Masukan nama pengguna
Lisa membuka mata saat sinar matahari menembus tirai ungu kamarnya, menari di dinding yang dipenuhi poster-poster band indie kesukaannya. Satu poster yang paling besar, dengan gambar vokalis favoritnya tengah melompat di udara, menggantung persis di atas meja belajar yang penuh catatan warna-warni dan bingkai foto kecil keluarga.
"Lisa, ayo turun! Sarapan!" suara lembut ibunya terdengar dari lantai bawah, diiringi aroma telur dadar dan roti panggang yang menguar dari celah pintu.
Lisa mengusap wajahnya perlahan, lalu bangkit dan duduk di tepi ranjang. Sekilas ia menatap cermin. Rambutnya masih berantakan, tapi matanya bersinar tenang, seolah dunia tak pernah menyakitinya. Ia berdiri, mengenakan hoodie abu-abu yang sudah mulai pudar warnanya, lalu melangkah keluar kamar.
Di meja makan, pemandangan itu seperti lukisan kebahagiaan yang tak disentuh waktu. Ayahnya duduk sambil membaca koran, ibunya menuangkan teh hangat ke cangkir, dan adiknya Rio duduk menyuap nasi dengan lahap, sesekali menggoda Lisa dengan mulut penuh. Gelak tawa mereka mengisi ruang, mengalir ringan seperti pagi yang terlalu damai untuk dilukai.
Lisa duduk di tempat biasa. Ibunya menyodorkan piring, dan ayahnya, tanpa mengalihkan pandangan dari koran, berkata, "Ranking satu lagi bulan ini, ya? Hebat."
Lisa tersenyum kecil. "Biasa aja, Yah. Belum tentu bulan depan juga."
"Ah, merendah terus, padahal nilaimu susah ditandingi," timpal ibunya, lalu mengelus rambutnya sekilas.
Rio nyengir, "Tapi tetap aja, Kak Lisa enggak bisa ngalahin aku main Mobile Legend."
"Karena aku enggak main game, bego."
"Bahasa!" seru ibu mereka, lalu semua tertawa lagi.
Lisa mencuri pandang ke dinding di seberang meja makan. Di sana tergantung jam kayu bulat yang sudah bertahun-tahun menemani keluarga itu. Jarum panjang dan pendeknya berhenti di satu titik. 07.15.
Ia mengerutkan dahi. "Jam itu rusak lagi, ya?"
Ibu menoleh sekilas. "Oh? Mungkin baterainya habis. Nanti Mama ganti."
Lisa mengangguk pelan, lalu kembali menikmati makanannya.
Di luar rumah, suara burung dan langkah sepatu anak-anak sekolah terdengar samar. Tak ada tanda-tanda badai. Tak ada keretakan. Di dalam diri Lisa, sebuah bagian kecil dari dirinya menyadari bahwa pagi ini, berbeda dengan pagi lainnya... Yang sempurna.
***
Pagi itu, langit Sidareja dilukis lembut oleh warna jingga yang malas-malas menyapu horizon. Lisa turun dari angkot, rambutnya terurai dengan rapi, dan seragam putih abu-abunya masih tampak licin meski langkahnya terburu-buru. Di gerbang SMA Negeri 1 Sidareja, seorang satpam menyapanya dengan senyum yang terlalu ramah.
“Pagi, Lisa! Jangan sampai telat, ya.”
Ia hanya mengangguk sopan, seperti biasa. Semuanya terasa... biasa. Jalur ke kelasnya sudah ia hafal luar kepala. Setiap ubin, setiap pohon, bahkan setiap wajah yang ia lewati semuanya familiar.
SMA ini seperti dunia kecil yang sudah ia kuasai. Dan ia, tentu saja, berada di puncaknya.
Di ruang kelas, suara obrolan teman-temannya menjadi latar pelengkap yang akrab. Lisa melangkah ke bangkunya di barisan tengah, dikelilingi wajah-wajah ceria yang tak pernah berubah posisi. Beberapa menyapanya. Beberapa meminjam penggaris. Semua terasa serba rutin dan nyaman.
Rafi datang tak lama kemudian. Ia mengenakan jaket biru langit seperti biasanya. Lisa menoleh dan tersenyum.
“Telat sedikit ya?” sapanya.
“Cuma lima menit,” jawab Rafi, menarik bangkunya dan duduk di sebelahnya. Ia membuka buku pelajaran seperti tanpa perlu berpikir. Gerakannya halus. Wajahnya tenang.
Lisa tidak memikirkan apapun soal jaketnya. Atau tentang teman-temannya yang menyapa dengan nada yang selalu sama. Semua ini hanyalah bagian dari hari-hari yang berjalan lancar dan sesuai tempatnya.
Pelajaran Matematika dimulai. Lisa mengangkat tangan paling pertama saat soal dilemparkan. Ia menjawab cepat, tepat, dan mendapat pujian dari Pak Darman seperti biasanya.
“Ibu bapak harus bangga punya anak seperti kamu, Lis,” ucap sang guru diiringi tawa seisi kelas.
Lisa tersenyum sopan. Tapi dalam hatinya, pujian itu tak lagi menggugah rasa. Ia tidak tahu kenapa. Mungkin karena ia sudah terbiasa.
Saat istirahat, ia dan Rafi berjalan menuju kantin. Di sepanjang lorong, murid-murid lain menepi memberi jalan. Beberapa melambai, beberapa mengangguk. Lisa menyapa balik secukupnya. Ia menikmati semua itu, meski tak sepenuhnya tahu sejak kapan segalanya berjalan begitu sempurna.
Kantin sore itu ramai seperti biasa. Menu yang mereka pesan pun tak berubah: bakso untuk Lisa, nasi goreng untuk Rafi.
“Kamu kayak nggak pernah bosen makan itu,” celetuk Lisa.
“Karena selalu enak,” jawab Rafi sambil menyuap nasi dengan irisan telur dadar di atasnya. “Kantin ini emang the best.”
Lisa tersenyum. Lalu matanya tertumbuk pada kolam ikan kecil di pojok kantin. Ikan-ikannya berenang tenang, airnya jernih. Ia menatap cukup lama sebelum akhirnya kembali menyendok baksonya.
Bel berbunyi. Pelajaran dilanjutkan. Dunia kembali terstruktur: suara guru, coretan kapur, murid-murid yang mencatat dan sesekali tertawa. Waktu berlalu dengan kepastian seperti mesin jam tua yang tak pernah kehabisan tenaga.
Sore harinya, Lisa berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia melepas seragamnya perlahan. Di rak meja belajar, dompet kecilnya tergeletak, menganga sedikit. Tapi ia tak memperhatikannya. Ia membuka jendela, menatap langit yang mulai merah keunguan.
“Hari yang baik,” gumamnya pelan.
Lalu ia duduk, merapikan buku-bukunya, dan bersiap tidur lebih awal dari biasanya.
Namun malam itu, entah kenapa, tidurnya terasa lebih dalam. Dan dalam tidur itu, sesuatu mulai membisikkan ketidaktenangan tanpa ia sadari, tanpa ia pahami.
***
Matahari belum sepenuhnya naik ketika Lisa terbangun dari tidur yang tak lelap. Cahaya samar menyusup melalui tirai, menari pelan di dinding kamar. Ia mengusap matanya pelan, merasa seolah tidur terlalu lama, atau terlalu dalam. Tapi jam di dinding menunjukkan pukul 05.30 pagi seperti biasa.
Ia turun dari ranjang dan berjalan menuju cermin. Rambutnya berantakan sedikit, tapi wajahnya tetap sama seperti hari-hari sebelumnya: pucat, tenang, nyaris tak bergairah. Ia menyisir rambutnya pelan, lalu membuka laci meja untuk mengambil dompet.
Ia hanya ingin memastikan uang sakunya masih ada, seperti rutinitas setiap pagi.
Tapi tangannya terhenti.
Sebuah foto kecil terjatuh dari sela dompet foto keluarganya: ayah, ibu, adik laki-lakinya, dan dirinya. Lisa menatapnya sambil tersenyum. Namun, senyumnya perlahan memudar.
Adiknya, Rio , tampak... kabur.
Bukan karena noda atau goresan. Bukan karena pencetakan foto yang buruk. Tapi seperti... menghilang. Wajahnya buram, tanpa garis mata, tanpa senyum mungilnya. Tubuh kecil itu masih berdiri di sana, tapi tanpa raut, tanpa kehadiran.
Lisa mengernyit.
“Aneh,” bisiknya.
Ia mencoba menyeka foto itu dengan ibu jarinya, berharap itu hanya kotoran. Tapi tidak ada yang berubah. Wajah Lia tetap lenyap dalam kabut yang tak bisa dijelaskan.
Ia menaruh foto itu kembali ke dalam dompet dengan cepat. Mungkin matanya masih lelah. Atau mungkin... mungkin itu bukan foto yang sama seperti sebelumnya? Tapi bagaimana mungkin?
Ia menggoyang-goyangkan kepalanya dan memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
Di sekolah, segalanya tampak berjalan seperti biasa. Rafi duduk di sebelahnya dengan jaket biru yang familiar, mengomentari guru yang terlalu serius hari itu. Teman-temannya tertawa pada momen-momen yang pas, menyapa Lisa dengan nada yang tetap. Namun bagi Lisa, tawa mereka mulai terdengar... datar. Seperti gema. Seperti suara dari speaker yang diputar berulang.
Saat guru mengajukan pertanyaan di kelas, Lisa tidak mengangkat tangan.
Ia tidak yakin mengapa. Padahal jawabannya ada di benaknya.
Ia hanya duduk diam, menatap papan tulis, lalu menoleh ke arah Rafi.
“Kenapa?” tanya Rafi, menatapnya heran.
Lisa tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Cuma sedikit ngantuk.”
Malam harinya, Lisa tak bisa tidur. Ia berbalik berkali-kali di tempat tidur, menatap langit-langit, mendengarkan bunyi jam dinding berdetak terlalu keras. Dan ketika akhirnya matanya terpejam, mimpi datang seperti badai.
Dalam gelap, ia mendengar suara keras seperti logam menghantam aspal. Lalu suara jeritan. Suara kaca pecah. Nafas terputus. Semuanya bergema di ruang yang tak terlihat.
Ia berlari. Tapi di sekelilingnya hanya kabut putih dan siluet-siluet samar. Dan di tengah kabut itu, seseorang berdiri membelakanginya rambut panjang, jaket biru lusuh.
“Rafi?” panggilnya.
Sosok itu menoleh, tapi wajahnya gelap. Bukan karena bayangan melainkan karena wajah itu tak ada. Hanya datar, kosong, seperti topeng tanpa ukiran.
Lisa terbangun dengan napas terengah.
Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia memegangi dada, mencoba menenangkan detak jantung yang berlari tanpa kendali.
Ia duduk di tepi ranjang cukup lama. Udara malam terasa dingin, menusuk kulitnya. Ia menatap dompetnya di atas meja.
Rasa ingin tahu merayap lagi. Pelan-pelan ia mengambil dompet itu dan menarik kembali foto keluarga.
Rio masih tak punya wajah.
Lisa menggigit bibir bawahnya. Ia meletakkan foto itu menghadap ke bawah.
“Sudah... sudah. Cuma mimpi aneh,” bisiknya kepada diri sendiri, mencoba menutup dunia yang retak dengan kata-kata.
Lalu ia berbaring kembali. Tapi malam itu, tidur tak lagi datang dengan lembut. Ia hanya menutup mata, menunggu pagi datang seperti seseorang menunggu pintu diketuk dari balik gelap tak pasti oleh siapa, tak tahu untuk apa.
***
Lisa tidak tahu pukul berapa ketika ia terbangun.
Tidak ada suara alarm, tidak ada sinar matahari yang menyelinap dari jendela. Hanya cahaya putih yang menusuk mata, membanjiri segala sudut. Ia menoleh ke sekeliling tidak ada dinding bercat ungu miliknya, tidak ada meja belajar penuh buku, tidak ada tirai putih yang biasa menari diterpa angin pagi.
Yang ada hanya… putih.
Tempat tidur dengan seprai steril. Lantai yang bersih tanpa noda. Suara pelan bip bip bip dari alat yang tak ia kenali. Aroma desinfektan yang terlalu tajam. Udara terlalu sunyi, seperti tidak mengizinkan suara masuk.
Tubuhnya lemah. Seperti baru diperas dari mimpi buruk yang tak punya ujung. Tapi yang membuat jantungnya mulai berdebar tak karuan adalah… ia tidak tahu bagaimana ia bisa berada di sana.
Tiba-tiba, pintu terbuka.
Seorang pria berjas putih masuk. Usianya sekitar empat puluhan. Wajahnya tenang, namun matanya memandang dengan sorot yang terlalu… mengerti.
“Lisa,” sapanya, pelan namun langsung menusuk.
Lisa mengerjap. “Siapa Anda?”
“Aku Dokter Irfan,” ujarnya sambil duduk di kursi di samping tempat tidur. “Tenang. Kamu tidak dalam bahaya.”
Lisa duduk pelan, masih memeluk selimut. Napasnya tersengal. “Aku… kenapa aku di sini? Aku harus ke sekolah. Hari ini ada ujian. Aku…”
“Lisa.” Suaranya tenang, tapi pasti. “Kamu tidak berada di sekolah. Sudah tiga bulan kamu dirawat di sini.”
Lisa mematung. Kata-kata itu tidak menembus kepalanya, tidak masuk akal. “Apa maksud Anda?”
Dokter Irfan menarik napas. Ia menatap Lisa dengan kelembutan yang tak dibuat-buat. “Tiga bulan lalu, kau mengalami kecelakaan mobil. Orang tuamu tewas seketika. Hanya kau yang selamat.”
Seketika, dunia hening.
Lisa tidak bisa mendengar detak mesin di sampingnya. Tidak bisa merasakan denyut nadi sendiri. Ia hanya menatap lelaki itu seolah ia sedang mengucapkan lelucon paling kejam yang pernah ada.
“Aku baru sarapan bersama mereka… pagi ini,” bisiknya. “Ibu membuatkan aku roti lapis… dan Ayah dia sempat mengejek rambutku yang acak-acakan. Adikku Rio dia… dia baru bermain robot-roboan… kami…”
Suaranya pecah.
Dokter Irfan tak menjawab, hanya menunduk sejenak.
Lisa mengguncang kepalanya. “Tidak! Ini salah! Aku hidup normal! Aku… aku ranking satu! Aku punya pacar! Aku…”
Tangisnya pecah.
Tangannya meremas selimut hingga buku jarinya memutih. Ia mendesak tubuhnya ke sudut ranjang, seolah ruangan itu perlahan menelannya hidup-hidup.
Namun, jauh di sudut pikirannya yang paling gelap… ada sesuatu yang berbisik. Sesuatu yang ia tekan selama ini.
Foto yang kabur.
Mimpi tentang suara logam dan jeritan.
Tawa teman sekelas yang terdengar seperti gema.
Jaket biru yang tak pernah lepas dari tubuh Rafi.
Semua itu... terasa nyata, tapi kini mendadak terlihat seperti tirai panggung yang menutupi panggung sebenarnya.
Lisa menatap tangannya. Ia berharap tangan itu bisa memberinya kenyataan apa saja, asalkan bukan ini.
Namun yang ia lihat adalah luka-luka kecil. Goresan. Seperti cakaran yang belum lama mengering. Beberapa tampak baru.
Ia menggigit bibirnya. Tak berani bertanya lebih jauh.
Ruangan itu terlalu tenang. Tapi justru ketenangan itulah yang mengerikan.
“Aku ingin pulang…” bisik Lisa akhirnya.
Dokter Irfan berdiri. Suaranya lembut, tapi jauh. “Kau sudah di rumah, Lisa. Kau hanya belum tahu bentuknya.”
Setelah dokter pergi, Lisa menatap langit-langit yang putih itu.
Ia mulai bertanya-tanya… jika semua yang ia jalani selama ini hanyalah tempelan kenangan yang ia ciptakan sendiri, lalu siapa dirinya yang sebenarnya?
Dan… berapa banyak yang masih tersisa dari dirinya?
***
Pagi itu, Lisa membuka mata.
Di luar jendela, matahari memantul di kaca kamar. Suara burung dan aroma wangi roti panggang menyambutnya. Ibunya bersenandung di dapur, dan aroma kopi hangat mengalir ke dalam kamar seperti aliran waktu yang lembut. Kakinya melangkah ke lantai, dingin tapi nyata. Ia tersenyum. Hari ini hari Senin hari yang ia benci, tapi anehnya, pagi ini terasa ringan.
“Lisa, jangan lupa sarapan dulu sebelum ke sekolah,” seru suara ibunya dari bawah.
“Sebentar lagi, Ma!” jawabnya ceria.
Ia berdiri di depan cermin dan merapikan rambut. Seragamnya bersih. Di luar kamar, adiknya sudah duduk menonton kartun dengan tawa renyah. Semua terasa tepat. Terlalu tepat.
Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang mengganjal.
**
Satu detik.
Satu tarikan napas.
Dan dunia berpindah.
Lisa kembali membuka mata atau belum pernah menutupnya. Sekelilingnya putih. Kosong. Dinding bercahaya redup. Bau alkohol dan karbol menyergap hidungnya.
Ia berada di tempat lain. Kamar asing dengan lampu neon yang tak pernah padam. Di sisi tempat tidur ada meja kecil dengan botol plastik putih berlabel asing. Suara dari luar ruangan terdengar samar: roda troli logam, langkah kaki, dan bunyi bel pintu masuk.
Ia menoleh ke sisi tempat tidur. Ada cermin kecil di dinding.
Dan di dalam pantulannya…
Tangannya penuh luka.
Garis-garis merah keunguan.
Bekas cakaran yang belum sepenuhnya sembuh.
Lisa terdiam. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya. Sakit. Tapi nyata.
Lalu suara lembut suster memanggil dari balik pintu, “Lisa? Sudah waktunya minum obat, ya.”
Lisa tak menjawab. Ia menatap cermin itu lebih lama. Mengamati matanya sendiri mata yang seolah menatap balik dan mempertanyakan segalanya.
**
Dan sekejap setelahnya klik.
Lisa kembali duduk di bangku kelas. Rafi di sampingnya, mengerjakan soal Matematika. Di luar, suara peluit penjaga sekolah terdengar seperti irama yang akrab. Ia bisa mencium aroma spidol dari papan tulis, bisa mendengar tawa anak-anak di lapangan. Dunia ini terasa seperti memeluknya hangat, ramah.
Namun luka itu…
Luka di tangannya…
Masih ada.
Ia merasakannya bahkan di tengah tawa. Ia menyembunyikannya di balik lengan seragam panjang, tapi denyutnya masih terasa. Kadang, perihnya muncul seperti ingatan samar. Ia tak tahu harus percaya pada dunia yang mana atau apakah keduanya sama-sama nyata.
Di satu sisi, ada rumah dan keluarga yang lengkap.
Di sisi lain, ada ruang putih dan obat yang tak berhenti datang.
Di satu sisi, ia masih SMA.
Di sisi lain, ia belum tahu siapa dirinya sebenarnya.
**
Malam hari, Lisa menulis sesuatu di kertas kosong yang ia temukan di atas meja kecil kertas yang kadang muncul di dunia rumah sakit, kadang muncul di laci meja belajar.
"Jika satu dunia membuatku bahagia, kenapa aku harus meninggalkannya?"
Ia menulis dengan pelan. Hati-hati. Seolah takut jawaban dari kalimat itu bisa meruntuhkan segalanya.
Tapi jauh di dalam pikirannya, sesuatu mulai bergerak.
Sebuah keraguan.
Sebuah bisikan.
Sebuah luka kecil yang belum juga mengering.
Dan ketika ia kembali memejamkan mata malam itu, Lisa tahu satu hal:
Ia tidak sendirian di antara dua dunia.
Karena dua dunia itu kini hidup bersamanya bercampur, beradu, dan terus saling tarik menarik.
***
Pukul 06.17 pagi.
Dokter Irfan duduk di ruang kerjanya yang sempit, menatap berkas laporan yang ia beri label: L.P. – 021, Pasien Lisa Permata. Cahaya matahari menembus tirai tipis jendela, mengiris meja kerjanya dalam garis-garis keemasan. Ia mengusap wajahnya yang lelah. Di tangannya, sebuah pena hitam menggores catatan terakhir:
“Pasien menunjukkan kestabilan semu. Narasi dunia paralel semakin kompleks. Penolakan terhadap realitas nyata meningkat. Diduga pasien menyadari khayalan, namun memilih untuk menetap di dalamnya. Terapi CBT belum menunjukkan hasil signifikan.”
Ia berhenti menulis. Menatap kosong ke dinding putih yang diam seperti rahasia. Di benaknya, bayangan Lisa muncul kembali remaja yang duduk diam di pojok ruangan dengan tatapan kosong, seolah jiwanya tertinggal di tempat lain. Kadang ia berbicara pelan tentang sekolah, tentang adiknya yang suka bermain robot-robotan, tentang Rafi yang duduk sebangku dengannya. Ia menceritakannya dengan cara yang begitu rinci… terlalu rinci.
Seakan ia benar-benar hidup di sana.
Sesi terakhir dua hari lalu masih membekas dalam ingatan. Lisa menatap jendela yang buram, dan tanpa diminta, ia bertanya:
“Dok, kalau kita bermimpi terlalu sering… apakah lama-lama mimpi itu bisa jadi nyata?”
Irfan sempat terdiam sebelum menjawab, “Mimpi tetap mimpi, Lisa. Tapi kadang… yang menyakitkan bukan mimpi itu sendiri, melainkan ketika kita harus bangun darinya.”
Lisa tersenyum samar. Tapi di matanya, ada api yang menyala diam-diam.
“Aku tidak tahu lagi mana yang mimpi,” bisiknya. “Atau… mungkin aku tahu, tapi aku memilih tidak peduli.”
Irfan mengangkat berkas lain hasil observasi luka fisik. Ia mendapati pola luka cakaran di tangan Lisa tidak acak. Polanya berulang, hampir seperti ritual. Garis-garis sejajar di pergelangan, lalu melingkar di lengan bagian dalam.
Ia menulis:
“Luka tampak disebabkan oleh pasien sendiri. Diduga sebagai bentuk katarsis saat realitas fantasi terganggu. Butuh pengawasan lebih intensif. Risiko melukai diri: sedang.”
Namun yang lebih mengganggunya adalah… Lisa tidak tampak putus asa.
Ia tampak… tenang. Bahkan bahagia. Seolah-olah rumah sakit ini hanyalah jeda yang membosankan di antara dua babak kehidupannya yang lebih penting. Seolah dirinya Dokter Irfan bukan penyelamat, tapi penjaga penjara yang mencoba membangunkannya dari mimpi indah yang sedang ia peluk erat.
Dan di satu titik, Irfan pun mulai mempertanyakan dirinya sendiri:
Apakah benar yang ia tawarkan adalah kesembuhan?
Atau sekadar kekosongan putih yang sunyi?
Apa yang lebih sehat: hidup dalam kenyataan yang penuh luka… atau bertahan dalam dunia imajiner yang menyelamatkan jiwa?
Ia menyandarkan tubuh, menghela napas. Di dinding ruangan kerjanya, ada cermin kecil. Ia menangkap pantulan dirinya sendiri, dan di situ, seolah untuk sepersekian detik ia melihat Lisa berdiri di belakangnya, mengenakan seragam SMA, tersenyum dengan mata sendu.
Tapi saat ia menoleh, ruangan tetap kosong.
Pukul 06.42 pagi.
Irfan menuliskan catatan terakhir pagi itu:
“Pasien menciptakan dunia paralel untuk menghindari trauma. Namun yang mengkhawatirkan bukan sekadar isi khayalannya… melainkan kesadarannya yang utuh bahwa semua itu palsu dan tetap, ia memilih tinggal di sana.”
Ia meletakkan pena, menutup berkas. Di luar ruangan, langkah kaki suster terdengar, diiringi suara roda troli.
Waktu kunjungan hampir dimulai.
Waktu untuk kembali berhadapan dengan seorang gadis yang hidup dalam dua dunia dan tak ingin diselamatkan dari keduanya.
***
Pagi itu, kamar nomor 12 di ujung lorong sayap utara rumah sakit jiwa Sidomulyo tampak lebih sunyi dari biasanya. Tirai putih bergoyang pelan, disentuh angin tipis yang masuk dari jendela yang tak pernah dibuka penuh. Suara langkah kaki mendekat pelan tapi pasti. Lisa masih duduk di kursinya, memeluk lutut, menatap lantai seolah di sana ada rahasia yang hanya ia yang tahu.
Pintu diketuk.
Satu kali.
Dua kali.
Tanpa menunggu jawaban, pintu dibuka perlahan. Siska berdiri di sana berambut ikal panjang yang kini tampak lebih acak daripada terakhir kali Lisa melihatnya. Ia mengenakan jaket krem sederhana, tapi yang paling mencolok adalah kalung perak mungil di lehernya. Liontin kecil berbentuk pesawat terayun pelan, memantulkan cahaya pagi yang lesu.
Lisa menoleh. Mulutnya sedikit terbuka, seperti ingin bicara, tapi tak jadi.
Siska melangkah masuk.
"Aku datang hari ini... karena mimpi aneh semalam," katanya pelan, berusaha tersenyum. Tapi senyum itu layu sebelum sempat tumbuh.
Lisa hanya menatapnya. Sejenak, matanya tampak berkabut.
"Kalung itu..." bisiknya, suaranya rapuh. "Masih kau pakai."
Siska menyentuh kalungnya, lalu mengangguk. "Kau yang memberikannya. Katamu, suatu hari nanti kita akan pergi jauh lebih jauh dari Sidamulya, dari semua ini. Ingat?"
Lisa tersenyum. Senyum tipis, nyaris seperti ilusi.
"Ya... aku ingat."
Sunyi merayap di antara mereka. Lalu Siska berjalan ke kursi di samping tempat tidur, duduk, dan memandang Lisa dalam-dalam.
"Aku dengar... kau mulai bicara dengan Dokter Irfan. Itu kabar baik."
Lisa tak menjawab. Ia hanya memainkan jari-jarinya, menggores-gores udara seolah sedang menulis sesuatu yang tak terlihat.
"Aku juga dengar," lanjut Siska, "bahwa kau bilang keluargamu masih hidup. Bahwa kau baru saja pulang sekolah, bahwa Rafi masih suka mengejekmu soal es teh manis, dan bahwa ibumu masih suka lupa menaruh kunci kulkas."
Lisa tersenyum lebih lebar kali ini, tapi matanya tetap hampa.
"Ya. Mereka masih di rumah. Hari ini ibu masak rendang. Kamu pasti suka, kan?"
Siska menggeleng pelan. Tangannya mengepal.
"Lisa..." suaranya mulai retak. "Rumah itu kosong. Sudah tiga bulan. Aku datang ke sana. Tak ada siapa pun. Tirai jendela sudah robek, debu di lantai setebal buku tahunan sekolah kita. Tak ada rendang. Tak ada suara TV. Tak ada... apa-apa."
Lisa memalingkan wajah.
"Aku tidak mau dengar."
"Dan Rafi" suara Siska nyaris berbisik, "Rafi meninggal. Di tempat. Ayah dan ibumu juga. Aku ada di pemakaman. Aku menggenggam tanganmu waktu itu, tapi kau tak menggenggam balik."
Lisa menutup telinganya. "Berhenti."
Siska berdiri. Air matanya jatuh satu-satu, menetes di lantai seperti bekas langkah yang tak bisa dihapus.
"Aku capek, Lisa."
Lisa masih menutup telinga.
"Aku capek berpura-pura."
"Aku tidak berpura-pura!"
Lisa berdiri mendadak, suaranya melengking. Wajahnya memerah, matanya menatap Siska seperti sedang menatap pengkhianatan terbesar dalam hidupnya.
"Mereka masih hidup! Aku baru saja bersama mereka! Kau tidak tahu apa-apa! Kau..."
"TIDAK!" Siska membalas dengan suara yang akhirnya pecah. "Aku tahu! Karena aku juga kehilangan mereka! Tapi aku memilih untuk hidup, Lisa! Aku memilih untuk menatap nisan mereka dan berkata ‘ya, ini menyakitkan’, bukan bersembunyi di balik mimpi yang membusuk!"
Siska menarik napas panjang, menunduk, lalu berkata dengan suara jauh lebih tenang:
"Lisa, aku tidak bisa terus menemanimu hidup dalam kebohongan ini."
Lisa terdiam.
Kamar itu hening. Bahkan angin pun berhenti seolah ikut mendengar.
Siska membuka pintu, menoleh sekali lagi. Cahaya pagi menyelimuti wajahnya, membuat liontin pesawat di lehernya berkilau.
"Aku masih berharap kau akan memilih untuk bangun. Tapi kalau kau tidak bisa… aku tak bisa ikut tidur bersamamu selamanya."
Dan ia pergi.
Lisa berdiri di tengah kamar. Telinganya masih berdengung. Tapi bukan karena suara Siska melainkan karena sepi yang kini menjelma jadi monster yang menggerogoti pikirannya perlahan-lahan.
Ia melihat ke jendela.
Lalu ke tangannya.
Ada bekas cakaran lama dan baru, merah dan hitam, seperti peta luka dari dunia yang terus ia tolak.
Lisa pun merosot ke lantai.
Di antara napas yang gemetar, ia menggenggam udara di lehernya mencari sesuatu yang sudah lama hilang: kalung pesawat yang dulu pernah ia punya.
Tapi yang tersisa hanyalah leher kosong.
Dan dunia yang kian retak
***
Malam turun perlahan seperti tirai hitam. Rumah Sakit Jiwa Sidomulyo sudah tenang, hanya sesekali terdengar suara kursi roda dari lorong utama atau dengkuran berat dari kamar pasien yang jauh. Di kamar 12, tirai jendela melambai pelan, namun kali ini bukan oleh angin melainkan oleh gerakan seorang gadis yang memanjat keluar dengan hati berdebar dan napas menahan ketakutan.
Lisa menjejak tanah. Dinginnya langsung menembus telapak kaki. Ia menggenggam erat jaket pinjaman yang ia curi dari ruang laundry rumah sakit, terlalu besar untuk tubuh kurusnya, tapi cukup menutupi luka-luka yang memerah di bawah lengan dan pergelangan. Di tangan kanannya, tergenggam sesuatu yang nyaris tak terlihat: secarik foto usang keluarganya, nyaris hancur di bagian tengah.
Ia menunduk, lalu berlari ke arah jalan. Tujuannya hanya satu: pulang.
Jalan ke Sidamulya gelap, sepi, dan tak bersahabat. Mobil-mobil besar kadang melintas cepat, lampunya menusuk mata, membutakan sejenak. Lisa berjalan di pinggir jalan raya, menahan kantuk, menahan lapar, menahan suara-suara dari kepalanya yang mulai bangun. Mereka memanggilnya. Mereka membisikkan nama-nama. Tapi Lisa tetap berjalan.
Jam dua dini hari, ia tiba di perbatasan desa. Plang tua yang bertuliskan “Selamat Datang di Sidamulya: Desa Harmoni” kini berkarat, penuh coretan. Ia menyentuhnya dengan ujung jari, seperti menyentuh kenangan yang telah lama mati.
Lisa melangkah masuk ke gang kecil di antara rumah-rumah yang diam. Tak ada lampu yang menyala, hanya suara anjing menggonggong di kejauhan. Tapi langkahnya mantap. Ia hafal jalan ini. Setiap batu, setiap sudut. Meskipun waktu telah memakannya, tubuhnya mengingat.
Rumah itu berdiri di ujung jalan buntu.
Tak berubah banyak.
Pagar besinya masih bengkok di sisi kanan, dan lampu teras yang dulu selalu dibiarkan menyala kini gelap. Ia membuka gerbang dengan hati-hati. Engselnya berderit, seperti erangan dari mulut yang terlupakan.
Lisa menggapai gagang pintu.
Terkunci.
Tapi ia tahu celahnya.
Ia memutar ke samping, menyelinap lewat jendela dapur yang dulu ayahnya pernah bilang harus segera diperbaiki. Dengan sedikit dorongan, jendela itu terbuka. Dan ia masuk.
Udara di dalam rumah itu dingin dan kaku. Lisa berdiri diam di tengah dapur, membiarkan matanya menyesuaikan diri dengan gelap. Aroma apek menusuk hidung campuran debu, kayu lapuk, dan sesuatu yang lebih pekat. Lebih tua.
Ia menyalakan senter kecil dari ponsel bekas yang masih ia simpan. Cahaya redup menyapu permukaan meja makan, kulkas, dan dinding. Tidak ada suara. Tidak ada yang menyambut.
Ia berjalan melewati ruang keluarga.
Foto-foto di dinding masih ada Lisa kecil tertawa di antara ayah dan ibunya. Tapi bingkainya retak, dan satu fotonya sendiri telah jatuh ke lantai. Pecah.
Lisa berjongkok, mengambil pecahan kaca, lalu menatap wajahnya sendiri yang memantul kecil di sana. Bayangan itu buram, retak, seperti dirinya.
Ia naik ke lantai dua. Tangga itu berderit dengan setiap langkah. Tangannya menyentuh pegangan yang dulu dipakai ibunya untuk menopang badan saat membawa cucian.
Di ujung koridor, pintu kamarnya.
Ia membukanya.
Dan dunia runtuh.
Kamar itu bukan lagi kamarnya.
Ranjang telah disingkirkan. Dinding penuh sarang laba-laba. Di sudut, ada tumpukan kardus dan barang-barang tak berguna. Sebuah lemari tua menutupi jendela, dan langit-langitnya mulai runtuh. Bau karat dan jamur memenuhi udara.
Lisa masuk perlahan.
Langkahnya terhenti ketika melihat karpet coklat lusuh yang masih terbentang di tengah ruangan. Ia jongkok. Menyibak karpet itu.
Ada jejak.
Merah.
Kering.
Menyerupai garis samar yang mengarah ke tembok. Seperti tangan yang pernah menyeret tubuh atau tubuh yang mencoba merangkak pergi.
Lisa tak bisa berpikir. Tubuhnya gemetar.
Ia menyentuh darah kering itu. Ujung jarinya seperti membeku.
Suara ayahnya terdengar samar di telinga:
“Lisa, cepat keluar! JANGAN DIAM DI SITU!”
Tapi itu hanya gema di kepala. Atau mungkin bukan?
Lisa berdiri. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya lelah. Ia bersandar di dinding kamarnya, lalu perlahan-lahan turun, duduk, dan memeluk lututnya sendiri seperti di kamar rumah sakit.
Wajahnya basah oleh tangis yang tidak bersuara.
"Aku cuma mau pulang…" bisiknya.
Tapi rumah itu bukan lagi rumah.
Dan masa lalu bukan lagi tempat yang bisa ia tinggali.
Fajar datang pelan. Matahari malu-malu menyinari Sidamulya yang tertidur.
Lisa berjalan kembali ke jalan raya. Langkahnya lambat, kakinya bengkak, matanya merah.
Ia tahu ke mana harus kembali.
Ke rumah sakit.
Ke kamar nomor dua belas.
Ke tempat satu-satunya kenyataan yang masih menerima keberadaannya.
***
Langkah Lisa terhenti di depan gedung kecil bercat krem dengan plang bertuliskan POLSEK SIDAMULYA yang sebagian hurufnya sudah karatan. Ia berdiri di sana cukup lama, menatap pintu kaca yang memantulkan bayangan dirinya yang lusuh dan kehilangan. Langit mendung menggantung rendah seperti napas yang tertahan.
Tak ada yang menghentikannya saat masuk. Hanya seorang petugas piket yang mengangguk setengah mengantuk, lalu kembali menunduk pada koran yang dibacanya. Seolah Lisa hanyalah bayangan yang datang dan pergi sesukanya.
Ia ingat ruangan itu. Dindingnya masih penuh tempelan kertas tilang dan foto buronan lokal. Tapi yang ia cari bukan itu.
Komputer tua masih berada di meja pojok, tempat dulu seorang penyidik duduk dan mewawancarainya sambil berkata pelan,
"Kami tidak menyalahkanmu, Nak. Ini murni kecelakaan..."
Lisa menyalakan laptop itu. Jemarinya dingin saat menekan touchpad. Satu per satu folder ditelusuri. Ia ingat namanya disebut:
"Kecelakaan_Jl.Pasar_0715"
Klik.
Video terbuka. Suara rendah terekam dengungan lalu lintas, klakson jauh, gemericik hujan.
Mobil sedan tua itu muncul.
Mobil keluarganya.
Ibunya di depan. Ayahnya menyetir. Dan dirinya sendiri duduk di belakang, tak sadar kamera kota merekam semuanya dari jauh.
07:14:52
Mobil menepi sebentar. Mungkin ayahnya menerima telepon, mungkin hanya sekadar membenarkan posisi. Lalu kembali berjalan pelan.
Lisa menahan napas. Ingin memalingkan muka, tapi matanya tertancap pada layar.
07:14:59
Dari arah kanan, sebuah truk tangki tergelincir di tikungan licin. Remnya berbunyi seperti jeritan.
07:15:00
Ayahnya menoleh ke belakang. Menatap langsung ke arah Lisa, seolah tahu.
07:15:01
“Lisa!!”
Teriakannya menggema, begitu jelas, menembus kaca, menembus waktu.
07:15:02
Tumbukan.
Layar gemetar.
Api.
Suara kaca pecah.
Dan hening.
Lisa memutar ulang, berhenti di satu frame: dashboard mobil.
Jam digital di tengah panel terlihat membeku.
07:15.
Lisa menutup laptop pelan. Kepalanya menunduk. Tidak ada air mata. Hanya kosong yang menyedot semuanya dari dalam dirinya.
Ia berdiri. Punggungnya terasa lebih bungkuk dari sebelumnya. Keluar dari kantor polisi tanpa sepatah kata. Tak ada yang bertanya ke mana ia hendak pergi.
Hari itu, matahari tak pernah benar-benar muncul.
***
Langit sore menggantung seperti lukisan kelabu yang lupa diselesaikan. Jalanan sempit menuju rumah sakit nyaris kosong, hanya sesekali motor lewat tanpa peduli pada gadis dengan rambut acak dan langkah terseret di pinggir trotoar.
Lisa berjalan perlahan. Tangannya dingin, matanya kosong. Angin menerpa wajahnya, tapi ia nyaris tak berkedip. Dunia di sekeliling terasa tak nyata lagi, seperti tirai yang sebentar lagi akan diturunkan dari panggung.
Pintu gerbang rumah sakit terbuka otomatis. Ia masuk, tidak ditegur siapa pun. Tidak ada yang mencatat kedatangannya. Mungkin karena terlalu sering ia keluar masuk hingga wajahnya menyatu dengan lorong-lorong pucat itu.
Ia kembali ke kamarnya Kamar 214 tempat ia pernah mengira dirinya sedang ujian sekolah, tempat selimut tipis membungkus tubuhnya di malam-malam dingin yang sunyi.
Ruangan itu tak berubah. Tirai jendela masih setengah terbuka. Botol infus kosong menggantung bagai pengingat atas tubuh yang pernah menyerah. Di atas meja kecil, tergeletak botol putih kecil tanpa tutup obat-obatan yang tak pernah sepenuhnya ia pahami namanya, hanya efeknya: hening.
Lisa duduk. Napasnya dalam, tapi tak tergesa. Seolah semua keputusan telah matang jauh sebelum ia masuk gedung ini.
Ia mengambil satu butir. Lalu satu lagi. Kemudian segenggam.
Tangannya bergetar, tapi tak goyah.
Segelas air dingin dan hambar.
Semua larut ke dalam dirinya.
Di luar, hari mulai gelap. Cahaya temaram merembes dari celah jendela.
Kemudian…
Suara itu datang lagi.
Lembut. Hangat. Tidak memaksa.
“Lisa…”
Ia menoleh. Dan mereka berdiri di sana ayah dan ibu, dalam pakaian bersih, wajah penuh senyum, seolah waktu berhenti menggoreskan duka.
Ibunya membuka tangan.
Ayahnya mengangguk, matanya basah tapi tenang.
“Kami sudah menunggumu,” kata mereka serempak, tak lebih dari bisikan yang mendamaikan.
Lisa bangkit. Tubuhnya ringan. Kaki telanjangnya menyentuh lantai tanpa rasa sakit. Ia melangkah mendekat. Setiap langkah seolah menghapus beban yang selama ini melekat di pundaknya.
Tangannya menyentuh ujung jari ibunya. Lalu layar…
…menjadi hitam.
***
Untuk Siska,
Maafkan aku karena menulis ini bukan untuk menjelaskan, tapi untuk berpamitan.
Aku tahu kamu mungkin tak akan pernah membacanya. Tapi jika suatu hari kamu kembali ke kamar 214 dan menemukannya di bawah bantal… bacalah perlahan, seperti kau membaca puisiku yang dulu.
Siska,
Kamu satu-satunya orang yang bertahan cukup lama di sampingku. Aku tahu, kamu tidak bisa menyelamatkanku. Jangan salahkan dirimu. Tidak ada yang bisa menyelamatkan seseorang yang sudah terlalu lama tinggal dalam kepalanya sendiri.
Dunia yang kupijak terlalu rapuh. Lantainya retak oleh bayang-bayang, dan aku tak bisa lagi membedakan kenyataan dari halusinasi. Aku ingin sembuh, sungguh. Tapi aku bahkan tak tahu apakah yang ingin sembuh itu masih aku.
Kau bilang aku hidup dalam kebohongan. Mungkin kamu benar. Tapi bagi seseorang yang sudah kehilangan segalanya, bahkan kebohongan pun terasa seperti satu-satunya selimut di tengah malam.
Kalung pesawat itu…
Aku senang kau masih memakainya di hari terakhir kita bicara. Aku ingat saat memberikannya, kau tertawa dan berkata, "Semoga kita bisa pergi jauh bareng-bareng."
Tapi aku tersesat.
Pesawatku jatuh.
Dan aku tak pernah bisa membangun sayap baru.
Siska,
Aku memilih pergi bukan karena lemah. Tapi karena terlambat menyadari bahwa kebahagiaan yang kucari itu… hanya ada di kepalaku.
Dunia ini terlalu sunyi, terlalu dingin tanpa mereka.
Tapi jangan khawatir.
Dalam mimpi terakhirku, mereka datang menjemput. Mereka masih seperti dulu penuh cinta, penuh cahaya.
Jaga kalung itu.
Itu satu-satunya hal nyata yang pernah kuberi padamu.
Terima kasih karena pernah menemani,
Lisa