Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,577
Bunga yang Tak Pernah Ditaruh di Vas
Drama

Di jalan kecil yang dilalui kendaraan lambat dan angin malas, berdiri satu pohon tua dengan batang bengkok, daunnya jarang, dan akar yang menjulur ke arah yang tidak pernah dipetakan.

Pohon itu tak pernah ditebang.

Tak pernah tumbang.

Tapi juga… tak pernah bertambah tinggi.

Ia seperti satu-satunya hal di kota ini yang tidak berubah tidak tumbuh, tidak mati.

Tepat di bawah pohon itu, setiap pagi, seorang lelaki tua meletakkan setangkai bunga kertas.

Hanya satu.

Kadang berwarna putih, kadang ungu muda, tapi selalu bunga yang sama: ringan, sederhana, dan tampaknya tidak penting.

Ayu memperhatikan itu dari balik jendela dapurnya.

Ia baru tinggal di rumah sebelah selama dua minggu, masih menyusun piring, masih belajar menyapa tetangga, masih menebak mana orang yang bisa ditanya arah, dan mana yang lebih baik dibiarkan dalam sunyi.

Tapi lelaki itu berbeda.

Bukan karena ia aneh.

Justru karena ia terlalu biasa, terlalu tenang, hingga membuat pagi tampak seperti bagian dari dirinya.

Setiap pukul tujuh lewat sepuluh, ia keluar dari rumah kecil bercat abu yang mulai pudar, membawa sapu lidi dan bunga kertas yang dibungkus koran bekas.

Ia menyapu pelan, seperti tak sedang membersihkan, tapi mengusap bumi agar tetap terjaga.

Setelah itu, ia menunduk di hadapan pohon.

Bersihkan akarnya.

Letakkan bunganya.

Lalu duduk sebentar di bangku beton yang mulai retak.

Tak satu pun dari rutinitas itu terdengar istimewa.

Tapi justru karena itulah, Ayu merasa ingin tahu.

Ia tidak tahu kenapa.

Mungkin karena bunga itu tidak pernah dibawa masuk.

Tidak pernah ditaruh di vas.

Tidak dijadikan hiasan atau pemberian.

Ia hanya dibiarkan...menjadi saksi sesuatu yang tidak pernah dijelaskan.

Pada hari keempat belas sejak Ayu pindah, ia mencoba keluar lebih awal.

Membawa cangkir kopi ke teras, pura-pura menyiram tanaman, dan menunggu lelaki itu melintasi trotoar kecil.

Mereka berpapasan.

Lelaki itu menyentuh topinya ringan, seperti menyapa tanpa suara.

Ayu membalas dengan senyum.

“Pagi, Pak,” katanya pelan.

Lelaki itu mengangguk.

Senyumnya tipis, tapi tidak kaku. Seolah ia menyimpan terlalu banyak hal di dalam dadanya, hingga tak sempat memilih kata yang cocok untuk dikeluarkan.

Setelah berlalu, Ayu menatap bunga itu.

Hari itu ungu muda.

Daunnya sedikit keriput.

Ia ingin bertanya, untuk siapa bunga itu?

Tapi sesuatu dalam dirinya menahan.

Seolah jika ia bertanya hari ini, ia akan merusak sesuatu yang sedang tumbuh di antara mereka berdua bukan cinta, bukan juga persahabatan melainkan…pengertian yang belum punya nama.

Sore harinya, Ayu memutuskan untuk berjalan kembali ke pohon itu.

Ia ingin melihat apakah bunga itu masih ada.

Dan benar, masih terletak di sana, utuh.

Tidak ditiup angin, tidak dijamah tangan.

Di atas akar yang bengkok itu, bunga itu tampak seperti halusinasinya sendiri ada, tapi nyaris tidak nyata.

Ia mendekat.

Bersimpuh.

Menyentuh kelopak bunga itu.

Lembut.

Sedikit kering di ujungnya.

Tapi masih menyimpan warna yang tidak pudar.

Tepat di bawah akar, Ayu melihat sesuatu tertanam di tanah batu pipih kecil seperti penanda, tanpa tulisan.

Ia tidak berani menggali.

Karena entah kenapa, ia merasa…jika ia tahu lebih banyak hari itu, ia akan kehilangan sesuatu yang seharusnya tetap misteri.

Hari-hari berikutnya, bunga terus muncul.

Pohon terus berdiri.

Dan Bram nama yang perlahan diketahui Ayu dari tukang sayur yang lewat tetap keluar pada jam yang sama. Seolah kota ini tidak punya alasan untuk berubah, selama pohon itu masih berdiri dan bunga itu belum masuk ke dalam vas.

Hujan turun pelan-pelan sore itu.

Tidak deras.

Tidak mengganggu.

Hanya rintik-rintik yang membuat langit terasa lebih rendah,

dan waktu berjalan sedikit lebih lambat dari biasanya.

Ayu berdiri di pagar, menatap Bram yang seperti biasa keluar rumah, membawa sehelai koran bekas yang digulung rapi.

Ia tetap berjalan ke pohon, meski tanah sedikit basah.

Ia tidak ragu meletakkan bunga kertasnya di sana.

Ungu lagi hari ini.

Ungu yang nyaris lusuh seperti kata-kata yang pernah diucapkan lalu dilupakan.

Ayu menunggu hingga ia selesai duduk sebentar, lalu memberanikan diri melangkah pelan ke arah pagar rumah lelaki itu.

Ia memanggil, “Pak Bram…”

Bram menoleh.

Wajahnya basah, bukan karena air mata,.melainkan embun senja yang menyentuh pelipisnya.

Ia mengangguk, tanpa senyum.

“Boleh saya mampir sebentar? Saya… bawa kue.”

Ayu mengangkat kotak kecil berisi bolu cokelat buatan ibunya.

Bram mengangguk sekali lagi.

Tidak kata sambutan.

Tidak basa-basi.

Tapi juga tidak penolakan.

Di dalam rumah Bram, semuanya bersih tapi sepi.

Tak ada foto di dinding.

Tak ada televisi yang menyala.

Buku-buku tersusun rapi di rak, tapi warnanya mulai pudar.

Langit-langitnya rendah.

Udara di dalam seperti tak ingin bersuara.

Dan di tengah ruang itu di atas meja kayu bundar kecil, berdiri sebuah vas keramik putih, sendirian.

Ayu nyaris tidak melihatnya jika tidak memutar wajah ke arah jendela.

Ia berdiri di sana seperti penjaga waktu yang tak pernah menerima tamu.

Tak ada bunga di dalamnya.

Tak ada air.

Hanya kosong… tapi bersih.

Sangat bersih.

Seperti benda yang terus dirawat tapi tidak pernah dipakai.

Seperti ruang yang disiapkan untuk sesuatu yang…tidak akan pernah datang.

Ayu tidak bertanya.

Tapi matanya menatap lama.

Dan Bram, dari seberang ruangan, berkata pelan: “Saya sering bersihkan itu… bukan karena ingin menaruh apa pun di sana. Tapi karena kadang, sesuatu tetap harus dijaga…walau tidak akan pernah diisi.”

Ayu menunduk.

Dadanya terasa aneh.

Seperti ada sesuatu yang mendadak berat, padahal ia tak sedang membawa apa pun selain bolu dalam kotak karton tipis.

Ia duduk.

Bram menuangkan teh ke dalam cangkir kecil yang retak sedikit di bibirnya.

“Bunga tadi…” Ayu akhirnya bicara.

Bram mengangguk.

“Selalu diletakkan di bawah pohon itu?”

“Selalu,” jawabnya pendek.

“Kenapa tak pernah ditaruh di vas ini?”

Bram terdiam.

Tatapannya keluar jendela.

Ke arah pohon yang kini hanya terlihat siluetnya karena hujan mulai menebal. Lalu dengan suara sangat pelan nyaris seperti napas ia menjawab: “Karena vas itu tempat untuk cinta yang sampai,

bukan untuk cinta yang hilang.”

Ayu menahan napas.

Tak tahu apa yang lebih menyedihkan: bunga yang diletakkan setiap hari,

atau vas yang dibersihkan tapi selalu dibiarkan kosong.

Mungkin keduanya.

Mungkin diam Bram.

Mungkin semua itu bukan sedih biasa, tapi semacam kehilangan yang tak pernah benar-benar tuntas.

Jam dinding berdetak pelan.

Teh di cangkir mulai dingin.

Dan Ayu sadar, ia sedang duduk di ruang yang sudah lama menjadi ruang tunggu, bukan ruang tamu.

Ia menyeruput tehnya perlahan.

Bram duduk kembali di kursinya, menghadap jendela.

Seperti biasa.

Seperti hari-hari sebelumnya, dan mungkin seperti hari-hari setelah ini.

Ayu bangkit.

Ia tak berkata banyak, hanya berterima kasih, dan melirik sekali lagi ke arah vas itu.

Dan saat ia menutup pintu, ia tahu satu hal yang pasti: “Di rumah ini, tidak ada yang mati.

Tapi juga tidak ada yang tumbuh.

Seperti vas yang tak pernah diisi, dan pohon di luar sana yang menunggu, tapi tak pernah benar-benar mekar.”

Hujan telah reda, tapi kota tetap basah.

Jalan-jalan memantulkan langit yang belum selesai berubah warna.

Ayu berjalan sendirian sore itu, mengikuti jalan kecil yang belum ia hapal namanya.

Ia butuh udara.

Bukan untuk menyegarkan diri, tapi untuk membiarkan pikirannya mencari jalan sendiri.

Sejak kunjungannya ke rumah Bram, ada sesuatu yang tinggal dalam dirinya.

Bukan pertanyaan karena ia tahu tak semua hal perlu dijawab.

Bukan pula kesedihan karena ia belum cukup mengenal lelaki itu untuk merasakan duka.

Tapi lebih pada… sebuah suara lembut yang entah datang dari dalam atau dari luar.

Ia berbelok ke arah gang tua.

Di ujungnya, ada toko kecil dengan plang karat bertuliskan "Bacaan Lawas & Kenangan".

Toko itu seperti tak berniat mengundang pembeli.

Tapi Ayu tertarik.

Di dalamnya, rak-rak kayu berjejer sempit, dipenuhi buku tua, foto tak dikenal, kartu pos, dan… tumpukan amplop yang belum terjual.

Ayu menyusuri rak dengan pelan.

Tangannya menyentuh permukaan buku yang lembab karena usia.

Ia tidak mencari apa pun.

Tapi seperti biasa, yang penting bukan apa yang dicari melainkan apa yang memilih untuk ditemukan.

Sebuah kotak kecil dari anyaman bambu menarik perhatiannya.

Di atasnya tertulis: “Surat yang Tidak Pernah Dikirim.”

Ia membuka.

Di dalamnya, puluhan kertas terlipat, sebagian sudah menguning.

Ia membaca beberapa: surat untuk ayah yang telah pergi, surat cinta yang ditulis tapi urung diberikan, surat permintaan maaf yang terlalu lambat sampai.

Dan di tengah-tengahnya, ada satu amplop berwarna coklat muda.

Tidak seperti yang lain, surat ini masih tersegel rapi.

Di pojok kanan atas, tertulis dengan tinta pudar: Untuk Bram, jika kau masih menyimpan bunga itu...

Jantung Ayu berdebar.

Bukan karena nama itu, tapi karena bunga itu.

Ia membuka pelan.

Kertasnya masih kuat.

Tulisannya miring-miring kecil.

Dari seseorang bernama Raras.

“Bram,

Aku tidak tahu apakah surat ini akan sampai padamu, atau apakah kau masih meletakkan bunga itu di tempat yang dulu. Tapi jika ya, maka ini sudah cukup untukku percaya bahwa ada yang tetap diam meski waktu tidak.”

“Aku tidak datang waktu itu. Bukan karena lupa, tapi karena takut. Karena hidup lebih rumit dari janji yang kita tulis di kertas dan kita kubur di bawah batu. Tapi jika kau membaca ini, ketahuilah bahwa aku tidak pernah benar-benar pergi.”

Ayu berhenti membaca.

Tangannya gemetar sedikit.

Ia tak tahu siapa Raras.

Tapi kalimat itu... seperti serpihan hujan yang lambat masuk ke dalam tubuh.

Ia menatap tulisan terakhir:

“Maaf, dan terima kasih telah tetap meletakkan bunga itu. Aku percaya... cinta yang paling sunyi justru yang paling bertahan.”

Di bagian belakang surat, tertulis tahun: 1994.


Ayu menatap jendela toko.

Langit mulai berwarna emas senja.

Cahaya menembus sela-sela rak, membuat debu di udara tampak seperti bintang yang tersesat.

Ia bertanya pada penjaga toko lelaki tua berkacamata bulat tentang asal surat itu.

Pria itu hanya mengangkat bahu.

“Semua yang ada di sini… datang dari yang tak sempat menyelesaikan,” katanya.

Ayu tersenyum kecil, membungkuk, dan meninggalkan toko itu.

Tapi surat itu tetap ia genggam.

Bukan untuk dikembalikan.

Tapi untuk dikenang… dan suatu hari, mungkin, disampaikan.

Malam itu, Ayu duduk di kamarnya.

Surat Raras tergeletak di meja.

Dan untuk pertama kalinya sejak tinggal di kota ini, ia merasa: rumah itu bukan sekadar tempat tinggal. Tapi tempat di mana suara yang tertunda akhirnya bisa ditemukan

Langit musim kemarau tak pernah terlalu biru.

Ia menyimpan sedikit kuning kelelahan, seperti kenangan yang enggan sepenuhnya cerah.

Di bawah pohon yang belum setua sekarang, dua remaja duduk di atas tikar pandan.

Di sela akar, ada selembar kertas dan sebuah batu kecil berlumut, seolah bumi pun ikut menyimpan janji.

“Kalau aku ke luar kota, dan kamu tetap di sini, janji ya... kita ketemu lagi di hari ulang tahun kita ke dua puluh lima.”

“Di tempat ini juga,” kata yang perempuan.

“Dengan bunga kertas,” tambah yang laki-laki.

Mereka tertawa.

Tidak terlalu keras.

Karena cinta pada usia seperti itu tidak berisik.

Ia malu-malu, dan lebih banyak disampaikan lewat diam panjang setelah tawa.

Yang laki-laki, Bram muda, mengenakan kemeja usang tapi disetrika rapi.

Ia tak pernah banyak bicara.

Tapi hari itu, ia mengucapkan lebih dari biasanya: “Aku akan terus bawa bunga kertas... meskipun kamu gak datang.”

“Kenapa?”

“Biar pohon ini tahu, bahwa aku gak lupa.”

Yang perempuan, Raras, menunduk.

Ia tak menanggapi.

Tapi ia ambil sehelai bunga yang dibawa Bram, dan menaruhnya di telinganya.

Lalu tersenyum.

Itulah sore yang mereka kenang.

Dan setelah itu, waktu mulai berjalan seperti kereta malam: tenang, cepat, dan tanpa banyak pertanyaan.

Tahun demi tahun berganti.

Bram tetap tinggal.

Ia mulai bekerja di toko kertas.

Lalu mengurus rumah orang tuanya setelah keduanya meninggal.

Sedang Raras… pergi.

Tak pernah mengirim kabar.

Tak pernah menyebut akan kembali.

Tapi Bram tidak marah.

Ia tidak kecewa.

Karena ia tidak menunggu untuk diingat.

Ia menunggu untuk menghormati sesuatu yang pernah ada.

Hari ulang tahun mereka ke dua puluh lima datang.

Ia berdiri di bawah pohon yang kini sedikit lebih tinggi.

Batangnya mulai membelok pelan.

Akarnya menebal.

Ia membawa bunga kertas yang ia susun sendiri.

Diletakkan tepat di atas batu kecil yang kini sudah mulai tertutup lumut.

Ia menunggu sampai senja.

Raras tidak datang.

Dan Bram… hanya tersenyum pelan.

Lalu berkata lirih pada akar pohon: “Nggak apa-apa. Yang penting aku datang.”

Sejak hari itu, ia datang setiap tahun.

Tanpa banyak harap.

Tanpa banyak kata.

Hanya satu bunga, dan waktu yang ia biarkan lewat tanpa amarah.

Karena untuknya, janji bukan untuk ditepati demi kehadiran… tapi untuk dikenang agar tidak hilang.

Dan bunga itu, walau hanya sekali pernah diselipkan di telinga seseorang, cukup untuk hidup sepanjang usia.

Sejak menemukan surat itu, Ayu tidak bisa tidur dengan tenang.

Bukan karena surat itu menyeramkan, tapi karena ia begitu lembut hingga menyisakan suara pelan di kepala yang terus membisik:

"datanglah kembali, meski hanya sekali."

Ia menyimpannya di laci meja kecil, bersama pita rambut dan pena tanpa tutup, seolah ingin meletakkannya di antara hal-hal yang mudah hilang tapi sulit dilupakan.

Keesokan harinya, seusai menyiram bunga dan menjemur pakaian, Ayu berdiri di depan pagar Bram.

Ia tidak membawa apa-apa.

Tak ada alasan kuat untuk mengetuk pintu.

Tapi rasa ingin tahunya kini tidak digerakkan oleh penasaran, melainkan oleh semacam kepedulian yang tumbuh diam-diam.

Bram membukakan pintu.

Seperti biasa, senyumnya tipis, tapi tak dibuat-buat.

Ia mempersilakan Ayu masuk dengan isyarat tangan, tanpa bicara.

Ruang tamunya tetap sama: bersih, sunyi, dan rapi.

Dan vas itu masih di tempatnya, berdiri seolah sedang menjaga sesuatu yang tak pernah benar-benar tiba.

Ayu memberanikan diri duduk.

Dan kali ini, ia bertanya tanpa banyak basa-basi: “Pak Bram…

rumah ini…tidak pernah dikunjungi siapa-siapa, ya?”

Bram menatap jendela.

“Rumah bukan tempat orang datang,” ujarnya pelan.

“Rumah itu tempat orang tetap tinggal. Kalau tidak ada yang tinggal, maka tak ada yang datang.”

Ayu mengangguk pelan.

Mungkin karena ia mengerti, atau mungkin karena ia tidak tahu harus menjawab apa.

Bram menyandarkan punggungnya.

Tangannya menyentuh meja. Jari-jarinya yang kurus bergerak pelan di permukaan kayu, seolah mengusap sesuatu yang tak terlihat.

“Waktu muda, saya sempat merapikan rumah ini.

Niatnya… buat seseorang yang pernah berjanji datang.

Saya ganti tirai, saya cat ulang dinding.

Tapi setelah lama menunggu, saya sadar… ada rumah-rumah yang tak akan pernah disinggahi.”

Ayu menunduk.

Tiba-tiba surat di lacinya terasa berat.

Terlalu berat untuk disimpan sendiri.

Tapi ia belum siap menyerahkannya.

Karena dalam dirinya ada konflik kecil: ia takut surat itu akan membuka luka, bukan menenangkan.

Dan Bram… ia tidak terlihat seperti orang yang masih menyimpan luka.

Ia seperti seseorang yang sudah berdamai dengan kehilangan, dan memilih menyapunya tiap hari agar tak terlalu berdebu.

Di sore yang sama, setelah Ayu pamit, Bram duduk sendirian.

Ia menatap vas kosong itu.

Lalu menoleh ke luar jendela.

Pohon tua masih berdiri, angin menggoyangkan daunnya pelan.

Dalam dirinya, ada ruang yang tidak terlalu sepi.

Karena ia sudah terbiasa.

Dan baginya, kesepian bukan musuh, tapi cara tubuh mengingat bahwa sesuatu pernah datang… lalu pergi.

Ia tidak ingin rumah ini ramai.

Tidak ingin suara tawa yang berlebihan.

Karena rumah ini dibangun dari diam, dan diam itu yang menjaganya tetap utuh.

Minggu pagi datang tanpa suara.

Udara masih basah oleh embun yang belum menguap.

Langit mendung tipis, seperti kertas kusut yang enggan diluruskan.

Ayu membuka jendela dan melihat ke arah rumah Bram.

Lelaki itu sedang berdiri di ruang tamunya, mengusap vas putih kecil di atas meja, dengan kain bersih berwarna biru laut.

Gerakannya perlahan, hati-hati, seolah benda itu rapuh sekali padahal tidak.

Vas itu bukan barang antik, bukan barang mahal.

Tapi benda yang dijaga seperti tubuh kedua.

Ayu terdiam.

Dari tempatnya berdiri, ia bisa merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan: bahwa vas itu bukan untuk bunga. Bukan untuk pajangan. Tapi untuk sebuah perasaan yang tidak pernah diberi tempat kecuali di sana.

Beberapa hari kemudian, Ayu kembali bertamu.

Membawa teh hangat dan sebungkus roti manis.

Bram menyambutnya seperti biasa tanpa kata, tapi juga tanpa menolak.

Mereka duduk.

Di antara mereka, vas itu seperti selalu hadir sebagai tamu ketiga yang tak pernah bicara, tapi paling setia mendengarkan.

Ayu menatapnya lagi.

Masih kosong.

Masih bersih.

Masih berdiri di tempat yang sama.

Lalu ia bertanya dengan suara sangat pelan:

“Pak Bram... kenapa Bapak membersihkan vas itu setiap minggu... tapi tidak pernah menaruh bunga?”

Bram menghela napas panjang.

Tak berat.

Tapi juga tidak ringan.

Ia memandang ke jendela, lalu berkata: “Karena vas itu saya jaga bukan untuk diisi. Tapi untuk diingat. Kalau saya taruh bunga di dalamnya… itu berarti saya percaya sesuatu sudah kembali. Tapi kalau belum biarlah kosong. Supaya kalau dia pernah datang lagi, ia tahu bahwa tempatnya masih ada.”

Ayu memejamkan mata sebentar.

Kata-kata itu seperti tetesan air hujan pertama setelah musim panjang yang terlalu kering.

Tidak membuat basah, tapi cukup untuk menggugah tanah yang sempat mati rasa.

Malamnya, Ayu menulis.

Bukan puisi.

Bukan catatan.

Hanya satu kalimat di kertas robek dari buku lamanya: “Kadang, cinta bukan tentang menyimpan bunga dalam vas. Tapi tentang menjaga ruangnya tetap bersih, meski tangan kita tak pernah benar-benar menggenggam kembali.”

Ia lipat kertas itu, dan keesokan harinya, tanpa suara, ia selipkan di bawah taplak meja Bram, tepat di samping vas.

Bram menemukannya dua hari kemudian.

Ia tidak tersenyum.

Tidak menanggapi.

Tapi sejak hari itu, setiap kali Ayu datang, vas itu masih bersih.

Tapi…ia tak lagi berdiri sendirian.

Di sampingnya, selalu ada satu bunga kertas kecil bukan di dalam, hanya disandarkan lembut pada pinggiran vas.

Bram tetap tidak menaruhnya di dalam.

Tapi setidaknya, kini vas itu tidak benar-benar sendiri.

Musim mulai berubah.

Angin datang lebih awal, daun-daun berguguran lebih sering, dan pagi-pagi menjadi lebih hening dari biasanya.

Ayu menyadari bahwa Bram mulai jarang keluar rumah.

Sudah tiga hari pohon tua itu berdiri sendirian.

Tak ada bunga di akarnya.

Tak ada suara sapu lidi di trotoar.

Tak ada Bram yang duduk di bangku beton retak.

Ia menunggu.

Bahkan menatap jendela rumah Bram dari sela tirai.

Tapi yang terlihat hanyalah dinding, dan vas putih yang masih berdiri di tempatnya, tanpa bunga, tanpa kertas kecil di sisinya.

Sore itu, Ayu memutuskan untuk menengok.

Ia mengetuk pintu dengan ragu.

Tiga kali.

Tak ada jawaban.

Namun suara langkah pelan akhirnya datang dari dalam.

Pintu terbuka.

Dan wajah Bram muncul, pucat dan sedikit goyah.

“Saya... agak kurang sehat. Maaf tidak menyapa,” katanya lirih.

Ayu hanya mengangguk.

Dalam hatinya ada sesuatu yang tenggelam pelan-pelan.

Seperti bunga kering yang jatuh perlahan ke lantai kayu.

Hari-hari berikutnya, Ayu tetap menaruh makanan di pagar, bungkusnya ditulis: “Hangat untuk pagi yang dingin.”

Tapi Bram tak pernah membalas, tak juga muncul.

Hingga pagi keempat, Ayu melewati pohon tua itu… dan melihat sesuatu yang membuatnya berhenti.

Ada kelopak bunga kertas berguguran sendiri.

Tanpa tangan yang meletakkan, tanpa koran bekas yang membungkus.

Warnanya ungu pudar.

Dibawa angin malam dari ranting teratas.

Seolah pohon itu tahu, bahwa pemilik setianya sedang kehilangan daya untuk datang, dan bunga itu… jatuh karena waktunya.

Bukan karena dilupakan.

Ayu berdiri cukup lama di sana.

Langkahnya berat untuk pergi.

Pikirannya mencoba menyatukan banyak hal yang terasa seperti puing:

Vas yang tetap kosong.

Surat yang tak pernah dikirim.

Bunga yang gugur sendiri.

Dan seseorang yang memilih diam bahkan saat tubuhnya perlahan menyerah.

Malamnya, hujan turun.

Ayu tidak bisa tidur.

Ia keluar, berdiri di teras dengan selimut tipis.

Melihat pohon tua yang kini tidak hanya menggugurkan daun, tapi juga ingatan.

Dan ia menangis.

Tanpa suara.

Karena ia tahu: “Ada cinta yang tidak pernah punya perpisahan.

Karena sejak awal, ia tidak pernah benar-benar memiliki pertemuan.”

Pagi berikutnya, rumah Bram masih tertutup.

Tapi vas di dalamnya… dari celah jendela… terlihat ada satu kelopak bunga kering di dasar putihnya.

Entah siapa yang meletakkannya.

Entah bagaimana bisa masuk ke sana.

Tapi mungkin, seperti bunga yang gugur sendiri, beberapa cinta juga tahu caranya pulang…meski hanya sebagai sisa waktu.

Pagi itu, kota sunyi seperti menahan napas.

Udara dingin tidak menusuk, hanya terasa berat.

Langit menggantung kelabu, dan tidak ada suara burung, tidak ada suara sepeda lewat, tidak ada Bram.

Tetangga mulai melihat rumah itu sebagai rumah kosong.

Seseorang berkata: “Dia sudah lama sendiri.”

Yang lain menambahkan: “Tapi rumahnya selalu bersih, ya?”

Ayu mendengar itu dari balik jendela.

Ia tidak menjawab.

Karena tidak semua kalimat perlu disambut.

Beberapa hari lalu, ia menyaksikan pohon tua menggugurkan bunga kertasnya satu per satu, tanpa Bram di bawahnya.

Tanpa koran bekas.

Tanpa upacara.

Hari ini, seseorang datang mengetuk pintunya.

Petugas kota.

Mengabari bahwa Bram telah meninggal dunia di kamarnya.

Tenang.

Di atas kursi tua.

Menghadap jendela.

Tidak ada surat.

Tidak ada pesan.

Hanya keheningan yang tersisa.

Dan satu vas… masih berdiri di tempatnya.

Sore itu, Ayu berdiri di dalam rumah Bram.

Ia diberi izin untuk melihat-lihat karena tak ada keluarga yang datang.

Ia berjalan pelan.

Langkahnya seperti menyusuri sisa-sisa waktu yang ditinggalkan tanpa bunyi.

Vas putih itu masih di meja.

Bersih. Tapi kini, di dalamnya ada selembar kertas kecil, terlipat rapi.

Tangannya gemetar saat membukanya.

Isinya adalah tulisan tangan Bram halus, miring, dan tenang:

“Aku tidak pernah menaruh bunga itu di vas, karena cinta yang kutunggu tak pernah pulang.

Tapi kalau ada seseorang yang melihat, memahami, dan menyapa tanpa bertanya, maka cinta itu tidak sia-sia.

Vas ini bukan milikku lagi.

Kini, ia milik siapa saja yang masih percaya bahwa menunggu tidak pernah salah,

meski tak pernah ada yang datang.”

Ayu menutup mata.

Dadanya terasa sesak, bukan karena kehilangan, tapi karena sesuatu dalam dirinya mendadak tumbuh.

Sebelum meninggalkan rumah itu, ia mengambil satu bunga kertas dari bawah pohon.

Ungu tua.

Kering.

Tapi utuh.

Ia masuk kembali ke rumah, mengambil vas putih itu, dan dengan gerakan paling sunyi dalam hidupnya menaruh bunga itu di dalam.

Untuk pertama kalinya.

Tidak untuk Bram.

Tidak juga untuk Raras.

Tapi untuk segala cinta yang hidup tanpa perlu suara.


Dan sore itu, dari luar jendela,

orang-orang bisa melihat: vas putih itu

tidak lagi kosong.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)