Masukan nama pengguna
Aku benci jam dinding di ruang tamu.
Bunyi detiknya terlalu keras, seolah memamerkan bahwa waktu tetap berjalan walau aku tak pernah ikut di dalamnya. Di rumah ini, sunyi tak pernah benar-benar sunyi. Selalu ada suara samar, piring dibanting, pintu dibanting, atau kata-kata yang menusuk dan tak pernah bisa ditarik kembali. Kadang teriakan. Kadang hanya desisan marah yang lebih menyeramkan daripada teriakan itu sendiri.
Namaku Diana. Aku tinggal di rumah yang penuh luka tak terlihat. Dan aku belajar diam sejak kecil. Bukan karena aku pendiam, tapi karena suara-suara mereka terlalu mendominasi. Di rumah ini, yang berbicara paling keras dianggap paling benar. Dan aku? Aku bahkan tak pernah mendapat giliran bicara.
Setiap malam, aku mengunci pintu kamarku, bukan karena takut ada pencuri, tapi karena aku takut mendengar mereka lagi. Ayah dan ibu selalu bertengkar. Selalu. Entah tentang uang, tentang siapa yang lebih lelah, tentang siapa yang lebih tidak peduli. Seakan cinta di rumah ini sudah lama dimakamkan dan mereka hanya bertahan karena sesuatu yang entah apa mungkin aku.
Mereka pikir aku tidak dengar. Mereka pikir pintu kamar bisa jadi batas. Tapi dinding-dinding ini terlalu tipis untuk menyimpan rahasia. Kadang aku menyumpal telinga dengan bantal. Kadang aku berdoa, berharap listrik padam agar mereka berhenti bicara. Tapi suara mereka seperti luka yang tumbuh akar. Masuk ke kepala, lalu bersarang di dada.
Aku pernah mencoba menulis tentang mereka. Tapi setiap kalimat terasa tidak cukup. Bagaimana mungkin aku menjelaskan rasanya tinggal di rumah tapi tak pernah merasa pulang?
Di sekolah, aku seperti anak biasa. Rambut rapi, senyum kecil, nilai cukup baik. Tapi tidak ada yang tahu aku sering gemetar saat mendengar suara pintu dibanting. Tidak ada yang tahu aku takut menerima telepon, takut itu kabar bahwa salah satu dari mereka... akhirnya kehilangan kendali.
Dan aku... aku hanya diam. Karena sejak kecil aku tahu: jika aku ikut bicara, aku akan disalahkan. Dan aku terlalu lelah untuk menyalahkan diriku sendiri lagi.
Kadang aku berpikir, bagaimana rasanya hidup di rumah yang tenang? Yang punya aroma kue di dapur, bukan bau asap rokok dan parfum murahan yang menempel di dinding. Yang penuh pelukan, bukan teriakan. Yang punya suara tawa, bukan suara barang pecah.
Aku tidak tahu. Yang aku tahu, di rumah ini, sunyi pun bisa bersuara. Dan aku tumbuh di antara suara-suara yang seharusnya tidak didengar oleh anak-anak.
***
Kadang aku merasa aneh dengan tubuhku sendiri.
Aku bisa duduk diam di kelas, mendengarkan guru menjelaskan, tapi jantungku berdegup seakan sedang dikejar sesuatu. Tanganku berkeringat. Nafasku berat, seperti ada beban tak terlihat menekan dadaku. Tidak ada alasan. Tidak ada bahaya. Tapi tubuhku bereaksi seperti hendak kabur dari sesuatu yang sangat menakutkan.
Aku takut tanpa sebab.
Dan rasa takut itu tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpura-pura tidur, lalu bangun tiba-tiba di tengah malam, menyergapku di kasur, membangunkanku dengan napas tak teratur dan pikiran yang berisik. Otakku seperti radio rusak memutar ulang adegan demi adegan dari rumah, dari hidup, dari hal-hal yang bahkan tidak penting, lalu menyalahkanku untuk semuanya.
“Kalau aku tidak dilahirkan, mungkin mereka akan bahagia.”
Pikiran itu seperti tamu yang terlalu sering datang, bahkan tanpa diundang. Ia duduk di sudut pikiranku, mengamati, menghakimi, dan pelan-pelan mencuri sisa-sisa harapanku yang belum habis.
Kadang aku hanya ingin tidur. Lama. Karena, tidur adalah satu-satunya waktu ketika aku tak merasa bersalah menjadi diriku sendiri. Tapi bahkan tidur pun kini sulit. Setiap malam aku berbaring sambil memutar skenario: apa yang akan terjadi jika mereka cerai? Apa yang akan terjadi jika mereka tetap bersama dan saling menyiksa seperti ini selamanya? Apa yang akan terjadi kalau aku tiba-tiba hilang?
Aku tidak berani cerita pada siapa pun.
Karena bagaimana cara menjelaskan rasa takut yang tidak punya bentuk? Bagaimana aku bisa bilang, “Aku panik tanpa tahu kenapa,” lalu orang lain tidak menatapku aneh? Di rumah, aku bukan prioritas. Di luar, aku hanya gadis pendiam yang katanya “terlalu sensitif.”
Mereka bilang aku harus lebih kuat. Tapi kuat itu bukan pilihan ketika kau bahkan kesulitan untuk bangun dari tempat tidur.
Aku tidak lemah. Aku hanya lelah. Ada perbedaan di situ, tapi tak semua orang bisa melihatnya.
Aku pernah menulis di buku harian: “Andai aku punya satu tempat di dunia ini yang bisa membuatku merasa aman, mungkin aku akan sembuh. Tapi jika tidak ada tempat seperti itu… apakah aku akan begini selamanya?”
Dan pertanyaan itu belum juga mendapat jawaban.
***
Hujan selalu datang tanpa permisi.
Tapi aku tidak pernah marah. Hujan, dengan segala kesedihannya, adalah teman terbaik yang pernah aku miliki. Tidak seperti mereka, yang selalu berteriak dan tak pernah mendengarkan, hujan justru menawarkan ketenangan dalam diamnya.
Setiap kali hujan turun, aku pergi.
Bukan pergi ke mana-mana, hanya berjalan ke luar rumah, menatap langit yang gelap, dan meresapi tetes-tetes air yang jatuh di kulitku. Hujan tidak bertanya. Tidak menuntut. Hujan hanya ada, mendinginkan tubuh dan meresap ke dalam jiwaku yang terbakar.
Di bawah hujan, aku merasa sedikit hidup. Mungkin karena hujan menyapu perasaan-perasaan itu perasaan cemas, takut, bahkan marah yang terkumpul dari rumah yang penuh dengan keributan. Hujan tidak peduli dengan apa yang terjadi di rumahku. Hujan tidak peduli dengan semua kata-kata pedas yang terucap di setiap perkelahian mereka. Hujan hanya ada, memberi ruang untuk aku berpikir tanpa takut dihakimi.
Aku tidak pernah membawa payung. Aku ingin merasakan setiap tetes hujan yang membasahi tubuhku. Ada rasa bebas di sana, meskipun hanya sementara. Aku bisa merasakan setiap tetesan itu menyentuh wajahku, dan untuk beberapa detik, aku lupa bahwa aku sedang hidup di rumah yang penuh dengan kebisingan. Aku hanya... ada.
Aku juga mulai menulis saat hujan.
Buku harian itu menjadi satu-satunya pelarian yang bisa kutemukan. Surat-surat yang tak pernah dikirim, yang hanya tertinggal di lembaran kosong surat untuk ibu, untuk ayah, bahkan untuk diriku sendiri. Semua kata yang aku rasa terlalu berat untuk diucapkan. Semua perasaan yang aku pendam agar tidak meledak. Semua harapan yang aku rasa tidak layak untuk diteruskan.
"Tuhan, kenapa aku dilahirkan di tengah pertempuran ini? Mengapa mereka tidak bisa bahagia bersama? Aku hanya ingin satu malam, satu malam saja tanpa teriakan dan tanpa rasa takut."
Aku sering menulis surat-surat ini sambil menatap hujan yang terus turun. Entah apa yang aku harapkan. Mungkin, suatu hari nanti, surat-surat ini akan sampai ke tempat yang tepat. Mungkin mereka akan dibaca oleh orang-orang yang tahu rasa sakit ini, yang mengerti apa rasanya hidup tanpa merasa ada yang mengerti.
Namun, aku juga tahu kenyataan. Surat-surat ini takkan pernah sampai. Hujan adalah pelarian sementara. Seperti hidupku.
Aku kembali ke kamar, menutup tirai jendela, dan mendengarkan suara hujan yang semakin deras. Suara yang menenangkan, meskipun di dalam hatiku masih ada rasa yang menggelora, yang tak bisa dijelaskan. Rasa takut yang datang tanpa sebab. Tapi hujan selalu memberi ruang untuk itu, untuk merasa sejenak tidak takut, tidak sendirian.
***
Malam selalu datang lebih cepat jika siangnya penuh luka.
Langit berganti gelap, dan dengan itu, semuanya terasa membeku. Bukan karena suhu. Tapi karena aku tak tahu harus berharap pada apa lagi. Hujan sudah reda. Tangisanku juga. Tapi keheningan setelahnya justru lebih menakutkan.
Aku berbaring di kasur, menatap langit-langit.
Di luar kamar, suara piring pecah terdengar seperti ledakan. Suara ibu memaki ayah, suara ayah meninju dinding, semua menyatu seperti pertunjukan yang tak pernah selesai. Tapi aku sudah tak terkejut. Sudah tak melompat dari tempat tidur seperti dulu. Sudah tak menutup telinga dengan bantal. Sekarang aku hanya diam.
Karena tidak ada yang berubah.
Aku menatap langit-langit kamar yang penuh bercak air dan retak seperti hatiku. Aku sudah terlalu lelah berharap bahwa besok akan lebih baik. Besok hanya akan menjadi salinan dari hari ini penuh teriakan, ketakutan, dan rasa ingin menghilang. Aku menulis lagi malam itu, tapi tidak di buku harian. Kali ini aku menulis di selembar kertas putih yang bersih.
Ayah, Ibu, aku pernah mencoba menjadi kuat. Tapi mungkin, ini bukan tentang kuat atau tidak. Mungkin, aku hanya terlalu rapuh untuk dunia kalian. Kalian saling menyakiti, dan tanpa sadar menyayatku juga. Aku pernah berpikir bahwa jika aku cukup baik, cukup diam, cukup tidak menyusahkan… kalian akan berhenti bertengkar. Tapi ternyata, bukan aku masalahnya. Mungkin memang bukan aku jawabannya.
Tanganku gemetar saat menulis. Tapi rasanya benar.
Surat itu bukan sekadar curahan, tapi semacam pengakuan: bahwa aku lelah. Bahwa aku sudah terlalu lama bertahan sendirian di medan perang yang bahkan bukan aku yang ciptakan.
Aku meletakkan surat itu di meja belajarku, lipat rapi, dan tulis di atasnya:
"Untuk Ayah dan Ibu. Bacalah ketika aku tak lagi bisa bicara."
Lalu aku berdiri di depan kaca, memandangi diriku sendiri.
Wajah yang pucat. Mata yang cekung. Senyum yang dipaksakan setiap hari di sekolah. Betapa lama aku menyembunyikan ini semua di balik kata "baik-baik saja." Tapi malam ini, aku tak ingin pura-pura lagi.
Aku membuka jendela. Malam terlalu sunyi, dan angin terlalu dingin. Tapi ada ketenangan aneh dalam dingin itu. Seolah dunia sedang mengantarku pergi.
“Maaf,” bisikku ke bayanganku sendiri.
“Aku sudah berusaha.”
Langkah terakhir itu tidak aku catat di mana pun. Tapi semuanya sudah cukup tertulis dalam hidup yang tak pernah benar-benar aku pilih.
***
Pagi itu matahari muncul malu-malu, seperti tahu bahwa ini bukan hari yang biasa.
Diana membuka matanya perlahan, seperti seseorang yang baru saja memutuskan sesuatu setelah sekian lama berdamai dengan luka. Tidak ada kecemasan yang biasa menyerang dadanya. Tidak ada ketakutan yang memburu pikirannya. Justru sebaliknya.ia merasa tenang.
Terlalu tenang.
Ia bangkit, membuka jendela, dan membiarkan cahaya masuk ke kamar yang biasanya suram. Tangannya merapikan selimut, melipat baju-baju yang selama ini hanya tertumpuk di sudut ruangan. Ia bahkan menyapu lantai dan menyusun kembali buku-bukunya yang berserakan.
Semua terlihat rapi. Terlalu rapi.
Tidak ada teriakan dari luar kamar. Mungkin ayah dan ibu masih tidur, atau mungkin kehabisan tenaga untuk saling menyakiti. Diana tidak mencarinya. Ia tahu, tak ada yang berubah. Hanya dirinya yang sudah berhenti berharap.
Ia mandi, mengganti pakaian, lalu menatap dirinya di cermin. Kali ini tidak ada air mata. Wajahnya bersih, netral. Seperti langit yang tak mendung tapi juga tak cerah. Datar.
Siang itu ia keluar rumah sebentar. Hanya berjalan tanpa arah, menyusuri jalan yang sering ia lalui ketika melarikan diri dari rumah. Taman kecil di ujung gang, toko buku tua yang pernah ia singgahi, jembatan kecil tempat ia dulu menulis puisi. Semua itu ia lewati pelan-pelan, seperti menyapa kenangan.
Tak ada tangisan, tak ada penyesalan.
Yang tersisa hanyalah semacam rasa pamit yang tak terucap.
Menjelang sore, ia kembali ke rumah. Lagi-lagi rumah itu sunyi. Tidak ada obrolan, tidak ada sapaan. Seolah semua bagian dari rumah itu terbiasa diam, bahkan saat seseorang pulang membawa kepergian.
Di kamar, Diana menyalakan lampu meja. Ia mengeluarkan surat yang sudah dilipat rapi. Diletakkannya surat itu di atas meja belajarnya, sejajar dengan kotak musik kecil yang dulu diberikan ibunya sewaktu ulang tahun ke-9 satu-satunya hadiah yang masih ia simpan.
Ia menyusunnya dengan hati-hati, memastikan semuanya terlihat seperti pesan terakhir dari seseorang yang tidak ingin menyalahkan siapa pun, hanya ingin dimengerti… walau terlambat.
Malam pun datang.
Tak ada suara dari luar kamar. Tak ada pintu dibanting, tak ada piring dilempar. Rumah itu benar-benar sunyi. Untuk pertama kalinya, Diana merasa dunia betul-betul berhenti.
Ia mematikan lampu, lalu duduk di tepi ranjang.
Sunyi adalah pelukan terakhir yang ia punya.
Dan dunia pun kembali gelap, tanpa perlawanan.
***
Ayah. Ibu.
Maaf karena aku memilih pergi dengan cara seperti ini.
Maaf karena aku tidak cukup kuat untuk terus bertahan.
Maaf jika surat ini terasa tiba-tiba, tapi sejujurnya, ini adalah hal yang paling lama aku siapkan dalam hidupku.
Aku tidak menulis ini untuk membuat kalian merasa bersalah. Aku menulis karena aku ingin akhirnya bisa bicara… tanpa takut disela, tanpa takut dianggap terlalu sensitif, atau hanya mencari perhatian.
Sejak kecil, aku tumbuh dengan suara keras kalian. Suara yang saling membanting kata, saling melukai tanpa peduli siapa yang mendengarnya.
Aku mendengarnya.
Setiap hari. Setiap malam.
Dan lama-lama, suara kalian tumbuh menjadi suara dalam kepalaku yang terus berbisik bahwa dunia ini tidak aman, bahwa rumah bukan tempat untuk kembali.
Aku tahu kalian juga terluka. Mungkin lebih dulu dari aku. Tapi kalian saling melukai dan lupa bahwa aku ada di tengahnya. Kalian saling menjauh, saling membenci, dan lupa bahwa aku belajar mencintai dari kalian.
Ada hari-hari di mana aku bangun dengan jantung berdetak terlalu cepat tanpa sebab. Ada hari-hari di mana aku tak bisa keluar dari tempat tidur karena napasku terasa seperti dicuri oleh kecemasan yang bahkan tak punya wajah.
Tapi aku tetap hidup. Diam-diam. Menyembunyikan semuanya agar kalian tidak semakin kecewa.
Aku lelah.
Bukan karena tak ingin hidup, tapi karena tak tahu bagaimana caranya hidup dengan luka yang tak sembuh-sembuh.
Aku pernah berharap kalian akan bertanya bukan hanya “kamu kenapa?”, tapi benar-benar ingin tahu, dan siap mendengar tanpa menghakimi. Tapi pertanyaan itu tak pernah datang. Yang datang hanya suara-suara kalian sendiri. Kalian lebih sibuk membuktikan siapa yang lebih benar, dan lupa melihat siapa yang paling diam.
Dan aku… adalah yang paling diam itu.
Hari ini, aku membereskan kamarku. Aku ingin kalian melihat bahwa aku mencoba meninggalkan sedikit ketenangan. Karena selama hidup, aku tidak pernah punya itu.
Tolong jangan berteriak hari ini.
Tolong jangan saling menyalahkan.
Tolong baca surat ini sampai selesai.
Aku tidak ingin dikenang sebagai anak yang menyerah. Aku hanya ingin dikenang sebagai seseorang yang terlalu lama mencoba kuat tanpa tempat bersandar.
Dan jika suatu saat kalian bertanya, “apa yang bisa kami lakukan agar Diana tidak pergi seperti ini?”,
jawabannya sederhana: dengarkanlah.
Bukan hanya dengan telinga. Tapi dengan hati.
Dengarkan satu sama lain, dan dengarkan anak-anak kalian sebelum mereka memilih sunyi sebagai satu-satunya tempat yang aman.
Selamat tinggal, dan semoga setelah ini, rumah kita benar-benar bisa menjadi rumah.
Bukan buatku,tapi mungkin… untuk kalian sendiri.
Diana