Masukan nama pengguna
Di rumah kami, suara tidak pernah benar-benar pergi.
Selalu ada yang berbicara, bersuara, berderak, berdesah. Bahkan di pagi buta, saat kabut masih mengendap di bawah jendela kayu, suara langkah kaki Ibu sudah lebih dulu membangunkan ayam-ayam tetangga yang cerewet. Lalu suara sendok bertemu panci, suara air mendidih, dan tentu saja, suara khas wajan tua kami yang mengeluh setiap kali disentuh api.
Aku hafal semua bunyinya. Bahkan bunyi engsel pintu kamar Ari yang selalu melenguh malas tiap ia dorong dengan kaki, juga derak kecil lantai kayu tua di sudut ruang tengah tempat Bapak biasa duduk bersandar setelah menyiram tanaman.
“Rara, bangun, Sayang. Nanti nasinya keburu dingin,” panggil Ibu pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya. Suaranya lembut, tapi selalu punya cara membangunkanku lebih ampuh daripada suara ayam jago yang terlalu percaya diri itu.
Aku menggeliat pelan, menarik selimut yang baunya mirip matahari sore hangat dan agak berdebu. Di dinding, cahaya matahari menembus sela jendela yang retaknya membentuk garis seperti sungai. Di rumah kami, bahkan retakan pun punya cerita.
Di dapur, Ibu sudah sibuk. Tangan kanannya mengaduk sayur bayam, tangan kirinya menyesap kopi hitam. Di sebelahnya, mesin jahit warisan Nenek berdiri diam, menunggu pesanan terakhir tetangga yang harus selesai sebelum sore. Ibu seperti punya banyak tangan. Tapi yang paling kusukai adalah tangan yang membelai rambutku tiap kali aku bersandar di pangkuannya.
“Lho, kenapa ayam ini lagi yang nyelonong ke kebun kita, sih?!” suara Bapak meledak dari luar, seperti biasa.
Aku menahan tawa. Pasti ayam tetangga lagi-lagi mencuri cabai Bapak. Sudah tiga hari berturut-turut kejadian itu, tapi Bapak tak pernah benar-benar marah. Ia hanya mengumpat pelan, lalu menghalau ayam itu dengan sapu lidi, seolah lebih senang dengan rutinitas itu daripada hasil kebunnya sendiri.
“Kalau ayam itu bisa baca, sudah kutulisin plang ‘dilarang mencuri’ di pagar,” gerutu Bapak sambil masuk ke rumah, kakinya menyisakan jejak tanah di lantai.
Ibu hanya mendesah kecil, “Bukan ayamnya, Pak. Pemiliknya itu yang susah diajak ngomong.”
Ari baru keluar dari kamarnya, rambutnya masih kusut. Ia duduk tanpa bicara, langsung menyendok nasi dan telur dadar dari piring.
“Pagi juga, Mas,” ucapku pura-pura manis.
Dia hanya melirikku sebentar, lalu mengacak rambutku sekenanya. Tapi aku tahu, itu cara Mas Ari bilang ia sayang.
Pagi seperti ini dengan suara, dengan tawa, dengan aroma nasi hangat dan bayam segar selalu membuatku berpikir bahwa rumah adalah tempat paling hidup di dunia. Tempat segala hal tumbuh: tanaman, suara, dan rasa.
Tapi belakangan ini, aku mulai merasa rumah kami sedikit berubah. Seperti... lebih sunyi, walau suaranya tetap banyak. Ada yang tidak bisa kutangkap, sesuatu yang bersembunyi di balik mata Ibu yang mulai sering melamun di depan mesin jahit, atau dari helaan napas Bapak yang makin panjang saat menatap kebun.
Suatu malam, saat semua sudah tidur, aku terbangun karena mendengar bisik-bisik dari ruang tengah. Suara itu bukan tikus atau angin. Itu suara Bapak dan Ibu. Aku membuka pintu kamar perlahan dan mengendap hingga dekat dinding.
“Suratnya sudah datang,” kata Ibu pelan.
“Baru pemberitahuan awal, belum resmi,” jawab Bapak, suaranya menahan amarah. “Tapi kita nggak bisa diam aja, Pak. Lihat tetangga sebelah, sudah dapat ganti rugi, tapi cuma cukup buat pindah ke rumah petak sempit di pinggir kota. Terus kita bagaimana?”
Suara Ibu terdengar bergetar. Lalu senyap sebentar, hanya suara kipas angin yang malas berputar.
“Rumah ini dibangun Ayah saya dengan tangan sendiri, Pak…” bisik Ibu. “Dulu, tanah ini tanah yang sepi. Sekarang katanya ‘jalur strategis’. Apa artinya strategis kalau kita yang kecil harus pergi?”
Aku tak mengerti semua kata mereka. Tapi aku tahu satu hal: kata ‘pergi’ itu bukan hal yang biasa. Kata itu membuat udara malam jadi dingin, dan dada kecilku seperti menyimpan angin yang tak bisa keluar.
Besok paginya, tak ada yang bicara tentang surat itu. Bapak tetap ke kebun. Ibu tetap menjahit sambil sesekali menjemur cucian. Ari tetap sibuk dengan gawainya. Tapi aku tahu, ada yang berubah. Mata Ibu tak lagi sesenyum biasanya. Dan Bapak lebih sering diam sambil menatap langit-langit rumah seperti membaca nasib.
Hari itu, aku menggambar rumah kami di buku gambar. Aku lukis jendela yang selalu berderit itu, juga pohon jambu di samping dapur, dan ayam tetangga yang menyelinap seperti pencuri. Aku beri warna-warna hangat: kuning untuk cahaya pagi, hijau untuk daun, cokelat untuk atap yang bolong.
Aku menulis judulnya besar-besar: "Rumah yang Tak Pernah Diam."
Tapi entah kenapa, di pojok kertas itu, ada satu titik kecil warna hitam yang tak sengaja tercoret oleh pensilku. Kecil, hampir tak terlihat. Tapi aku tak bisa menghapusnya.
Malamnya, aku kembali mendengar suara dari ruang tengah. Ibu sedang merapikan surat, matanya sembab.
Lalu, lirih sangat lirih, seolah hanya untuk dirinya sendiriia berkata,
“…Kita harus pergi, Pak.”
***
Hari itu, suara di kampung kami bukan suara ayam atau anak-anak bermain, melainkan suara sepatu bot di atas tanah. Berat dan tak kenal arah.
Aku melihat mereka dari balik jendela barisan pria berseragam cokelat muda dengan rompi oranye, membawa meteran panjang dan alat-alat asing yang mengilat di bawah matahari. Wajah mereka datar, nyaris tak punya warna. Tak satu pun menoleh ke rumah kami. Mereka hanya melihat tanah.
Tanah kami.
Ibu menarikku pelan dari jendela. “Jangan mengintip begitu, Nduk,” katanya setengah berbisik. Tapi aku tak bisa berpaling. Aku belum pernah melihat orang-orang seperti itu. Langkah mereka teratur. Mata mereka selalu tertuju pada papan, garis, dan angka. Bukan pada kami.
Pak RW berjalan di depan mereka. Biasanya, ia akan tersenyum lebar kalau bertemu warga, tapi pagi itu, bibirnya seperti lupa cara melengkung. Keringat membasahi kerah batiknya, dan langkahnya ragu-ragu. Ia berbicara dengan suara yang lebih kecil dari biasanya. Seperti takut didengar oleh kampungnya sendiri.
“Maaf, Bu. Maaf, Pak,” katanya pada tetangga di seberang. “Ini cuma survei awal. Belum keputusan akhir.”
Tapi semua orang tahu, survei adalah awal dari akhir.
Di pekarangan rumah sebelah, dua petugas mulai menyemprotkan garis putih. Garis itu melintang dari pagar kayu ke arah pohon jambu yang sudah ada sebelum aku lahir. Garis itu seperti luka dingin dan pasti. Seolah menyuruh kami membaca masa depan yang tak bisa dibatalkan.
“Buat jalan tol,” aku dengar salah satu petugas berkata pada yang lain. “Jalur utama ke Ibu Kota Baru.”
Ibu Kota Baru. Kata-kata itu terdengar asing, walau sering muncul di berita. Seperti nama seseorang yang sangat penting, tapi tak pernah berkunjung. Kini ia datang tanpa wajah, hanya meninggalkan garis di tanah kami.
Bapak pulang lebih cepat dari kebun. Ia menggulung lengan bajunya, berdiri di depan pagar rumah. Matanya tajam menatap para petugas. “Ini tanah warisan. Kakek saya yang tebang hutan buat bisa bangun pondok pertama di sini,” katanya pelan tapi tegas.
Petugas itu hanya mengangguk. “Kami hanya jalankan tugas, Pak. Perintah dari pusat.”
Pusat. Kata itu seperti palu yang memukul semua argumen.
“Apa pusat tahu kita tinggal di sini?” suara Bapak mulai meninggi. “Apa pusat tahu ada pohon mangga yang saya tanam waktu Rara lahir? Atau suara angin yang selalu datang dari barat setiap sore?”
Petugas itu tidak menjawab. Ia kembali ke papan ukurannya. Seperti mendengar, tapi tak perlu mengerti.
Pak RW mencoba menenangkan. “Pak, tolong jangan emosi. Kita masih bisa rembukan. Masih bisa cari jalur damai.”
Bapak mendengus. “Damai untuk siapa? Buat kita atau buat mereka?”
Aku melihat Ari berdiri di belakang Bapak, tangannya terkepal. Wajahnya tegang, tapi ia diam. Baru kemarin ia menghapus mural kecil yang ia lukis di tembok belakang rumah: gambar tangan yang mencoba menahan runtuhnya rumah. Katanya, takut dicurigai.
Suasana kampung kami seperti benang yang ditarik terlalu kencang. Satu tarikan lagi, dan putus.
Di jalan, beberapa tetangga mulai berkumpul. Ada yang bertanya dengan suara panik. Ada yang berdebat. Tapi semua jawaban selalu sama: “Perintah pusat, Bu.” “Kami hanya petugas lapangan, Pak.” “Nanti akan ada ganti rugi.” “Ini demi pembangunan nasional.”
Pembangunan.
Kata itu terdengar megah. Tapi mengapa ia datang seperti badai? Mengapa tak pernah mengetuk dulu sebelum masuk ke rumah kami?
Aku bersembunyi di balik tiang rumah. Dari situ aku bisa melihat petugas berjalan pelan ke arah rumah kami. Tangannya memegang semprotan cat merah. Warnanya mencolok, menyala, seperti api yang tak bisa padam.
“Bu, Bu…” bisikku sambil menarik baju Ibu.
Ibu hanya menggenggam tanganku erat.
Cat itu menyentuh dinding rumah kami. Satu garis menyilang. Lalu tanda lingkaran. Lalu angka yang tak kupahami. Dan semuanya berwarna merah. Merah menyala. Merah seperti luka baru.
Aku menelan air liur. Tidak tahu harus merasa apa. Tak ada yang bicara. Bahkan ayam tetangga pun mendadak diam.
“Masuk prioritas tahap satu,” salah satu petugas berkata.
Aku tidak tahu apa itu tahap satu. Tapi aku tahu artinya: kami adalah yang pertama pergi.
Bapak berdiri mematung. Ibu masih menggenggam tanganku, tapi kukunya kini menancap ke kulitku. Ari berjalan masuk tanpa suara.
Garis merah itu seperti kalimat terakhir yang ditulis di sebuah surat perpisahan. Bukan ucapan selamat tinggal, tapi perintah untuk menghilang.
***
Sejak cat merah itu muncul di dinding rumah kami, Ari berubah.
Ia lebih banyak diam. Tidak lagi membalas celotehku, tidak ikut makan malam bersama, dan sering keluar rumah saat langit mulai menggelap. Kadang ia pulang larut malam dengan sepatu penuh debu dan bau cat menyengat dari jaketnya. Tapi ia tak bicara apa-apa. Kalau Ibu tanya, ia cuma bilang, “Jalan-jalan, Bu.”
Aku tahu itu bohong. Tapi bohong yang tidak ingin kami pecahkan. Seperti benjolan di bawah tikar yang tak ingin kita sentuh karena takut ternyata batu.
Di televisi, berita tentang Ibu Kota Baru diputar berulang-ulang. Presenter itu bicara dengan wajah penuh semangat, memamerkan maket jalan tol, gedung tinggi, dan taman luas yang katanya akan jadi paru-paru negeri. Di baliknya, drone memperlihatkan lahan luas, kosong, siap dibangun. Tidak ada satu pun menyebut kampung kami. Tidak ada satu pun menyebut nama tempat kami berdiri, tumbuh, jatuh cinta, dan bertengkar kecil.
Aku bertanya dalam hati, berkali-kali, kenapa kami tidak disebut? Apakah rumah kayu dan pekarangan kecil kami terlalu remeh untuk masuk dalam peta besar itu? Apakah suara ayam dan bunyi lesung Ibu terlalu kecil dibanding suara beton yang dituangkan?
Ari yang menjawab pertanyaanku dalam diam.
Suatu malam, saat aku menyusulnya diam-diam, aku melihatnya di tembok belakang dekat jalur proyek. Ia berdiri dengan kaleng cat semprot di tangan, wajahnya setengah tertutup masker, dan matanya menyala seperti bara. Di hadapannya, di atas tembok panjang abu-abu, ada gambar rumah kecil yang roboh, ditindih oleh gambar sepatu bot besar. Di bawahnya tertulis kata-kata: “Apa arti masa depan kalau kami harus hilang?”
Aku tercekat. Tanganku menggenggam keras pagar besi yang dingin.
Ari menoleh. Kami saling tatap dalam diam. Ia tak marah aku mengintip. Ia hanya berkata pelan, “Jangan bilang siapa-siapa ya, Ra.”
Aku mengangguk, meski jantungku berdetak seperti genderang perang.
Di rumah, suasana semakin menegang. Bapak mulai curiga, tapi menahan diri. Ibu seperti tahu, tapi memilih diam. Mungkin karena semua dari kami menyimpan ketakutan masing-masing. Ketakutan bahwa jika kami mulai bertanya, semuanya akan pecah.
Malam-malam kami tidak lagi diisi suara jangkrik. Tapi bisik-bisik tetangga tentang siapa yang akan pergi lebih dulu, siapa yang akan dibayar lebih sedikit, dan siapa yang diam-diam dilabeli “penghasut.”
Bapak mulai lebih sering menatap jendela sambil merokok. Ia memandangi jalan tanah yang sebentar lagi akan jadi aspal panas. Kadang aku dengar ia bicara sendiri, seperti bertanya, “Apa semua ini benar-benar untuk kita?”
Suatu malam, ketika Ibu tertidur, aku mendengar Bapak bicara pada Ari.
“Mas, kamu anak laki-laki satu-satunya. Aku nggak larang kamu marah. Tapi jangan cari bahaya. Kampung ini boleh kalah, tapi jangan sampai anakku juga hilang.”
“Kalau kita diam, berarti kita ikut setuju, Pak,” jawab Ari lirih. “Kalau nggak ada yang bersuara, siapa lagi yang bakal ingat kampung ini pernah ada?”
Kata-kata itu menggantung di udara. Berat dan menyakitkan. Seperti mengangkat batu yang selama ini kami kubur dalam-dalam.
Bapak tak menjawab. Ia hanya menghembuskan asap rokok ke arah lampu temaram, seperti ingin membuat cahaya itu kabur sejenak.
Tengah malam itu, kampung kami kembali gaduh. Tapi bukan suara tangisan, bukan suara hujan. Suara sepatu bot dan senter yang menusuk gelap.
Polisi datang.
Mereka tak membawa senjata. Tapi kehadiran mereka cukup untuk membuat udara mengeras.
Aku terbangun karena suara pintu diketuk keras. Ibu sudah berdiri di depan pintu, tubuhnya menegang. Bapak buru-buru mengenakan baju, sementara Ari berdiri di sudut ruangan, diam seperti bayangan yang tertangkap cahaya.
“Maaf, Pak, Bu,” kata seorang polisi dengan nada sopan tapi datar, “Kami mendapat laporan. Ada anak muda yang mencorat-coret tembok proyek. Kami hanya ingin bicara.”
Ibu menoleh ke Ari. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tegas. Seolah hanya dengan pandangan, ia meminta Ari tetap di tempat, tetap utuh.
Ari maju setengah langkah, tapi Ibu lebih cepat. Ia menggenggam lengan Ari erat-erat, seperti akan menahannya dari dunia yang ingin menggusur bukan hanya rumah, tapi juga keberadaan anak-anaknya.
“Salah rumah, Pak. Anak saya di rumah terus,” suara Ibu pelan tapi dingin. “Mungkin Bapak bisa tanya ke rumah lain.”
Polisi itu memandangi Ari, lalu ke Ibu. Hening sesaat, sebelum mereka pamit dengan basa-basi yang terasa seperti pisau tumpul: tidak menyakitkan langsung, tapi lama-lama bisa melukai.
Setelah mereka pergi, Ibu tak melepas genggamannya.
Malam itu, aku tahu—kami bukan hanya akan kehilangan rumah. Tapi juga kehilangan suara. Dan mungkin, kehilangan satu sama lain.
***
Langit pagi itu tidak benar-benar cerah, tapi juga tidak cukup murung untuk disebut mendung. Seperti wajah Ibu belakangan ini hanya abu-abu, tidak bisa disebut bahagia, tapi terlalu kuat untuk dibilang rapuh. Aku duduk di ambang jendela, melihat pekarangan yang mulai kehilangan warna. Pot-pot bunga yang dulu dirawat Ibu tiap sore sudah ditumpuk di sudut, seperti menunggu giliran untuk dibuang, atau mungkin dibawa entah ke mana.
Di dapur, suara sendok beradu dengan gelas tidak lagi seperti dulu. Dulu, ada nyanyian pelan menyelinap di antara tumisan dan air mendidih. Sekarang, hanya denting pelan, seakan dapur itu pun mengerti: kami sedang tidak baik-baik saja.
“Ibu masak apa?” tanyaku sambil melongok ke dapur.
Ibu sedang memotong bawang. Tangannya gemetar sedikit, matanya basah, entah karena irisan itu atau karena sesuatu yang lebih dalam.
“Sayur bening,” jawabnya pelan, nyaris tanpa suara.
“Masih ada tempe?”
“Masih. Separuh dari kemarin.”
Ibu tak menoleh. Tapi aku tahu matanya merah. Aku tahu karena aku sudah mulai bisa membaca tanda-tanda kesedihan, seperti membaca puisi, hanya saja puisi Ibu tak pernah ditulis hanya terdengar dari bunyi sendok yang tak seirama, dari piring yang tak segera dicuci, dari napas yang ditahan terlalu lama.
Beberapa malam lalu, aku mendengar Ibu menangis di kamar mandi. Bukan tangisan keras, hanya seperti suara air menetes dari keran yang rusak. Tapi aku tahu. Karena itu bukan suara keran. Itu suara yang terlalu manusia.
Aku mulai menulis puisi kecil-kecil di belakang buku pelajaran. Tentang rumah, tentang atap yang seperti dada Ibu menahan hujan, menahan panas, tapi tak pernah mengeluh. Tentang dinding yang perlahan kehilangan bingkai foto karena satu per satu diturunkan dan dibungkus koran. Tentang pintu yang mulai lebih sering dikunci, bukan karena takut maling, tapi karena ingin diam-diam menangis sendiri.
Hari itu, aku melihat Ibu menyembunyikan beberapa gelas di kardus bekas mie instan. Ia kira aku tak lihat. Tapi aku tahu. Tangannya terburu-buru. Seperti ingin menghilangkan kenangan, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
“Bu, kita mau pindah, ya?”
Ibu hanya diam. Potongan bayam di tangannya jatuh ke lantai.
Aku pulang lebih cepat dari sekolah hari itu. Langit terik, tapi angin seperti menolak masuk ke gang kecil menuju rumah kami. Di depan rumah, aku melihat Ayah sedang membersihkan gerobak tua milik kakek. Gerobak itu sudah bertahun-tahun tak dipakai, hanya disimpan di samping rumah. Sebuah warisan. Sebuah kenangan. Dulu kakek menggunakannya untuk menjual gorengan keliling. Kadang aku ikut, duduk di dalamnya dan pura-pura jadi penumpang becak.
“Ayah, kenapa gerobaknya dibersihkan?”
Ayah menyeka keringat, tak langsung jawab. Lalu tangannya menunjuk ke ujung gang.
“Bapak itu mau beli. Katanya buat dagang cilok.”
“Dijual?”
“Iya. Gerobak segede itu mana muat kalau kita harus pindah. Nanti repot.”
Aku menelan ludah. Rasanya pahit. Bukan karena tak rela gerobak itu pergi, tapi karena kata “kalau” dari mulut Ayah terdengar seperti “pasti.”
Kami akan pindah. Tapi tak ada yang benar-benar mengatakannya. Rumah kami bukan lagi tempat tinggal, tapi teka-teki yang sedang dibongkar pelan-pelan.
Malamnya, aku membuka lemari dan menemukan beberapa baju sudah dilipat rapi dalam plastik. Buku-buku kecilku pun sebagian sudah hilang dari rak. Sepertinya disimpan Ibu. Atau dijual? Aku tak tahu.
Suara TV di ruang tamu menyala, tapi seperti tak benar-benar hidup. Ayah duduk di depan layar, menatap tanpa melihat. Ibu duduk di samping, menjahit sesuatu, atau pura-pura sibuk menjahit. Aku duduk di lantai, menulis puisi lagi.
Kalau rumah adalah tubuh, maka kita sedang memotong bagian-bagiannya diam-diam.
Aku baru saja menulis itu ketika terdengar suara piring pecah dari dapur.
Semua langsung diam. TV tetap menyala, tapi tidak ada yang benar-benar menontonnya. Ibu berdiri. Aku ikut bangkit. Kami berjalan ke dapur seperti orang yang sedang mendatangi jenazah.
Satu piring pecah. Bukan banyak, hanya satu. Tapi suaranya… suaranya lebih keras dari seluruh sunyi yang selama ini kami peluk. Suara itu seperti mengakhiri sesuatu seperti sebuah jawaban dari semua tanya yang tak diucapkan.
Ibu jongkok. Mengambil pecahan-pecahan itu dengan tangan kosong. Jarinya sedikit terluka.
“Bu, biar aku aja…”
“Nggak usah. Ibu bisa.”
Ia tetap memungut serpihan itu. Tangannya gemetar. Darah menetes sedikit di lantai. Tapi ia tetap diam. Tak mengeluh. Tak marah. Hanya menghela napas panjang, lalu berkata,
“Piring ini, dulu kita beli waktu baru nikah. Murah. Tapi paling tahan lama.”
Aku ingin menangis, tapi entah kenapa mata ini keras kepala.
Aku kembali ke kamar. Membuka jendela. Di luar, suara kampung makin pelan. Biasanya, ada tawa anak-anak bermain bola. Kini tak terdengar. Ibu-ibu yang biasa mengobrol sore kini hanya lewat, saling menatap tanpa benar-benar menyapa. Kampung kami sedang dalam diam yang panjang.
Di kejauhan, aku melihat truk besar melintas di jalan utama. Mungkin besok truk itu datang ke gang kami. Mungkin lusa kami sudah harus pergi. Tapi ke mana? Aku tak tahu. Ibu pun sepertinya tak tahu. Tapi ia tetap menyiapkan segalanya. Seperti rumah ini sedang dalam ujian terakhir menjadi tempat berteduh sebelum kami kehilangan segalanya.
Di buku puisiku, aku menulis lagi:
Kalau semua suara disimpan terlalu lama, maka ia akan pecah jadi gema.
Dan malam itu, aku tidur dengan suara piring pecah yang masih terngiang di kepala. Suara paling jujur dari semua sunyi yang kami telan.
***
Langit pagi itu tak sepenuhnya cerah, tapi juga bukan mendung. Ia semacam langit yang bimbang, menggantung di antara dua keputusan: apakah akan memberi cahaya, atau menjatuhkan hujan. Tapi di dalam dadaku, tak ada ruang untuk menebak cuaca. Karena hari ini, bukan langit yang akan jatuh melainkan rumah kami.
Suara mesin diesel membelah udara, menggelegar sejak subuh. Lalu bunyi toa menyusul, seperti teriakan tak sabar yang memaksa kami bangun, tapi bukan untuk memulai hari. Untuk berkemas. Untuk pergi. Untuk menyerah.
Aku berdiri di ambang pintu, memeluk kusennya seperti memeluk tubuh seseorang yang kucintai, seseorang yang akan direnggut paksa dariku. Kusen itu hangat, sedikit lapuk, tapi tetap kokoh. Di sinilah Ibu biasa bersandar sambil mengupas mangga. Di sinilah Bapak duduk menambal sandal jepitnya. Dan di sinilah aku berdiri sekarang menolak kenyataan, menolak beranjak, seolah pelukanku bisa jadi alasan rumah ini bertahan.
Tapi kenyataan selalu punya cara menang, bukan?
Truk besar datang seperti monster. Roda-rodanya meninggalkan jejak hitam di jalan sempit kampung kami. Di belakangnya, alat berat menderu, menggeliat, seakan lapar. Dan di depan mereka, seorang pria berseragam berdiri dengan selembar kertas, toa di tangannya.
"Ini peringatan terakhir!" teriaknya, nadanya kering dan berulang-ulang, seolah kata-katanya sudah dihafal. "Warga diharapkan segera mengosongkan rumah. Tanah ini milik pemerintah. Proyek akan dimulai hari ini."
Kami tahu ini akan datang. Tapi tahu bukan berarti siap.
Ibu duduk di lantai ruang tamu, kedua tangannya menutup wajahnya. Aku tahu ia menangis, meskipun tak ada suara keluar. Tangis yang sudah terlalu lama ditahan, kini jadi batu dalam dada. Bapak hanya berdiri di sudut ruangan, memegang tas tua berisi pakaian dan dokumen. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menggigit bibir bawahnya seperti orang yang sedang menahan rasa perih. Aku belum pernah melihat Bapak selelah ini. Sehilang ini.
Aku ingin marah. Pada siapa pun. Pada petugas itu. Pada pemerintah. Pada dunia yang tega. Tapi marahku hanya mengendap di tenggorokan. Tak ada ruang untuk kemarahan ketika yang ada hanyalah kekalahan.
"Kita harus keluar, Ra," bisik Bapak.
"Aku masih ingin di sini," jawabku. Suaraku kecil, tapi cukup untuk membuat Bapak berpaling padaku. Matanya merah.
"Kita tak punya pilihan."
"Tapi rumah ini… ini satu-satunya yang kita punya."
Ia tidak menjawab. Dan justru itulah jawabannya.
Petugas itu berjalan mendekat. Di belakangnya, beberapa orang berseragam oranye mulai memegang palu dan linggis. Beberapa bahkan sudah menyorongkan alat berat ke pagar rumah tetangga. Satu per satu, rumah-rumah itu runtuh seperti kartu domino, dihancurkan tanpa ragu. Setiap kali atap jatuh, setiap kali dinding ambruk, aku seperti kehilangan sesuatu dalam tubuhku. Kenangan, mungkin. Atau harapan.
"Pak, Bu, kami mohon kerja samanya. Prosesnya harus segera dimulai," kata petugas itu, tak menatap kami langsung.
Ibu berdiri perlahan. Tangannya gemetar saat menarikku menjauh dari kusen.
"Rara, ayo. Sudah cukup…"
Aku menolak. Aku memeluk lebih erat kusen pintu, mencium permukaannya, mencium bau kayu yang familiar. "Kalau aku tetap di sini, mereka takkan bisa hancurkan rumah ini, kan?"
Ibu menangis. Bapak memalingkan wajah. Dan aku tahu, pertanyaanku adalah pertanyaan anak kecil yang tak ingin bangun dari mimpi.
Saat suara gemuruh alat berat makin dekat, aku melepas pelukan itu. Perlahan. Dengan hati yang tertinggal. Aku berjalan masuk ke kamar, tempat tidurku masih rapi, dindingnya masih penuh coretan masa kecil. Aku menyentuhnya, lalu mengecup permukaan dinding itu.
“Maaf karena tak bisa menyelamatkanmu,” bisikku.
Lalu aku keluar. Tanpa menoleh lagi.
Kami berdiri di jalan kecil, berdesakan dengan tetangga yang juga kehilangan. Ada yang menangis keras, ada yang diam membatu, ada yang mencaci dalam gumaman. Tapi tak satu pun yang berani menghadang. Karena siapa yang bisa melawan rencana besar yang bahkan tak menyebut nama kita?
Pak RW tidak muncul. Sejak minggu lalu ia tak pernah tampak. Mungkin ia sudah tahu. Mungkin ia memilih diam, atau mungkin juga ia sudah lebih dulu diberi amplop. Tapi tak ada yang bicara soal itu. Tak ada yang berani.
Ketika alat berat menabrak dinding rumah kami, aku menggigit bibir sampai perih. Seperti melihat tubuh sendiri dirobek perlahan, tulang-belulangnya dihancurkan, hatinya dicabik.
Setiap bunyi reruntuhan adalah penghapusan. Tempat tidurku, kursi kesayangan Ibu, rak buku penuh catatan SMA, lemari kayu warisan Nenek, bahkan foto pernikahan Bapak dan Ibu yang digantung di ruang tengah. Semua musnah jadi debu.
Hari itu, langit tetap tak memilih. Ia hanya menggantung seperti biasa, pura-pura tak tahu. Tapi bagiku, langit telah berubah. Ia tak lagi biru. Ia menjadi kelabu yang menyimpan kesedihan, amarah, dan kehilangan. Warna yang tak bisa dihapus.
Dan kami, sekali lagi, harus belajar hidup dari titik nol. Tanpa rumah. Tanpa arah. Tanpa tempat untuk berteduh.
***
Aku tak tahu kapan malam mulai lebih panjang dari siang. Atau mungkin hanya terasa begitu karena waktu seperti tak mau berjalan di tempat ini. Tempat kami yang baru. Tanpa atap. Tanpa dinding. Tanpa nama.
Tenda-tenda plastik berjejer, seperti luka yang dibalut seadanya. Hujan semalam membuat tanah di bawahku jadi lumpur licin. Tikar kami lembap, selimut berbau apek, dan tubuhku menggigil. Ibu hanya bisa meremas tanganku dan berkata, “Tahan ya, Ra. Ini cuma demam biasa. Nanti juga turun.”
Ia mencelupkan sehelai kain ke baskom kecil berisi air rendaman daun sirih, lalu meletakkannya di dahiku. Tangannya gemetar. Mungkin karena lelah. Mungkin juga karena takut. Tapi ibu tak pernah mengeluh. Ia tetap tersenyum, meski bibirnya pecah-pecah dan matanya sembab karena tak tidur semalaman.
“Kita dulu punya rumah, ya, Bu?” tanyaku pelan, hanya untuk memastikan kenangan itu masih nyata.
Ibu mengangguk sambil menunduk. “Rumah yang kau lahir di dalamnya. Dindingnya dari papan jati, jendelanya menghadap pohon jambu, dan halaman kecil di mana kau dulu belajar berjalan.”
Aku mencoba tersenyum. Tapi kenangan itu seperti paku yang digoreskan ke kulit. Nyeri dan tak tertahankan.
Ayah duduk tak jauh dari kami. Diam, menatap kosong ke tanah yang tak lagi kering. Satu-satunya jaket miliknya terlipat rapi di sebelahnya. Ia tak bicara sejak kemarin. Hanya sekali-sekali menghela napas panjang, seolah sedang menahan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Dulu, ayah adalah suara paling lantang saat bicara soal keadilan. Sekarang, bahkan untuk berkata “lapar” pun ia tak kuasa.
Pagi tadi, seorang relawan dari NGO datang membawa dua dus logistik. Mi instan, minyak, dan sedikit obat-obatan. Ia berbicara dengan beberapa warga, tersenyum, lalu pergi begitu saja. Seperti hujan gerimis yang tak pernah cukup untuk ladang-ladang kering kami. Tapi kami tak bisa menyalahkannya. Mereka juga manusia. Punya batas.
Ari pergi tiga hari lalu.
Ia tak berpamitan padaku, hanya pada ibu. Katanya ingin ikut ke kota, ke kantor gubernur, ikut demo. Membawa spanduk yang digulungnya sendiri dan jaket hitam lusuh milik ayah.
“Aku harus lakukan ini, Bu,” katanya. “Kalau bukan kita, siapa lagi?”
Ibu menatapnya lama, lalu mengangguk. Tidak setuju, tapi juga tidak punya tenaga untuk melarang. Ia tahu, kadang keberanian tak bisa ditahan.
Sejak Ari pergi, malam menjadi lebih sunyi. Tidak ada lagi suaranya menyanyikan lagu-lagu sumbang atau lelucon yang memaksa kami tertawa. Aku merindukannya, meski tak pernah kuucap. Bahkan pada ibu.
Kemarin malam, aku bermimpi rumah kami tumbuh kembali dari tanah. Tapi bukan rumah yang dulu. Dindingnya retak, atapnya berlubang, dan di dalamnya kosong. Tak ada suara. Tak ada gambar di dinding. Hanya satu kursi yang terbalik di pojok ruangan.
Aku bangun dengan tangis. Ibu hanya diam, memelukku seperti biasa.
“Kadang rumah bisa jadi kenangan buruk juga, Ra,” katanya pelan. “Tapi bukan salah rumahnya. Bukan salah tanahnya. Salah siapa, kita pun tak tahu.”
Siang ini panas menyengat. Bau lumpur dan keringat bercampur. Beberapa anak kecil bermain lumpur, tertawa tanpa tahu mereka sedang tinggal di reruntuhan harapan. Sementara orang-orang dewasa duduk, berdiskusi, atau sekadar diam menunggu kabar entah dari pemerintah, entah dari Tuhan.
Ayah masih diam. Ibu terus mencoba menyuapiku bubur encer yang ia masak dari sisa beras kemarin. Aku hanya bisa menelan sedikit. Rasanya hambar. Tapi aku tahu, itu adalah rasa perjuangan yang sudah hampir habis.
Tiba-tiba seseorang berlari ke arah tenda-tenda. Nafasnya tersengal. Ia membawa kabar.
“Ada yang ditangkap! Dari rombongan demo kemarin!”
Semua orang berhenti. Suara berhenti. Hanya desir angin yang terdengar menyapu kain-kain tenda.
“Ari…” kata seorang perempuan di dekatku. Suaranya pecah. “Anak itu ikut! Dia ditangkap…”
Ibu terdiam. Tangan yang sedang mengelus rambutku berhenti seketika. Aku tahu, dunia ibu runtuh sekali lagi. Tapi ia tak menangis. Ia bangkit perlahan, lalu mengambil air wudhu dengan air hujan yang ditampung di baskom.
Ayah tetap tak bicara. Tapi aku melihat matanya merah.
Malam ini, ibu duduk sendiri di bawah langit gelap. Ia memandang jauh, seolah bisa menembus batas kota. Mencari bayangan Ari. Mencari secercah harapan yang mungkin tertinggal di sudut mana pun dunia.
Aku ikut duduk di sampingnya. Hening.
“Ra,” bisik ibu. “Kalau nanti kita pergi dari sini… dan tidak pernah kembali… jangan benci tanah ini, ya.”
Aku menoleh, menatap wajahnya yang kusam tapi masih bersinar oleh kesabaran.
“Kenapa, Bu?”
“Karena tanah ini pernah jadi rumah. Pernah jadi bagian dari kita. Walau sekarang menolak jejak kita, walau tak lagi mengenal nama kita… tetap saja, ia pernah menyambutmu saat kau lahir ke dunia.”
Aku menunduk. Hening.
Dan malam pun berjalan pelan, membawa kami jauh dari tempat yang dulu kami sebut rumah.
Tak ada yang tersisa. Tak ada yang kembali.
Yang tinggal hanya kenangan… dan tenda yang terus basah oleh hujan dan kehilangan.
***
Aku tak tahu harus menulis kepada siapa. Aku tak tahu alamat yang benar. Apakah surat ini harus dikirim ke gedung tinggi yang muncul di layar televisi? Atau ke sebuah nama besar yang semua orang hormati, tapi tak pernah menatap ke sini?
Yang aku tahu, aku harus menulis.
Kalau tidak, suaraku akan hilang seperti rumahku lenyap, tak dikenang, tak dicari.
Kami kini tinggal di sudut pasar loak. Bukan di dalam pasar, tapi di balik lapaknya, di bawah langit terbuka yang bau besi tua dan minyak gosong. Ayah jadi pemulung. Ia pulang dengan kantong plastik hitam yang menggendut bukan oleh uang, tapi kabel bekas, sepatu bolong, dan mainan rusak yang kadang masih bisa kuperbaiki.
Ibu kini menjahit seragam sekolah bekas. Dibeli dari karung-karung sumbangan, dicuci, disetrika, lalu dijual kembali. Ia bilang, “Orang-orang miskin tak butuh baru, hanya butuh layak.” Tapi kadang, seragam itu berlubang terlalu besar untuk ditambal.
Aku duduk di tikar kecil, di samping timbunan besi karatan, dan mulai menulis.
Untuk Ibu Kota yang Baru,
Namaku Rara. Aku sebelas tahun. Dulu aku punya rumah. Rumah kayu dengan jendela yang selalu terbuka. Di bawah jendela itu, ada pohon jambu yang selalu berbuah di bulan-bulan ini. Dulu aku bisa mencium bau tumisan Ibu dari jalan setapak depan rumah. Dulu aku bisa dengar Ayah memarahi ayam tetangga, dan Kakakku Ari memutar lagu keras-keras sampai Ibu melempar sendal ke arahnya.
Tapi rumah itu sekarang tinggal debu.
Aku dengar Ibu Kota yang Baru sedang dibangun. Megah. Indah. Dengan jalan-jalan besar dan gedung-gedung dari kaca. Katanya untuk masa depan. Kata orang-orang di televisi: “Kemajuan.” Tapi tidak ada yang bilang bahwa kemajuan itu berarti rumahku harus roboh.
Kenapa rumahku harus jadi batu pertama dari istanamu?
Kenapa suara anak kecil sepertiku tidak bisa ikut bicara?
Kenapa peta yang kalian gambar tak pernah menulis nama kampung kami?
Aku tahu surat ini mungkin tak sampai. Tapi aku harus menulis. Supaya dunia tahu bahwa kami pernah tinggal di sana. Bahwa kami bukan rumput liar yang bisa dicabut dan dibuang. Kami punya nama. Punya tanah. Punya mimpi yang kini kehilangan tempat tinggal.
Tolong… kalau suatu hari kalian melewati jalan besar itu, dan melihat seorang anak duduk di samping pasar loak, tolong jangan buang muka. Aku hanya ingin tahu:
Apakah rumahku sepadan dengan istana yang sedang kalian bangun?
Salam,
Rara
Selesai kutulis, aku membacanya pelan-pelan. Lalu melipat kertas itu hati-hati dan menyimpannya di dalam saku. Entah kenapa, aku tidak ingin memberikannya pada siapa pun. Surat ini bukan untuk dikirim. Bukan untuk dibalas. Tapi untuk ditanam, agar luka yang tak terlihat bisa punya bentuk.
Sore itu, aku kembali ke tempat yang dulu kusebut rumah. Jaraknya tak jauh dari pasar, tapi jalannya sekarang berbeda. Aspal baru, papan larangan masuk, dan suara mesin yang tak pernah diam.
Di antara reruntuhan yang tak diangkut, masih berdiri pohon jambu tua. Ajaib. Seolah menolak mati, walau tanah di sekelilingnya sudah dilukai berkali-kali. Daunnya tak banyak, tapi cukup untuk membuatku merasa pohon itu masih hidup. Masih ingat siapa aku.
“Pohon,” bisikku sambil menyentuh batangnya yang kasar. “Aku titip ya.”
Aku keluarkan suratku, lalu kutempelkan di batang pohon itu dengan sisa selotip yang kupinjam dari lapak sebelah. Angin sore menerbangkan ujung kertasnya, tapi pohon itu diam saja. Seperti mengerti. Seperti menampung.
Langit mulai gelap. Hujan turun tiba-tiba. Pelan, seperti air mata yang tak jadi ditahan. Aku tidak lari. Biarlah hujan membasahi suratku. Biarlah tinta larut dan huruf-hurufnya hilang.
Yang penting, surat itu pernah ada. Pernah ditulis.
Dan mungkin, suatu hari, seseorang akan membacanya. Atau mungkin tidak.
Tapi setidaknya, dunia akan tahu bahwa luka ini nyata.
Aku berdiri di bawah pohon, diam, menatap langit yang tak lagi biru, dan tahu… meski tak punya rumah, aku masih punya kata-kata.
***
Hari ini aku berjalan menyusuri jalan baru itu.
Yang lebar. Yang halus. Yang katanya menjadi urat nadi masa depan.
Orang-orang menyebutnya “simbol kemajuan.” Tapi bagiku, ini hanya luka yang diaspal rapi.
Aku tak tahu apa yang kucari.
Mungkin tanda.
Mungkin sisa.
Mungkin sekadar pembenaran, bahwa semua yang pernah kami miliki memang pernah ada.
Di sisi jalan itu, tiang-tiang lampu berdiri seperti penjaga. Pohon-pohon baru ditanam, kecil dan seragam, berjajar rapi seperti di barisan upacara. Tak ada lagi jejak ayam tetangga. Tak ada lagi suara wajan Ibu. Tak ada sisa rumah kami.
Tak ada namaku. Tak ada nama kampungku.
Semua lenyap seperti tak pernah ada.
Sudah lima bulan sejak hari itu. Sejak rumah kami tumbang. Sejak kami berpindah-pindah, dari tenda darurat ke penampungan sementara, lalu ke emper pasar, lalu ke sudut yang lebih tersembunyi dari dunia.
Ari belum pulang.
Terakhir yang kudengar, ia dipindahkan dari tahanan kota ke pusat rehabilitasi remaja. Kata relawan yang mampir, “Ia masih menolak diam.” Dan aku tahu, itu artinya Ari tetap Ari keras kepala dan penuh luka.
Ayah sekarang jarang bicara. Ia bangun pagi, menyusun barang bekas, lalu pergi. Kadang pulang membawa setengah roti dan secangkir kopi dingin. Kadang pulang hanya dengan diam. Matanya kosong seperti bangku tua yang ditinggalkan.
Ibu juga semakin kurus. Tapi tangannya masih menjahit. Aku suka mengamati jari-jarinya menari di atas kain, seolah masih ingin membangun sesuatu dari yang tak lagi utuh.
Dan aku?
Aku menulis.
Di buku lusuh sumbangan sekolah, di potongan kardus, di belakang struk belanja orang-orang yang kubantu angkat belanjaannya. Aku menulis karena hanya itu yang masih milikku.
Di pertigaan tempat jalan besar membelah arah, aku berhenti.
Dulu di sini ada warung Kopi Pak Usman. Di sinilah Ayah suka nongkrong setelah kebun. Di sinilah aku pernah duduk memakan gorengan saat hujan turun deras.
Sekarang warung itu tak ada. Hanya jalur hijau yang rapi dan tugu kecil bertuliskan nama proyek.
Kakiku gemetar.
Aku mencoba membayangkan ulang semuanya. Rumah kami. Suara Ari memutar lagu keras-keras. Ibu menyuapiku bubur panas. Ayah mencangkul halaman dan mengumpat karena batu tak kunjung habis. Tapi semakin keras aku mencoba, semakin kabur semuanya.
Seperti mimpi yang menguap begitu mata terbuka.
Aku berjalan lagi. Matahari terik. Asap kendaraan membuat napas sesak.
Di bawah pohon kecil yang baru ditanam yang entah tahu atau tidak bahwa tanah ini dulunya hidup aku duduk.
Orang-orang lalu lalang. Mereka tidak tahu siapa aku. Mereka tidak peduli.
Aku bagian dari masa lalu yang disingkirkan demi masa depan.
Lalu aku bertanya dalam hati:
Kalau semua ini demi kemajuan, mengapa begitu banyak yang harus hancur?
Kenapa rumah kami tak bisa ikut dibangun bersama jalan ini?
Kenapa kenangan harus dikorbankan?
Kenapa suara orang kecil hanya jadi latar belakang, bukan bahan pertimbangan?
Aku tahu jawabannya tak akan datang. Seperti surat-suratku yang tak pernah dibalas.
Tapi aku tetap menunggu. Bukan jawaban yang pasti, hanya pengakuan bahwa kami pernah ada.
Langit mulai mendung.
Aku bangkit dan menyusuri jalan pulang, melewati sisi pasar loak. Bau karat dan karet terbakar menempel di udara. Tapi di sudut itu, Ibu duduk menjahit. Dan Ayah sedang menata kabel bekas di atas tikar plastik.
Mereka tidak lagi punya rumah, tapi mereka tetap membangun hari.
Aku mendekat, duduk di samping Ibu.
Ia tersenyum kecil, meski matanya lelah. “Kamu dari mana, Ra?”
“Jalan-jalan,” jawabku.
Kemudian diam mengisi ruang di antara kami.
Tapi diam itu bukan kosong. Diam itu penuh:
Dengan suara rumah yang hilang, dengan jejak yang tak sempat diwariskan, dengan kenangan yang tertinggal tanpa tempat.
Aku menatap Ibu dan Ayah. Lalu mengangkat wajah ke langit yang mulai gelap.
Dan akhirnya, aku mengerti sesuatu:
Rumah bukan soal genteng atau tembok.
Bukan soal alamat di peta, atau sertifikat tanah yang bisa digusur.
Rumah adalah tempat di mana suara kita tak dianggap asing.
Tempat di mana luka kita tak ditertawakan.
Tempat di mana kita bisa menangis, marah, tertawa dan semua itu diterima.
Dan tempat itu, kini…
Tak lagi ada.
Tapi
aku akan terus menulis. Supaya suatu hari, jika ada yang mendengar, mereka tahu:
Kami pernah berteduh di sini.
Dan dunia pernah menutup telinga.