua baris di belakangku.

Dendam yang ia simpan begitu lama hanya karena aku memergokinya mencontek saat kelas satu.

Satu kalimatku:

"Jangan nyontek, nanti aku bilangin."

Dan dia tertawa malu. Yang lain ikut menertawakan.

Dan sejak itu, aku hilang dari ingatannya. Atau kupikir begitu.

Ternyata, aku tak pernah benar-benar hilang darinya. Aku hidup dalam dendamnya. Dalam ingatan tentang rasa malu yang dikuburnya dalam, lalu meledak jadi amarah.

Amarah yang tumpah dalam bentuk video yang diunggah diam-diam.

Dan dunia menyambutnya dengan tawa dan umpatan, seperti pesta besar di atas reruntuhan hidupku.



Kepada dunia…


Terima kasih karena telah mengajariku bahwa kebenaran tak ada gunanya bila disuarakan terlalu lambat.

Bahwa reputasi bisa diruntuhkan hanya dengan editan sepuluh detik dan caption yang dipenuhi kebohongan.

Bahwa tidak semua orang peduli apakah aku benar atau salah. Yang penting: aku viral.

Aku mencoba menjelaskan,

Tapi tidak ada yang mendengar.

Aku seperti menjerit di dalam air.

Suara-suara yang kulepaskan hanya membentur permukaan, lalu tenggelam.

Mereka tidak ingin klarifikasi mereka ingin tontonan.

Dan aku diberi panggung untuk mati pelan-pelan, tanpa naskah pembelaan.


Kepada diriku sendiri…


Aku tahu kamu lelah.

Dan aku minta maaf karena membiarkanmu bertahan begitu lama dalam kesendirian yang brutal.

Tapi kamu bertahan.

Kamu tetap hidup.

Kamu tidak meledakkan amarahmu kepada siapa pun.

Kamu tidak membalas kebencian dengan kebencian.

Dan itu, bagiku, adalah bentuk paling utuh dari keberanian.

Mungkin dunia tidak akan tahu kamu bukan pelaku.

Tapi kamu tahu.

Ibu dalam hatinya yang terdalam juga tahu.

Dan suatu hari, mungkin cerita ini akan menemukan telinga yang tidak membelokkan maknanya.

Entah kapan.

Kini aku hidup dalam hening.

Aku tidur tanpa suara getar.

Bangun tanpa perlu memikirkan siapa yang akan mencaci hari ini.

Aku mulai membaca buku lagi, menulis puisi, dan menatap langit malam tanpa rasa takut.

Aku belum sepenuhnya sembuh.

Tapi aku bernapas.

Dan jika suatu saat aku kembali,

bukan untuk membersihkan nama,

melainkan untuk memberi ruang pada yang lain yang mungkin sedang dihancurkan seperti aku dulu.

Karena di dunia ini, satu sentuhan jari bisa jadi senjata.

Dan aku adalah korban dari

ketikan yang tidak pernah dimaksudkan untuk benar.

Selamat tinggal, dari seseorang yang memilih diam, agar luka-luka bisa belajar bernapas lagi.


Nara


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)