Masukan nama pengguna
Bab 1: Hari Itu, Langit Menolak Biru
Jam dinding kelas menunjukkan pukul 07.21, tetapi bel belum juga berbunyi. Angin dari jendela mengibaskan tirai kusam yang bau debu, dan suasana kelas seperti biasa ramai, gaduh, penuh tawa. Tapi di telinga Beta, suara-suara itu seperti gema kosong. Tak berisi. Tak menyentuh. Ia duduk di pojok kelas, kursi ketiga dari belakang, sisi jendela. Posisi favoritnya untuk menghindari sorot mata siapa pun. Tangannya menopang dagu, dan matanya menatap keluar langit mendung. Lucu, pikirnya. Seperti tahu apa yang sedang ia rasakan.
"Bro, udah tahu belum?" suara Aldi menyentak keheningannya. Tanpa menunggu jawaban, Aldi menyambung, "Nayla jadian sama Revan. Barusan aku liat mereka gandengan tangan di kantin."
Dunia hening.
Beta tidak menjawab. Dia cuma tersenyum kecil senyum yang lebih seperti luka yang sedang mencoba berpura-pura.
"Oh. Gitu ya," katanya, lirih. Sangat lirih. Seperti kata-kata yang takut keluar dari mulutnya sendiri.
Aldi tak sadar. Dia tertawa kecil. "Gokil ya, padahal gue kira lo yang bakal nembak duluan. Kan deket banget kalian."
Dekat?
Beta hanya bisa menahan napas.
Kedekatan ternyata bisa menipu. Mungkin seperti jalan berdua dalam kabut: Beta pikir mereka menuju arah yang sama, tapi Nayla sudah berbelok sejak lama dan dia tak pernah menyadarinya.
Langit hari itu kelabu. Tidak hujan, tapi juga tak benar-benar cerah. Seperti langit sedang menunggu sesuatu untuk jatuh.
Beta menyandarkan kepala ke dinding, matanya terpejam. Suara-suara di kelas mengabur seperti gema dalam ruangan kosong. Bayangan wajah Nayla muncul dalam pikirannya: rambut dikuncir kuda, senyum kecil dengan lesung pipi di kanan, dan mata yang selalu berbinar tiap bicara soal buku atau laut.
Mereka biasa duduk bersama di perpus. Tertawa atas hal-hal remeh, bahkan saling kirim kode lewat tulisan di buku. Waktu itu, Beta kira, mereka punya dunia kecil berdua.
Ternyata dunianya hanya milik Beta.
Nayla hanya numpang lewat.
“Kalau nanti aku hilang, kamu cari aku ke mana?”
Pertanyaan Nayla dua bulan lalu, saat mereka duduk di bangku taman depan sekolah, masih terngiang. Waktu itu, Beta hanya tertawa dan menjawab,
“Kamu nggak akan hilang.”
Dan Nayla tersenyum, seolah tahu sesuatu yang Beta tidak tahu.
Mungkin, sebenarnya Nayla sudah mencoba memberi tanda. Tapi Beta terlalu sibuk berharap.
Bel sekolah berbunyi. Semua berhamburan ke luar kelas. Beta tetap duduk. Kepalanya masih menempel di dinding, seolah dinding itu satu-satunya yang mampu menopang semua berat yang tak bisa dilihat siapa pun.
Tiba-tiba, suara langkah ringan terdengar mendekat. Tanpa perlu melihat, Beta tahu itu Nayla. Nafasnya langsung berubah. Ia tahu langkah itu. Ia hafal.
"Nggak ikut keluar?" suara Nayla terdengar biasa saja, datar.
Beta membuka mata, menoleh perlahan.
Nayla berdiri di samping bangkunya, mengenakan jaket Revan yang terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Dan di pergelangan tangannya gelang kulit coklat, yang dulu milik Beta. Hadiah ulang tahun dua tahun lalu.
Gelang itu masih dia pakai.
"Aku nggak lapar," jawab Beta pendek.
Nayla menunduk. "Beta..."
"Selamat ya," potong Beta pelan.
Nayla menggigit bibirnya, seperti hendak bicara sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Lalu akhirnya dia hanya mengangguk pelan dan pergi.
Langkahnya menjauh. Tapi di telinga Beta, suara langkah itu seperti palu yang memaku mati semua harapan yang pernah ia tanam.
Setelah semua orang pergi, Beta membuka tasnya. Mengambil buku catatan puisi yang sudah mulai sobek di ujungnya. Di halaman kosong, ia menulis:
> Hari ini, langit menolak biru.
Mungkin karena tahu, hatiku lebih kelabu daripada mendung yang tak turun.
Kamu dan dia.
Satu cerita, yang akhirnya tidak kutulis namaku di dalamnya.
Di balik dinding yang diam, Beta mulai mengubur suara.
Suara rindu, suara cinta, suara kecewa.
Tapi ia tahu, beberapa suara tidak bisa dikubur. Ia akan terus bergaung dalam hati, dalam senyap, dalam sepi.
Dan hari itu, untuk pertama kalinya, Beta sadar...
Tak semua yang kita beri cinta akan tinggal. Kadang cinta memilih pergi. Bahkan sebelum sempat berpamitan.
“Ada rumah yang menyambutmu. Tapi tidak semua rumah bertanya: ‘Apa hatimu baik-baik saja hari ini?’”
Beta pulang dengan langkah lambat. Sepatu hitamnya berdebu, menyeret kerikil kecil di jalan gang sempit. Suara anak-anak tertawa dari ujung gang menusuk telinga seperti pisau kecil yang tumpul tidak tajam, tapi menyakitkan karena lama.
Pintu rumahnya berderit saat dibuka. Rumah tua itu sepi. Ibunya masih di warung, ayahnya belum pulang dari bengkel. Televisi menyala sendiri di ruang tamu, menyiarkan sinetron sore yang penuh tangis buatan. Ironis. Hanya layar kotak itu yang menangis keras, sementara Beta diam-diam belajar menangis ke dalam.
Dia berjalan ke kamar, lalu mengunci pintu. Jaketnya dilempar ke kursi, tasnya ke lantai. Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit seolah ada jawaban tergantung di sana.
Jam dinding berdetak. Pelan. Terlalu pelan untuk hati yang ingin segera melupakan.
Beta mengambil kembali buku catatan puisinya. Ia duduk bersila di lantai, membuka halaman baru. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menulis:
> Aku mencintaimu seperti pintu yang tak pernah dikunci,
meski tahu kau tak akan pernah masuk lagi.
Dan kini aku jadi rumah yang tak berpenghuni,
karena kamu pergi tanpa jejak, tapi meninggalkan bayangan yang menetap di dindingku.
Ia berhenti. Menghela napas panjang. Lalu menulis lagi:
> Hari ini kamu berjalan menjauh,
membawa hatiku yang tak kamu tahu telah kamu kantongi selama ini.
Dan aku? Aku hanya lelaki biasa yang lupa belajar melupakan.
Karena terlalu sibuk berharap... kamu kembali.
Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk. Dari Nayla.
> “Maaf.”
Hanya satu kata. Tapi satu kata itu seperti lubang besar yang menelan semua logika.
Beta menatap layar itu lama, lalu mematikan ponsel dan meletakkannya terbalik di meja.
Tidak ada kata lain. Tidak ada penjelasan. Tidak ada tanya. Tidak ada alasan. Cinta memang tidak selalu datang dengan logika. Tapi Beta berharap, setidaknya, pengkhianatan datang dengan penjelasan.
Lalu malam turun. Dan di balik gelap, hanya bantal dan langit-langit yang jadi saksi:
Beta menangis.
Pelan.
Tanpa suara.
Karena di rumah ini, tidak ada yang bertanya,
“Apa hatimu baik-baik saja hari ini?”
Catatan di ujung halaman puisinya berbunyi:
> Tuhan... kalau aku boleh meminta sedikit saja keajaiban malam ini, izinkan aku melupakan senyumnya, walau cuma sebentar. Agar esok... aku tidak terlalu patah ketika mengingat bahwa aku bukan siapa-siapa baginya.
Bab 2 : Surat yang Tak Pernah Dibuka
“Ada kata yang kutulis, tapi tak pernah kubacakan. Ada rasa yang kutanam, tapi tak pernah kau petik.”
Langit sore di ingatan itu masih tampak jingga, seperti bekas luka yang belum sembuh tapi sudah belajar untuk tidak terlalu sering disentuh.
Beta menatap jendela kamarnya. Suara motor lewat, tangisan bayi dari rumah sebelah, dan dentingan sendok dari dapur seolah tak ada artinya dibandingkan suara kenangan yang terus-menerus berbisik di kepalanya.
Lima belas tahun usianya saat itu. Masih duduk di bangku kelas 10. Rambutnya sedikit acak-acakan, kemejanya kadang kusut, dan sepatu sering kotor karena ia lebih suka berjalan kaki pulang sekolah lewat gang tanah ketimbang jalan aspal.
Dan saat itu, dunia terasa luas hanya karena satu hal sederhana:
Nayla duduk di barisan depan kelas.
Hari itu, ia membawa surat di dalam saku kemejanya. Sebuah surat cinta pertama, yang ditulis diam-diam di tengah malam dengan cahaya lampu belajar yang redup dan jantung yang tak henti berdetak.
Surat itu ditulis tangan. Kertasnya beraroma lemari kayu tua, dengan sedikit noda tinta karena tangannya gemetar saat menulis baris terakhir.
> Nayla…
Maaf kalau surat ini membuatmu bingung. Tapi jika aku tidak menulisnya, aku takut rasa ini hanya akan tumbuh menjadi sesal.
Kamu seperti pagi pertama setelah hujan panjang. Aku tidak tahu kenapa aku suka menatapmu lebih lama daripada papan tulis. Tapi tiap kamu tersenyum, aku merasa sedang membaca puisi diam-diam dalam hati.
Aku tidak meminta apa-apa. Tidak berharap dibalas. Aku cuma ingin kamu tahu, ada satu orang di kelas ini yang setiap harinya belajar diam-diam menyebut namamu dalam doanya.
Beta.
Ia melipat surat itu rapi. Menyimpannya di saku dalam. Setiap istirahat, ia berjalan ke arah meja Nayla. Tapi setiap kali tangan hendak menggapai saku, keberanian selalu kalah oleh suara-suara dalam kepalanya:
> “Dia pasti ketawa.”
“Kalau dia cerita ke teman-temannya, bagaimana?”
“Ah sudahlah, kamu bukan siapa-siapa.”
Hari berganti minggu. Surat itu tetap tinggal di saku seragam, berpindah dari kemeja satu ke kemeja lain setiap hari Minggu saat ibunya mencuci. Tapi tetap tak pernah pindah ke tangan Nayla.
Hingga suatu hari, hujan turun deras saat pulang sekolah.
Beta dan Nayla sama-sama terjebak di lorong sekolah, di depan rak sepatu yang berisik dengan anak-anak lain. Nayla berdiri tak jauh dari Beta. Rambutnya agak basah, tangan menggenggam payung yang tidak terbuka.
Dan Beta, dengan seluruh ketakutan dan keberaniannya yang bercampur, mencoba menyapa.
> “Payungnya nggak dibuka?”
Nayla menoleh, sedikit terkejut. Senyumnya ringan, tapi hangat.
> “Rusak.”
Beta mengangguk. Hening. Tangan di saku, menggenggam surat yang makin lecek karena keringat.
> “Kalau kamu nggak keberatan, kita bisa...”
Suaranya tercekat. Payung Beta di tangan kanan, surat di saku kiri, dan napasnya mendadak pendek seperti takut mengucap sesuatu yang akan mengubah seluruh hidupnya.
> “Kita bisa jalan bareng, maksudku.”
Nayla tersenyum. Tapi belum sempat menjawab, seorang laki-laki datang dari belakang tinggi, rambut klimis, jaket hitam. Ia menggenggam payung besar, dan tanpa banyak kata, Nayla langsung menghampirinya.
> “Makasih, udah dijemput.”
Mereka pergi. Meninggalkan Beta yang tetap berdiri di sana. Basah oleh hujan, dan lebih basah lagi oleh kesadaran bahwa mungkin, ia memang hanya penonton dalam kisah Nayla.
Malamnya, Beta duduk di kamar. Surat itu dikeluarkan, diluruskan, lalu dilipat kembali.
Ia memasukkannya ke dalam kaleng bekas permen yang biasa ia pakai untuk menyimpan uang receh.
> “Nggak apa-apa, Bet,” bisiknya kepada diri sendiri,
“kamu udah cukup berani untuk mencintai. Itu saja sudah lebih dari cukup.”
Kini, dua tahun kemudian, kaleng itu masih ada. Di laci meja, penuh debu dan bekas hujan yang mengering jadi noda samar.
Beta membukanya malam ini. Menemukan surat yang mulai menguning, tapi tulisan tangan itu masih bisa dibaca. Masih utuh. Masih terasa degupnya.
Ia tidak menangis.
Tapi matanya lama sekali menatap baris terakhir.
> Aku cuma ingin kamu tahu, ada satu orang di kelas ini yang setiap harinya belajar diam-diam menyebut namamu dalam doanya.
Beta menggenggam surat itu. Memeluknya ke dada.
Bukan karena berharap Nayla akan membacanya.
Tapi karena surat itu adalah satu-satunya bukti bahwa dulu, cintanya pernah hidup.
Meskipun... tidak pernah dibalas.
Catatan kecil tertulis di halaman belakang surat:
> Cinta diam-diam itu bukan soal pengecut,
tapi tentang seseorang yang lebih memilih menyimpan luka sendiri,
daripada melihat orang yang dicintainya merasa tidak nyaman.
“Terkadang bukan cinta yang menyakitkan, tapi harapan yang tak punya tempat untuk pulang.”
Sudah dua hari sejak Nayla dijemput oleh laki-laki berjaket hitam itu. Beta tak tahu siapa dia. Entah pacar, kakak kelas, atau sekadar tetangga. Tapi sejak kejadian di lorong itu, segalanya jadi berubah. Tak ada lagi momen-momen kecil yang bisa ia curi dari balik tatapan. Nayla lebih sering tersenyum... tapi bukan ke arahnya. Dan Beta belajar satu hal: Cinta paling menyakitkan adalah cinta yang tidak punya ruang untuk sekadar hadir.
Hari itu, Jumat. Jadwal pulang lebih awal. Beta duduk sendirian di bangku taman sekolah yang jarang dilewati. Langit mendung, tapi tak cukup gelap untuk membuat siswa buru-buru pulang.
Ia mengeluarkan surat itu lagi.
Untuk kesekian kali, ia membacanya dari awal hingga akhir. Hatinya sudah hafal tiap lekuk hurufnya, tiap jeda dan kalimat yang ditulis dengan jari gemetar dan hati penuh harap.
> Aku tidak meminta apa-apa. Tidak berharap dibalas...
Namun di sanubarinya, tetap ada sesuatu yang terus tumbuh.
Bukan harapan... tapi rasa ingin mengakhiri ketidakpastian.
“Kalau aku gak pernah ngasih surat ini,” bisiknya, “aku gak akan pernah benar-benar selesai.”
Maka ia berdiri. Langkahnya berat, tapi pasti.
Surat itu diselipkan ke dalam buku catatan Nayla yang diletakkan di rak kelas. Tidak ada amplop. Tidak ada nama pengirim. Hanya hati yang akhirnya memberanikan diri menepi dari semesta ketakutan.
Beta berdiri lama di depan kelas kosong, menatap kursi Nayla. Bayangan senyumnya masih tinggal di udara, tapi kini terasa jauh. Terlalu jauh.
Lalu ia pergi.
Namun takdir seperti enggan membiarkan akhir yang sederhana.
Sore harinya, saat ia kembali ke sekolah untuk mengambil flashdisk yang tertinggal, Beta melihat sesuatu yang membuat langkahnya membeku.
Di depan ruang guru, Nayla sedang berbicara dengan dua temannya. Dan di tangannya, tergenggam selembar kertas yang sudah agak terlipat. Kertas yang sangat ia kenal: surat itu.
Beta berdiri di balik pilar. Napasnya tercekat.
Salah satu teman Nayla membaca surat itu nyaring, dan yang lainnya tertawa. Nayla sendiri diam. Tapi senyumnya... bukan senyum hangat seperti yang biasa Beta lihat.
Itu senyum kecil yang terpaksa.
> “Siapa coba yang nulis ginian?” tanya salah satu temannya.
“Nggak ada nama pengirimnya,” sahut yang lain sambil menertawakan.
“Lucu sih, tapi norak banget.”
Beta ingin berlari. Tapi tubuhnya seperti dipaku oleh kenyataan.
Telinganya bergetar, bukan karena suara mereka... tapi karena harapan yang runtuh dalam diam.
Ia berbalik. Pergi dengan langkah gontai. Dunia terasa seperti lorong panjang yang semakin sempit.
Di rumah, malam itu, Beta tak makan. Ia duduk di depan meja belajar, dengan tangan menggapai pena. Ia ingin menulis surat lagi. Tapi apa gunanya?
> Ketika rasa dihina, keberanian jadi sia-sia.
Tangannya gemetar. Ia menulis satu kalimat besar di atas kertas putih:
> “Maafkan aku karena pernah berharap.”
Lalu ia merobek surat pertamanya. Berkeping-keping. Seperti hatinya.
Beberapa minggu kemudian, surat itu muncul di kolom mading sekolah. Ditempel sebagai “puisi anonim yang lucu”. Diberi label “ungkapan cinta dari pengagum rahasia”. Tidak ada yang tahu itu milik siapa.
Dan Beta... tak berani berkata apa-apa. Ia tersenyum saat teman-temannya ikut membaca. Tertawa palsu saat yang lain mengomentari.
Tapi di dalam hatinya, ia menguburkan sesuatu yang tak bisa hidup lagi.
Tahun ajaran berakhir. Nayla pindah sekolah karena ikut keluarganya yang berpindah kota. Dan Beta? Ia tetap di sana. Duduk di bangku yang sama, melintasi lorong yang sama, dan tiap sore menghindari taman sekolah karena terlalu banyak kenangan yang belum sempat dikubur.
Tapi ada satu hal yang tetap ia simpan:
Sebagian kecil dari surat itu potongan kalimat terakhir yang tidak sempat ia bakar.
Ia masukkan ke dalam dompet. Diselipkan di balik foto keluarganya.
> “...seseorang yang setiap harinya belajar diam-diam menyebut namamu dalam doanya.”
Kini, dua tahun kemudian, Beta menatap potongan kertas itu. Warnanya mulai memudar. Tapi kenangannya tetap tajam.
Di depan meja, ia menulis ulang surat itu.
Bukan untuk dikirim.
Bukan untuk dikenang.
Tapi untuk mengingatkan dirinya sendiri:
> Bahwa pernah ada cinta yang ia rawat tanpa pamrih,
meski dunia tak pernah membalasnya.
Ia tersenyum lirih. Lalu berkata pelan:
> “Nayla... aku tidak pernah membencimu. Aku hanya kecewa karena tidak tahu harus berharap pada siapa.”
“Dan mungkin... itu bukan salahmu.”
“Tapi salahku... karena terlalu banyak menaruh cinta di tempat yang salah.”
Beta menatap langit malam.
Dan entah dari mana datangnya angin itu, tapi jendela kamarnya terbuka perlahan. Surat baru itu melayang, mendarat di lantai, berputar pelan seperti ingin berkata:
> Kamu sudah cukup kuat, Beta.
Kamu boleh patah. Tapi jangan hilang.
Bab 3 – Pelajaran Bernama Luka
“Kadang, keheningan lebih lantang daripada teriakan, karena di sanalah luka belajar berbicara.”
Pagi itu, kelas terasa sepi meski sebenarnya ramai.
Beta duduk di pojok, tempat biasanya ia mengamati Nayla dari jauh. Tempat di mana cahaya matahari jatuh ke pundaknya dan suara tawa teman-temannya menjadi latar belakang hidup yang tidak pernah sepenuhnya ia masuki.
Tapi hari ini...
Tidak ada Nayla.
Tidak ada bayangan rambut panjang yang biasa dikepang setengah.
Tidak ada suara lembut meminjam penghapus atau bolpoin.
Tidak ada apa-apa.
Yang tersisa hanya keheningan, yang justru terasa paling berisik di dalam kepalanya.
Beta memandangi papan tulis, tapi tak bisa membaca.
Telinganya mendengar suara Bu Rina menjelaskan materi, tapi semua kata hanya lewat, tak tinggal.
Tangannya menggenggam pulpen, tapi kertas di depannya kosong.
Kosong seperti dirinya.
Nayla benar-benar pindah.
Bukan rumor. Bukan gurauan.
Tiga hari lalu, namanya sudah dicoret dari absen.
Dan hari ini, meja di sebelah kiri Beta telah diganti fungsinya menjadi tempat menaruh buku paket.
Lucu, ya, pikirnya lirih.
Dulu aku berharap bisa duduk di sebelahmu. Sekarang bahkan bayangmu pun tak tersisa.
Istirahat pertama, Beta tak bergerak dari tempat duduk.
Biasanya, Angga akan menyeretnya ke kantin atau memaksanya ikut main catur dengan anak-anak IPA. Tapi hari ini Beta menolak, dan entah kenapa tak ada yang memaksanya.
Seolah-olah semesta tahu:
ada seseorang yang sedang belajar berdamai dengan kehilangan.
Terdengar beberapa tawa dari ujung kelas. Obrolan tentang film, tentang ujian mendatang, tentang jadwal piket. Semua hal duniawi yang tampak ringan dan tak bisa dijangkau oleh hati yang sedang berat.
Beta melihat ke jendela.
Langit biru.
Tidak mendung seperti hatinya.
Mungkin, cuaca pun sedang mengejek.
Di sela keheningan, Bu Rina berjalan mendekat, membungkuk sedikit sambil berbisik pelan.
> “Beta, kamu gak apa-apa, Nak?”
Pertanyaan yang sederhana. Tapi menyakitkan.
Sebab jika ia jawab “ya”, itu dusta. Jika jawab “tidak”, ia tak tahu harus menjelaskan dari mana.
Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.
Bu Rina mengelus pundaknya sebentar, lalu kembali ke meja guru.
Dan Beta tetap diam.
Tetap menatap papan tulis yang tak berbicara apa-apa.
Jam keempat, pelajaran Biologi.
Ibu Ratna meminta para siswa membuat kelompok berempat.
Beta tak bergerak.
Angga melambai dari seberang ruangan.
“Gabung sini, Bet!”
Beta hanya mengangkat tangan, tanda terima kasih. Tapi ia tak bergerak.
Entah mengapa, tubuhnya terasa berat. Seolah ia harus menarik seluruh beban semesta hanya untuk berpindah satu bangku.
Akhirnya, Bu Ratna menghampiri.
> “Beta, kamu sendiri?”
“Iya, Bu.”
“Kenapa nggak ikut kelompoknya Angga?”
“Boleh saya kerjakan sendiri, Bu?”
Ibu Ratna terdiam sejenak. Menatap dalam, seolah membaca duka yang tak tertulis di dahi.
> “Baik. Tapi nanti saya periksa dua kali, ya.”
Beta mengangguk.
Ia menunduk di balik buku, menulis, mencoret, lalu menulis lagi. Tapi bukan tentang sistem pernapasan atau organ tubuh. Ia sedang menulis sesuatu di balik lembar kerja itu:
> “Hari ini, aku masih mencoba menjadi kuat. Meski setiap detik, ada bagian dari hatiku yang luruh perlahan.”
Sore itu, bel pulang berbunyi seperti biasa. Tapi langkah Beta pulang lebih lambat dari biasanya. Ia berjalan melewati koridor tempat terakhir kali melihat Nayla tertawa.
Ia berhenti.
Ada kursi panjang di depan ruang OSIS. Tempat mereka pernah berteduh saat hujan datang mendadak dua bulan lalu. Waktu itu, Nayla mengeluh dingin, dan Beta meminjamkan jaketnya. Sederhana. Tapi baginya, itu lebih dari cukup untuk dikenang seminggu penuh.
Sekarang, kursi itu kosong.
Tapi ingatannya... penuh.
Sesampainya di rumah, Beta langsung menuju kamar. Tak makan. Tak bicara. Ia membuka jendela dan membiarkan angin sore masuk tanpa diundang.
Ia duduk di lantai, memeluk lutut.
> "Kenapa rasanya seperti ini?"
> "Kenapa kehilangan itu seperti api yang membakar perlahan dari dalam, tapi tidak pernah membuat luka luar?"
Ia menulis lagi. Kali ini di buku harian kecil yang tersembunyi di balik tumpukan komik:
> “Nayla... bukan kamu yang salah. Mungkin hanya waktunya yang terlalu pendek untuk menumbuhkan rasa dan terlalu panjang untuk melupakan segalanya.”
Malam datang cepat.
Langit gelap. Tapi pikirannya lebih kelam.
Beta memandang langit-langit kamar. Menyalakan lagu dari playlist yang dulu pernah mereka dengarkan bersama, meski Nayla tak pernah tahu ia hafal liriknya.
Lagu itu menyayat.
Tiap nadanya menusuk.
Tapi justru dari situ ia merasa hidup. Merasa... masih bisa merasa.
> “Kalau rasa sakit ini bisa jadi guru,” gumamnya pelan,
“maka hari ini aku baru lulus pelajaran pertama: belajar kehilangan dengan tidak menyalahkan siapa-siapa.”
“Ada luka yang tak bisa dijahit dengan waktu. Tapi bisa diredam dengan mengerti.”
Sudah tiga hari sejak Nayla pindah.
Sudah tiga hari pula kelas terasa seperti ruang tunggu yang kosong.
Beta masih datang tepat waktu, masih duduk di pojok yang sama. Tapi bukan lagi karena ingin melihat Nayla. Sekarang ia duduk di sana agar bisa sembunyi lebih mudah dari tatapan yang ingin tahu.
Hari ini, guru Bahasa Indonesia memberi tugas menulis esai pendek tentang “hal yang paling berkesan dalam hidupmu”.
Sebuah tema sederhana yang menjadi sangat menyiksa bagi seseorang yang baru saja kehilangan.
Beta memutar bolpennya.
Kertas kosong di depannya seperti menantang:
> “Tulis. Kalau kamu bisa.”
Ia menghela napas.
Teman-temannya sudah sibuk mengetik di laptop, menulis tentang lomba yang dimenangkan, perjalanan ke luar kota, bahkan tentang kucing peliharaan.
Beta hanya diam. Baginya, semua itu tak ada artinya hari ini. Yang paling berkesan dalam hidupnya… adalah saat hatinya nyaris utuh. Dan saat itu semua dihancurkan dalam sekali kepergian.
Ia menunduk.
Mulai menulis. Tapi bukan untuk dikumpulkan. Untuk dirinya sendiri:
> “Yang paling berkesan dalam hidupku bukan saat aku merasa senang, tapi saat aku belajar kuat. Ketika aku menyadari bahwa tidak semua cinta harus sampai. Tidak semua rasa harus dijawab. Kadang, mencintai dalam diam, adalah bentuk paling jujur dari kasih.”
Usai pelajaran, Beta ke perpustakaan. Bukan untuk membaca. Tapi untuk diam. Ia duduk di pojok yang menghadap taman sekolah. Di sana, ada pohon bougenville kecil yang pernah dipelihara Nayla. Beta ingat, Nayla pernah cerita:
> “Kalau tanaman itu terus dirawat, dia bakal tetap berbunga meski tanahnya keras.”
Sekarang pohon itu mulai layu.
Tanpa Nayla, bahkan daun pun seperti kehilangan alasan untuk bertahan.
Beta tersenyum getir.
“Aku juga begitu, Nay. Tapi bedanya… aku gak bisa disiram cukup dengan waktu.”
Sore itu, hujan turun tiba-tiba.
Beta tak bawa payung. Ia berdiri di depan gerbang sekolah, memandangi jalanan yang mulai basah. Lalu ia melihat sesuatu.
Seorang gadis bukan Nayla, tentu berdiri sambil memayungi temannya.
Tertawa. Bahagia.
Sejenak, Beta merasa asing di dunia ini. Seperti sedang menonton film dari luar kaca. Ia ada di sana, tapi tidak benar-benar ikut.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya.
> “Bet, numpang bareng, yuk!”
Suara Angga.
Beta menoleh, lalu mengangguk tanpa bicara.
Mereka berjalan di bawah payung kecil yang sempit. Angga cerita macam-macam tentang gosip guru baru, soal PR Matematika yang susah, tentang cewek-cewek baru yang katanya cantik. Tapi Beta hanya tersenyum tipis.
> “Lu dengerin gue gak sih?”
“Denger, kok.”
Angga menatapnya sejenak. Lalu diam.
> “Nayla gak bakal suka liat lu kayak gini, Bet.”
Kalimat itu menusuk. Tapi Beta tahu maksudnya baik.
> “Gue gak tau Nayla suka apa, Ga. Dia bahkan gak pernah tau gue nulis surat buat dia.”
Angga terdiam.
Beta baru saja jujur untuk pertama kalinya.
Sesampainya di rumah, Beta tidak langsung masuk kamar. Ia duduk di ruang tamu, memandangi foto kecil keluarganya.
Ibunya muncul dari dapur.
> “Beta, kamu gak makan dari siang?”
Beta menggeleng pelan.
Ibunya duduk di sebelah, memegang tangannya lembut.
> “Mama tahu, kamu kehilangan sesuatu. Tapi kamu gak kehilangan segalanya.”
Beta menunduk.
> “Mama, rasanya kayak... aku gak ada gunanya. Aku tulis surat, aku simpan perasaan, aku jaga jarak biar gak ganggu dia… Tapi akhirnya dia pergi juga. Gak pernah tahu.”
Ibunya tersenyum kecil. Mata yang lelah tapi penuh cinta.
> “Mungkin bukan dia yang gak tahu, Nak. Mungkin semesta yang mau kamu belajar: mencintai itu gak selalu tentang memiliki. Tapi tentang membiarkan diri sendiri tumbuh, meski sendirian.”
Kalimat itu seperti pintu kecil yang terbuka di dada Beta.
Ia menatap ibunya lama. Lalu untuk pertama kalinya sejak Nayla pergi, ia menangis.
Malam itu, Beta duduk di meja belajarnya. Di depannya ada dua kertas:
Satu, lembar esai tugas sekolah.
Satu lagi, surat cinta yang dulu ia tulis untuk Nayla yang tak pernah dikirim.
Ia membaca ulang surat itu. Kata-katanya terasa seperti bekas luka yang belum sembuh, tapi juga seperti pelukan dari masa lalu.
> “Nayla… aku gak pernah berharap kamu membalas perasaanku. Aku cuma pengen kamu tahu, kamu pernah bikin seseorang merasa berarti meski tanpa kamu sadari.”
Beta mengambil napas dalam.
Kemudian ia merobek surat itu. Pelan-pelan. Bukan karena ingin melupakan. Tapi karena ingin melepaskan.
Di luar, hujan masih turun.
Tapi hati Beta mulai kering.
Ia menulis esai yang akan ia kumpulkan besok:
> “Pelajaran paling penting dalam hidupku adalah ketika aku tahu: cinta tidak harus memiliki. Bahwa keheningan pun bisa bicara, dan luka pun bisa mengajar. Aku belajar, bahwa tidak semua yang pergi harus dikejar. Karena kadang, dengan membiarkan pergi, aku menemukan kembali diriku sendiri.”
Bab 4 – Patah Sebelum Tumbuh
“Ada cinta yang tumbuh diam-diam sejak kecil, seperti akar pohon tanpa suara, tanpa pamit, tapi menyusup ke hati paling dalam.”
Dulu, sebelum semuanya terasa sesak, sebelum Nayla menjadi kenangan yang Beta sembunyikan dalam diam, sebelum kelas berubah menjadi ruang sunyi tanpa warna Beta dan Nayla adalah dua anak kecil yang tak tahu apa itu kehilangan.
Mereka bertetangga. Rumah mereka hanya dipisahkan pagar kecil dan pohon kamboja yang kini jarang berbunga.
Beta masih ingat, pertama kali ia menyadari kehadiran Nayla adalah saat ia jatuh dari sepeda dan menangis. Anak laki-laki berumur delapan tahun yang merasa malu karena lututnya berdarah, lalu datang seorang gadis kecil dengan rambut diikat dua, membawa tisu basah dan sekotak permen.
> “Jangan nangis. Luka itu bakal sembuh. Tapi kalau malu, susah sembuhnya.”
Itu kalimat pertama Nayla. Aneh. Tegas. Tapi membuat Beta diam. Lalu tertawa.
Sejak saat itu, mereka seperti langit dan matahari pagi. Berbeda tapi menyatu.
Beta membuka kembali album foto lama malam itu, setelah semua pelajaran hari ini membuatnya kelelahan. Jari-jarinya menyentuh sebuah foto: Beta kecil dan Nayla bermain di taman sekolah dasar. Nayla sedang mencoret pipinya dengan cat air, dan Beta cemberut tapi membiarkan. Di belakang, pohon bougenville masih tampak segar.
Ia menatap mata Nayla dalam foto itu. Matanya tak berubah mata yang selalu memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan: seperti rumah, atau ketenangan. Saat itu, cinta belum punya nama. Tapi rasanya sudah ada.
Ketika mereka duduk di bangku kelas lima SD, Beta mulai merasakan detak yang aneh tiap kali Nayla mendekat. Tapi ia tak pernah bilang. Ia takut merusak sesuatu yang sudah nyaman.
> "Beta, kamu mau jadi arsitek ya nanti?"
"Iya. Soalnya aku pengen bangun rumah yang adem buat orang yang aku sayang."
"Wah, bagus. Aku nanti jadi dokter, biar bisa ngobatin siapa aja yang sakit, termasuk kamu."
Beta hanya tertawa kecil saat itu. Tapi dalam hati, ia ingin berkata:
“Semoga suatu hari, kamu tetap jadi orang yang aku bangunin rumahnya.”
Sore hari seusai les, Beta sering duduk di bangku taman dekat lapangan kecil. Nayla biasanya duduk di sebelahnya, menggambar sembarangan di buku sketsanya. Kadang menggambar bunga. Kadang rumah. Kadang hanya awan.
Satu hari, Nayla menggambar dua orang berdiri di bawah pohon.
> “Ini siapa?” tanya Beta.
“Rahasia,” jawab Nayla sambil nyengir. “Tapi yang satu cowoknya mirip kamu.”
Beta ingat, hari itu dia pulang dengan senyum yang bodoh. Tapi malamnya, ia sadar, rasa yang selama ini ia simpan sudah tumbuh terlalu dalam untuk diabaikan.
Tapi namanya anak kecil, cinta masih jadi rahasia.
Beta menyimpan perasaan itu dalam cara-cara sederhana:
Menunggu Nayla selesai minum air putih di kantin sebelum ia sendiri minum.
Diam-diam menukar karet gelang di lengan Nayla yang robek dengan yang baru. Memberi bagian permen terakhir, meski ia sangat suka rasa anggur.
Tak pernah ada kata “suka”, tak pernah ada janji. Tapi hati kecil Beta tahu: ia sedang jatuh cinta.
Waktu terus berjalan. SMP datang dengan kesibukan baru. Mereka mulai jarang main bareng. Tapi hati Beta tak berubah.
Setiap ia melihat Nayla dari jauh berdiri di lorong kelas, tertawa bersama teman-temannya, membaca buku sambil mengerutkan kening ia tahu: perasaan itu masih ada. Bahkan tumbuh. Tapi Beta tak pernah berani bilang.
Malam ini, duduk di bawah cahaya lampu meja yang remang, Beta menulis lagi. Bukan esai. Bukan surat. Tapi catatan kecil di sudut buku hariannya:
> “Aku mulai mencintainya saat dia membersihkan darah di lututku.
Aku mulai merindukannya sejak dia berhenti menoleh ke arahku saat bel pulang berbunyi.
Dan aku mulai kehilangan, bahkan sebelum sempat memiliki.”
Ia menutup buku itu. Menatap keluar jendela.
Langit malam penuh bintang. Tapi tidak satu pun bersinar seindah ingatan itu.
Bab 5 – Saat Semua Jadi Penonton
Hari-hari setelah Nayla menerima Revan di atas panggung berubah jadi siksaan sunyi bagi Beta.
Senin pagi di sekolah datang seperti biasa. Tapi langkah Beta tak lagi ringan. Lorong sekolah kini seperti panggung sarkas, penuh suara riuh yang tidak menyebut namanya namun menghancurkannya perlahan.
“Eh, kalian lihat nggak postingannya Nayla sama Revan di IG tadi malam? Manis banget sumpah!”
“Ternyata Nayla jadian juga ya. Gue kira dia milih cowok kalem kayak Beta... eh ternyata badboy juga yang menang!”
Beta lewat. Mereka tak tahu ia mendengar. Atau mereka pura-pura tak peduli.
Di kelas, tawa jadi lebih nyaring. Tapi tidak untuk Beta. Ia duduk di pojok, meja keempat dari jendela. Tempat yang dulu Nayla sering hampiri untuk sekadar menanyakan PR matematika atau menggambar awan di sudut bukunya. Kini meja itu hanya jadi saksi dari sunyi yang makin menumpuk.
Yola salah satu teman dekat Nayla menatap Beta sejenak. Ada rasa bersalah sekilas, mungkin. Tapi Yola hanya membalikkan pandangan dan tertawa bersama gengnya.
Tak ada yang mengucilkan Beta secara langsung. Tidak ada kata kasar, tidak ada ejekan.
Namun justru karena itulah terasa menyakitkan karena semua diam.
Beta menjadi asing di tempat yang ia kenal.
Ketika jam istirahat tiba, Beta pergi ke perpustakaan. Tempat yang sepi bukan karena dilupakan, tapi karena sengaja dijaga agar tetap sunyi. Ia duduk di meja paling belakang, membuka buku yang bahkan tak dibaca.
Pikirannya penuh oleh suara: suara tawa Nayla, sorakan teman-teman, dan keheningan yang mengiris.
Ia ingin berbicara, ingin bertanya, tapi kepada siapa?
Nayla? Ia sekarang seperti bintang di langit lain.
Teman-teman? Mereka lebih memilih pesta dari pada memahami luka.
Hari itu, di kantin, Beta berdiri sendiri sambil menggenggam roti isi. Seperti anak kelas satu yang belum punya teman.
Dari jauh, ia melihat Nayla dan Revan duduk bersama. Nayla menunduk malu ketika Revan menyuapinya satu sendok es krim. Semua bersorak kecil. Telepon genggam mengabadikan momen itu.
Beta menunduk. Bukan karena tak ingin melihat, tapi karena tak tahu apa yang tersisa untuk dilihat. Ia bukan siapa-siapa lagi. Bahkan mungkin tak pernah.
Kembali ke kelas, tempat duduknya makin dingin. Tak ada satu pun yang bertanya apakah dia baik-baik saja. Satu-satunya suara yang menemani hanyalah gumaman hatinya sendiri:
> “Aku mencintainya dari diam. Kini aku kehilangan dalam diam pula.”
Waktu seperti musuh. Tiap detik terasa berat. Pelajaran tak lagi masuk. Otaknya mengulang momen di mana Nayla menerima Revan, menertawakan dirinya sendiri karena merasa pernah punya harapan. Beta merasa seperti figuran dalam hidupnya sendiri. Seperti penonton dari panggung yang dulu ia bangun bersama mimpi.
Dan saat jam pelajaran berakhir, sebelum pulang, ia melihat tulisan kecil di papan belakang kelas:
“Revan ❤️ Nayla”
Tinta spidol merah. Tebal.
Seseorang sengaja menuliskannya besar-besar. Semua siswa melihat, tersenyum, bahkan berfoto.
Beta berdiri sendiri di sudut ruangan. Tak ada yang memperhatikan.
Ia bukan bagian dari kisah itu.
Ia hanya menjadi penonton.
Dari kisah cinta yang seharusnya bisa ia perjuangkan. Tapi tak pernah dimulai.
Bab 6 – Luka Tak Mempan Obat
Langit pagi itu tak secerah biasanya. Mendung menggantung seolah tahu ada sesuatu yang akan retak hari ini.
Beta menatap dirinya di cermin kamar mandi sekolah. Matanya sembab, tapi tak ada yang peduli. Ia belajar menyembunyikan luka di balik senyum tipis dan kata-kata pendek. Hari ini, ia memutuskan satu hal: bicara dengan Revan.
Di ruang kelas yang setengah ramai sebelum jam pelajaran dimulai, Beta berjalan pelan menuju tempat duduk Revan. Napasnya dalam. Kepalanya menunduk sedikit, tapi langkahnya mantap. Revan sedang bermain ponsel, tertawa kecil melihat sesuatu di layar.
"Revan," Beta menyapa, suara pelan tapi cukup terdengar.
Revan menoleh. "Eh, Bet. Ada apa?"
Beta diam sejenak. Ia menatap Revan sahabat lamanya. Teman yang dulu sering main PS bareng, saling curhat tentang nilai jelek, bahkan pernah bertukar jaket saat hujan.
"Aku cuma mau nanya satu hal..." suara Beta mulai bergetar, "...semenjak kapan?"
Revan tampak bingung. "Apa?"
"Semenjak kapan kamu deket sama Nayla?"
Hening sebentar. Hanya bunyi detak jam dinding dan desis AC yang terdengar.
Revan menggaruk kepala. "Gak ada maksud apa-apa, Bet. Kita cuma sering ngobrol aja akhir-akhir ini."
Beta menatapnya dalam. “Lo tahu gue suka dia. Lo tahu dari dulu.”
Revan menunduk. Sejenak, ia tampak menyesal. Tapi hanya sekejap.
"Maaf, Bet... Gue gak nyangka bakal sejauh ini. Gue juga gak maksa, dia yang nyamperin duluan, kita ngobrol nyambung, terus… ya…"
Beta tersenyum miris.
Jadi seperti itu ya?
Semudah itu hati berpindah.
Semudah itu persahabatan tergores diam-diam.
“Lo harusnya cerita,” Beta berkata, suaranya rendah tapi tegas. “Bukan main di belakang.”
Revan menghela napas, lalu bersandar di kursinya. "Gue takut lo marah. Takut kehilangan lo sebagai temen."
"Dan sekarang?" tanya Beta. "Kamu kehilangan aku juga, tapi dengan cara yang lebih buruk."
Revan tidak menjawab.
Beta melangkah pergi. Ia menolak melihat wajah Revan lebih lama. Bukan karena marah… tapi karena takut pecah. Takut benar-benar menangis.
Di lorong, Beta menunduk. Seakan sekolah itu terlalu terang untuk seseorang yang sedang mati rasa.
Beberapa siswa tertawa-tawa. Beberapa berlarian ke kantin. Tapi semua itu terdengar jauh, seperti gema di dalam kepalanya. Suara Nayla dan Revan ikut dalam gema itu berputar seperti mantra terkutuk.
Di perpustakaan, Beta duduk sendiri. Ia membuka buku, tapi tak membaca. Matanya kosong.
Di antara halaman-halaman itu, ada kertas kecil terselip. Bukan miliknya. Mungkin milik orang lain yang tertinggal.
Tulisan tangan di kertas itu:
"Memaafkan bukan berarti lupa. Tapi memilih untuk tidak membiarkan luka jadi identitas."
Beta menatap kata-kata itu lama.
Tangannya gemetar. Bukan karena marah. Tapi karena lelah. Ia ingin berhenti benci. Tapi hatinya belum bisa.
Hari itu, Beta tidak bicara dengan siapa pun lagi. Ia pulang lebih awal. Lagi.
Di kamar, ia duduk di lantai. Dinding jadi sandaran, dan pikirannya jadi labirin.
Kenapa Revan?
Kenapa Nayla?
Apa salahnya dia sebagai sahabat?
Apa dia terlalu diam? Terlalu pemalu? Terlalu lambat?
Beta mencoba menulis lagi. Tapi tak satu kalimat pun keluar. Ia menggenggam pulpen erat-erat, lalu melemparkannya ke pojok ruangan.
Ia menengadah. Menahan tangis yang hampir tumpah. Karena di titik itu, ia sadar: beberapa luka memang tak bisa diobati dengan kata maaf.
Beta duduk di tepi ranjang. Lampu kamar mati, hanya cahaya dari layar ponsel yang menyala redup. Jempolnya berhenti di kontak bernama "Revan", lalu berpindah ke "Nayla", lalu kembali ke home screen.
Tak ada satu pun yang bisa ia kirim. Tak ada satu pun kata yang sanggup mewakili isi dadanya malam itu. Tangannya gemetar. Bukan karena dingin. Tapi karena... kekecewaan yang terlalu dalam untuk dilukiskan.
Ia membuka galeri. Sebuah foto muncul: mereka bertiga di taman sekolah tertawa, bahu bersentuhan. Revan menggoda Nayla, Nayla tertawa sambil melirik Beta. Dan Beta... hanya tersenyum kecil di ujung, menyimpan semua rasa yang tak pernah bisa diluapkan.
Dulu foto itu menenangkan. Kini hanya menggoreskan luka seperti kaca pecah yang tertanam di dada.
Malam ini, Beta membuka lemari. Menarik sebuah kotak kecil. Di dalamnya, ada potongan-potongan kecil masa lalu: Foto polaroid waktu kerja kelompok
Bungkus coklat pemberian Nayla
Secarik kertas dengan tulisan tangan: "Makasih ya Bet, udah bantuin aku hari ini!"
Ia menggenggam semuanya seperti relik dari kehidupan yang telah mati. Lalu meletakkannya kembali. Hatinya menjerit:
“Kenapa yang paling tulus selalu kalah oleh yang paling cepat?”
Beta turun ke ruang tamu. Ibunya sedang menonton TV, tapi langsung menyadari ekspresi kosong putranya.
“Beta?” tanyanya pelan.
“Ma... boleh tanya satu hal?”
Ibunya mematikan TV. “Apa, Nak?”
“Kalau seseorang yang kamu percaya justru melukai kamu diam-diam, kamu akan apa?”
Sang ibu termenung. Lalu menjawab lembut, “Ibu mungkin gak langsung marah... tapi ibu akan jaga jarak. Karena rasa sakit bukan cuma dari apa yang dikatakan, tapi dari yang tidak dikatakan padahal seharusnya.”
“Jadi... menjauh itu bukan karena benci?”
“Bukan. Tapi karena butuh sembuh.”
Beta mengangguk. Bibirnya bergetar. Lalu ia tiba-tiba memeluk ibunya erat-erat, tanpa kata.
Dan di pelukan itu, air mata akhirnya jatuh juga.
Bukan satu, tapi banyak.
Bukan karena cengeng, tapi karena hatinya benar-benar tidak tahu harus bagaimana.
Malam makin larut.
Beta menulis di buku catatannya:
> “Aku tahu mereka tidak berniat jahat sejak awal. Tapi kenapa rasanya seperti disayat perlahan-lahan tanpa pisau?
Revan, kamu menghancurkan kepercayaanku.
Nayla, kamu menghapus semua harapanku.
Tapi yang paling menyakitkan...
Aku tetap tidak bisa membenci kalian.”
Keesokan harinya di sekolah, Beta berjalan melewati koridor. Revan melambaikan tangan. Nayla melirik, ragu.
Beta menatap keduanya.
Lalu... melewati mereka tanpa sepatah kata.
Langkahnya tenang. Tapi dadanya seperti medan perang.
Ia tahu luka ini belum sembuh. Tapi ia juga tahu: beberapa luka memang harus dibiarkan
Bab 7 – Langkah yang Tak Diundang
Tahun 2019
Ruang kelas VIII-C dipenuhi suara berisik sepulang jam sekolah. Di bangku dekat jendela, Beta tengah merapikan bukunya. Ia belum pulang. Matahari sore mengintip malu-malu lewat kisi-kisi jendela, menyinari rambut Beta yang mulai lembab karena keringat.
“Nayla, kamu diantar siapa hari ini?”
Suara itu datang dari arah pintu kelas. Seorang siswa baru berdiri di sana berdiri tegak, wajahnya tenang tapi penuh percaya diri.
Revan.
Nayla menoleh, ragu sejenak. Ia belum terlalu akrab dengan anak baru itu. Tapi Beta melihat semua itu dari jauh. Ia tak ikut dalam percakapan, tapi setiap detailnya terekam jelas di benaknya.
Sore itu adalah pertama kalinya Revan berbicara langsung pada Nayla. Dan sore itu pula, langkah pertama ke arah retakan yang tak disadari pun dimulai.
Beta masih ingat hari saat Revan pertama kali pindah ke sekolah mereka. Anak pindahan dari luar kota, katanya.
"Lo kayaknya gampang berteman," ujar Beta saat Revan duduk di sebelahnya untuk pertama kali.
Revan tertawa. “Gue nyari yang bisa ngajarin. Katanya lo jago pelajaran.”
“Jago enggak, tapi ya kalau bisa bantu ya gue bantu.”
Itulah awalnya. Sederhana. Bersahabat. Ringan.
Beta merasa telah menemukan seseorang yang bisa jadi sahabat sejati. Ternyata tidak. Beberapa minggu kemudian, Beta yang tanpa curiga mengenalkan Revan ke Nayla.
“Ini Nayla, temen gue dari dulu.”
Revan menyodorkan tangan, sopan. “Hai. Lo yang juara puisi itu, kan?”
Nayla tersenyum malu-malu. “Iya, tapi udah lama.”
Beta ikut tertawa, tak tahu... bahwa di sinilah semuanya akan berubah.
Revan duduk di bangku belakang, memandangi Nayla dari kejauhan. Beta tak mengira apa-apa. Mereka bertiga bahkan sempat kerja kelompok bersama membuat poster tentang perubahan iklim. Revan mencatat, Beta menggambar, Nayla mewarnai. Tawa mereka memenuhi ruang kelas sore itu.
Tapi Beta tahu betul, sejak saat itu, ada sesuatu yang tumbuh. Tapi bukan di antara dirinya dan Nayla.
Melainkan... antara Revan dan Nayla. Dan Beta hanya jadi saksi diam yang perlahan mulai kehilangan tempat.
Di rumah, Beta duduk di depan cermin, memandangi wajahnya sendiri.
“Aku yang mengenalkan mereka,” gumamnya lirih.
“Kalau saja waktu itu aku tak pernah...”
Tapi kalimat itu selalu menggantung.
Ia tahu ia tak bisa menyalahkan siapa pun. Tapi ia juga tahu, kadang luka itu bukan karena orang lain memukul, tapi karena kita sendiri yang menyerahkan pisau itu ke tangan mereka.
Satu minggu setelah perkenalan itu.
Revan meminta bantuan Beta:
“Lo bisa bantuin gue nulis puisi gak? Gue pengin ikut lomba, tapi belum paham banget.”
Beta mengangguk, “Gue bantu. Tapi kenapa tiba-tiba suka puisi?”
Revan tertawa kecil. “Gue pengin bikin yang spesial.”
Beta belum menyadari maksud kalimat itu. Ia mengira Revan benar-benar hanya ingin belajar.
Tapi beberapa hari kemudian, puisi itu diumumkan di mading.
Judulnya: “Kepada Bintang yang Tak Pernah Redup.”
Dan di bawahnya, nama Revan. Tapi saat Beta membacanya...
Ia tahu itu bukan puisi untuk lomba. Itu surat cinta tersembunyi.
Dan Beta tahu... siapa ‘bintang’ yang dimaksud.
Hari itu ia pulang lebih cepat dari biasanya.
Langit mendung, dan hujan turun seperti mengerti isi dadanya.
Beta berjalan sambil menunduk, langkahnya berat. Ia tidak menangis. Tapi hatinya seperti beku.
Terasa dingin, kosong, dan pelan-pelan... hancur dalam diam.terbuka agar kita belajar, bahwa tidak semua orang layak menerima sisi terdalam diri kita.
Hari-hari setelah puisi itu dimuat seperti pelan tapi pasti menggerogoti Beta dari dalam. Bukan karena Nayla menjawabnya tidak, Nayla bahkan tidak pernah bicara soal puisi itu secara langsung. Tapi semuanya berubah. Cara Nayla tersenyum saat melihat Revan. Cara Revan menatap Nayla di kelas. Mereka tidak pacaran. Tidak menggenggam tangan. Tapi itu cukup.
Cukup untuk membuat Beta merasa bukan siapa-siapa.
Suatu sore di perpustakaan sekolah, Beta duduk di pojokan, berpura-pura membaca. Di hadapannya, dua bangku kosong. Tapi di balik rak buku, ada suara tawa. Suara Nayla. Dan Revan. Mereka tidak sedang berbuat salah. Hanya sedang menjadi dekat.
Beta tidak marah. Tidak menangis. Tapi di dalam dirinya, sebuah ruang sunyi mulai menjalar, menyelimuti seperti kabut yang tak bisa diusir.
Beberapa bulan sebelumnya.
Waktu itu Beta dan Nayla duduk berdua di taman kecil dekat musala sekolah.
Beta bercerita soal komik yang ia baca, tentang tokoh yang selalu gagal mengungkapkan cinta. Nayla tertawa kecil, “Kalau kamu, kayaknya nggak akan gitu.”
Beta menatapnya lama.
“Kenapa?”
“Karena kamu tulus. Tulus itu biasanya berani.”
Beta ingin menjawab bahwa Nayla salah. Bahwa ketulusan tidak selalu menghasilkan keberanian.
Terkadang, ketulusan hanya menghasilkan... diam.
Dan Beta sudah terlalu lama diam.
Kembali ke hari-hari setelah puisi itu.
Beta mulai menghindari Revan. Perlahan. Tidak frontal, tapi cukup untuk membuat Revan sadar.
“Lo kenapa, Ta?” tanya Revan suatu hari di kantin.
Beta menggeleng. “Gak apa-apa.”
Tapi jelas. Tatapan Beta tak lagi sama.
Senyumnya tak pernah sampai ke mata.
Beta mulai paham bahwa jarak tidak harus diciptakan lewat langkah, tapi bisa juga lewat tatapan yang hampa.
Suatu malam di rumah.
Beta duduk sendirian di ruang tamu, lampu temaram. Di pangkuannya, sebuah buku catatan lama. Di dalamnya bukan tugas sekolah. Tapi potongan lirik, puisi, dan pengakuan hati yang tak pernah dikirimkan.
Di antara halaman-halaman itu, ada satu lembar yang paling usang.
Sebuah puisi untuk Nayla.
Ditulis sejak kelas tujuh.
Dilipat kecil dan disimpan... karena tak pernah punya nyali untuk disampaikan.
Beta membacanya kembali, suaranya gemetar:
> “Aku tak tahu harus bagaimana mencintaimu tanpa mengganggumu.
Maka kutulis kau dalam sunyi, dan kusebut namamu hanya di dalam hati…”
Matanya basah. Tapi ia tetap membaca sampai akhir.
Hari berikutnya di kelas, Beta duduk paling belakang. Sendirian.
Revan datang dan duduk seperti biasa. Tapi tak bicara. Nayla masuk beberapa menit kemudian, senyumnya tak ke arah Beta.
Dan semua orang sibuk dengan tugas masing-masing, seperti tak ada luka yang sedang berteriak dalam diam.
Beta menoleh ke jendela. Angin berhembus pelan.
Dalam hati, ia bicara pada dirinya sendiri:
“Kau bodoh, Beta. Tapi tak ada salahnya jadi bodoh kalau itu karena mencintai.”
Sepulang sekolah, Revan mengejar Beta.
“Gue tahu lo berubah. Tapi gue gak ngerti kenapa.”
Beta berhenti, tapi tak menoleh.
“Kadang... ada hal yang lebih sakit dari ditusuk, Van. Yaitu ditinggal oleh orang yang kau sendiri perkenalkan.”
Revan terdiam. Tak paham.
Dan Beta melangkah pergi.
Bukan karena ingin jadi pahlawan. Tapi karena ia tahu, cinta tak harus memiliki. Tapi pengkhianatan... tak harus dijelaskan.
BAB 8 – Suara di Antara Derai Hujan
Langit sore itu seolah enggan membiarkan cahaya bertahan. Awan kelabu menggantung rendah di atas atap sekolah, seakan mengerti beban yang tak kunjung bisa kuturunkan dari punggung hatiku. Gerimis turun perlahan, seperti tangan Tuhan yang mengetuk dunia, memberitahu bahwa tangis bisa turun tanpa suara.
Aku masih di bangku taman belakang sekolah, tempat yang dulu biasa kami duduki bertiga aku, Nayla, dan Revan. Sekarang hanya ada aku dan sunyi. Tadi aku menyelinap ke sana setelah kelas selesai, menghindari koridor yang penuh suara, tawa, dan cerita yang tak lagi kupahami. Hujan selalu jadi alasan terbaik untuk bersembunyi.
Telepon genggamku bergetar pelan di saku. Satu notifikasi. Nama yang muncul membuat jantungku menegang seperti dawai gitar yang ditarik terlalu keras.
Nayla.
Aku menatap layar tanpa bergerak. Sudah lebih dari dua minggu tak ada satu pun kata keluar dari arah sana. Tidak setelah pertemuan yang meledakkan segalanya dalam diam. Tapi hari ini, saat langit basah dan dinding-dinding hati mulai mengelupas lagi, justru ia datang dalam bentuk pesan.
"Maaf kalau aku bukan seperti yang kau bayangkan."
Itu saja. Satu baris. Tidak ada emotikon. Tidak ada titik. Tidak ada penjelasan.
Aku membaca ulang pesan itu mungkin belasan kali. Kata-katanya tidak meledak, tidak menusuk tajam, tapi seperti hujan yang perlahan merembes ke balik jaket dan menusuk kulit tanpa kau sadari dingin yang tumbuh pelan tapi menembus.
"Seperti yang kau bayangkan..."
Apakah ia tahu semua yang kutahan? Surat yang tak pernah kukirim? Tatapan yang selalu kusimpan sendiri saat ia menatap Revan? Apakah ia pernah tahu betapa malam-malamku diisi namanya, bahkan saat aku berdoa agar perasaanku padanya bisa hilang begitu saja?
Dan sekarang... ia datang membawa kalimat semacam ini?
Tiba-tiba aku merasa sangat lelah. Bukan lelah karena perjalanan, tapi karena penantian. Menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Menanti keajaiban dari seseorang yang tak pernah benar-benar menoleh.
Kupandangi layar sekali lagi. Hujan semakin deras, menabuh atap taman seperti simfoni kecil yang sedih.
Jari-jariku mengetikkan balasan yang berkali-kali kuhapus lagi.
"Apa maksudmu, Nayla?" Terlalu frontal. "Kenapa kamu bilang begini sekarang?" Terlalu rapuh. "Aku baik-baik saja." Bohong.
Akhirnya kupadamkan layar. Kubiarkan ia mengambang, seperti kabut yang tak punya niat untuk turun menjadi hujan. Kalimat itu bukan jawaban, juga bukan permintaan maaf. Itu hanya sebentuk suara yang dilempar ke tengah laut, berharap tak ada yang mendengar. Tapi aku mendengarnya. Aku selalu mendengar Nayla, bahkan saat dia tidak berkata apa-apa.
Hening menyergap kembali. Tiba-tiba aku teringat satu hal: waktu Nayla pernah berkata bahwa hujan membuatnya merasa aman.
"Aku suka hujan," katanya suatu siang. "Karena saat semua orang berlari berteduh, aku merasa dunia berhenti sebentar. Aku jadi bisa diam tanpa harus ditanya kenapa."
Mungkin hari ini dia sedang diam. Dan aku, seperti biasanya, terlalu ingin membaca diamnya, terlalu ingin menjadi seseorang yang bisa mengerti bahkan sebelum kata-kata dilahirkan. Tapi aku bukan siapa-siapa. Hanya bayangan di antara langkah-langkah mereka yang saling berpaut.
Langkah kaki mendekat. Aku menoleh pelan. Bukan Revan, bukan Nayla. Hanya seorang murid dari kelas bawah yang lewat sambil membawa payung warna biru. Ia menatapku sebentar, lalu menunduk dan berjalan cepat melewati taman. Dunia terus berjalan. Hanya aku yang tertinggal di tengah putaran ini, menggenggam pesan yang lebih menyakitkan dari penolakan.
Gerimis mulai berubah jadi hujan deras. Tapi aku tak bergerak. Biarlah tubuh ini basah, setidaknya itu bisa menipu orang-orang bahwa yang mengalir di pipiku bukan air mata.
Kupeluk lututku erat-erat. Rasanya seperti kembali jadi anak kecil yang kehilangan mainan favorit. Tapi ini bukan mainan. Ini hati. Dan hati tak bisa dibeli ulang di toko mana pun.
Setelah beberapa menit, aku menyalakan ponsel lagi. Kubaca pesan itu untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya kuhapus. Tapi bukan karena aku ingin melupakan, melainkan karena aku ingin berhenti berharap. Ada rasa yang terlalu panjang untuk dibalas satu baris kalimat. Dan aku tak ingin terus tersesat dalam pertanyaan: "Kenapa Nayla mengirimkannya hari ini?"
Mungkin jawabannya hanya satu: karena ia tahu aku masih mendengarnya, bahkan saat yang lain sudah berhenti peduli.
Malam datang pelan, menyusup ke dalam kamar tanpa suara. Lampu belajar menyala remang. Buku catatan terbuka di hadapanku, tapi kosong seperti pikiranku. Pena yang kugenggam sejak tadi tak kunjung menyentuh kertas. Jari-jariku gemetar bukan karena dingin, tapi karena pikiran yang terus berputar tanpa arah.
Aku duduk di meja belajar, menatap satu titik di dinding seakan jawaban tertulis di sana. Tapi yang kulihat hanya bayangan: bayangan diriku sendiri pucat, kering, dan asing.
Pesan Nayla tadi siang... masih mengendap. Meski sudah kuhapus, rasanya masih terukir di dadaku, menyatu dengan detak jantung. Tak bisa dilupakan semudah menekan ikon tempat sampah di layar.
"Maaf kalau aku bukan seperti yang kau bayangkan."
Kalimat itu terus memantul. Kadang terdengar seperti permintaan maaf, tapi lebih sering terasa seperti tamparan lembut yang menyakitkan. Bukan karena kata-katanya, tapi karena waktu kemunculannya saat aku baru saja belajar menutup luka. Atau mungkin, aku tak pernah benar-benar menutupnya.
Aku mengambil buku harian yang sejak SMP jarang kusentuh. Sampulnya sudah sedikit robek, warnanya pudar. Tapi di dalamnya masih ada tulisanku yang lama puisi, cerita pendek, dan potongan percakapan yang tak pernah terjadi.
Kubuka satu halaman acak. Ada tanggal dua tahun lalu, tulisan tanganku masih gemetar saat itu.
"Aku rasa Nayla suka Revan. Tapi aku yakin dia belum tahu caraku menatapnya."
Aku terkesiap. Kalimat itu seperti cambuk masa lalu yang menampar keras kesadaran hari ini. Jadi... perasaan ini memang sudah lama. Dan ketakutan ini, tentang kehilangan mereka, ternyata juga sudah lama.
Kupeluk buku itu. Di luar, hujan belum berhenti. Setiap tetesnya seperti irama yang tak pernah bisa kuhafal. Aku berdiri pelan, membuka jendela sedikit, membiarkan udara dingin menerobos masuk.
Dan entah mengapa, malam ini aku ingin berteriak. Ingin mengucapkan semuanya: rasa sesak, kecewa, dan rindu yang tak pernah mendapat ruang untuk tumbuh. Tapi yang keluar dari bibirku hanya napas panjang dan suara parau yang tertahan. Aku terlalu terbiasa diam. Terlalu pandai menyimpan luka, bahkan sampai tak tahu lagi caranya menyembuhkan.
Ponselku bergetar lagi. Tapi kali ini bukan dari Nayla.
Dira.
Adik Nayla.
"Kak, kamu bisa ke taman sekolah besok pagi? Sendirian, ya. Aku cuma ingin bicara sedikit."
Keningku mengerut. Dira jarang menghubungiku. Bahkan sejak semua ini terjadi, ia selalu menjaga jarak mungkin karena ia tahu aku sedang tidak ingin dekat dengan siapa pun yang berkaitan dengan nama yang sama.
Tapi pesannya membuatku gelisah. “Sedikit bicara” itu berarti banyak. Terlalu banyak. Karena Dira tak pernah main-main dengan kata-kata.
Kutaruh ponsel kembali. Kutatap langit dari jendela yang masih terbuka sedikit. Tetes hujan perlahan mengenai bingkai jendela, menciptakan irama patah-patah. Hujan tak menunjukkan tanda akan reda, seperti isi kepalaku.
Dan aku tahu satu hal: malam ini takkan memelukku seperti malam-malam sebelumnya.
Aku tak bisa tidur.
Yang bisa kulakukan hanya diam.
Menunggu pagi.
Menunggu penjelasan.
Menunggu sesuatu yang mungkin akan menambah luka atau justru memutar ulang semuanya dari awal.
BAB 9 – Dira Tahu Semuanya
Pagi itu terlalu tenang untuk hati yang berisik.
Langit belum sepenuhnya biru. Ada sisa mendung dari semalam, seperti jejak tangis yang belum kering di pipi. Aku datang ke taman sekolah lebih awal dari janji Dira. Duduk di bangku paling ujung, di bawah pohon kersen yang daunnya mulai gugur satu-satu. Tempat ini dulu sering kami datangi bersama: aku, Nayla, Revan, dan kadang Dira ikut diam-diam.
Sekarang aku sendiri. Dan kali ini, bukan karena mereka tak datang. Tapi karena hatiku sudah tak yakin ingin siapa pun datang.
Ponselku diam di saku jaket. Tak ada pesan lanjutan dari Nayla sejak pesan ambigu itu. Tapi justru Dira yang tiba-tiba menarikku ke sini. Dira adik Nayla yang jarang bicara banyak, apalagi padaku.
Langkah kakinya terdengar pelan di antara suara burung-burung yang mulai bangun. Ia duduk tanpa bicara. Rambutnya dikuncir asal, wajahnya polos seperti biasanya, tapi matanya... hari ini berbeda.
"Aku nggak akan lama," katanya pelan, tanpa menoleh. "Aku cuma... ngerasa kamu perlu tahu sesuatu."
Aku menatap tanah. “Aku nggak tahu aku siap atau nggak, Dir.”
Dira menarik napas. "Aku juga nggak tahu kapan waktu yang tepat. Tapi kalau terus ditunda, kamu bisa salah paham terus... dan itu nyakitin Kak Nayla, juga Kak Revan."
Namanya disebut. Dua-duanya. Dan aku merasa seperti orang asing yang duduk di antara nama-nama itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku. Suaraku pelan, tapi berat.
Dira mengambil ponsel dari sakunya, lalu menunjukkan foto. Bukan foto skandal. Bukan pula foto mereka berdua berpelukan. Tapi... surat.
Suratku. Yang dulu kutulis tapi tak pernah kukirim. Kertasnya kusut, tulisannya masih miring-miring. Tapi aku tahu itu suratku. Dan aku tahu itu bukan Dira yang menemukannya.
"Aku nemuin ini di meja belajar Kak Nayla, minggu lalu. Dia simpan di dalam kotak, di balik buku-bukunya yang kamu suka pinjam dulu."
Mataku membulat. Dunia seperti runtuh seketika.
“Dia… baca ini?” tanyaku pelan. Hampir tak terdengar.
Dira mengangguk. “Dari lama. Kak Nayla tahu perasaanmu, Kak. Sejak dulu. Tapi dia milih pura-pura nggak tahu... karena dia takut. Takut bikin kamu menjauh. Dia bilang... ‘Kalau aku bilang yang sebenarnya, mungkin Beta akan hilang sepenuhnya. Dan aku nggak sanggup kehilangan dia dua kali.’”
Aku menggenggam ujung bangku. Nafasku memburu. Kata-kata Dira menampar semua keyakinan yang kupegang. Ternyata... Nayla tahu. Sejak dulu. Bahkan saat aku masih pura-pura tegar, dia sudah tahu aku rapuh. Dan dia memilih diam.
“Kenapa dia bilang ‘dua kali’?” suaraku pecah.
Dira menunduk, mengusap matanya yang tak sempat menangis. “Kamu inget pas SMP akhir? Saat kamu mulai jarang ikut pulang bareng, tiba-tiba suka menghindar, bilang banyak tugas padahal... kamu cuma nggak mau ketemu Kak Nayla?”
Aku mengangguk pelan.
“Itu pertama kalinya dia ngerasa kehilangan kamu. Sejak saat itu, dia mulai dekat sama Kak Revan. Tapi bukan karena cinta, Kak. Tapi karena Kak Revan satu-satunya orang yang masih nanya soal kamu. Yang ngerti dia lagi bingung.”
Hatiku seolah disobek dari dalam.
Jadi semua yang kulihat... salah?
Atau semua orang hanya terlalu pandai menyembunyikan luka masing-masing?
“Dia... pernah bahagia sama Revan?” tanyaku, nyaris seperti gumaman.
Dira tak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat bahu pelan, lalu berkata, “Dia pernah merasa... ‘aman.’ Tapi nggak pernah benar-benar ‘utuh.’ Itu kata-katanya ke aku.”
Aku diam.
Dan dari diam itulah, aku tahu hatiku sedang berteriak.
Berteriak karena marah.
Karena lega.
Karena kecewa.
Karena semuanya datang terlambat.
Dira berdiri. “Maaf aku tiba-tiba maksa kamu ke sini. Tapi aku cuma... nggak tahan liat kalian saling salah paham.”
Aku menahan napas. Ingin berkata terima kasih. Ingin memeluknya. Tapi aku terlalu beku.
Dira pergi meninggalkan taman, membiarkan aku kembali sendiri. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang retak di dalam dan entah kenapa, aku tak lagi ingin memperbaikinya.
Malamnya, dunia terasa lebih sempit dari kamar yang hanya berbatas jendela dan tembok. Aku duduk di lantai, bersandar ke kasur yang tak sempat kubereskan sejak pagi. Ponsel tergeletak di meja, tanpa notifikasi apa-apa. Padahal sejak beberapa hari lalu, aku seperti budak dari suara getarannya selalu berharap, selalu kecewa.
Tapi malam ini, aku bahkan tidak ingin ada pesan. Kepalaku penuh. Bukan lagi oleh dugaan, tapi oleh potongan-potongan kebenaran yang terasa lebih menyakitkan daripada prasangka.
Nayla tahu. Sejak dulu. Tentang aku. Tentang surat itu. Tentang semuanya.
Dan dia tetap diam.
Bukan karena tak peduli. Tapi karena terlalu peduli.
Sialan. Kenapa rasanya itu justru lebih menyakitkan?
Kupeluk lututku, dan untuk pertama kalinya setelah lama, aku menulis bukan puisi, bukan catatan tugas hanya paragraf-paragraf aneh yang bahkan tidak tahu akan dikirim ke siapa.
> Mereka bilang kejujuran itu obat. Tapi kenapa malam ini, aku malah merasa seperti seseorang yang habis ditikam dengan pisau perakterlalu cantik untuk dianggap kejam, tapi terlalu dalam untuk tak berdarah?
Nayla, kamu tahu semuanya. Tapi kamu tetap senyum seperti biasa, tetap bersikap biasa, tetap membuatku merasa aku hanya berlebihan. Padahal kamu tahu aku bukan sekadar berlebihan. Aku mencintaimu. Dengan diam. Dengan setia. Dengan segala kebodohan yang kupeluk sendiri.
Dan sekarang, aku harus bertanya pada diri sendiri kalau kamu tahu sejak awal, kenapa kamu tidak memilih aku?
Kenapa tidak bilang saja dari dulu, kalau aku ini hanya teman masa kecil yang terlalu banyak berharap?
Tinta pena di buku mulai tembus. Kertasnya lembap karena telapak tanganku berkeringat. Aku bukan hanya kecewa pada Nayla... aku kecewa pada diriku sendiri.
Karena selama ini, aku hidup dari asumsi.
Karena selama ini, aku mencintai bayangan Nayla yang kubentuk sendiri bukan Nayla yang sesungguhnya, yang mungkin lebih rumit dari yang bisa kupahami.
Kutatap jendela. Hujan baru saja reda. Tapi suara tetesannya masih tersisa, menetes dari ujung atap ke genting.
Plok... plok... plok...
Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam.
Dira bilang Nayla takut kehilangan aku untuk kedua kalinya. Tapi kenapa aku merasa dia justru kehilangan aku selamanya?
Malam itu, aku menulis lagi. Bukan untuk dibaca siapa pun. Bukan juga untuk diabadikan. Tapi hanya untuk menjadi saksi bahwa malam itu, aku sedang mencoba menerima hal yang tidak bisa disembuhkan oleh waktu:
Kebenaran.
BAB 10 – Surat untuk Langit yang Hilang
Langit sore tampak pucat. Seperti kertas surat yang terlalu lama disimpan, mulai menguning di sudut-sudutnya. Di bukit kecil yang menghadap kota, aku berdiri sendirian, membawa selembar kertas dan korek api tua yang dulu kubeli tanpa alasan di toko kelontong dekat rumah.
Ini tempat kami dulu bermain. Aku, Nayla, dan Revan.
Sebelum semua menjadi rumit. Sebelum semua tumbuh dan tumbang.
Hari ini aku datang sendiri, bukan karena ingin mengenang, tapi karena aku butuh mengakhiri. Bukan dendam, bukan juga cinta yang minta dibalas hanya sebuah perasaan yang terlalu lama menunggu pulang.
Kertas di tanganku adalah surat terakhir. Bukan untuk dikirim. Bukan untuk dibaca siapa pun. Tapi untuk dilepaskan. Untuk mengucapkan selamat tinggal kepada diri yang lama.
Pada Beta yang berharap.
Pada Beta yang memendam.
Pada Beta yang pernah mencintai Nayla dalam diam, dalam tawa, dalam luka.
Tanganku sedikit gemetar saat membukanya.
> Nayla,
Aku tak tahu apakah kamu membaca langit yang sama denganku sore ini. Tapi jika iya, maka anggaplah langit adalah saksi dari surat yang tak pernah sampai ini.
Aku mencintaimu. Dalam bentuk paling diam. Dalam wujud paling tak masuk akal. Dan aku tahu, tak semua rasa harus mendapat tempat pulang. Beberapa hanya harus diterima sebagai tamu yang datang sesekali untuk mengingatkan kita pernah hidup sepenuh itu.
Kalau kamu bahagia, itu cukup. Bahkan jika bahagiaku harus kubakar sendiri.
Selamat tinggal, Nayla. Dan terima kasih, karena pernah jadi langitku, meski tak pernah kujemput pelangimu.
Kukibaskan korek api. Api kecil menyala, menari sejenak sebelum menjilat pinggiran surat. Aku menatapnya terbakar perlahan kata demi kata, menjadi abu.
Angin membawa serpihan kecil ke udara.
Langit tak menjawab. Tapi aku tahu, ia mendengar. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, aku tak lagi marah. Tak lagi kecewa. Tak lagi menggenggam apa yang sudah jelas ingin pergi.
Aku hanya berdiri di sana, sendirian, tapi tidak sepi.
Karena di titik itu, aku tahu satu hal:
Beberapa cinta memang diciptakan bukan untuk dimiliki. Tapi untuk mengajarkan kita cara melepaskan.
“Bahkan jika tak ada yang datang untuk melihatmu tumbuh, tumbuhlah juga.”
Api sudah lama padam. Yang tertinggal hanya abu, dan kenangan yang tak bisa dibakar.
Aku duduk di rerumputan bukit itu, mendongak ke langit senja. Tak ada bintang, tapi langit seolah bicara dalam diam. Bukannya menghibur, bukan juga menghakimi ia hanya ada. Seperti Nayla. Seperti Revan. Seperti luka-luka yang tak lagi menyakitkan, tapi juga tak sepenuhnya sembuh.
Di sinilah akhir cerita ini kutulis, tanpa tinta, tanpa peluk, tanpa maaf yang diucap. Hanya aku, angin, dan bisikan kenangan yang perlahan meredup.
Kepalaku dipenuhi bayangan-bayangan kecil suara tawa Nayla saat kami berlarian di padang rumput saat kecil, ekspresi malu pertamanya saat Revan mencoba menggoda, dan aku… berdiri di antara mereka, mencoba kuat, meski tahu tempatku bukan di sisi siapa pun.
Lucu, bagaimana hidup membawa kita ke tempat-tempat aneh.
Kadang kita memulai cerita dengan harapan besar, lalu mengakhirinya dengan… melepaskan.
Tanpa penutup yang indah.
Tanpa lagu pengiring.
Aku menarik napas dalam. Bukan untuk menahan tangis, tapi untuk memastikan aku benar-benar masih di sini selamat.
Terluka, iya.
Tapi masih utuh.
Selembar daun jatuh di pangkuanku. Kupungut, kubalik, lalu kujadikan penanda halaman terakhir dalam buku catatan kecil yang selalu kubawa sejak kelas sepuluh. Di sana, aku menulis kalimat terakhir:
> "Aku tidak lagi menunggumu di langit. Kini aku berjalan di bumi, dengan bayanganmu di belakangku. Bukan untuk dikejar. Tapi untuk diingat bahwa aku pernah mencintai setulus itu."
Aku menutup buku itu.
Bangkit.
Langkah kakiku pelan menuruni bukit, seperti seseorang yang baru saja selesai mengebumikan perasaan. Tidak dalam duka. Tapi dalam ketenangan yang akhirnya datang setelah badai panjang.
Mungkin aku tak akan lagi memikirkan Nayla setiap malam.
Mungkin aku akan mulai menatap seseorang yang lain, tanpa membandingkan.
Mungkin, suatu hari nanti… aku akan mengerti bahwa bukan Nayla yang hilang. Tapi Beta yang lama, yang perlu pergi agar yang baru bisa tumbuh.
Dan jika suatu hari nanti aku bertemu dengan cinta lagi, aku akan menyambutnya.
Bukan dengan luka.
Tapi dengan dada yang telah belajar melepaskan.
Dan hati yang akhirnya paham:
cinta tak selalu tinggal, tapi selalu mengubah.
Langit di atas masih sama. Tapi Beta yang menatapnya, telah berbeda.
Epilog – Hujan yang Tak Lagi Kembali
Ada cinta yang datang seperti musim: mekar, membuncah, lalu gugur perlahan. Tapi ada pula cinta yang datang hanya sekali dan menetap, bukan di pelukan, melainkan dalam ingatan.
Beta tak pernah benar-benar melupakan Nayla.
Bukan karena belum bisa. Tapi karena ia memilih untuk tidak melawan kenangan itu. Sebab di sanalah ia belajar tentang kehilangan, tentang diam yang paling bising, dan tentang bagaimana hati bisa retak tanpa suara.
Dulu, Beta berharap Nayla kembali. Kini, ia hanya berharap bisa terus berjalan. Tak perlu ada yang menunggu di ujung jalan. Yang penting, langkahnya tak lagi terpaku pada bayangan yang tak ingin kembali.
Malam tak lagi menakutkan.
Surat telah habis ditulis, dan langit pun tahu: Beta pernah mencintai, dengan seluruh luka yang kini jadi pelajaran. Dan bila suatu hari nanti hujan turun, tak ada lagi doa yang ia bisikkan di bawahnya.
Karena untuk pertama kalinya, Beta tak lagi menanti yang pergi. Ia hanya menatap ke depan dan melangkah. Dengan hati yang pernah patah, tapi kini mengakar.
Dengan jiwa yang pernah tersesat, tapi akhirnya pulang ke dirinya sendiri.