Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,653
Jejak yang Hilang di Lorong 4
Misteri


Lorong 4 selalu terasa lebih sunyi daripada lorong-lorong lain di perpustakaan itu.

Pencahayaannya redup, bahkan sejak lampu diganti bulan lalu.

Rak-raknya lebih tinggi, dan buku-bukunya jarang disentuh.

Barangkali karena judul-judul di sana bukanlah novel populer, bukan juga referensi pelajaran melainkan arsip puisi tua, kumpulan artikel investigasi, dan buku harian para penulis yang sudah dilupakan.

Reksa tahu itu. Ia sendiri yang menatanya.

Sejak pensiun dari dunia penyidikan lima tahun lalu, perpustakaan ini adalah tempatnya berteduh dari dunia yang terlalu gaduh.

Ia bekerja sebagai pustakawan lepas menyortir buku masuk, mengarsip koleksi lama, dan… kadang sekadar duduk diam memandangi rak.

Hingga suatu sore, ketika ia sedang memindahkan beberapa bundel buku puisi ke rak bawah, sesuatu jatuh dari sela halaman.

Bukan penanda buku.

Bukan kertas catatan siswa.

Tapi… sebuah foto polaroid tua.

Ia mengambilnya.

Warnanya mulai pudar, sudut-sudutnya melengkung.

Tapi wajah di dalamnya masih tampak jelas: seorang anak laki-laki berusia belasan, mengenakan seragam sekolah yang tidak asing.

Latar belakangnya tembok merah dan papan pengumuman.

Tapi yang membuat Reksa membeku bukanlah tempatnya melainkan wajah anak itu.

Itu wajah korban.

Korban dari kasus hilang yang ia tangani delapan tahun lalu.

Korban yang... jasadnya tak pernah ditemukan.

Kasus yang akhirnya ditutup atas nama “bunuh diri tidak lengkap,” dan membuat Reksa mengundurkan diri dalam diam.

Ia memejamkan mata sejenak, merasakan napasnya berubah ritme.

Tangannya menggenggam foto itu erat.

Tidak ada tanggal.

Tidak ada coretan di belakang.

Hanya potret diam yang tidak pernah sempat bicara.

Keesokan harinya, ia memeriksa kembali rak tempat foto itu jatuh.

Tidak ada tanda buku yang rusak.

Tidak ada nama siswa terdaftar meminjam koleksi di lorong 4 dalam dua bulan terakhir.

Tapi ada satu nama yang tercatat dalam daftar kunjungan sore hari sebelumnya: “Aksa”

Tanpa nomor siswa. Tanpa kelas. Tanpa jam keluar.

Reksa menelusuri daftar pengunjung hari-hari sebelumnya.

Nama “Aksa” muncul lima kali dalam dua minggu terakhir.

Selalu sore hari.

Selalu mendekati waktu tutup.

Tapi ia tidak pernah melihat siapa pun anak itu.

Dan staf lain di perpustakaan?

Semua mengatakan: “Saya tidak pernah melihat siswa bernama Aksa, Pak.”

Malamnya, Reksa duduk di kamarnya yang sempit, membuka kembali map tua yang telah ia kunci sejak pensiun.

Isinya tidak banyak.

Hanya satu salinan laporan kasus yang ia simpan diam-diam: Kasus Hilangnya Ardiansyah, 16 tahun.

Tempat terakhir terlihat: Lorong sekolah, dekat ruang sastra.

Status: hilang, kemudian diputuskan “tidak ditemukan, kemungkinan bunuh diri.”

Tapi tidak pernah ada jasad.

Tidak pernah ada bukti kuat.

Dan kini, wajah anak itu muncul kembali di dalam perpustakaannya tanpa penjelasan,

tanpa tanggal.

Reksa menggenggam polaroid itu lagi.

“Apakah ini pesan?” pikirnya.

“Atau... permintaan yang tertunda?”

Matanya menatap foto itu dalam diam.

Dan seperti naluri lama yang tak benar-benar mati, ia tahu: ini bukan kebetulan.

Meja kayu kecil di sudut kamar itu telah lama berubah fungsi.

Dulu tempat menyusun laporan harian.

Kini, ia hanya menopang tumpukan surat kabar yang tak pernah dibaca dan piring kopi yang jarang diganti.

Namun malam itu, meja itu kembali hidup.

Reksa membuka map tua dengan tangan gemetar.

Isinya kering, tapi tidak mati.

Seperti luka lama yang tidak pernah diobati dibiarkan tetap terbuka, karena menutupnya malah membuatnya terasa nyata.

Ia menyisir halaman laporan hilangnya Ardiansyah.

Foto, kronologi, hasil penyisiran, daftar saksi.

Semuanya lengkap.

Tapi semua itu hanya dokumen.

Yang tidak tertulis adalah apa yang ia tahu tapi tak pernah disampaikan.

Bertahun-tahun lalu, ketika kasus itu mulai membeku, Reksa menemukan sesuatu di ruang guru sekolah tempat Ardiansyah terakhir terlihat: sebuah buku puisi milik korban, dengan satu halaman terakhir disobek.

Tidak ada yang menganggap penting.

Kepolisian menyebut itu “tidak relevan”.

Sekolah menyebut anak itu murung.

Dan keluarga... diam karena kelelahan disalahkan.

Tapi Reksa tahu halaman yang hilang itu adalah permulaan.

Namun ia tidak pernah menuliskannya dalam laporan.

Tidak saat itu.

Tidak pernah.

Karena dua hari setelah ia menyebut soal halaman yang hilang kepada atasannya, ia dipanggil secara informal dan diberi saran untuk "menyudahi."

Alasan resmi: efisiensi tenaga, alasan sebenarnya: terlalu banyak bertanya.

Dan ia menyerah.

Ia berhenti menyelidiki, bukan karena tak sanggup, tapi karena dunia yang ia hadapi terlalu tertutup untuk dibuka dengan kunci yang ia miliki.

Kini, di usia 38, dengan kepala mulai dipenuhi uban dini dan tubuh yang lebih akrab dengan sunyi, ia menatap polaroid itu lagi.

Wajah Ardiansyah tak berubah.

Tetap muda.

Tetap terperangkap di waktu yang tidak bergerak.

Dan sekarang ada satu nama baru: Aksa.

Muncul berulang kali di daftar pengunjung.

Tak dikenal.

Tak terlihat.

Reksa kembali ke perpustakaan keesokan harinya.

Ia membuka ruang pengarsipan kunjungan digital.

Memeriksa log sistem.

Nama “Aksa” memang muncul.

Tapi tidak tercatat melalui kartu pengunjung.

Tidak ada ID.

Yang lebih aneh, nama itu selalu muncul saat petugas jaga adalah dirinya sendiri.

Hanya dirinya.

Siang itu, ia berbicara dengan Satpam sekolah yang biasa berkeliling sore.

“Apa kamu pernah lihat anak bernama Aksa? Sering ke perpustakaan, sekitar jam lima?”

Satpam menggeleng.

“Jam segitu biasanya sepi, Pak. Anak-anak pulang.”

“CCTV? Ada di area itu, kan?”

“Ada, tapi lorong 4... kameranya sudah mati dari semester lalu. Belum diganti.”

Reksa mengangguk.

Sesuatu di dalam dirinya mulai menyatu lagi: naluri penyelidikannya yang dulu terkubur.

Ia tahu ketika detail kecil tidak cocok, bukan sistemnya yang salah tapi ada sesuatu yang sedang menyembunyikan kebenaran.

Malam itu, ia duduk di kamar dengan satu hal yang jelas: Laporan yang ia tulis dulu belum selesai. Atau lebih tepatnya: belum dimulai dengan benar.

Ia membuka lembar kertas baru.

Menulis dengan tulisan tangannya sendiri.

“Subjek: Aksa / Terhubung dengan Ardiansyah?”

Catatan awal: Polaroid tidak memiliki tanggal

Muncul di buku dari rak puisi

Tidak terdaftar secara resmi

CCTV lorong 4 mati

Hipotesis awal: Seseorang menempatkan foto itu secara sengaja

Tujuannya: menarik perhatian

Motif: membuka kembali jejak yang ditutup?

Reksa menutup bukunya.

Lalu menulis satu kalimat pendek dengan tekanan berbeda: “Yang ditutup tidak selalu mati. Kadang hanya menunggu seseorang berani menulis ulang.”

Dan ia tahu, ia tak bisa berhenti lagi.

Lorong 4 kini terasa seperti ruang asing dalam gedung yang sudah sangat ia kenal.

Rak-raknya tidak berubah, buku-bukunya tetap diam, tapi sejak kemunculan foto itu segala sesuatu terasa lebih… berisi.

Bukan oleh pengunjung, melainkan oleh sesuatu yang sedang menunggu ditemukan.

Reksa datang lebih awal pagi itu.

Ia membawa catatan kecil, sarung tangan tipis, dan senter saku.

Sinar pagi belum sempurna menembus jendela, dan perpustakaan masih sunyi kecuali suara kursi kayu yang sedikit berderit ketika ditarik.

Ia berdiri di antara dua rak paling ujung lorong 4, memandangi barisan buku yang tampak tak bergerak sejak lama.

Rak Puisi dan Memoar.

Tangannya menyisir punggung-punggung buku.

Sentuhannya pelan, seperti mengelus lembar waktu yang rapuh.

Ia berhenti di satu titik: baris ke-7 dari bawah, buku kelima dari kanan.

Judulnya “Sunyi yang Diambil Senja.”

Sesuatu mengganggunya.

Buku itu ia yakin betul harusnya tersimpan di bagian memoar.

Namun hari ini ia temukan di puisi.

Ia menarik buku itu.

Membukanya perlahan.

Halaman pertama kosong.

Kedua juga.

Lalu di halaman keempat, terpampang sebaris tulisan tangan: “Kamu yang mencari, akan tahu tempat ini bukan untuk membaca.”

Tanda tangan: A.R.

Ardiansyah?

Reksa menahan napas.

Tidak percaya atau tidak ingin percaya.

Ia membalik halaman lain.

Sebuah potongan buku robek, diselipkan begitu saja.

Tulisan di atasnya adalah larik puisi yang pernah ia lihat di laporan awal kasus:

“Di antara rak-rak yang diam, aku masih menunggu; karena hilang bukan berarti tiada, tapi karena aku dipaksa diam.”

Helaan napas panjang terlepas dari dadanya.

Buku ini… bukan hanya buku.

Ini adalah petunjuk. Atau… pesan?

Ia membawa buku itu ke meja depan, membuka catatan katalog digital.

Buku “Sunyi yang Diambil Senja” ternyata sudah tidak tercatat dalam sistem.

Namun rekam fisik peminjaman tahun 2016 tahun Ardiansyah hilang menunjukkan nama:

“Ardiansyah Rahman pinjam: Sunyi yang Diambil Senja”

Tanggal: 13 Maret 2016

Tapi statusnya: BELUM DIKEMBALIKAN.


Reksa terdiam.

Ia menatap buku itu di tangannya.

"Bagaimana buku yang tidak dikembalikan bisa muncul kembali... tapi tidak tercatat?"

Ia kembali ke lorong 4.

Kini, ia periksa semua buku yang ada di rak tersebut satu per satu.

Mencari kejanggalan.

Mencari pola.

Dan ia menemukannya.

Tiga buku berjudul berbeda, semua ditulis oleh pengarang yang sama:

A. R.

Bukan nama besar.

Bukan pengarang terkenal.

Namun setiap buku itu memiliki satu kesamaan: Di halaman ketujuh dari akhir, selalu ada selembar kertas berisi potongan kalimat yang tidak ada kaitannya dengan isi buku.

Kalimat terakhir yang ia baca berbunyi: “Jika kau masih di sini, maka jejakku belum selesai ditulis.”

Reksa berdiri lama di lorong itu.

Di sekelilingnya, sunyi tak lagi nyaman.

Ia merasakan sesuatu bergerak diam-diam.

Buku-buku ini… menyimpan narasi lain.

Bukan fiksi.

Tapi jejak.

Dan lorong ini bukan hanya tempat menyimpan buku.

Ia adalah ruang di mana seseorang mencoba bicara, karena suara tak bisa lagi digunakan.

Sore itu, ia kembali ke ruang kecilnya, menyusun semua buku yang ditemukan, memotret setiap lembar catatan misterius.

Lalu ia tulis satu kalimat penting dalam buku catatannya: “Kasus ini tidak hilang. Ia hanya pindah tempat: dari laporan ke lembaran puisi.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam delapan tahun,

ia merasa: penyelidikan telah dimulai ulang.

Reksa kembali ke sekolah tempat kasus Ardiansyah pernah ditangani.

Bangunannya tak banyak berubah.

Dinding tua masih retak di tempat yang sama.

Pohon flamboyan di halaman kini lebih besar, tapi warnanya masih merah seperti luka yang belum kering.

Ia tak datang sebagai penyidik.

Ia datang sebagai mantan.

Mantan penyelidik. Mantan percaya diri. Mantan yang masih menyimpan satu potong kebenaran yang belum punya tempat pulang.

Ia ditemui kepala tata usaha, perempuan paruh baya bernama Bu Yuli.

Suaranya sopan, langkahnya ragu, dan jelas tak ingin berurusan dengan hal-hal yang telah lama dikubur.

“Pak Reksa... saya kira kasus itu sudah selesai.”

Reksa mengangguk, tetapi matanya tetap menatap lurus.

“Saya hanya ingin melihat kembali daftar siswa angkatan 2016. Saya perlu cocokkan data.”

Bu Yuli terdiam sebentar, lalu membalik badan dan mengambil satu map berdebu.

“Ini daftar siswa terakhir. Tapi... beberapa data sempat hilang waktu sistem sekolah diretas dua tahun lalu.”

Reksa membuka lembaran itu perlahan.

Mata lamanya mulai bekerja.

Bukan hanya membacantapi mencari ketidakwajaran.

Dan ia menemukannya.


Di halaman daftar kelas XI IPA 2,

ada satu baris nama yang tertulis samar dan dicoret halus dengan spidol tipis.

Bukan dihapus, hanya... dipudarkan. Seolah ingin dilupakan tapi masih menyisakan jejak.

Namanya: Aksa R.


Ia menahan napas.

Jari telunjuknya mengikuti garis samar itu.

Lalu ia membuka halaman absen nama Aksa tak ada.

Di daftar nilai: kosong.

Di foto tahunan kelas: hanya 35 wajah, bukan 36.

Aksa pernah terdaftar, tapi dihapus diam-diam.

Reksa memotret dokumen itu dengan ponselnya.

Lalu menatap Bu Yuli.

“Ibu tahu siapa ini?”

Bu Yuli terlihat gugup.

Lalu menjawab dengan pelan.

“Dia murid pindahan. Hanya beberapa bulan. Lalu katanya menghilang... Tapi saya tidak tahu pasti. Setelah itu, semua tentang dia dihapus. Saya kira... perintah kepala sekolah saat itu.”

“Kepala sekolah siapa waktu itu?”

“Pak Daniel, tapi beliau sudah pensiun sejak dua tahun lalu. Sekarang susah dicari.”

Reksa mengangguk.

Bibirnya mengatup.

Dalam kepalanya, dua nama kini terikat dalam benang merah: Aksa dan Ardiansyah.

Satu pernah dicari.

Satu pernah dicoret.

Dan kemungkinan… keduanya terhubung jauh sebelum salah satu dari mereka hilang.

Di perjalanan pulang, Reksa membuka foto daftar nama itu lagi.

Ia zoom bagian tulisan "Aksa R."

Spidol hitam tipis tidak menutup sepenuhnya tinta pulpen di bawahnya.

Ia menyimpan gambar itu dan mencatat di buku kecilnya: “Nama yang tercoret bukan berarti tak pernah ada. Kadang, nama itu disimpan di tempat yang tidak bisa dijamah sistem.”

Malam harinya, ia menyalakan lampu meja.

Di antara buku-buku puisi dari Lorong 4, ia temukan satu buku lagi yang belum ia buka sejak lama: judulnya “Tentang Mereka yang Ditolak Kembali.”

Di halaman ke-7 dari akhir, sepotong kertas tergelincir.

Tulisannya:

“Aksa hanya nama samaran. Tapi aku tahu dia melihat apa yang tak seharusnya dia lihat.”

Tanpa tanda tangan.

Tanpa tanggal.

Dan hanya satu kesimpulan muncul dalam benaknya:

Aksa bukan korban selanjutnya.

Tapi saksi yang hilang.

Reksa kembali ke perpustakaan malam itu, bukan sebagai pustakawan, tapi sebagai penyelidik yang sedang menyusup ke masa lalu.

Ia menyalakan lampu-lampu kecil sepanjang rak, menyalakan komputer lama di ruang arsip.

Sistem keamanan digital perpustakaan memang baru dipasang tahun lalu, namun rekaman lama dari tahun-tahun sebelumnya masih disimpan dalam hard drive eksternal terkunci dalam laci besi di bawah meja utama.

Ia tahu karena ia yang merapikannya dulu.

Setelah memasukkan kata sandi lama, sistem mulai membaca folder bertanggal tahun 2016.

Minggu, 13 Maret 2016 16:00–18:00 Lorong 4.

Reksa menarik napas dalam.

Rekaman muncul: lorong hening, cahaya temaram, rak tinggi.

Selama beberapa menit, tidak ada apa-apa.

Lalu... seseorang masuk dari sisi kanan layar.

Remaja laki-laki.

Seragam sekolah.

Bahunya sempit, geraknya ragu.

Ardiansyah.

Ia berjalan perlahan ke rak puisi.

Mengambil satu buku, membuka, lalu menutupnya kembali.

Tapi yang aneh adalah: ia tidak membaca.

Ia hanya… berdiri.

Seolah menunggu.

Dan tepat setelah itu, bayangan lain muncul dari ujung rak.

Lebih tinggi.

Lebih cepat.

Wajahnya tidak langsung terlihat.

Hanya siluetnya.

Tapi... bukan guru. Bukan petugas.

Seorang remaja lain, namun tak tercatat.

Mereka bicara sebentar tanpa suara.

Lalu Ardiansyah menyerahkan sesuatu.

Selembar kertas? Buku? Tak jelas.

Yang pasti, tubuhnya agak menunduk, ekspresinya tegang.

Lalu… rekaman melompat.

Beberapa detik hilang.

Saat kembali, lorong sudah kosong.

Ardiansyah tak ada.

Siluet juga menghilang.

Reksa memundurkan rekaman, mencoba membekukan layar saat siluet itu mendekat.

Ia screenshot bagian itu, lalu memperbesar.

Wajah samar tertangkap.

Bukan Ardiansyah.

Bukan siswa lain yang dikenalnya.

Tapi… Sesuatu tentang garis rahang dan bentuk alisnya... terasa akrab.

Ia memejamkan mata. Lalu menyadari sesuatu yang mencengangkan: Itu wajah yang mirip foto Aksa. Tapi lebih tua.

Reksa memeriksa metadata rekaman.

Waktu, lokasi, nama file semuanya utuh.

Namun bagian yang hilang selama beberapa detik adalah kejanggalan.

Sistem tak seharusnya merekam dengan jeda.

Kecuali… dipotong manual.

“Seseorang pernah menghapus bagian ini, lalu menambahkan ulang untuk menutupi jejak.”

Dan hanya staf lama yang bisa melakukannya.

Seseorang yang punya akses penuh sebelum sistem baru dipasang.

Keesokan harinya, Reksa menemui seorang mantan teknisi IT sekolah, seorang pria gemuk bernama Bagas, yang kini bekerja serabutan di warung fotokopi.

“Rekaman? Dari 2016?” Bagas menyipitkan mata.

“Iya, dulu sempat ada permintaan hapus file. Tapi saya cuma turutin. Saya disuruh bagian TU. Dikasih flashdisk kosong. Katanya, jangan tanya.”

“Kamu ingat siapa yang minta?” tanya Reksa serius.

Bagas terdiam lama.

Matanya menghindar.

“Yang minta langsung... waktu itu kepala sekolah lama, Pak Daniel. Tapi katanya, cuma buat backup pribadi.”

“Kamu lihat isi rekamannya?”

“Sedikit. Ada dua anak di lorong. Satu... kayaknya anak hilang itu. Satunya... saya gak kenal. Tapi kayaknya bukan murid.”

“Bukan murid?” ulang Reksa.

Bagas mengangguk.

“Saya hafal wajah-wajah anak situ, Pak. Tapi yang satu itu... terlalu tenang. Terlalu diam. Kayak bukan anak-anak.”

Reksa kembali ke rumah malam itu.

Ia membuka folder hasil tangkapan layarnya.

Wajah samar yang terekam di CCTV lama, wajah yang mirip Aksa... tapi bukan anak usia sekolah.

Dan ia tahu...

Kasus ini lebih besar dari kehilangan seorang anak.

Ini tentang seseorang yang disembunyikan dan sengaja dibekukan di antara waktu.

Beberapa malam terakhir, tidur hanya menjadi formalitas bagi Reksa.

Ia memejamkan mata, tapi pikirannya terus bekerja:

membuka ulang halaman demi halaman yang sudah lama dilipat dan dilupakan.

Setiap rekaman, setiap buku, dan setiap kalimat yang muncul seperti pesan tanpa suara,

membawanya menuju satu titik yang belum bisa ia kenali tapi rasanya seperti menuju pusat dari sesuatu yang sengaja dikaburkan.

Dan pagi ini, semua itu berpuncak pada satu buku yang tampaknya sederhana.

Buku tipis, bersampul lusuh: Kumpulan Puisi Siswa Angkatan 2016, diterbitkan oleh OSIS sekolah pada Maret tahun itu.

Ia menemukannya terselip di bagian koleksi bebas perpustakaan.

Buku yang mungkin sudah dibaca banyak orang, tapi tak ada yang melihat isinya sebagai petunjuk.

Karena di dunia nyata, orang terlalu sering mengabaikan puisi.

Reksa membawanya ke meja kerjanya.

Ia membacanya perlahan, halaman demi halaman.

Sebagian besar puisi terdengar biasa: tentang mimpi, guru, sekolah, cinta remaja.


Tapi ada satu puisi yang mencuri perhatiannya.

Judulnya:


“Kalau Aku Tidak Pernah Pulang”

Penulis: A.R.

A.R. Ardiansyah Rahman.


Puisi itu terbagi dalam lima bait, dan setiap baitnya seolah biasa, tapi ketika dibaca ulang secara vertikal dari huruf pertama setiap baris, Reksa melihat sesuatu.

Bait pertama:

Kalau aku tidak pulang ke lorong yang diam, Ambillah catatan yang kusembunyikan di sela puisi, Lupakan petunjuk yang terlalu terang, Atau kau tak akan temukan siapa aku.

Huruf pertama dari setiap baris membentuk kata:

KALA.

Bait kedua membentuk:

KU.

Bait ketiga:

ADA.

Bait keempat:

DI.

Bait kelima:

LORONG.

KALAKUADADILORONG

Disatukan: “Kala ku ada di lorong.”


Puisi ini bukan ungkapan perasaan remaja.

Ini sandi.

Sandi dari seseorang yang tahu dirinya akan lenyap dan memilih meninggalkan jejak dalam bentuk yang paling sering diabaikan: kalimat yang berbunyi lemah, tapi menyimpan makna keras.

Reksa membuka kembali buku puisi lain dari Lorong 4.

Semua yang memiliki potongan-potongan kertas yang ia kumpulkan.

Ia mulai mencocokkan frasa antar puisi.

Satu baris dari buku Aksa: "Jejakmu tak hilang, hanya diputar ke arah yang tak terucap."

Baris dari puisi Ardiansyah: "Yang tak terucap, bisa dibaca dalam bayangan rak paling kanan."

Dan dari satu potongan kertas yang ia temukan kemarin:

"Bacalah tak dari atas ke bawah, tapi dari waktu ke waktu.”

Mereka menulis teka-teki.

Mereka tahu mereka tak bisa bicara.

Mereka hanya bisa menulis.

Reksa mengambil peta perpustakaan, menandai rak tempat semua buku puisi dengan kode terselubung itu ditemukan.

Rak-rak tersebut membentuk jalur… huruf L.

Lorong 4 bagian kanan membentuk dasar huruf, dan rak tempat buku Ardiansyah ditemukan… titik terakhir di ujungnya.

"L untuk Lorong?

Atau… untuk ‘Lenyap’?” gumamnya.

Tapi ia tahu, ini bukan hanya pola, ini adalah arah.

Petunjuk yang selama ini berserakan, sebenarnya menunjuk pada satu titik: ujung lorong, rak bawah, paling kanan.

Sore itu, ia kembali ke tempat itu.

Lorong sunyi seperti biasa.

Tak ada pengunjung.

Tak ada suara.

Ia jongkok, membuka rak bagian bawah.

Debu tebal menyambut.

Beberapa buku tua berjudul nyaris tak terbaca.

Dan di belakang barisan buku itu ada rongga kecil.

Reksa menyelipkan tangannya.

Ia menarik keluar sesuatu: kardus kecil, seukuran buku.

Berbalut kertas coklat, diikat tali linen.

Tertulis dengan spidol pudar:

“UNTUK YANG TIDAK PERNAH BERHENTI MENCARI.”

Tangannya gemetar.

Ia membuka kotak itu.

Isinya: Sebuah foto Ardiansyah bersama seorang anak lain Aksa.

Mereka duduk di bangku perpustakaan.

Tertawa.

Sepucuk surat, ditulis tangan: “Jika kamu menemukan ini, maka aku tidak sia-sia.

Aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat.

Dan seseorang melihat bahwa aku melihatnya.”

Tidak ada nama.

Tidak ada penutup.

Tapi kini, Reksa tahu: kedua anak ini tak hilang.

Mereka disembunyikan oleh ketakutan yang lebih besar dari mereka sendiri.

Dan mereka bicara... melalui kata-kata yang orang dewasa abaikan.

Pagi itu langit tampak lebih kelabu dari biasanya.

Reksa berjalan menyusuri trotoar menuju sekolah dengan langkah yang tak tergesa, tapi juga tidak santai.

Kepalanya menunduk, tapi matanya awas.

Tangannya di dalam jaket, menggenggam erat kotak kardus kecil yang semalam ia temukan di rak tersembunyi.

Surat di dalamnya belum ia tunjukkan pada siapa pun.

Tidak juga pada pihak sekolah.

Karena ia tahu: sesuatu sedang dijaga untuk tetap diam.

Dan ia mulai curiga sekolah ini tak hanya tempat belajar.

Ia juga tempat menyembunyikan jejak.

Kepala sekolah saat ini, Bu Widiarti, menyambutnya dengan ragu.

“Pak Reksa... ini menyangkut apa ya?”

Reksa tak langsung menjawab. Ia membuka ransel, mengeluarkan foto Ardiansyah dan Aksa.

Menunjukkannya pelan.

“Ini bukan koleksi tahun buku manapun. Tapi dua anak ini pernah menjadi bagian dari sekolah ini. Dan saya punya alasan kuat untuk yakin, keduanya tahu sesuatu dan salah satunya menghilang setelah ditemukan yang lain.”

Bu Widiarti memucat.

Lalu menunduk.

“Saya... tak pernah lihat mereka,” katanya lirih.

“Tapi saya tahu... ruang bawah tanah itu masih ada.”

Reksa menoleh cepat.

“Ruang bawah tanah?”

“Dulu ruang penyimpanan, di sayap timur bangunan lama. Sudah dikunci sejak sebelum saya menjabat. Tapi saya pernah dengar kepala sekolah sebelumnya Pak Daniel menggunakan aksesnya secara pribadi.”

Reksa mengangguk.

Kini potongan puzzle itu semakin jelas.

Ia meminta izin untuk memeriksa lokasi.

Satu jam kemudian, ia berdiri di depan pintu besi berkarat yang tertutup di ujung lorong sekolah tua.

Pintunya rendah, catnya mengelupas.

Tak ada papan nama.

Tak ada kunci digital hanya gembok tua, berkarat tapi masih kuat.

Namun ia tahu cara membuka jenis ini.

Beberapa menit kemudian, pintu itu terbuka.

Hembusan udara dingin menyambut.

Tangga beton tua menurun ke ruang yang tak disinari matahari.

Ia menyalakan senter.

Langkahnya mantap, meski jantungnya memukul keras dari dalam.

Tangga itu berakhir pada lorong sempit, dinding lembap, bau kertas tua bercampur jamur.

Di sepanjang lorong, terdapat empat pintu kayu kecil.

Nomor-nomor di atasnya sudah pudar.

Ia membuka satu pintu pertama.

Ruangan kecil, kosong, kecuali sebuah meja dan dua kursi saling berhadapan.

Di dinding, ada bekas paku.

Mungkin pernah tergantung papan.

Mungkin cermin.

Tapi sekarang kosong.

Dan heningnya bukan hening perpustakaan ini hening yang menakutkan.

Di ruang ketiga, ia menemukan lemari logam.

Kunci rusak.

Ia mencongkelnya.

Di dalamnya, berkas-berkas kertas usang.

Beberapa dengan kop surat sekolah.

Sebagian lain tanpa identitas resmi.

Ia menarik satu berkas: “Catatan Observasi Psikologis / Subjek: A.R.”

Tangannya mengepal.

Ia membaca isinya cepat: “Subjek menunjukkan kemampuan pengamatan di atas rata-rata.”

“Memiliki kecenderungan mempertanyakan sistem dan prosedur.”

“Mudah menyerap informasi yang seharusnya bukan konsumsi pelajar.”

“Harap dibatasi akses dan interaksi.”

Dokumen itu tidak ditandatangani.

Tapi di pojok kanan bawah, tertera inisial: D.R. Daniel Raharjo.

Kepala sekolah lama.

Reksa duduk di lantai beton, diam cukup lama.

Jadi ini bukan sekadar kehilangan.

Ini penghilangan.

Berdasarkan kecerdasan.

Berdasarkan ketidaksesuaian.

Berdasarkan ketakutan bahwa seseorang tahu lebih dari yang seharusnya.

Dan lorong ini… koridor bawah tanah ini… adalah tempat diam yang dibuat oleh orang-orang yang ingin suara tak terdengar.

Ia memotret semua berkas.

Mengambil dua salinan.

Menutup lemari.

Dan saat keluar dari ruangan itu, ia tahu:

ini bukan akhir.

Tapi jejaknya kini telah jelas.

Ia menutup kembali pintu besi.

Menggemboknya.

Dan dalam hati, bersumpah:

“Aku tidak akan diam. Karena mereka berdua sudah terlalu lama tak bersuara.”

Reksa tidak tidur malam itu.

Ia duduk di meja kecilnya,

dikelilingi salinan dokumen, foto-foto, dan potongan catatan tulisan tangan dua anak yang telah lama dibungkam dunia.

Meja itu, yang dulu hanya menyimpan kopi dan diam, kini menjadi tempat ia menata ulang suara-suara yang tak pernah sempat diteriakkan.

"Ini bukan tentang satu anak yang hilang. Ini tentang sistem yang memilih siapa yang boleh bicara, dan siapa yang hanya layak dibungkam dalam catatan evaluasi.”

Pagi itu, ia kembali ke sekolah.

Tapi bukan sebagai penyelidik.

Bukan sebagai pustakawan.

Melainkan sebagai saksi yang menolak diam.

Ia menyerahkan dokumen kepada Bu Widiarti: Berkas observasi psikologis palsu, Catatan rekaman CCTV yang dimanipulasi, kumpulan puisi tersembunyi yang berisi kode, dan terakhir, foto Ardiansyah dan Aksa.

“Bu... saya tidak butuh kasus ini dibuka kembali secara hukum.

Saya hanya ingin nama mereka tidak dikubur dalam ‘kelaziman’.

Mereka berdua bukan anak yang ‘bermasalah’.

Mereka hanya terlalu jujur. Terlalu peka. Dan sistem ini... tidak tahan terhadap kejujuran yang terlalu dini.”

Bu Widiarti menangis tanpa suara.

“Pak Reksa... saya akan serahkan ini ke yayasan. Tapi... saya tak bisa janji akan ada perubahan.”

“Saya juga tidak minta janji. Saya hanya minta satu hal... letakkan plakat kecil di pojok lorong itu. Tulis: ‘Tempat ini pernah didatangi oleh mereka yang tidak pernah menyerah mencari suara.’

Seminggu kemudian,

perpustakaan dipenuhi pengunjung.

Bukan karena buku baru.

Tapi karena Lorong 4 kembali dibuka.

Di ujung rak kanan bawah, disimpan satu vas bening.

Di dalamnya: potongan kalimat dari puisi Ardiansyah, dan secarik foto Aksa yang masih buram tapi utuh.

Di dinding atasnya, terpasang plakat kecil:

"Untuk A.R. dan Aksa, yang percaya bahwa kejujuran tak butuh panggung, cukup satu lorong sunyi untuk tetap hidup.”

Reksa melihat dari jauh.

Tak berkata apa-apa.

Tapi dalam diamnya, ia tahu:

Kasus ini memang tak pernah mati.

Ia hanya menunggu, untuk dibuka… oleh seseorang yang cukup sabar membaca setiap kata yang dulu sengaja ditulis terlalu pelan.

Dan mungkin, di lorong sunyi itu, masih ada banyak jejak yang belum ditemukan.

Tapi kini, setidaknya dua nama telah dihidupkan kembali. Bukan dengan teriakan, melainkan dengan keberanian untuk tidak menutup buku sebelum kalimat terakhir.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)