Masukan nama pengguna
Langit pagi itu kelabu, dengan awan yang menggantung seperti rahasia yang terlalu berat untuk disimpan. Daun-daun jatuh satu-satu di halaman sekolah, dan Ares anak pindahan dari kota seberang menjejakkan kakinya ke SMA Harapan Utara dengan rasa asing yang tak mampu ia tolak.
Suasana sekolah tampak biasa saja: murid-murid berseragam putih-abu yang berlarian menuju kelas, beberapa guru yang menyeruput kopi dari gelas tua, dan petugas kebersihan yang menyapu tanpa menatap siapa-siapa. Tapi entah mengapa, udara di pagi itu terasa lebih tebal dari yang seharusnya.
Ares berjalan menyusuri koridor kelas XI-B. Tangannya menggenggam surat pindahan, dan matanya menangkap papan nama tua yang sedikit retak di sudut pintu.
Ketika ia mengetuk dan masuk, suara-suara di dalam langsung berhenti, seolah kehadirannya adalah jeda dari sesuatu yang sedang berjalan terlalu lama.
"Silakan duduk di bangku kosong paling belakang, dekat jendela," kata wali kelas yang suaranya terlalu datar untuk sebuah sapaan.
Ares mengangguk, menarik napas, dan melangkah pelan ke arah kursi yang ditunjuk. Namun saat sampai di sana, ia berhenti.
Meja itu memang kosong. Tapi... tidak benar-benar kosong. Ada sebuah pulpen hitam yang tergeletak lurus di tengah meja. Kursinya ditarik sedikit keluar, seperti seseorang baru saja duduk di sana dan meninggalkannya dalam keadaan tergesa.
Dan... ada bau samar seperti parfum tua yang tertinggal di udara.
Ares memandang sekeliling.
Tak ada yang menoleh.
Semua sibuk menunduk.
Seolah tak ingin mengakui bahwa mereka juga melihat hal yang sama.
Ia duduk perlahan.
Pulpen di depannya bergeser sedikit, sendiri, tanpa disentuh. Mungkin angin, pikirnya.
Atau mungkin...
Bel masuk berbunyi... Kelas kembali sibuk. Pelajaran dimulai. Tapi Ares tak bisa fokus.
Dari sudut matanya, ia melihat sosok samar duduk di kursi sebelahnya.
Putih pucat. Kepala sedikit menunduk. Wajah tak terlihat.
Setiap kali ia menoleh, sosok itu hilang. Tapi setiap kali ia mengalihkan pandangan, kursi itu seperti bernafas.
“Mungkin kamu terlalu lelah. Atau mungkin sekolah ini memang menyimpan lebih banyak keheningan dari yang kau kira,” gumamnya dalam hati.
Saat jam istirahat tiba, Ares tetap duduk di tempat. Tak ada yang mengajaknya bicara. Mereka berjalan melewatinya seperti angin. Hampir semua murid tidak menatap ke arah meja itu. Seolah ia dan kursi itu telah menjadi satu bayangan panjang yang dihindari.
Lalu tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.
Seorang gadis, wajahnya pucat, rambutnya dikuncir satu.
"Namamu Ares, kan?"
"Iya."
"Jangan terlalu lama duduk di situ."
Ares mengernyit. "Kenapa?"
Gadis itu hanya menatapnya sejenak, lalu menunduk.
"Kursi itu... sudah pernah diisi. Dan belum dikosongkan."
Sore itu, hujan turun seperti rahasia yang jatuh satu-satu dari langit. Langit kelabu seperti wajah para murid yang Ares temui sepanjang hari pucat, menunduk, seperti sedang memikul sesuatu yang tak boleh dibicarakan.
Kata-kata gadis tadi masih terngiang:
“Kursi itu... sudah pernah diisi. Dan belum dikosongkan.”
Itu bukan peringatan biasa. Itu terdengar seperti perintah untuk tidak bertanya lebih lanjut.
Namun malam adalah waktu yang membuat rasa ingin tahu sulit diredam.
Dan Ares, anak pindahan yang membawa rasa asing di dadanya, memutuskan: kalau tempat ini menyimpan rahasia, ia harus tahu siapa yang sedang ia gantikan.
Keesokan harinya, saat jam istirahat kedua, Ares pergi ke perpustakaan. Bukan ke ruang utama tapi ke ruangan kecil di belakang, tempat catatan kelas lama dan buku agenda tahunan disimpan dalam lemari kaca.
Ia menunggu pustakawan pergi mengisi formulir, lalu diam-diam menarik map hijau bertuliskan:
“XI-B Tahun Ajaran Sebelumnya.”
Map itu berat, dan ketika ia membukanya, debu seperti berdesis dari sela-sela kertas. Di dalamnya terdapat daftar siswa, foto kelas, dan catatan kehadiran.
Ia mengamati satu per satu.
Wajah-wajah murid dalam foto tampak biasa saja, kecuali satu hal: meja di belakang, yang sekarang ia duduki… tidak kosong. Seorang siswa laki-laki duduk di sana. Wajahnya tirus, mata agak sayu, seragamnya rapi.
Tapi di foto itu... tak ada nama yang ditulis di bawahnya.
Setiap siswa diberi label nama di bagian bawah cetakan.
Dan hanya satu ruang kosong tepat di bawah siswa yang duduk di bangku Ares sekarang.
Ares membalik-balik halaman, mencari daftar absen.
Dan... anehnya, hanya 31 nama tercatat.
Padahal ada 32 siswa dalam foto.
“Kenapa satu orang bisa hilang dari semua catatan, tapi muncul di dalam foto?”
Ia menatap nama-nama dengan saksama.
Tak ada yang dimulai dengan huruf “V.” Tapi di bagian paling bawah halaman daftar nilai semester, ada satu goresan tinta terhapus sebagian.
Hanya dua huruf tertinggal:
“Ve”
Lalu bekas tinta yang digosok kasar, seperti ingin dilenyapkan selamanya.
Tiba-tiba... rak buku di belakang Ares berderit pelan.
Padahal tak ada angin, tak ada jendela terbuka, dan pustakawan masih di luar ruangan. Rak itu bergerak sedikit cukup untuk membuat satu buku tebal jatuh ke lantai.
Ares membungkuk, mengambil buku itu. Halaman pertama terbuka sendiri.
Dan di sana, tertulis dengan pulpen merah: “Dia masih duduk di sana. Tolong jangan ganggu.”
Ares membeku.
Matanya terpaku pada tulisan itu, jantungnya memukul dinding dadanya dari dalam. Tangannya sedikit gemetar saat menutup buku itu dan mengembalikannya.
Ia keluar dari ruangan tanpa bicara.
Langkahnya cepat, napasnya pendek.
Di lorong luar perpustakaan, ia bertemu lagi dengan gadis kemarin.
Namanya Dira.
Ia berdiri sambil memegang sepotong roti cokelat.
"Kamu ke ruang arsip ya tadi?"
Ares tak menjawab.
Hanya mengangguk.
"Udah lihat fotonya?"
"Siapa dia, Dir?"
"Namanya... nggak boleh disebut," katanya pelan.
"Kalau disebut, kadang dia muncul lebih jelas. Dan dia nggak suka dilihat."
***
Sejak hari itu, kelas terasa lebih sunyi bagi Ares.
Bukan karena tak ada suara, tapi karena setiap suara terasa salah tempat, dan setiap tatapan seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang tak boleh diketahui orang luar.
Di sela pelajaran, Ares mencatat sedikit demi sedikit bukan rumus atau teori sejarah, tetapi nama-nama teman sekelas yang terlihat tidak nyaman saat mendekati kursinya.
Setiap kali ia duduk, beberapa anak tampak menghindar sedikit ke samping.
Ada yang menahan napas, ada yang langsung memutar arah pandangan.
Bahkan guru pun tak pernah berdiri terlalu dekat ke mejanya.
Saat membagikan lembar ulangan, kertas Ares selalu diletakkan dengan jarak lebih jauh seolah ada sesuatu di sampingnya yang tak kasat mata.
Dan pagi itu, Ares memberanikan diri bertanya pada wali kelas.
Ibu Lestari.
Guru matematika yang jarang tersenyum, tapi dikenal jujur dan disiplin.
"Bu, saya boleh lihat daftar absen kelas tahun lalu?"
Wajah Bu Lestari menegang.
Ia meletakkan buku yang sedang dibacanya, lalu menatap Ares lama sekali sebelum menjawab:
“Untuk apa?”
“Saya cuma... penasaran,” jawab Ares hati-hati.
“Kayaknya ada nama yang terlewat. Di catatan ruang arsip, ada siswa yang duduk di meja saya, tapi”
“Sudah, Hentikan.”
Suara Ibu Lestari tajam, tapi bukan marah lebih seperti... takut.
“Jangan ganggu yang sudah tidak dicatat. Daftar itu sudah bersih. Dan saya tidak akan menambahkan nama yang sudah dihapus oleh waktu.”
Ares menunduk, mengangguk pura-pura mengerti. Tapi dalam hatinya, ia tahu: ada yang sedang ditutupi. Bukan oleh guru, tapi oleh seluruh sistem sekolah ini.
Ia keluar dari ruang guru dengan kepala penuh pertanyaan.
Di koridor, ia melihat Dira berdiri sendiri, menatap taman sekolah dari balik kaca.
“Dir,”
“Kamu tahu siapa yang dulu duduk di meja belakang, tempatku sekarang?”
Dira menoleh. Matanya sayu, ada bekas gelisah yang tak bisa disembunyikan.
“Aku tahu.”
“Tapi aku gak bisa bilang, Res.”
“Aku pernah coba cerita ke orang lain... dan setelah itu, setiap malam aku dengar bisikan di meja belajarku. Suaranya minta dibacakan namanya. Padahal aku nggak tahu namanya lengkap.”
Ares diam.
Gemetar kecil menjalari tangannya.
Bukan karena takut, tapi karena semua ini terasa lebih nyata daripada yang ia kira.
“Tapi kamu masih ingat huruf awalnya?”
“Huruf V,” jawab Dira lirih.
“Kayaknya Verdi. Atau Velin. Tapi dia laki-laki.”
“Kamu temannya?”
Dira mengangguk.
“Dulu, iya. Kami duduk bareng, sampai hari itu.”
“Hari apa?”
“Hari dia hilang dari kelas. Tiba-tiba... semua orang diminta diam. Namanya dihapus dari absen. Foto-fotonya dikumpulkan. Dan sejak itu, meja itu dikosongkan. Tapi rasanya gak pernah benar-benar kosong.”
Ares mencatat dalam buku kecilnya:
"Verdi" siswa yang hilang. Tidak pernah dicatat.
Masih ‘ada’ di kursinya.
Tidak disukai saat disebut.
“Kalau orang hilang, biasanya dicari. Tapi di sini, orang hilang justru dilupakan. Itu yang lebih menyeramkan.”
Senja menyelimuti SMA Harapan Utara dengan langit kelam seperti abu yang tak sempat dihempaskan.
Gedung sekolah mulai sepi.
Lorong-lorong memanjang bagai bisikan, dan bayangan jendela melintang di lantai seperti garis waktu yang meleset.
Tapi Ares belum pulang.
Ia berdiri di depan ruang tata usaha, mengintip dari kaca buram.
Pintu tak dikunci.
Tak ada staf di dalam.
Lampu menyala separuh cukup untuk membuat suasana lebih menyeramkan dari gelap total.
Ia masuk.
Langkahnya pelan.
Rak-rak berisi berkas menara tinggi di kiri kanan. Label kuning menggantung pada map dan map besar:
XI-B Tahun Ajaran Lalu, Nilai Semester Ganjil, Pendaftaran Mutasi.
Tangannya gemetar ketika menarik laci ketiga dari bawah.
Ia menemukan map dengan label samar:
“Rekapan Nilai Individual Siswa”
Setiap halaman berisi satu nama.
Nama siswa, nilai harian, kepribadian, catatan dari wali kelas.
Ares membaliknya satu per satu, hingga matanya berhenti di satu halaman yang berbeda. Bukan karena nama yang tertera, melainkan karena tidak ada nama sama sekali.
Di kolom nama, hanya tertulis satu angka:
“#032.”
Tanpa huruf.
Tanpa identitas.
Tapi di baris lain. nilai matematika, biologi, fisika semuanya lengkap.
Nilainya... tinggi.
Sangat tinggi.
Bahkan lebih tinggi dari seluruh siswa lain. Dan di catatan wali kelas, hanya tertulis: “Siswa ini memiliki kecenderungan menyendiri, tapi sangat observatif. Pernah terlibat dalam satu insiden di perpustakaan. Statusnya: DIAMKAN.”
Ares menahan napas.
“Diamkan.”
Itu bukan kata untuk seorang murid.
Itu kata untuk sesuatu yang harus dibiarkan... tapi tidak diangkat.
Ia membalik lembaran.
Halaman berikutnya kosong.
Dan halaman setelah itu kembali ke siswa lain dengan nama, foto, dan catatan biasa.
Tiba-tiba suara di belakangnya terdengar:
“Sedang cari siapa?”
Ares tersentak.
Di balik pintu, berdiri penjaga sekolah.
Pria tua, tubuh kurus, matanya tajam tapi suaranya lelah.
“Saya cuma... mencari data. Ada siswa yang...”
“Kalau kamu cari anak yang duduk di bangku belakang itu, lebih baik kamu tutup mapnya sekarang.”
Ares menatap pria tua itu, tapi matanya menolak tunduk.
“Kenapa semua orang menghindar dari namanya?”
“Apa dia melakukan sesuatu yang buruk?”
Pria itu diam lama.
Lalu berkata lirih:
“Bukan dia yang buruk. Tapi setelah dia... hal-hal buruk mulai terjadi.”
Ares tak menjawab. Ia menutup map itu, mengembalikannya perlahan ke laci. Tapi sebelum keluar, ia bertanya satu hal terakhir:
“Boleh saya tahu, kenapa dia disebut dengan nomor, bukan nama?”
“Karena,” jawab pria tua itu, “kadang nama bisa menghidupkan kembali yang sudah dikunci. Dan beberapa kunci... tidak untuk dibuka lagi.”
Malam itu, di kamarnya, Ares menulis:
“#032: bukan nama. Tapi angka. Tapi kalau tidak boleh disebut, kenapa aku merasa... dia menunggu untuk dipanggil kembali?”
***
Langit mendung menekan sore hari seperti jendela yang nyaris pecah karena beban angin. Hujan belum turun, tapi udara di sekitar SMA Harapan Utara terasa seperti menggenggam sesuatu. sesuatu yang tak terlihat, tapi beratnya menyeret langkah Ares ke tempat yang tak ingin didatangi siapa pun:
perpustakaan lama.
Bukan perpustakaan utama yang terang dan rapi itu, melainkan ruang belakang sisi sunyi dari sekolah yang pintunya selalu terkunci, raknya berdebu, dan lampunya hanya satu bohlam kuning menggantung di tengah langit-langit retak.
Ares menyelinap masuk sore itu.
Kunci ruang perpustakaan dipinjam diam-diam dari ruang tata usaha.
Ia hanya ingin tahu:
benarkah ada rak buku yang tak bisa digeser, dan menyembunyikan sesuatu di baliknya?
Langkahnya menyusuri lorong buku-buku yang tak pernah dibuka.
Judul-judulnya sudah pudar:
"Hipotesis Realitas"
Jurnal Psikologi Perilaku 1974
Kumpulan Arsip Siswa Hilang yang terakhir, tak punya nama pengarang.
Rak keempat dari ujung tampak sedikit menjorok keluar.
Tak sejajar.
Berbeda dari yang lain.
Ares meletakkan tangannya di sisi rak itu.
Ia mendorong.
Tak bergerak.
Ia tarik.
Masih tak bergerak.
Namun... ketika ia menyentuh bagian bawah rak, ada sesuatu yang terdorong ke dalam. Seketika rak itu menggeser sendiri pelan seperti roda berkarat yang dilumasi oleh napas entah siapa.
Di belakang rak itu, ada celah dinding selebar satu meter.
Gelap.
Terlalu sempit untuk dimasuki tubuh. Tapi cukup untuk menyembunyikan benda kecil... atau kenangan besar.
Ares mengarahkan senter ponselnya ke dalam.
Di lantai yang berdebu, tergeletak satu benda:
buku bersampul kulit hitam, tanpa judul. Diikat dengan tali benang merah kusut.
Ia mengambilnya.
Membersihkan debu pelan.
Jantungnya berdetak cepat seperti mengenali sesuatu yang belum pernah ia lihat.
Saat ia membuka halaman pertama, tulisan tangan memenuhi setiap lembar.
Rapih, teratur, berwarna hitam.
“Hari ke-1: Mereka mulai bertanya kenapa aku tidak pernah absen. Padahal aku tidak pernah merasa hadir.”
“Hari ke-12: Guru bilang aku terlalu tenang. Tapi bagaimana bisa ribut, kalau kursi di sekelilingku selalu kosong?”
Ares menelan ludah.
Tangannya gemetar saat membalik halaman berikutnya.
Tulisan-tulisan berubah.
Menjadi tidak stabil.
Ada goresan keras di beberapa kata.
“Hari ke-23: Aku mulai mendengar namaku dibisikkan… padahal tak ada yang memanggil.”
“Hari ke-30: Rak buku bergerak. Buku ini tidak ingin kutulis lagi. Tapi aku tidak bisa berhenti.”
Suara kecil terdengar di belakangnya. Ares menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa.
Tapi... buku itu terbuka sendiri ke halaman paling akhir. Dan di sana, dengan huruf besar dan tinta merah, tertulis: “Aku duduk di belakang, kursi dekat jendela. Tolong jangan gantikan aku.”
Suhu di ruangan terasa turun beberapa derajat. Atau mungkin hanya Ares yang merinding.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas pelan dan membuka matanya ke arah buku di tangannya.
Halaman itu masih terbuka. Tinta merah menyala, kata-kata seperti berdarah.
“Aku duduk di belakang, kursi dekat jendela. Tolong jangan gantikan aku.”
Tangan Ares ingin menutup buku itu. Ingin pergi.
Ingin mengabaikan semua ini sebagai imajinasi yang terlalu jauh. Tapi rasa penasaran lebih kuat daripada takut. Lebih kuat daripada akal sehat.
Ia membalik satu halaman lagi.
Dan di sanalah matanya berhenti.
Halaman itu berbeda.
Bersih.
Tanpa bercak debu.
Tulisannya jauh lebih rapi dan... tintanya masih basah.
Ares menyentuh ujung kertas dengan telunjuknya dan tinta itu menempel di jarinya.
Ia menelan ludah. Menunduk perlahan untuk membaca isinya:
“Ares Mahendra. Lahir 12 Juni. Pindahan dari SMA Bukit Cerah. Duduk di kursi milikku. Hari ini kamu buka halaman ini.”
Jantungnya berhenti sesaat.
Ia menutup buku itu dengan cepat, napasnya memburu, matanya liar menatap sekeliling.
Tak ada siapa-siapa.
Tak ada suara.
Tapi... bagaimana bisa namanya tertulis di dalam buku yang tak pernah disentuh siapa pun sejak tahun lalu?
“Apa buku ini tahu masa depan? Atau… ada yang menulisnya dari tempat yang tidak bisa kujelaskan?”
Ia membuka buku itu lagi, dengan tangan yang kini gemetar lebih keras.
Halaman itu memang nyata.
Bukan tempelan.
Bukan coretan baru.
Kertasnya sama tua dengan halaman lain, tapi tintanya lebih baru dari waktunya.
Seperti... ditulis kemarin.
Atau barusan.
Di bawah namanya, tertulis satu kalimat pendek: “Kalau kamu membaca ini, itu artinya aku belum pergi.”
Ares menutup buku perlahan, tapi ada suara halus di telinganya. Bukan seperti bisikan dari luar, tapi seperti suara dari dalam kepalanya sendiri.
“Kamu lihat aku kan? Meski yang lain tidak.”
Rak di belakangnya bergeser sedikit.
Sendiri.
Tanpa disentuh.
Dan pintu perpustakaan lama... tertutup pelan, sendirinya.
Klik.
Terkunci dari dalam.
Ares berdiri.
Panik.
Jantungnya berdebar seperti ketukan palu di dinding sempit.
Ia mencoba membuka pintu gagal.
Kemudian ia berbalik.
Dan di sela lorong rak… ia melihat bayangan putih duduk di kursi sudut. Punggungnya menghadap. Tapi bahunya bergerak naik turun seperti sedang… menangis.
Atau tertawa?
Ares mundur selangkah.
Buku di tangannya mulai terasa berat seperti membawa lebih dari sekadar kertas.
Kemudian… suara samar terdengar: “Kalau kamu masih duduk di kursiku besok… aku akan tunjukkan padamu kenapa aku tidak boleh dilupakan.”
***
Keesokan paginya, Ares datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Langkahnya berat, matanya sembab bukan karena kurang tidur, tapi karena malam itu ia bermimpi duduk di meja belakang sendirian, dan di depannya, cermin besar menunjukkan bayangan... yang bukan miliknya.
Di dalam tasnya, buku kulit hitam itu masih ada.
Terselip rapi, diam. Tapi beratnya seperti batu yang menggantung di pikirannya sejak semalam.
Ia tidak bisa diam.
Ia harus memberitahu Dira.
Setelah bel masuk, saat pelajaran belum dimulai, Ares membisikkan sesuatu ke telinga Dira:
“Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku menemukan buku miliknya. Dia menulisku di sana, Dir. Namaku. Ulang tahunku. Kursiku.”
Dira langsung menoleh.
Wajahnya yang pucat berubah lebih pucat.
“Kamu… bawa bukunya ke sini?”
Ares mengangguk.
Perlahan mengeluarkan buku itu dari tasnya dan meletakkannya di atas meja.
Dira menatapnya dengan mata membesar, lalu mundur satu langkah.
Tidak menyentuh. Tidak bicara. Tidak bernapas keras.
“Kamu gila,” bisiknya.
“Buku itu... gak pernah boleh disentuh. Itu bukan sekadar buku harian. Itu perpanjangan dari dirinya.”
Ares mengerutkan dahi.
“Apa maksudmu?"
Dira mendekat pelan,
matanya tak lepas dari buku hitam itu.
“Siapa pun yang menyentuhnya, perlahan akan... kehilangan bagian dari dirinya. Bukan langsung hilang. Tapi sedikit demi sedikit, kamu akan lupa: wajah orang tuamu, nama temanmu, suara tertawamu sendiri.”
Ares merasa mulutnya kering.
Ia belum lupa apa pun tapi pikirannya seperti kabur.
Tadi pagi ia nyaris menyikat gigi dengan pulpen.
“Kenapa buku itu bisa menuliskan namaku, Dir?”
Dira menghela napas.
“Karena kamu menggantikan dia. Dan dia... belum pergi. Dia hanya... menunggu seseorang cukup berani untuk meneruskan apa yang tidak selesai.”
Ares memandang buku itu.
Tiba-tiba... halaman-halamannya mulai terbuka sendiri.
Angin dari jendela?
Mungkin.
Atau... sesuatu sedang membaca balik ke dalam dirinya?
Satu lembar tipis tergelincir dari sela halaman, jatuh ke lantai.
Dira membungkuk memungutnya.
Itu foto.
Lama.
Berwarna kusam.
Kelas XI-B tahun lalu.
Dan ya... ada wajah Verdi di sana.
Tersenyum tipis.
Duduk di bangku belakang.
Tapi yang aneh... hanya Verdi yang tidak punya bayangan. Semua murid di foto memiliki bayangan ke arah kiri.
Verdi... kosong. Bayangannya tak ada. Seolah ia tidak berasal dari ruang yang sama.
“Foto ini... selalu berubah,” bisik Dira.
“Kadang bayangannya muncul. Kadang tidak. Tergantung siapa yang melihat.”
Ares menatap lagi.
Kini bukan hanya bayangan yang hilang. Wajah Verdi mulai kabur. Retak seperti kaca. Lalu... perlahan... berubah.
Menjadi wajahnya sendiri.
Malam turun tanpa suara.
Lampu-lampu jalan di luar kamar Ares berkedip tak teratur, seolah ikut gelisah bersama pikirannya.
Di dalam kamarnya yang sempit, sunyi mengendap seperti udara basi.
Di meja belajarnya, dua benda tergeletak:
buku bersampul kulit hitam,.dan foto kelas XI-B yang ia simpan dalam amplop.
Ia tak bisa tidur.
Wajah Verdi atau bayangan samar yang kini menyerupai dirinya sendiri terus muncul di kelopak mata saat ia memejamkan mata.
Tatapan kosong di foto itu... bukan sekadar hampa. Itu tatapan seseorang yang menunggu gilirannya untuk kembali hidup.
“Kalau kamu buka lembaranku, aku bisa buka ingatanmu.”
Kata-kata itu terngiang seperti gema dalam kepalanya.
Tak ada suara nyata.
Tapi tetap terdengar.
Ares duduk di meja.
Membuka amplop berisi foto.
Foto itu masih sama.
Kusam, bergaris, dan kini terlihat lebih rapuh... Namun yang paling mengganggu adalah:
bayangan Ares kini tak ada di foto.
Ia melihat foto itu pagi tadi.
Bayangannya jelas, jatuh ke arah jendela.
Tapi sekarang?
Hilang.
Sama seperti bayangan Verdi sebelumnya.
“Apa ini efek dari menyentuh bukunya?”
“Apa aku… mulai tergantikan?”
Ares menaruh foto itu kembali ke dalam amplop, menutup buku harian Verdi rapat-rapat, dan memaksa dirinya untuk tidur.
Tapi malam belum selesai.
Pukul dua dini hari,
Ares terbangun.
Kamarnya gelap.
Tapi cahaya redup dari arah dinding menarik matanya.
Ia menoleh.
Foto itu... sekarang menempel di dinding.
Ia berdiri cepat, jantungnya melonjak ke leher. Padahal ia yakin: foto itu sudah dikunci di laci mejanya.
Ia mendekat.
Lambat.
Napaknya nyaris tanpa suara.
Lalu matanya membesar.
Wajah-wajah di dalam foto mulai bergerak.
Samar, seperti rekaman video dalam resolusi rendah.
Murid-murid di dalamnya tersenyum.
Bergurau.
Saling melambai.
Semua kecuali satu:
sosok Ares.yang kini duduk di bangku belakang, sendiri, tak bergerak.
Memandang lurus ke arah kamera, matanya... memandang keluar foto.
Langsung ke arah Ares yang berdiri di hadapannya.
“Kamu melihatku, kan?”
“Karena kamu yang menggantikanku.”
Ares mundur, napasnya kacau.
Lalu tiba-tiba foto itu terlepas dari dinding, melayang sesaat, dan jatuh tepat di meja belajarnya, menghadap ke atas.
Ia tak berani menyentuhnya. Tapi dari tempatnya berdiri, ia bisa membaca satu kalimat baru yang muncul di bawah foto:
“Besok, jangan duduk di kursi itu.”
***
Pagi itu langit serupa luka yang belum kering abu-abu pucat, tanpa arah cahaya. Sekolah belum ramai. Tapi Ares tidak menuju kelas. Hari itu ia memutuskan mengikuti satu-satunya petunjuk nyata yang tersisa di antara kertas-kertas penuh rahasia: sebuah alamat tulisan tangan samar di bagian belakang buku hitam.
“Jalan Mawar No. 7 – rumah berpagar besi merah.”
Lokasinya di pinggiran kota. Di ujung jalan kecil yang seperti dilupakan GPS.
Ares naik angkutan umum separuh jalan, lalu sisanya ia tempuh dengan berjalan kaki.
Langkahnya berat.
Karena yang ia bawa bukan sekadar ransel, melainkan pertanyaan yang membuat pundaknya menunduk: apa yang sebenarnya terjadi pada Verdi?
Dan kenapa semuanya terasa seperti... mengarah pada dirinya?
Rumah itu mudah dikenali.
Catnya pudar.
Jendela kaca dibiarkan terbuka sedikit, tirai putih di baliknya menggantung mati seperti bunga yang ditinggal mekar.
Pagar besi merahnya sudah berkarat, tapi di antara karat ituterlihat lukisan kecil berbentuk huruf “V.”
Ares berdiri di depan gerbang.
Ragu.
Tapi sebelum ia mengetuk,pintu rumah sudah terbuka.
Seorang wanita tua berdiri di sana. Tubuhnya kurus, bahunya melengkung ke bawah.
Tapi wajahnya... tersenyum seolah sedang menyambut seseorang yang sangat ia rindukan.
“Verdi...”
Suara itu nyaris berbisik.
Penuh harap.
Penuh luka.
Ares membeku.
Ia membuka mulut untuk menjelaskan, tapi tak ada suara keluar.
Wanita itu berjalan pelan ke arahnya, menggenggam tangannya, dan mengangguk pelan.
“Akhirnya kamu pulang juga, Nak.”
Ares ingin menepis tangan itu.
Ingin menjelaskan bahwa ia bukan Verdi.
Tapi entah kenapa ia tidak bisa.
Bukan karena takut.
Tapi karena wajah wanita tua itu menatapnya dengan rasa percaya yang begitu dalam, seolah hatinya tak mampu mematahkan harapan itu.
Ia dibawa masuk ke dalam rumah.
Aroma tua memenuhi udara.
Seperti kayu lapuk, buku lama, dan... aroma bunga melati yang nyaris busuk.
Di ruang tamu, banyak foto tergantung di dinding.
Tapi semuanya kabur.
Semua wajah di dalamnya diburamkan, ditimpa cat putih.
Semua kecuali satu:
foto Verdi.
Tapi anehnya... dalam foto itu, Verdi masih anak-anak. Dan berdiri di sebelahnya adalah seorang anak lain... yang sangat mirip dengan Ares.
“Ibu,” Ares akhirnya bicara, suaranya pelan.
“Saya... bukan Verdi.”
Wanita tua itu berhenti menyeduh teh.
Ia mendongak perlahan.
Wajahnya tak marah.
Tapi... sedih.
“Semua anak yang datang ke sini bilang begitu. Tapi tak satu pun dari mereka ingat bagaimana caranya mereka bisa sampai.”
Ares menelan ludah.
“Maksud Ibu... sudah ada orang lain ke sini sebelumnya?”
“Tiga anak. Semua bilang mereka duduk di bangku belakang, dekat jendela. Semua bilang mereka mimpi tentang buku hitam.”
“Dan mereka semua menghilang... tapi wajah mereka satu demi satu.muncul dalam foto anak saya.”
Ares berdiri.
Gemetar.
Matanya menatap satu bingkai di sudut ruangan. Bukan foto, tapi cermin kecil yang digantung terlalu tinggi.
Dalam pantulan cermin itu, Ares melihat dua sosok berdiri di ruang tamu.
Ia sendiri... dan satu sosok lagi berdiri di belakangnya, dengan wajah yang identik dengan fotonya di buku, tapi tak punya bayangan.
Ares pulang malam itu dengan tubuh utuh, tapi jiwanya seperti tertinggal di ruang tamu rumah tua yang memanggilnya “Verdi.”
Langit di atas kota tampak tak bergerak, bintang-bintang mati suri, dan udara terasa seperti tirai tipis antara dunia nyata dan sesuatu yang menunggu di baliknya.
Sesampainya di kamar, Ares menyalakan lampu dan berdiri lama di depan cermin. Cermin itu kecil, sederhana, tergantung di dinding sejak pertama kali ia pindah.
Biasanya ia melihat pantulan matanya sendiri mata yang selalu menyimpan sedikit keraguan, sedikit penasaran.
Tapi malam ini... yang ia lihat hanya pantulan kamar.
Bukan dirinya.
Ia berkedip.
Berdiri lebih dekat.
Mengangkat tangan dan melambai.
Tapi tak ada gerakan yang terpantul. Seolah cermin itu menolak mengakuinya sebagai siapa pun yang seharusnya ada di sana.
“Tidak... ini tidak mungkin.”
“Ini hanya efek lampu... atau aku terlalu lelah.”
Ia menyalakan lampu tambahan.
Menyentuh permukaan kaca.
Dingin.
Kasar di bagian tepinya.
Namun... tetap tidak menunjukkan bayangan dirinya.
Yang lebih aneh ia melihat foto keluarganya di rak tapi dalam bingkai itu, wajahnya buram. Seperti dihapus dengan jari basah.
Ares mengambil satu foto.
Foto saat ia ulang tahun ke-16.
Di situ harusnya ia berdiri di tengah ayah dan ibunya, tersenyum malu-malu dengan kue di tangannya.
Tapi kini hanya ada dua orang dewasa... dan ruang kosong di tengah mereka.
“Apa yang terjadi padaku?”
“Apa aku yang mulai menghilang... atau mulai digantikan?”
Ia mengambil buku harian kecilnya, ingin menulis semua kejadian, mencoba tetap waras di tengah sesuatu yang terasa seperti mimpi buruk yang logis. Tapi halaman pertama yang ia buka... sudah berisi tulisan tangan yang bukan miliknya.
“Kalau kamu membaca ini, berarti aku sudah mulai menjadi kamu.”
“Dan kamu hanya punya satu pilihan: tinggalkan meja itu. Atau aku akan tinggal selamanya.”
Tangannya gemetar.
Ia menutup buku itu, menguncinya di laci, dan duduk di lantai, memeluk lututnya.
Telinganya mendengar sesuatu.
Samar.
Dari jendela yang terbuka.
Suara seseorang bernyanyi.
Nada kecil.
Lagu anak-anak.
“Bayanganku hilang... tapi aku tetap tinggal... kursiku kosong... tapi aku tidak benar-benar pergi...”
Mata Ares menatap kembali cermin.
Masih kosong.
Namun kali ini, di belakang ruang yang terpantul, terlihat sosok laki-laki berdiri di kursi belajarnya.
Bukan pantulan.
Tapi kehadiran.
Dan perlahan, sosok itu berubah menjadi dirinya sendiri.
Menatap balik.
***
Hujan turun seperti permintaan maaf dari langit terlambat, tipis, tapi tetap membuat dunia di bawahnya tampak lebih muram dari biasanya.
Ares kembali ke sekolah dengan langkah berat.
Semalaman ia tak tidur. Dan pagi ini, ia sengaja datang lebih awal.
Satu jam sebelum bel masuk.
Satu jam sebelum semua suara mulai membangun kenyataan palsu di ruang kelas.
Tujuannya jelas:
meja kayu paling belakang, dekat jendela. Tempat di mana segalanya bermula. Dan tempat yang kini... seakan menariknya kembali seperti arus air yang menyeret pasir ke dasar sungai.
Ia duduk pelan.
Kursi berderit pelan, meja dingin.
Laci kecil di bawah meja tampak biasa saja.
Tapi Ares tahu: tempat itu pernah dihuni oleh seseorang yang tidak ingin dilupakan. Dan jika ada sesuatu yang tertinggal pasti di sanalah letaknya.
Ia mengangkat alas meja, menyisir bagian bawah dengan jari. Dan di sana, ditempel dengan selotip tua dan nyaris tak menempel: sebuah kertas lusuh yang terlipat empat.
Ares membuka lipatannya perlahan. Kertas itu lembap, bau tua, tapi tintanya masih terbaca:
“Hari ke-33: Aku merasa mereka mulai membenciku, tapi tidak tahu kenapa. Mungkin karena aku tahu apa yang tidak seharusnya kuketahui.”
“Hari ke-34: Aku mendengar suara di dalam rak. Rak buku itu bukan rak biasa. Di baliknya ada ruang yang tidak tertulis di denah sekolah.”
“Hari ke-35: Aku menulis catatan ini sebagai pengingat. Jika suatu hari aku hilang, dan seseorang duduk di kursiku, tolong sampaikan ke dunia: aku tidak pergi: Aku disembunyikan.”
Jantung Ares berdetak pelan tapi berat. Tangannya gemetar.
Di bawah tulisan tangan itu, ada sesuatu yang lebih mengganggu: goresan tajam, seperti bekas paku, membentuk kalimat pendek:
“TIGA HARI LAGI.”
“Tiga hari lagi apa?”
“Tiga hari lagi sejak catatan ini ditulis?”
“Tiga hari sampai dia menghilang... atau sampai aku digantikan?”
Ares menatap kalender sekolah di dinding kelas.
Hari ini adalah hari ketiga sejak ia membuka buku hitam itu.
Tiga hari.
Waktu yang sama.
Siklus yang berulang.
Pintu kelas berderit.
Dira masuk.
Ia melihat Ares duduk sendiri di sana, memegang kertas lusuh.
“Kamu nemu itu di meja?”
Ares mengangguk.
“Kamu tahu tentang tiga hari?”
Dira menatap lantai.
“Verdi hilang tiga hari setelah bilang ke aku kalau dia mendengar suara dari rak buku.”
“Dan aku...” Dira menggigit bibir,
“Aku dengar bisikan itu juga. Tapi aku gak berani ke sana.”
Ares berdiri.
Kertas masih dalam genggamannya.
“Kalau ini benar... aku harus ke balik rak itu lagi. Sebelum semuanya jadi terlalu terlambat.”
Langkah Ares menyusuri lorong sekolah seperti langkah orang yang tahu dirinya sedang berjalan menuju titik tanpa kembali.
Tapi ia tak gentar.
Karena di antara segala rasa takut,.ada satu hal yang lebih menakutkan: membiarkan rahasia tetap tersembunyi dan memakan jiwa berikutnya.
Perpustakaan lama sunyi.
Tak ada siswa lain.
Jam pelajaran sedang berlangsung dan itu memberi Ares cukup ruang dan waktu untuk kembali ke rak buku keempat dari ujung, yang pernah bergerak sendiri, yang pernah menyimpan buku harian yang menuliskan namanya sebelum ia membacanya.
Tangannya menyentuh sisi bawah rak. Kali ini, ia tahu cara membukanya. Satu dorongan kecil, dan suara krek pelan kembali terdengar. Rak itu bergeser. Celah gelap di baliknya kembali terbuka. Udara dingin menyembur keluar bukan dingin biasa, tetapi seperti napas dari ruang yang tidak pernah diberi izin untuk bernapas.
Ares menyalakan senter ponsel dan menyinari bagian dalam celah.
Debu menari dalam cahaya, tapi tidak ada buku.
Tidak ada foto.
Tidak ada benda apa pun.
Hanya... suara.
Lembut.
Tapi bukan bisikan.
Lebih mirip seperti suara dari dalam pikirannya sendiri tapi menggema seperti dipantulkan dari dinding batu.
“Ares...”
“Tinggalkan tempatku. Atau tinggalkan namamu.”
Ares mundur setapak.
Matanya menatap dalam.
Dan tiba-tiba, dari ujung celah, muncul sesuatu.
Kertas.
Dilipat kecil.
Berwarna kuning tua.
Seperti surat yang terlalu lama menunggu untuk dibuka.
Tangannya gemetar saat mengambilnya.
Ia membuka lipatan perlahan.
Tinta biru menari di atas kertas kasar itu:
“Kepada siapa pun yang membaca ini: Saya, Verdi Santara, tidak pernah pergi. Saya disimpan. Di tempat yang tidak ditulis di denah sekolah. Tempat yang hanya terbuka saat seseorang menggantikanku.”
“Kalau kamu menemukan ini, itu berarti kamu dipilih. Dan satu-satunya jalan keluar... adalah tidak mengakui bayanganku.”
“Jangan panggil namaku. Jangan duduk di tempatku. Dan jangan sekali pun menulis namaku di kertas apa pun.”
Ares menutup kertas itu.
Matanya panas.
Bukan karena ingin menangis tapi karena ia merasa bagian dalam dirinya mulai terkikis perlahan.
Ia menoleh ke arah rak.
Dan untuk pertama kalinya... ia melihat bayangan.
Bukan dirinya.
Tapi bayangan seorang anak laki-laki berdiri menghadapnya.
Rambut acak, mata tak tampak.
Tapi tubuhnya... mengenakan seragam sekolah yang sama dengan milik Ares.
Satu-satunya bedanya: bayangan itu tidak punya wajah.
Ares melangkah mundur.
Senter ponselnya berkedip, lalu mati total.
Dalam gelap, suara itu kembali:
“Tiga hari sudah cukup. Aku butuh kursi itu kembali. Aku tidak mau jadi kenangan lagi.”
***
Ares tak masuk kelas hari itu.
Ia duduk sendiri di bawah pohon kamboja dekat ruang guru lama, mencoba mengatur napas, mencoba mengatur kenyataan yang tak lagi lurus.
Dira duduk di sampingnya.
Sunyi menggantung di antara mereka bukan karena tak ada kata, tapi karena semua kata yang ingin diucapkan... terasa tidak cukup kuat menahan apa yang mereka hadapi.
“Aku tahu satu tempat,” bisik Dira akhirnya.
“Tapi kita gak boleh ke sana sendirian.”
“Tempat apa?”
“Dulu Verdi pernah cerita.
Ada pintu kecil di bawah tangga belakang sekolah. Bukan pintu biasa. Gak pernah ada di denah. Gak bisa dibuka kecuali kamu... pernah menggantikan tempatnya.”
Ares menggenggam kuat buku kecil berisi catatan harian Verdi.
Hari itu adalah hari ketiga.
Dan ia tahu, jika tidak bertindak sekarang ia mungkin akan benar-benar hilang.
Sore harinya, mereka menyusuri koridor sunyi menuju tangga belakang.
Tangga itu jarang dilalui dekat ruang arsip tua, dindingnya berlumut dan lampunya berkedip lambat, seperti jantung sekolah yang tak lagi berdetak penuh.
Dira menunjuk dinding bawah tangga.
“Di sini.”
Awalnya hanya tampak seperti dinding biasa. Tapi jika diperhatikan lebih dekat... ada bekas garis melingkar. Retak kecil di tepinya, dan debu yang tidak pernah tersentuh.
Ares menyentuhnya.
Dingin.
Kemudian... retakannya bergetar. Seolah mendengar sesuatu dari dalam, pintu itu yang sebelumnya tidak terlihat muncul.
Kayu tua, gagang besi berkarat.
Tidak terkunci.
Hanya menunggu dibuka oleh tangan yang sudah cukup terikat.
“Kamu yakin?” tanya Dira.
Ares tidak menjawab.
Ia hanya menarik napas dalam-dalam, dan memutar gagang itu.
Pintu terbuka.
Udara dingin langsung menerpa wajah mereka.
Di balik pintu, bukan ruang kecil seperti yang dibayangkan melainkan lorong sempit memanjang ke bawah tanah, diterangi lampu-lampu kecil yang menyala satu per satu seiring langkah mereka masuk.
Tap. Tap. Tap.
Langkah mereka menggema.
Di dinding lorong, ada coretan bukan graffiti, tapi nama-nama.
Puluhan.
Mungkin ratusan.
Semua tertulis dengan tinta pudar.
Dan di antaranya, Ares melihat satu nama paling jelas:
“Ares Mahendra”
Tertulis di antara dua nama yang dicoret kasar:
Verdi Santara.
Reno Arkan.
“Mereka semua... orang yang pernah duduk di kursi itu?” tanya Ares pelan.
Dira mengangguk.
“Yang tidak pernah mengabaikan suara dari belakang.”
“Yang mengira mereka cukup kuat… untuk tidak tergantikan.”
Di ujung lorong, ada pintu kayu berat. Di atasnya, tergantung papan bertuliskan:
“Ruang Pengembalian.”
Ares menelan ludah. Tangannya menyentuh kenop pintu. Tapi sebelum membukanya, ia menoleh ke Dira.
“Kalau aku gak keluar dari sini,jangan biarkan siapa pun duduk di kursi belakang itu lagi.”
“Aku janji,” jawab Dira.
Lirih, tapi cukup kuat untuk menahan tangis.
Ruang itu dingin.
Bukan sekadar suhu, melainkan dingin yang berasal dari dalam tulang.
Seperti tempat yang tak pernah dihangatkan oleh kehadiran manusia. hanya dihuni oleh kenangan yang terlalu pekat untuk pergi.
Ares melangkah masuk.
Pintu di belakangnya menutup sendiri.
Klek.
Suara itu menggema lebih lama daripada yang seharusnya.
Ia berdiri di dalam ruangan kosong seluas kelas, tapi dengan langit-langit lebih rendah dan dinding beton yang retak.
Di tengah ruangan... ada kursi kayu tunggal menghadap ke sebuah cermin tinggi.
Cermin itu retak di sudut atas, namun tetap cukup utuh untuk memantulkan seluruh ruangan.
Ares berjalan mendekat.
Setiap langkahnya menimbulkan gema aneh seolah ia tidak sendiri.
Seolah langkah lain juga ikut bergerak bersamanya.
Ketika ia sampai di depan cermin, ia berhenti.
Bayangannya masih ada.
Tapi seperti foto-foto sebelumnya wajahnya mulai buram. Seperti dihapus perlahan.
Seperti memudar.
Lalu ia melihat sesuatu di kursi.
Buku.
Bukan buku harian yang sama,tapi identik bersampul hitam, berisi tulisan tangan yang langsung dikenali Ares.
Tapi halaman pertama kali ini... bukan tentang Verdi. Melainkan dirinya sendiri.
“Ares Mahendra.
Tiga hari sudah cukup.
Tiga langkah sudah lengkap.
Tiga jejak sudah tertinggal.”
“Sekarang, gantian kamu duduk di sini.”
Ares melangkah mundur.
Kepalanya berat.
Suara mulai berdengung.
Cermin di depannya bergetar sedikit, dan dari pantulannya, ia melihat kursi di kelas yang ia duduki selama ini kosong.
Tapi tetap terisi.
Oleh bayangan yang tidak bisa dilihat dari dunia ini.
Lalu suara terdengar.
Dekat.
Tapi tak punya sumber.
“Kamu datang bukan untuk menolak. Kamu datang untuk menggantikan.”
Ares memejamkan mata.
Menggenggam erat catatan kecil Verdi. Tangannya dingin. Tapi tekadnya masih menyala tipis.
“Kalau aku duduk di kursi ini... apa aku akan menghilang juga?”
Suara menjawab, pelan, tapi penuh keyakinan: “Kamu tidak akan hilang. Kamu akan menjadi bagian dari daftar. Dan suatu saat, seseorang juga akan datang untuk menggantikanmu.”
Gemetar, Ares menoleh ke pintu.
Masih terkunci.
Tidak ada jalan kembali.
Lalu ia memutuskan:
ia tidak akan duduk.
Ia akan membakar buku itu.
Ia akan memutus rantai ini.
Tapi saat tangannya terangkat, buku di kursi membuka sendiri.
Halaman terakhir menulis:
“Kalau kamu melawan, kamu tidak akan dihapus Kamu akan tinggal di antara bayangan tidak hidup, tidak hilang. Hanya... diam.”
***
Pagi datang seperti kabar duka yang tidak ingin dibuka.
Matahari menggantung suram di balik awan, dan suara lonceng sekolah terdengar lebih berat dari biasanya seperti menarik waktu menuju sesuatu yang tak bisa dicegah.
Dira masuk kelas lebih dulu.
Langkahnya pelan.
Napasnya pendek.
Ia tahu...
Ares tidak akan datang hari ini.
Tapi ketika ia melangkah ke deretan belakang, matanya tertumbuk pada sesuatu yang membuatnya berhenti.
Kursi Ares kursi yang dulu diduduki Verdi, dan entah siapa lagi sebelum itu masih di sana. Kosong. Tapi tidak benar-benar kosong.
Di atas meja, ada sebuah catatan lipat kecil.
Kertasnya baru.
Tintanya masih basah.
Dengan tangan gemetar, Dira mengambil dan membukanya.
Isinya singkat:
“Dira, kalau kamu baca ini, aku tidak sempat pamit. Tapi aku ingin kamu tahu aku tidak menyesal.”
“Seseorang harus berhenti jadi penonton. Seseorang harus masuk ke ruang yang semua orang pura-pura tak tahu.”
“Aku masuk bukan untuk tinggal. Aku masuk untuk membuka pintu keluar.”
“Kalau kursi ini kosong, jangan biarkan ada yang mengisinya lagi.”
“A”
Dira menggenggam kertas itu.
Matanya berkaca.
Tapi tidak menangis.
Ia menoleh ke kursi itu lagi.
Hening.
Tapi ada sesuatu yang terasa seperti... kehadiran yang tidak lagi mengancam. Seperti suara yang akhirnya memilih diam setelah terlalu lama menunggu didengar.
Dari jendela kelas, angin pagi masuk perlahan.
Membelai rambut Dira, menggerakkan ujung kertas di tangannya. Dan untuk sesaat... ia mendengar suara tawa kecil.
Lelaki.
Jauh,
tapi familiar.
“Ares...” bisiknya, pelan.
“Terima kasih sudah melangkah sejauh itu.”
Malam itu, Dira duduk di meja belajarnya.
Lampu meja menyala redup.
Langit di luar hitam legam, dan suara jangkrik menyelimuti sunyi yang menggigit.
Tangannya menulis, pelan-pelan, seakan setiap huruf adalah upaya menjaga sesuatu yang akan segera memudar.
“Hari ini aku duduk sendiri di kelas. Kursi belakang kosong. Tapi tidak terasa kosong.”
“Semua anak duduk seperti biasa, tapi tidak satu pun menoleh ke bangku itu.”
“Mereka mungkin tak tahu. Mereka mungkin tak peduli. Tapi aku... aku ingat.”
Ia menatap halaman buku hariannya yang telah separuh terisi.
“Ares tidak hilang. Ia memilih diam. Dan diam itu menyelamatkan.”
“Verdi, Reno, dan semua nama di dinding lorong itu... mereka bukan sekadar catatan yang dilupakan. Mereka adalah bagian dari ruang gelap yang tidak semua orang bisa hadapi.”
Dira mengambil foto kelas yang dulu ia simpan foto yang sempat berubah.
Tapi malam ini...
foto itu diam.
Tetap.
Tidak bergerak.
Semua wajah terlihat.
Termasuk Ares.
Duduk di bangku belakang.
Tersenyum tipis.
Dan untuk pertama kalinya... bayangannya muncul.
Utuh.
“Mungkin kamu tak kembali, Ares. Tapi kamu tak pernah hilang.”
“Namamu tertulis.
Tapi bukan untuk digantikan.”
“Terima kasih sudah tidak pergi diam-diam. Terima kasih sudah meninggalkan pesan terakhirmu.”
Dira menutup buku harian.
Mematikan lampu meja.
Dan sebelum ia memejamkan mata, ia berdoa dalam diam bukan agar Ares kembali, melainkan agar tidak ada lagi yang harus menggantikannya.
Di kelas, bangku belakang tetap kosong. Tapi tak satu pun siswa duduk di sana lagi. Bukan karena takut, melainkan karena akhirnya... seseorang sudah cukup berani untuk mengosongkan tempat itu.
Untuk selamanya.