Masukan nama pengguna
Langit hari ini kelabu lagi.
Bukan hanya karena mendung menggantung di ujung atap sekolah, tapi juga karena rasanya warna telah menghilang dari mataku sejak lama. Awan-awan menggumpal seperti benjolan ingatan yang tak bisa kutelan atau kulepaskan. Aku berdiri di depan gerbang sekolah seperti biasa, menunggu bel berbunyi, berharap waktu bisa mempercepat segalanya agar aku bisa cepat pulang meski pulang pun tak pernah terasa sebagai jawaban.
Namaku Rania Zahra. Tapi di sekolah, tak ada yang menyapaku begitu. Mereka lebih sering memanggilku “si diam”, atau kadang “hantu koridor”. Julukan-julukan itu dilemparkan bukan dengan suara, tapi dengan lirikan mata, bisikan tajam di lorong, dan tawa kecil yang membungkam. Aku belajar sejak lama: luka paling dalam bukan ditoreh pisau, tapi diiris dengan keheningan.
Aku berjalan masuk, menapaki ubin koridor yang mulai retak. Di dinding tergantung poster-poster bertuliskan motivasi “Jadilah Generasi Hebat!”, “Speak Up, Be Brave!” semuanya terasa sarkastik di mataku. Kata-kata itu mengambang di ruang yang tak benar-benar mendengar.
Kelas 10-B terletak di ujung lorong. Meja belajarku di pojok kiri belakang, dekat jendela yang menghadap pohon asam tua di halaman belakang. Aku memilih tempat itu bukan karena suka pemandangan. Tapi karena itu tempat yang paling jauh dari mereka. Dari Alya dan gengnya. Dari tatapan yang membuatku ingin menciut jadi titik kecil.
Alya duduk di depan, dengan rambut lurus sebahu dan kacamata modis yang membuatnya terlihat pintar meski tak pernah benar-benar mengerjakan tugas. Dia tak pernah menyentuhku. Tapi dia tahu cara menyakiti tanpa menyentuh. Caranya menertawakan puisi yang tanpa sengaja tertinggal di bangkuku; caranya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan aku masih di sana, lalu berkata dengan nyaring, “Oh, aku lupa. Ada benda di bangku belakang.”
Kata-kata mereka sering lebih keras dari suara bel.
Jam pertama adalah Bahasa Indonesia. Bu Guru menyuruh kami membuat ringkasan cerpen. Aku menulis dengan cepat bukan karena ingin mengesankan, tapi karena aku ingin kembali ke pikiranku sendiri. Hanya di dunia tulisan aku bisa bicara bebas. Tapi bahkan itu pun kadang menyakitkan.
Saat aku menulis, seseorang melemparkan kertas kecil ke mejaku. Kubuka pelan. Hanya satu kalimat:
"Pernah berpikir pindah sekolah? Kami bisa bantu urusannya."
Tertulis dengan spidol merah. Tidak ada nama. Tapi aku tahu siapa.
Aku hanya tersenyum tipis. Bukan karena kuat. Tapi karena tak ada lagi tempat untuk menangis. Air mataku sudah kehabisan ruang di dalam.
Jam istirahat, aku tak ke kantin. Seperti biasa, aku pergi ke perpustakaan. Tempat sunyi yang tak pernah menolak siapa pun. Di sana, aku memilih buku puisi lawas. Chairil Anwar. Sapardi. Aku tak sepintar mereka, tapi aku paham luka yang mereka sembunyikan di antara baris-baris. Aku suka kalimat seperti: “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…” Karena cinta yang rumit pun aku tak punya.
Di sela halaman ke-43, aku menyelipkan selembar puisi buatanku sendiri. Aku selalu melakukan itu. Meninggalkan jejak kecil, seolah berharap suatu hari ada yang menemukannya dan tahu bahwa aku pernah ada.
Hari ini aku hilang sedikit lagi,
Seperti kabut yang tak diberi nama.
Mereka tak melihatku pergi,
Karena aku tak pernah benar-benar tinggal.
Pulang sekolah, langit makin pekat. Aku menyusuri jalan setapak dari halte menuju rumah. Sepanjang jalan, daun basah berjatuhan, dan gerimis menampar pipi seperti suara-suara yang tak bisa kuhapus. Aku sengaja berjalan lambat. Karena kamar itu, rumah itu, hanyalah tempat aku menyimpan kelelahan.
Ibuku sedang lembur. Dia baru pulang menjelang malam, dan biasanya tak bertanya banyak. Mungkin karena dia terlalu lelah, atau karena dia pikir aku baik-baik saja. Lagipula, aku selalu menjawab, “Ya, Bu, aku baik-baik saja.” Kalimat bohong yang telah kuhafal di luar kepala.
Sesampainya di rumah, aku buka sepatuku, masuk ke kamar, dan langsung duduk di depan jendela. Hujan akhirnya turun, deras dan berisik. Tapi entah kenapa, aku tetap bisa mendengar bunyi kosong di dalam diriku.
***
Pagi berikutnya datang dengan wajah yang sama: abu-abu dan bisu.
Rania berjalan pelan menuju sekolah dengan ransel yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya. Sebenarnya bukan karena berat buku, tapi karena beban lain yang tak terlihat yang tak pernah ia tunjukkan di hadapan siapa pun. Dunia luar melihatnya sebagai gadis yang terlalu pendiam, terlalu penurut, terlalu biasa. Tapi tak ada yang melihat betapa keras usahanya untuk tetap duduk di bangku belakang itu setiap hari, tanpa menangis, tanpa berteriak.
Langkahnya berhenti di gerbang. Di sana, seperti biasa, tiga orang berdiri: Alya, Nesa, dan Livia. Mereka tak pernah langsung menyerang. Mereka bukan pemukul, mereka adalah penata panggung. Semua disusun rapi: sindiran, tawa, lirikan mata, komentar samar yang dilempar seolah tanpa arah tapi menancap tajam ke dada Rania.
“Eh, liat deh, baju yang itu lagi,” gumam Livia, cukup keras agar Rania dengar.
“Dia tuh kayak wallpaper sekolah. Ada, tapi kita nggak pernah butuh,” Nesa menimpali.
Alya hanya menatap sebentar, tersenyum kecil, dan berbisik ke telinga Nesa yang lalu tertawa tanpa suara.
Rania hanya menunduk dan berjalan lewat mereka, seperti kabut. Ia tak berani menatap, takut kalau matanya mengkhianati dadanya yang mulai bergetar. Tapi ia sudah ahli menyembunyikan luka. Ia telah bertahun-tahun belajar cara berjalan seolah tak merasa apa-apa.
Kelas terasa lebih sunyi dari biasanya. Entah karena hanya ada suara jam dinding yang berdetak lambat, atau karena pikiran Rania yang semakin dalam tenggelam. Di bangkunya yang paling pojok, ia menemukan sesuatu di atas meja: coretan spidol berwarna hitam. Tulisan itu jelas. Tegas. Dingin.
“Tolong pindah tempat. Meja ini bikin kita semua nggak enak makan.”
Ia menatap kata-kata itu cukup lama. Tidak kaget, tidak marah, hanya lelah. Ia mengusap perlahan dengan telapak tangannya. Tinta itu tidak langsung hilang. Seperti luka, ia perlu waktu untuk pudar dan bahkan setelah itu, masih meninggalkan bekas samar yang tak pernah benar-benar hilang.
Bu Rika masuk ke kelas dengan semangat seperti biasa. Ia memulai pelajaran Biologi dengan senyum dan analogi-analogi yang seharusnya membuat semua tertarik. Tapi mata Rania hanya menatap ke luar jendela, ke pohon asam yang diam. Ia ingin menjadi pohon itu. Kuat. Tegar. Tak peduli berapa banyak angin yang mencoba merobek daunnya.
Saat istirahat, Rania tetap di kelas. Ia mengeluarkan bekal seadanya dari rumah: roti tawar dengan selai kacang. Tapi begitu ia membuka bungkusnya, ia mendengar suara langkah dan tawa dari belakang.
“Wah, masih makan roti? Kasihan banget sih. Nggak ada yang traktir, ya?” suara Nesa lagi-lagi jadi tombak yang tak terlihat.
“Kalau aku sih, nggak tega makan di deket dia. Rasanya kayak… entah ya, kayak kotor gitu,” Livia menambahkan dengan tertawa pelan.
Rania menggenggam rotinya lebih erat, lalu perlahan menutup kotaknya kembali. Ia tak ingin makan lagi. Rasanya tenggorokannya ikut mengeras. Ia tak ingin menangis di depan mereka. Tidak hari ini. Tidak besok. Tidak di tempat yang membuatnya terasa seperti hantu di siang bolong.
Tak lama kemudian, saat ia kembali dari toilet, ia menemukan lacinya dibuka. Buku catatannya terbuka. Halaman terakhir robek. Di sampingnya tergeletak kertas itu puisi yang ia tulis kemarin di perpustakaan.
Seseorang telah menemukannya.
Di bagian bawah puisi itu, tertulis sebuah komentar dengan pulpen merah:
“Lucu banget. Merasa diri puitis, padahal isinya cuma curhatan murahan.”
Rania menatap puisi itu lama. Angin dari jendela seolah ikut berhenti. Dadanya mulai terasa sesak, tapi bukan karena kata-kata hinaan itu saja. Yang membuatnya benar-benar ingin lari adalah: kini ia tahu, bahkan tempat persembunyiannya telah dirusak. Kata-katanya, satu-satunya ruang di mana ia merasa utuh, kini diinjak-injak juga.
Bel pulang berbunyi seperti sirene di tengah perang.
Rania berjalan cepat keluar kelas, tak bicara pada siapa pun, tak menoleh, tak menatap. Ia hanya ingin segera sampai di rumah, menutup pintu kamarnya, dan menulis lagi meski kini bahkan menulis pun mulai terasa menakutkan.
Sore itu, langit kembali kelabu.
Ia duduk di jendela kamarnya, memandang hujan yang turun seperti biasa. Tapi hari itu, ia tak menulis puisi. Ia hanya diam.
***
“Kami dulu duduk berdampingan. Sekarang dia memilih bangku lain.”
Namanya Mira. Ia dulu selalu ada di sebelahku, di bangku paling pojok dekat jendela. Kami saling berbagi bekal, cerita soal drama Korea terbaru, atau sekadar tertawa soal guru matematika yang selalu memakai dasi warna mencolok. Rasanya seperti punya rumah kecil di tengah sekolah yang dingin.
Tapi perlahan, Mira mulai duduk lebih dekat ke tengah. Katanya supaya bisa lihat papan tulis lebih jelas. Lalu suatu hari ia bilang, "Ran, maaf ya, aku duduk sama Lila dulu. Tugas kelompok." Aku mengangguk. Tidak apa-apa, pikirku waktu itu. Tapi setelah tugas selesai, ia tak kembali.
Aku tahu kenapa. Dia takut. Takut disamakan denganku. Takut ikut dibisikkan, ditertawakan, dijadikan bahan candaan. Dan aku tak bisa menyalahkannya. Dunia sekolah mengajarkan bahwa aman itu artinya menyerupai yang lain. Dan aku... aku terlalu berbeda.
Sejak saat itu, aku mulai menghitung kehilangan. Bukan dalam angka, tapi dalam kebiasaan kecil yang hilang tidak ada lagi suara “pagi, Ran!” saat masuk kelas, tidak ada lagi pesan singkat tengah malam tentang tugas Bahasa Indonesia. Heningnya persahabatan ternyata lebih menyakitkan daripada ejekan.
Aku mulai menulis dalam diary. Kalimat pertama di halaman baru:
"Orang-orang menjauh bukan karena benci, tapi karena takut berbeda."
Dan aku masih menulis sampai hari ini, satu-satunya tempat yang tak kabur dariku.
***
Suatu siang, aku memberanikan diri masuk ke ruang BK. Tanganku gemetar saat mengetuk pintunya. Ibu Sari, guru BK yang selalu tampak sibuk dengan tumpukan map, mengangkat wajah dari layar laptopnya.
“Ada apa, Rania?” tanyanya tanpa senyum.
Aku duduk perlahan. Rasanya seperti menahan hujan di dada. Aku mencoba menjelaskan, pelan, tentang bagaimana mereka memanggilku dengan nama-nama yang bukan milikku. Tentang bagaimana kursi di sekelilingku selalu kosong, seolah aku membawa wabah. Tentang kata-kata yang disampaikan lewat tawa tapi menggurat luka.
Tapi ketika aku selesai bercerita, Ibu Sari hanya menghela napas. Lalu berkata, “Kamu ini anak baik. Tapi kamu terlalu sensitif. Dunia ini keras, Rania. Kamu harus kuat. Jangan ambil hati, anggap angin lalu.”
Aku terdiam. Satu bagian dalam diriku mengatup rapat, seolah suara yang baru saja kubuka kembali ditutup paksa.
Aku tidak butuh nasihat untuk menjadi kuat. Aku hanya ingin dimengerti. Aku ingin suaraku sampai. Tapi ternyata, bahkan dunia orang dewasa pun tak bisa mendengarku. Mereka ingin aku bersuara lantang, sedangkan aku cuma punya bisikan yang terluka.
Sejak hari itu, aku tak pernah kembali ke ruang itu. Dan ibu Sari pun, seperti yang lain, berlalu seolah tak ada yang pernah terjadi.
***
Aku mulai sering ke perpustakaan. Bukan karena aku haus membaca, tapi karena itu satu-satunya ruangan yang tidak memintaku bicara, tidak menilai cara jalanku, tidak menertawakan cara aku menunduk ketika berjalan. Di sana, aku bisa menjadi siapa pun, atau tak menjadi siapa-siapa.
Perpustakaan berada di lantai dua, tepat di ujung lorong yang jarang dilewati siswa. Di depannya ada pohon trembesi besar yang cabangnya menutupi jendela kaca. Cahaya matahari yang masuk tak pernah terang; hanya semburat lembut, seperti cahaya dari mimpi yang sudah lama pergi.
Aku selalu memilih duduk di sudut kiri belakang, dekat jendela. Dari situ, aku bisa melihat halaman sekolah, lapangan basket, juga atap bangunan kelas yang mengelupas karena panas. Kadang, kalau hujan, air akan mengalir menuruni kaca seperti garis-garis air mata dan aku selalu merasa seperti sedang melihat pantulan diriku sendiri dari dunia lain.
Tak ada yang pernah mencariku saat istirahat. Tak ada yang peduli aku ke mana. Bahkan Mira pun tidak. Ia terlalu sibuk berpura-pura tidak mengenalku agar tetap aman di tengah barisan Alya dan Nesa. Aku tidak menyalahkannya. Hanya saja, kehilangan teman yang pernah tertawa bersamamu... terasa seperti kehilangan bagian dari tubuhmu, tapi tetap harus berjalan seolah lengkap.
Di perpustakaan itu, aku menemukan buku-buku tua yang sampulnya mulai pudar. Ada novel remaja tahun '90-an, ada kumpulan cerita rakyat yang kertasnya sudah menguning, dan ada puisi-puisi lama dari penyair yang tak banyak dikenal. Aku mulai membawa buku tulis kecil dan bolpoin ke sana. Aku tidak menyalin. Aku menulis milikku sendiri.
Puisi-puisi.
Aku tidak pandai membuat rima atau metafora rumit. Tapi setiap baris yang kutulis, terasa seperti luka yang akhirnya bisa keluar dari tubuhku. Aku menyisipkan tulisan itu di antara halaman-halaman buku, seperti rahasia yang kutitipkan pada dunia yang lebih diam daripada manusia.
Salah satu puisiku tertinggal di halaman 87 sebuah novel tua:
Aku bukan pelan, aku cuma terlambat tumbuh.
Aku bukan sunyi, aku cuma kehilangan ruang.
Jika kalian merasa cukup dengan dunia,
Biarkan aku tinggal di pinggirannya saja.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah suatu hari seseorang akan membacanya? Mungkin ada murid lain yang iseng membuka buku lama itu dan menemukan puisi kecilku. Mungkin dia juga merasa sunyi. Dan mungkin, untuk sesaat, ia akan merasa tidak sendirian.
Aku mulai lebih sering menatap keluar jendela daripada membaca. Di luar, siswa-siswa bercanda, saling kejar, memanggil nama. Aku hanya mengenal suara-suara mereka dari balik kaca. Tidak ada yang memanggil namaku. Tidak ada yang mencariku. Dan dari situ aku sadar, betapa mudahnya seseorang menghilang, bahkan sebelum ia benar-benar pergi.
Waktu itu hujan. Rintik-rintik kecil jatuh di jendela seperti ketukan yang tak ingin masuk. Aku menatap pohon trembesi yang basah, daun-daunnya menunduk seperti aku. Di dalam perpustakaan, hanya aku dan suara lembut dari hujan. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa ruangan itu memelukku.
Sampai bel pulang berbunyi, aku tak beranjak. Aku tahu jika aku kembali ke kelas, aku akan melihat Mira tertawa dengan Lila dan Alya. Aku akan melihat bangkuku yang kosong seperti tak pernah diduduki. Dan guru-guru yang hanya menyapa mereka yang ramai.
Aku tidak ingin kembali ke tempat di mana suaraku tak dihitung.
Lalu aku menulis lagi. Kali ini di halaman belakang buku catatanku sendiri, bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dikenang:
Perpustakaan ini tidak bicara, tapi ia mendengarkan.
Ia tidak menyapa, tapi ia tidak menolak.
Ia membiarkanku duduk lama, menunduk diam, dan tetap merasa ada.
Aku ingin menjadi jendela melihat tanpa diharuskan hadir, mendengar tanpa ditanya.
Aku ingin menjadi sesuatu yang tak menyakitkan siapapun.
Ketika penjaga perpustakaan menegur bahwa waktunya tutup, aku mengangguk pelan dan memasukkan buku ke rak. Tapi hatiku tetap tertinggal di bangku dekat jendela, pada bayangan diriku yang duduk di sana masih menulis, masih mengintip dunia dari balik kaca.
Hari itu aku pulang lebih pelan dari biasanya. Tapi di langkahku ada sesuatu yang berbeda. Bukan harapan. Bukan pula kekuatan. Hanya semacam keheningan yang sudah mulai kukenal: keheningan yang tidak menghakimi. Dan itu cukup.
***
Aku ingat hari itu langit seperti kertas buram tanpa warna, tanpa bentuk. Waktu seolah berjalan tanpa suara. Ruang kelas dipenuhi suara lembaran kertas yang dibalik, gumaman strategi, dan gesekan pulpen yang sibuk mencoret tugas kelompok yang dibagikan oleh Bu Lilis.
“Ayo dibagi kelompoknya ya. Empat orang per kelompok. Kalian pilih sendiri,” kata Bu Lilis, seperti biasa.
Aku tidak bergerak. Tak ada yang memanggilku. Tapi aku sudah terbiasa. Biasanya aku akan duduk sendiri, mengerjakan bagian yang tak diminta, menyerahkan tugas tanpa nama, dan diam-diam berharap tidak dimarahi karena tak termasuk kelompok mana pun.
Tapi hari itu berbeda. Mira ya, Mira menatapku sebentar, lalu cepat-cepat menoleh ke arah Alya dan dua temannya. Mereka berbincang dengan cepat, dan aku bisa mendengar desis suara Alya: “Nggak usah dia. Ribet.”
Beberapa menit kemudian, Alya datang membawa kertas daftar kelompok ke mejaku.
“Udah ya, ini kelompok kita,” katanya sambil menaruh kertas itu pelan. Lalu dengan cepat ia menambahkan, “Tapi kamu udah aku absenin kok, jadi nggak usah ikut rapat nanti. Aku tanda tanganin aja pakai namamu.”
Aku menunduk. Di kolom tanda tangan itu memang ada namaku lengkap dengan goresan tanda tanganku yang dipalsukan.
Alya menoleh sekali lagi dan tersenyum kecil, bukan ramah, bukan marah. Lebih seperti: “Kamu juga nggak penting.”
Tak ada suara yang keluar dari mulutku. Hanya hening yang menyesak, seperti dinding yang runtuh perlahan di dalam dada.
Aku melihat ke arah Mira. Ia menatapku sekilas. Ada sesuatu di matanya rasa bersalah yang menguap cepat. Lalu ia menunduk, berpura-pura sibuk mengatur lembar kerja di mejanya.
Aku mencatat kejadian itu di halaman belakang buku tulisku. Di sana, aku menyimpan peristiwa-peristiwa kecil yang tak bisa disampaikan dengan suara. Hal-hal yang orang dewasa anggap remeh. Hal-hal yang perlahan mengikis rasa ada.
“Hari ini namaku dihapus dari daftar kelompok. Lalu dituliskan kembali dengan tangan yang bukan tanganku. Satu-satu, bagian dari diriku dicoret oleh orang lain. Dan aku diam saja, seperti biasa.”
Siang itu, saat bel istirahat berbunyi, kelas cepat kosong. Tapi aku tetap di tempat dudukku, memandangi tulisan palsu itu di kertas tugas. Herannya, aku tidak merasa marah. Tidak juga ingin melawan. Yang kupikirkan justru: kalau suatu hari aku benar-benar hilang, apakah mereka akan tetap menulis namaku di daftar?
Atau… mereka akan lupa aku pernah ada?
***
Jalan menuju rumahku bisa dipotong lewat gang kecil di belakang minimarket cukup sepuluh menit berjalan kaki dan aku akan sampai. Tapi aku selalu memilih jalan yang lebih panjang: melintasi taman kecil, menyusuri trotoar yang sepi, melewati tiga lampu lalu lintas, dan berhenti sejenak di halte kosong yang tak pernah benar-benar kutunggu busnya.
Bukan karena aku menyukai jalan itu. Tapi karena aku tak sanggup tiba terlalu cepat di rumah. Rumah, bagiku, bukan tempat pulang. Hanya bangunan sunyi dengan jendela yang tak pernah terbuka penuh dan lorong menuju kamar yang terlalu akrab dengan sepi. Di sana tak ada yang bertanya, “Hari ini bagaimana?” dan tak ada yang menyadari jika aku pulang dengan langkah yang lebih berat dari biasanya.
Sore itu, langit agak kelabu. Daun-daun berjatuhan dari pohon-pohon di sepanjang trotoar, berguguran seperti sesuatu yang kehilangan daya tahan. Aku melangkah pelan, satu-satu, menghitung bunyi sepatu sendiri seperti denting jam yang menghitung waktu menuju lenyap.
Kadang aku bicara dalam hati. Bukan berdoa. Bukan berharap. Hanya menulis kalimat-kalimat sunyi yang tak sempat kutuang di kertas.
“Aku ingin seseorang bertanya, ‘Kenapa kamu selalu sendiri?’
Tapi mereka hanya berkata, ‘Dia emang aneh dari dulu.’”
Di taman kecil yang kulewati, bangku-bangku kayu sudah mulai rapuh. Ada dua anak duduk di ayunan, tertawa keras, saling mengejek dengan cara yang lucu. Aku ingin duduk sebentar, tapi tubuhku menolak. Tak ada tempat di sana untuk seseorang seperti aku. Jadi aku berjalan lagi.
Langkahku melewati halte kosong. Di sana, aku biasa duduk sendirian selama sepuluh menit, seolah menunggu sesuatu yang tahu-tahu datang membawa aku ke tempat lain. Tapi bus tak pernah datang. Dan tak ada tempat lain.
Aku tahu jalan ini akan berakhir juga. Setiap putaran trotoar, setiap detik waktu, hanya memperlambat sesuatu yang pasti: aku akan pulang ke kamar itu. Kamar kecil berisi tumpukan buku, cermin kecil, dan dinding yang tak pernah kugantung apa pun karena tak ada yang cukup berharga untuk dipajang.
Aku melepas sepatu saat tiba di depan pintu rumah. Tidak ada yang menyambut. Tak ada suara TV. Tak ada bau masakan. Hanya keheningan yang menggantung di langit-langit seperti jaring laba-laba. Dingin. Mati. Diam.
Di kamar, aku menyalakan lampu. Cahaya kekuningan menimpa meja belajarku. Di sana ada kertas kosong. Aku duduk. Menatapnya lama. Kemudian kutulis satu kalimat pendek:
“Mungkin aku hanya ingin didengar. Tapi tak tahu bagaimana cara meminta.”
Lalu kulipat kertas itu, dan kubiarkan diam di antara buku-buku puisiku.
Malam masih jauh. Tapi aku tahu, hari ini... langkahku lebih berat dari biasanya.
***
Rania duduk bersila di tengah kamar, diapit dua koper kecil dan satu tas selempang lusuh yang sudah beberapa tahun menemaninya. Ia membuka lemari, mengeluarkan satu per satu benda yang dulu pernah ia sayangi sebagian ia masukkan ke dalam koper, sebagian lain hanya disentuh sebentar, lalu ditinggalkan begitu saja di lantai. Seakan benda-benda itu bukan lagi bagian dari hidupnya. Seakan ia sedang memilih mana yang akan dibawa ke dunia berikutnya, dan mana yang akan ditinggal sebagai kenangan yang tak perlu dijemput kembali.
Di sudut meja belajar, setumpuk buku-buku bacaan tersusun rapi. Beberapa novel, satu buku puisi, dan catatan-catatan kecil berisi coretan tangan Rania. Ia mengambil satu diantaranya sebuah buku saku biru dengan karet pengikat yang sudah longgar dan menyelipkan puisi terakhir di dalamnya. Hanya dua bait pendek, ditulis dengan pulpen hitam yang tintanya sedikit bocor.
"Jika sunyi adalah rumahku, biarkan aku rebah tanpa suara."
"Jika malam adalah jalan pulangku, tolong jangan hidupkan lampu-lampunya."
Ia membacanya pelan, tanpa suara. Bibirnya tidak bergerak, hanya matanya yang meresapi. Lalu ia menaruh buku itu di atas meja, persis di sebelah amplop putih yang belum tertutup rapat. Isinya sudah selesai sejak sore tadi, tapi ia belum punya keberanian untuk menutupnya. Mungkin karena ia tahu: begitu amplop itu tertutup, maka tak akan ada yang bisa ditarik kembali.
Lampu kamar masih menyala, tapi tidak menyilaukan. Rania duduk di ujung ranjang, menatap dinding yang polos. Wajahnya tenang bukan damai, bukan pula bahagia hanya tenang. Seperti orang yang sudah menerima bahwa tidak semua pertanyaan punya jawaban, dan tidak semua luka harus diobati.
Di luar jendela, angin malam berlalu tanpa bunyi. Tak ada derik sepeda motor, tak ada suara tetangga menyalakan televisi. Langit tampak lebih gelap dari biasanya. Bahkan bintang pun seperti menutup matanya malam ini.
Ia menatap langit-langit kamar, lalu berbaring perlahan. Tangannya terlipat di atas dada. Ia menarik napas dalam-dalam dan membiarkannya pergi begitu saja, seolah sedang melepaskan sesuatu yang berat namun tak lagi perlu ditahan. Tak ada air mata. Tak ada isak. Hanya diam, hanya malam yang sepi.
Dan dalam keheningan itu, segalanya terasa sudah selesai.
***
Jika surat ini sampai ke tangan siapa pun yang membacanya, mungkin aku sudah tidak ada di sana. Tapi tenang saja, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya ingin bicara… dengan cara yang akhirnya bisa kudengar sendiri.
Aku menulis ini bukan karena aku benci kalian. Bukan juga karena aku ingin membuat semuanya merasa bersalah. Aku hanya lelah bukan karena dunia terlalu berat, tapi karena aku terus berpura-pura kuat.
Terkadang, rasanya seperti aku berdiri di tengah keramaian, berteriak sekuat tenaga… tapi tidak ada satu pun yang benar-benar melihatku. Semua sibuk dengan cerita mereka masing-masing. Semua orang bicara, tapi tak ada yang benar-benar mendengar. Aku seperti latar belakang dalam kehidupan orang lain. Ada, tapi tidak pernah diperhatikan.
Kalian mungkin berpikir aku pendiam, tertutup, atau terlalu sensitif. Tapi kalian tidak pernah tahu bahwa setiap malam aku menatap langit-langit kamar sambil bertanya pada diri sendiri, "Apa aku penting? Apakah kehadiranku membuat perbedaan?" Dan jawaban itu selalu sama: sunyi.
Pernah suatu kali, aku duduk sendirian di tangga sekolah. Ada yang lewat, dan mataku menatapnya penuh harap. Tapi yang kudapat hanya punggung yang menjauh. Hari itu aku merasa benar-benar tidak terlihat.
Aku ingin kalian tahu, aku tidak marah. Aku tidak dendam. Aku hanya terlalu lama diam. Terlalu lama menyimpan semuanya sendiri. Mungkin kalau ada satu orang saja yang bertanya, "Kamu nggak apa-apa?" lalu benar-benar menunggu jawabannya… mungkin surat ini tidak akan pernah ada.
Aku ingat ketika Mira meminjam pulpenku. Itu hal kecil, tapi saat itu, rasanya seperti seseorang akhirnya menyadari bahwa aku ada. Tapi harapan itu terlalu cepat pudar. Tidak lama setelah itu, aku kembali menjadi bayangan.
Aku lelah menjadi orang yang selalu ‘mengerti’. Yang tidak pernah menuntut. Yang dianggap kuat hanya karena tidak menangis di depan umum. Aku lelah memeluk diriku sendiri setiap malam sambil meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja… padahal tidak.
Jika aku menghilang, bukan karena kalian jahat. Tapi karena aku tidak lagi sanggup menunggu untuk didengar. Karena rasanya seperti memohon pada dunia yang tuli.
Untuk teman-teman di kelas, aku tidak menyalahkan kalian. Kalian punya dunia masing-masing, tawa sendiri, kelompok sendiri. Dan aku? Aku punya keheningan.
Untuk Mira, kalau kamu membaca ini… terima kasih karena pernah meminjam pulpen itu. Terima kasih karena pernah bertanya sekali, walau singkat, “Kamu nggak bareng yang lain?” Saat itu aku tidak bisa jawab, tapi hatiku menjawab: “Terima kasih sudah sadar aku ada.”
Akhirnya, aku hanya ingin bilang: aku tidak ingin dikenang sebagai gadis yang menyerah. Aku hanya ingin dimengerti. Didengar. Dilihat… sebelum semuanya terlambat.
Dunia ini terlalu keras untuk orang-orang yang memeluk semua luka sendirian.
Rania