Masukan nama pengguna
Kaca jendela itu berembun oleh nafasnya yang pendek-pendek.
Ia menggambar lingkaran kecil dengan ujung jarinya, kemudian menghapusnya sendiri sebelum sempat selesai.
Kebiasaannya sejak kecil, mewakili kalimat-kalimat yang terlalu rumit untuk diucap, dan terlalu mudah dilupakan oleh orang dewasa.
Dari luar, terdengar suara ibu bicara di telepon.
Nadanya rendah. Kata-katanya cepat.
Ia tak marah, tapi juga tidak hangat. Mungkin sedang berbicara dengan orang kantor.
Atau tetangga yang baru kehilangan anak.
Atau guru yang merasa Rehan perlu “pendekatan emosional”.
Rehan tak peduli.
Yang membuatnya terpaku malam itu bukan karena suara ibunya, tapi karena suara lain yang tidak datang dari telinga, melainkan dari sesuatu yang lebih dalam.
Sesuatu seperti gema dari sumur lama.
Sesuatu seperti napas terakhir yang ditahan.
Sesuatu seperti…dosa manusia yang diam-diam sedang merayakan dirinya sendiri.
Ia memutar kepala, menatap langit-langit kamarnya yang menguning karena waktu.
Ia mencoba mendengar suara malam.
Bukan suara motor.
Bukan anjing tetangga yang menggonggong.
Bukan serangga yang menyanyi.
Tapi suara-suara yang tak pernah didengar oleh orang lain: suara ketakutan seorang ibu yang menyembunyikan rasa bersalah, suara guru yang mengajar bukan karena cinta, tapi karena gaji, suara anak-anak yang tertawa untuk mengusir sunyi mereka sendiri.
Dan semuanya sama.
Mereka bicara bukan untuk menyentuh, tapi untuk menutupi.
Di tempat lain, seorang anak ditampar karena tak bisa membaca.
Di masjid sebelah, doa dipanjatkan dengan lantang, tapi tangan yang menengadah esok paginya tetap mencuri.
Di televisi, seorang pejabat berkata bahwa anak muda adalah harapan bangsa tepat setelah ia menandatangani pemotongan anggaran untuk pendidikan inklusif.
Di ruang guru, ada seorang ibu yang menangis, karena anaknya seperti Rehan tapi lebih berani bicara, dan karena itu ia dihukum diam.
Dan di antara semua kebisingan yang diciptakan manusia, Rehan merasa: semua itu hanya kamuflase. Kebisingan adalah kostum bagi dosa-dosa yang tak ingin terlihat.
Ketika seseorang banyak bicara, belum tentu karena ia tahu banyak. Kadang, ia hanya ingin mengubur kebenaran dengan bunyi.
Ia membaringkan tubuhnya di kasur tipis yang sudah mulai turun busanya.
Matanya terbuka.
Langit-langit menatapnya kembali.
Dan di balik itu semua, ia mulai melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya:
warna.
Bukan dari lampu.
Bukan dari lukisan.
Tapi dari suara-suara itu.
Mereka mulai berubah bentuk, mengalir, melingkar, mewarnai udara dengan semburat aneh yang tak bisa dijelaskan.
Suara ibu dari ruang tengah memantul sebagai biru pekat, dingin dan mengambang.
Suara tertahan dari tangga atas datang sebagai cokelat tua, berdebu dan penuh karat.
Tawa dari luar jendela tawa anak-anak bermain petasan malam datang sebagai merah menyala, terlalu tajam, menusuk telinga walau tidak terdengar.
Rehan tidak panik.
Ia tidak takut.
Ia hanya tahu satu hal pasti malam itu: “Dunia tidak sedang kehilangan suara. Dunia sedang kehilangan kesadaran akan dosa yang mereka ucapkan dalam kata-kata.”
Dan sejak malam itu, Rehan tidak lagi mendengar seperti anak biasa. Ia mulai melihat warna dari niat, melihat bentuk dari dosa-dosa sosial yang diucapkan dengan senyum, dan melihat bagaimana manusia yang katanya makhluk paling mulia bisa berkata jujur dengan suara penuh kebohongan.
Pagi pun datang tanpa salam.
Hanya cahaya pucat dari jendela.
Ibu mengetuk pintu lagi.
Satu… dua… tiga…
“Rehan, bangun.”
Tapi kali ini, Rehan tidak menjawab. Karena ia tahu: dunia tidak sedang meminta kabar.
Dunia hanya ingin semuanya terlihat baik-baik saja.
Dan Rehan...tidak ingin menjadi bagian dari suara yang tidak ingin mendengar.
“Terkadang yang paling berdosa bukan mereka yang memaki, tapi mereka yang terus bicara dan menganggap diri mereka tidak pernah bersalah.”
Rehan bangun bukan karena alarm.
Ia tak pernah mengandalkan benda yang bunyinya dipinjam dari mesin.
Ia bangun karena suara bukan suara yang biasa.
Tapi suara yang berjalan di balik kulitnya, bergetar halus seperti ketukan rahasia yang tidak semua orang bisa dengar.
Suara itu tidak datang dari luar.
Ia datang dari kenangan.
Dari semalam.
Dari pelajaran bahwa dunia ini bukan tempat untuk suara jujur.
Dan dari saat itu pula, Rehan tahu: suara bisa menyakiti, bahkan sebelum ia diucapkan.
Pagi itu, Rehan melihat suara.
Secara harfiah.
Ketika ibunya berkata, “Sarapan udah disiapin,”
kata-kata itu melintas di udara sebagai biru pucat dingin, mengambang, dan cepat hilang.
Tidak berisi kasih. Tidak pula kemarahan.
Hanya rutinitas.
Hanya kalimat yang keluar karena harus, bukan karena ingin.
Ia berjalan ke meja makan.
Rotinya masih kosong.
Gelombang suara dari TV pagi berita, iklan, talkshow meluncur sebagai warna-warna yang menabrak: kuning menyilaukan dari pembawa berita, merah mencolok dari iklan sembako, ungu menyayat dari seorang narasumber yang bicara tentang “kesehatan mental anak”.
Tapi tak satu pun dari warna itu terasa hidup. Semuanya hanya casing. Cangkang dari kata-kata yang tak punya daging kejujuran.
Saat ia melangkah ke sekolah, Rehan melihat kota seperti lukisan rusak.
Seseorang telah menumpahkan cat pada dunia, tapi bukan sembarang cat cat yang lahir dari suara-suara manusia yang tidak pernah disaring oleh nurani.
Tukang parkir yang memaki pengendara keluar sebagai merah darah kering, tajam, kasar, dan seperti memukul udara.
Penjual sayur yang pura-pura tertawa agar dagangannya laku keluar sebagai hijau berlumpur, licin dan bergelombang.
Anak-anak yang bercanda sambil menyindir teman sendiri mengeluarkan warna oranye bergaris hitam, seperti luka lama yang dijadikan lelucon.
Rehan tidak menolak suara-suara itu.
Ia tidak menutup telinga.
Ia membiarkan semuanya lewat, merekamnya dalam memorinya seperti museum dosa manusia yang terus diperbarui.
Tapi ada satu suara yang membuat langkahnya goyah. Seorang ibu muda sedang memarahi anak kecil yang menjatuhkan belanjaan.
“Astaga! Goblok banget sih kamu!”
Suara itu keluar bukan sebagai bentakan biasa. Tapi sebagai warna hitam keunguan, seperti tinta tumpah di kertas putih. Warnanya menetes, menyebar, dan menyerap udara.
Rehan merasa dadanya sesak. Bukan karena bising, tapi karena ia tahu anak itu akan mengingat suara itu lebih lama daripada pelukan ibunya sendiri.
Dunia ini tidak kekurangan suara.
Dunia ini kekurangan suara yang tidak melukai.
Di kelas, suara guru terdengar lebih jelas. Tapi bukan dalam makna. Melainkan dalam warna.
Pak Radit membuka pelajaran dengan: “Hari ini kita belajar tanggung jawab.”
Tapi suara itu muncul sebagai perak berkarat.
Terlalu mengkilap di luar, tapi mengelupas jika disentuh.
Karena Rehan tahu, guru itu sendiri belum pernah benar-benar minta maaf ketika ia salah tulis soal di papan. Atau ketika ia menuduh Rehan tidur, padahal ia sedang menatap kosong karena lelah.
"Bagaimana mungkin dunia menanamkan moral dari suara yang tidak pernah tumbuh dari akar kejujuran?"
Fara duduk di bangku seberang.
Ia melihat Rehan sejenak, lalu cepat-cepat menunduk.
Suara langkahnya… tak berwarna.
Karena ia tidak bicara.
Tapi diamnya memancarkan warna kuning redup seperti matahari yang malu-malu muncul dari kabut.
Dan Rehan tahu: Fara satu-satunya yang masih ingin percaya, tapi takut terseret gelombang suara mayoritas yang lebih kejam dari pukulan.
Dimas, seperti biasa, mendominasi kelas.
“Eh, lu tau gak? Si Rehan ini katanya bisa lihat warna dari suara. Kayak sinestesia gitu. Tapi ya kayak... kesurupan juga, sih.”
Anak-anak tertawa. Gurunya ikut tersenyum kecil, lalu berpura-pura mengetuk papan untuk menenangkan.
Tapi Rehan tidak tersenyum. Karena suara Dimas keluar sebagai hijau neon yang berkedip cepat seperti lampu rusak yang memaksa dilihat walau menyakitkan. Dan tawa teman-teman menjadi cokelat kusam yang berjatuhan seperti abu.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari kebenaran yang dijadikan bahan lelucon oleh mereka yang tak ingin bercermin.
Saat istirahat, Rehan duduk di halaman belakang sekolah.
Tempat itu sepi.
Hanya ada suara pohon bergesek, dan burung-burung kecil yang mengamati dari dahan.
Tapi kali ini, suara dedaunan pun keluar sebagai warna.
Hijau. Tapi lembut. Menari pelan.
Seperti ingin berkata: “Kami mendengarmu.”
Dan Rehan terdiam lama.
Ia menutup matanya, menggenggam lutut, dan mulai menangis bukan karena sedih, tapi karena ia akhirnya tahu satu hal: “Aku bukan sakit. Aku hanya satu-satunya yang masih bisa merasa bersalah saat orang-orang bicara tanpa memikirkan maknanya.”
Sepulang sekolah, Rehan melewati masjid di ujung gang.
Ada seorang pria tua sedang mengaji dengan pengeras suara. Tajwidnya sempurna. Nadanya agung. Tapi suara itu keluar sebagai abu-abu basah. Karena Rehan tahu: suara itu akan segera diakhiri dengan umpatan pada anak kecil yang bermain di pelataran.
Dan benar.
Tak lama setelah ayat suci itu berhenti, si pria tua itu memaki: “Main di sini mulu! Kayak gak punya rumah aja!”
Rehan menatapnya.
Dan mengerti.
Ayat suci pun kehilangan cahaya saat dibaca oleh suara yang tak tulus.
Malam itu, Rehan tidak ingin makan.
Ibunya duduk di sofa, wajah lelah, mata sibuk menatap layar.
"Kenapa kamu diem terus sih, Han? Kamu gak sakit kan? Jangan aneh-aneh, ya."
Suara itu keluar sebagai biru kelam, bercampur garis hitam.
Dan Rehan tahu: itu bukan kekhawatiran. Itu peringatan agar tidak jadi beban.
Ia kembali ke kamarnya.
Menutup pintu.
Menarik selimut.
Dan menunggu semua suara berhenti.
Tapi malam itu suara-suara tidak berhenti. Mereka justru masuk lebih banyak.
Lebih keras.
Lebih jujur karena tak ada yang menyadari mereka sedang diawasi.
Suara ayah yang mengutuk anaknya karena nilai.
Suara anak yang menangis di kamar, tapi disuruh tidur karena sudah larut.
Suara ibu yang ingin cerai tapi takut jadi bahan pembicaraan.
Dan semua suara itu...berwarna.
Semua menyakitkan.
Dan semua adalah luka yang bersuara.
Rehan bukan takut mendengar.
Ia takut menjadi seperti mereka bicara panjang lebar hanya untuk menutupi kenyataan bahwa mereka tak pernah berani mendengar suara hatinya sendiri.
Pagi datang seperti biasa: tanpa semangat, tanpa kejutan.
Warna langit sama. Jalanan sama. Wajah-wajah orang pun seragam.
Yang berubah hanyalah napas Rehan yang terasa semakin pendek, seolah paru-parunya enggan menghirup udara dari dunia yang semakin palsu.
Sekolah menyambutnya dengan gerbang besi dan spanduk lusuh: “Mencetak Generasi Cerdas dan Berakhlak.”
Rehan menatap tulisan itu lama.
Huruf-hurufnya besar, tapi kosong.
Karena ia tahu yang dicetak di tempat itu bukan generasi yang berpikir, melainkan generasi yang patuh tanpa bertanya.
Bel masuk berdentang seperti lonceng pabrik.
Anak-anak berlari, bukan karena semangat belajar, melainkan karena takut kehilangan tempat duduk. Karena tempat duduk menentukan posisi dalam peta kekuasaan kecil bernama “kelas”.
Rehan berjalan pelan, menuju bangku pojok jendela seperti biasa.
Di sepanjang perjalanan menuju kursinya, ia mendengar suara-suara yang tidak perlu telinga untuk ditangkap.
“Hei, itu anak aneh dateng lagi.”
“Katanya bisa lihat suara. Halah.”
“Pasti sakit jiwa tuh. Harusnya ke rumah sakit, bukan ke sekolah.”
Warna suara-suara itu menusuk.
Hijau terang bertepi hitam.
Seperti kaca pecah yang disinari lampu neon.
Tajam, menyilaukan, dan… diteriakkan sambil tertawa.
Pak Radit masuk. Langkahnya cepat. Bahunya tegap.
Ia dikenal tegas.
Tapi bukan karena disiplin, melainkan karena suaranya cukup keras untuk membuat anak-anak patuh tanpa berpikir.
Hari itu, pelajaran dimulai dengan kalimat: “Anak-anak, sekarang kita belajar tentang ‘nilai’.”
Nilai.
Kata yang sering dipuja, tapi jarang dibedah maknanya.
“Nilai adalah cerminan dari tanggung jawab kalian sebagai pelajar. Yang nilainya rendah berarti belum serius. Yang tinggi, berarti sudah mulai jadi contoh.”
Kalimat itu keluar dari mulut Pak Radit sebagai perak mengkilat, tapi di tengahnya muncul garis-garis abu, menandakan bahwa ia hanya mengulang naskah, bukan menyampaikan keyakinan.
Rehan menatap papan tulis.
Angka-angka dituliskan.
Soal latihan dilemparkan.
Tidak ada pertanyaan tentang apakah mereka paham.
Tidak ada ruang untuk bertanya:
“Kenapa ini penting? Untuk siapa kami belajar semua ini?”
Karena di sekolah seperti ini, murid tidak diajak berdialog mereka hanya diminta menghafal.
Di tengah pelajaran, Rehan memutuskan untuk bertanya.
Bukan untuk menantang.
Bukan untuk membuat gaduh.
Tapi karena hatinya sudah penuh.
Dan jika ia tidak bicara sekarang, ia akan meledak dalam diam.
“Pak,” katanya pelan.
“Kalau nilai mencerminkan tanggung jawab, bagaimana dengan anak yang selalu hadir, selalu belajar, tapi tetap tidak paham? Apakah ia tidak bertanggung jawab? Atau… sistem ini yang tidak bertanggung jawab pada keunikan anak?”
Seluruh kelas diam.
Tidak karena kagum.
Tapi karena takut.
Pak Radit menoleh.
Tersenyum. Tapi senyumnya seperti garis kapur pucat, mudah terhapus.
“Rehan, saya tahu kamu punya cara pandang berbeda. Tapi di sini, kita ikuti aturan. Kalau semua anak berpikir seperti kamu, kita tidak akan maju.”
Rehan menunduk.
Karena ia tahu, kalimat itu bukan untuk menjawab. Tapi untuk mengubur keberanian dengan nada tenang.
Dan suara itu keluar sebagai oranye terbakar, warna dari luka yang tidak berdarah tapi meninggalkan bekas lama.
Jam istirahat, Rehan dipanggil ke ruang BK.
Bu Mirna menyambutnya dengan senyum kaku.
Rambutnya diikat rapi.
Mejanya bersih.
Buku-bukunya tersusun, seperti hidupnya.
“Rehan, duduk dulu. Ibu cuma mau ngobrol.”
Tapi Rehan tahu, itu bukan ajakan bicara. Itu adalah pembukaan dari sesi diagnosa.
“Banyak guru yang bilang kamu sering melamun. Kamu juga mulai menjawab dengan pertanyaan. Kamu gak pernah main sama teman-teman. Ibu cuma ingin tahu… ada apa?”
Rehan menatap mata Bu Mirna.
Di balik pupilnya, ia melihat warna biru plastik dingin, mengilap, dan tidak bisa pecah.
“Bu,” katanya pelan, “apa salah kalau saya melihat dunia tidak sama seperti orang lain?”
“Tidak salah, Rehan,” jawab Bu Mirna, “asal kamu tetap bisa menyesuaikan diri.”
Rehan menggigit bibirnya.
Karena ia tahu, itu bukan jawaban.
Itu hanya cara halus untuk berkata:
“Berbeda boleh, asal tidak menyusahkan.”
Hari itu Rehan pulang dengan catatan dari guru.
“Perlu pengawasan emosional. Sering bicara filosofis. Tidak cocok dengan lingkungan sekolah umum.”
Ibunya membacanya tanpa komentar.
Ia hanya berkata, “Nanti kita cari tempat yang lebih baik. Mungkin sekolah lain. Atau… panti pembinaan.”
Rehan tidak menangis.
Ia sudah kehabisan air mata.
Karena lebih menyakitkan dari dihukum, adalah ketika yang ingin kita pahami justru memilih menjauh karena tidak mengerti.
Malamnya, Rehan berdiri di depan cermin.
Ia melihat dirinya sendiri: wajah anak dua belas tahun, tapi matanya memuat beban dari orang-orang dewasa yang tak pernah bertanggung jawab atas kata-kata mereka.
Ia berkata dalam hati: “Dunia ini tidak mau diajar. Dunia hanya ingin murid. Murid yang patuh. Murid yang lulus. Murid yang diam.”
Dan malam itu, ia mulai menulis sesuatu di kepalanya: “Jika sekolah tak bisa diajar, maka suara yang jujur akan selalu dianggap ancaman.”
Keesokan harinya, Rehan datang ke sekolah dengan diam.
Ia tidak menyapa.
Tidak bertanya.
Tidak menoleh.
Tapi pikirannya menulis.
Ia menulis tentang guru yang mengajar tanpa belajar.
Tentang sistem yang menilai anak berdasarkan angka, bukan perjuangan.
Tentang ruang kelas yang mengurung pikiran, bukan membukanya.
Dan setiap langkahnya di lorong sekolah terasa berat karena lorong itu dipenuhi suara-suara yang berwarna luka.
“Jika dunia hanya mendengar suara yang nyaman, maka kebenaran akan selamanya dibisukan oleh yang paling lantang.”
Pintu rumah terbuka pelan.
Langit sore menggantung seperti pakaian basah yang enggan mengering.
Rehan melangkah masuk, melewati karpet yang tak lagi menyambut, melewati dinding yang tak pernah memeluk.
Ia tidak disambut siapa-siapa.
Hanya suara televisi yang menyala sendiri, berisi sinetron tentang keluarga yang bahagia dengan skrip yang dipoles penghiburan.
Ibunya di dapur. Matanya menatap sayuran. Tapi pikirannya tidak di sana. Tangannya memotong wortel seperti menghukum kesalahan yang tidak bisa disebutkan.
“Rehan, bajumu taruh di keranjang. Cuci tangan. Sebentar lagi makan.”
Suaranya lurus. Tanpa simpangan.
Tanpa tanya. Tanpa penekanan.
Seperti pesan otomatis yang dikirim setiap sore.
Rehan tidak menjawab.
Karena ia tahu, kalimat itu tidak butuh tanggapan. Ia hanya harus dijalankan.
Setelah makan, mereka duduk di ruang tamu. TV tetap menyala, tapi tak satu pun dari mereka benar-benar menonton. Mereka hanya menatap layar agar tidak perlu menatap satu sama lain.
Ibunya bicara soal sekolah.
Soal catatan dari guru.
Soal kemungkinan pindah.
Tapi yang Rehan dengar bukan isi kalimatnya. Melainkan warna suaranya: abu kehijauan. Warna dari seseorang yang sedang berpura-pura kuat, tapi sedang runtuh di dalamnya.
Rehan tahu.
Ibunya bukan tidak peduli.
Tapi ia terlalu sibuk membungkam dirinya sendiri demi terlihat baik di mata orang lain.
“Bu,” kata Rehan pelan.
“Kalau aku berbeda, itu salah ya?”
Ibunya menoleh, lalu tersenyum.
Senyumnya tipis. Retak. Seperti kaca yang dipaksa terlihat utuh dari jauh.
“Kamu gak salah. Cuma dunia ini gak siap sama yang beda. Makanya kamu harus pintar-pintar jaga diri.”
Jawaban itu tidak menenangkan.
Karena artinya: yang salah tetap dianggap benar, asal tidak dibicarakan.
Malam hari, Rehan masuk ke kamar.
Ia duduk di pojok kasur.
Jendela terbuka, membiarkan udara malam masuk tanpa suara.
Ia mendengar suara tetangga bertengkar.
Suami menuduh istri boros.
Istri menuduh suami tak bertanggung jawab.
Anak mereka menangis.
Semua suara itu mengalir ke kamarnya seperti sungai yang membawa sampah.
Warna-warnanya gelap, berat, tak bisa ditahan: cokelat hitam, merah tumpul, kuning beracun.
Dan Rehan tahu: rumah-rumah di sekitar pun tak lagi bisa disebut rumah.
Keesokan harinya, ibunya mengajaknya berbicara serius.
Di meja makan, tanpa televisi, tanpa gangguan.
“Rehan, Ibu sayang kamu. Tapi orang-orang mulai bicara. Kata mereka kamu aneh.
Kata guru-guru kamu susah diajak kerja sama. Ibu gak mau kamu nanti di-bully, disisihkan. Mungkin lebih baik kamu istirahat dari sekolah. Kita pikirkan opsi lain. Panti khusus, misalnya. Atau pondok. Yang bisa membentuk kamu jadi lebih ‘normal’.”
Kata “normal” itu menusuk lebih dalam dari pisau.
Rehan menatap ibunya.
Dan ia melihat warna putih pucat di sekeliling suara itu.
Warna dari cinta yang dicampur ketakutan.
Cinta yang menyamar menjadi batas.
“Aku bukan ingin dimengerti,” katanya pelan.
“Aku hanya ingin tidak disingkirkan hanya karena aku tidak sama.”
Ibunya menggenggam tangannya.
Tapi genggaman itu dingin.
Karena hati manusia, jika sudah terlalu lama menyesuaikan diri, sering lupa caranya mencintai tanpa syarat.
Rehan kembali ke kamarnya.
Ia menatap langit-langit, menghitung retakan pada plesteran, sambil membayangkan setiap retak itu adalah kalimat yang tak pernah sempat ia ucapkan.
“Kenapa rumah yang seharusnya jadi tempat paling aman, justru jadi tempat di mana aku harus lebih hati-hati dalam bicara?”
Paginya, Rehan tidak ingin bangun.
Ia berpura-pura tidur.
Ibunya memanggil.
Tiga kali.
“Rehan, ayo. Udah pagi.”
Tapi Rehan tetap diam.
Bukan karena marah. Tapi karena diam lebih aman daripada bicara yang akan disalahpahami.
Ibunya membuka pintu. Menatap anaknya yang bergelung di balik selimut. Ia menghela napas, kemudian menutup pintu pelan.
Rehan tahu: Ibunya mulai menyerah.
Dan kadang, cinta yang menyerah lebih menyakitkan dari benci.
Hari-hari berikutnya, rumah menjadi lebih senyap.
Ibunya bicara seperlunya.
Rehan menjawab sesedikit mungkin.
Tidak ada lagi cerita.
Tidak ada tawa.
Tidak ada pelukan.
Yang tersisa hanya meja makan dengan dua kursi kosong, dan televisi yang menyala sepanjang hari untuk menutupi keheningan.
“Rumah bukan tempat tinggal,” tulis Rehan dalam pikirannya.
“Rumah adalah tempat di mana kamu bisa berbicara tanpa takut dianggap beban.”
Suatu malam, ia berjalan ke dapur.
Ibunya duduk di sana, memandangi handphone-nya.
Wajahnya sayu. Matanya merah.
Tapi ketika melihat Rehan, ia tersenyum lagi.
Senyum itu keluar sebagai abu muda, hampir tak terlihat.
Seperti asap dari korek yang gagal menyala.
“Besok kita ke tempat itu ya, Han. Panti pembinaan. Katanya bagus. Banyak anak-anak yang seumuran kamu. Bisa belajar, bisa ibadah, bisa sembuh.”
Rehan hanya mengangguk.
Karena ia tahu: keputusan sudah dibuat..Ia hanya perlu mengikuti alur, seperti daun di sungai yang tak bisa memilih arus.
Dan malam itu, sebelum tidur, Rehan menatap langit lewat jendela.
Bintang-bintang tampak redup. Atau mungkin ia saja yang sudah terlalu lelah untuk melihat cahaya.
“Kalau rumah tidak lagi bisa membuatku bicara, ke mana lagi aku harus pulang?”
Pagi itu, langit tampak lebih bersih dari biasanya bukan karena dunia menjadi lebih baik, melainkan karena awan-awan memilih menyembunyikan hujan yang belum waktunya turun.
Mobil berwarna putih gading berhenti di depan pagar besi berkarat.
Di atas gerbangnya tergantung papan tua bertuliskan: “Panti Pemurnian Anak Cahaya Mencetak Generasi Taat & Suci.”
Rehan menatap tulisan itu dalam diam.
Kata “taat” dan “suci” menyala di matanya seperti lampu putih yang terlalu silau untuk dilihat langsung.
“Taat kepada siapa? Suci dari apa?” pikirnya pelan.
Ibunya menepuk pundaknya lembut.
“Semoga kamu bisa jadi lebih baik di sini, Nak.
Banyak anak-anak hebat di dalam.
Kamu gak sendirian.”
Tapi Rehan tahu:
ia bukan dikirim untuk disembuhkan, melainkan untuk dibungkam dengan cara yang terlihat suci.
Di dalam, lorong-lorongnya bersih.
Dindingnya putih pucat.
Setiap langkah bergema, seolah suara pun takut terlalu keras di tempat ini.
Seorang pria tua dengan janggut rapi menyambut mereka.
Namanya Pak Arman kepala panti sekaligus pengawas spiritual.
“Selamat datang di tempat yang akan membentuk ulang nurani anak-anak pilihan,” katanya, dengan suara yang lembut tapi padat seperti kabut yang menggenggam.
Rehan menjabat tangannya.
Tangan itu dingin, namun kuat. Seperti tangan yang terbiasa memeluk sambil menahan.
Hari-hari pertama di panti terasa seperti mimpi yang terlalu teratur.
Semua anak bangun pukul empat pagi.
Mandi, berdoa, mengaji, menyapu, menghafal ayat.
Kemudian belajar, makan, tidur.
Ulangi.
Tidak ada waktu untuk diam.
Tidak ada ruang untuk bertanya.
Tidak ada tempat untuk suara yang menyimpang dari rencana harian.
“Di sini, diam adalah ibadah. Pertanyaan adalah gangguan. Dan kesunyian adalah bentuk ketaatan,”
kata Pak Arman suatu pagi, sambil menatap Rehan langsung.
Tapi Rehan tahu, suara di tempat ini tidak hilang.
Ia hanya ditindih.
Setiap kali anak-anak tertawa terlalu keras, akan ada teguran: “Adab dulu sebelum bahagia.”
Setiap kali seseorang bertanya “kenapa?” akan dijawab dengan: “Karena ini sudah terbukti benar. Kita hanya tinggal mengikuti.”
Rehan mencatat semua itu dalam pikirannya.
Dan ia mulai “melihat” suara-suara di tempat ini sebagai sesuatu yang berbeda.
Jika dulu di luar sana suara penuh warna luka, maka di sini, suara berubah jadi putih beku.
Tidak hangat. Tidak hidup.
Hanya… steril.
Saat sesi tadarus bersama, suara anak-anak melantunkan ayat suci dengan sempurna.
Nadanya indah.
Irama makhrajnya tepat.
Tapi Rehan tidak merasakan cahaya dari suara itu.
Suara mereka keluar sebagai biru es, berpendar, tapi tidak menghangatkan.
Karena ayat itu tidak mereka resapi hanya dihafal untuk lulus.
“Bahkan kata-kata Tuhan pun kehilangan daya jika diucapkan tanpa cinta,” gumam Rehan dalam hati.
Satu malam, Rehan dipanggil ke ruangan Pak Arman.
Hanya mereka berdua.
Lampu remang. Udara kering.
“Rehan, saya mendengar banyak tentangmu,” kata Pak Arman.
“Katanya kamu punya kemampuan unik.
Bisa mendengar sesuatu yang tidak semua orang dengar.”
Rehan diam.
“Kamu tahu,” lanjutnya, “di sini, kami percaya bahwa suara adalah anugerah. Tapi anugerah juga bisa jadi kutukan kalau tidak diarahkan. Makanya kami akan bantu kamu memurnikan suara hatimu.”
Rehan mengangkat wajah.
Matanya tenang, tapi mengunci.
“Kalau suara hati saya ingin bicara jujur, tapi tempat ini hanya mau dengar yang sesuai aturan, siapa yang perlu dimurnikan saya atau sistemnya?”
Pak Arman terdiam.
Dan suara di ruangan itu berubah menjadi cahaya putih rapuh, seperti kain kafan yang dijemur terlalu lama.
Keesokan harinya, Rehan dibatasi.
Ia tidak diizinkan berbicara di luar jam kelas.
Diarahkan untuk “refleksi dalam diam” sepanjang minggu.
Jika bicara, harus sesuai skrip.
Jika ditanya, jawab dengan kalimat yang telah ditentukan.
Bentuk pemurnian yang terasa seperti perlahan mengikis bagian paling manusiawi dari dirinya.
Di kamar, Rehan berbagi tempat tidur dengan Rio anak yang dikirim karena sering melawan guru.
Mereka jarang bicara.
Tapi suatu malam, Rio bertanya:
“Lu percaya gak sih, kita ini bener-bener salah? Atau dunia aja yang gak sanggup denger kita ngomong?”
Rehan tersenyum.
Itu suara pertama yang terasa hangat sejak ia datang ke panti.
Suara itu keluar sebagai jingga redup, seperti cahaya lilin yang menghangatkan ruang kecil.
Hari demi hari, Rehan mencatat lebih banyak. Bukan di kertas. Tapi di batin.
Ia mencatat suara guru ngaji yang menekan anak karena lupa ayat.
Ia mencatat suara ustadzah yang tersenyum manis di hadapan tamu, tapi membentak petugas dapur di belakang.
Ia mencatat suara anak-anak yang disuruh mengakui “kesalahan” yang bahkan mereka sendiri tidak pahami.
Dan semuanya berwarna…putih mati.
“Tempat ini bukan membersihkan dosa. Tempat ini menyamar sebagai penebus, padahal hanya ingin mencetak anak-anak yang bisa berkata ‘ya’ tanpa berpikir.”
Satu malam, Rehan diam lama.
Ia duduk di pelataran.
Langit di atasnya tidak bergerak.
Bulan pun tampak enggan ikut campur.
Ia berdoa dalam hati bukan kepada sistem, bukan kepada siapa pun di panti, tapi pada sesuatu yang lebih tinggi dari suara.
“Jika Engkau memang mendengar, dengarlah suara-suara yang ingin Engkau hapuskan. Karena mungkin, yang mereka sebut dosa…justru berasal dari ketulusan yang tak sesuai buku.”
Keesokan paginya, Rehan mengambil keputusan.
Ia akan bicara saat sesi pembinaan.
Ketika mikrofon diberikan padanya, ia berdiri.
Mata semua orang tertuju.
Pak Arman mengangguk.
Dan Rehan berkata:
“Aku tidak ingin jadi anak baik. Kalau menjadi baik artinya aku harus kehilangan kejujuran. Kalau menjadi taat berarti aku harus memendam semua yang kutahu salah, maka aku memilih dianggap buruk. Karena aku masih ingin merasa jadi manusia.”
Ruangan hening.
Mikrofon dimatikan.
Rehan disuruh kembali ke tempat duduk.
Sejak itu, Rehan dibatasi lebih ketat.
Tapi ia tidak menyesal. Karena di tempat yang disebut “pemurnian”, ia justru semakin tahu: yang perlu disucikan bukan anak-anak, tapi dunia orang dewasa yang pura-pura suci.
Hujan turun siang itu. Tapi bukan hujan yang seperti biasanya.
Tidak ada suara.
Tidak ada rintik yang menampar genteng.
Tidak ada gemericik yang menyapa tanah.
Hanya… jatuh. Diam. Basah.
Seperti air mata yang tak sengaja tumpah bukan karena sedih, tapi karena dunia sudah kelelahan untuk menjelaskan rasa.
Rehan berdiri di ambang jendela.
Ia menatap butiran air yang meluncur di kaca seperti jejak yang ingin segera hilang.
Tak ada angin. Tak ada petir.
Langit hanya menggantung, muram dan tak bernama.
“Dulu hujan berbicara padaku,” pikir Rehan.
“Sekarang, bahkan hujan memilih diam.”
Ia membuka jendela pelan. Udara luar masuk, lembap dan dingin.
Tapi tidak menyapa.
Tidak berdesir.
Tidak berbisik.
Langit tidak marah.
Langit tidak bersedih.
Langit hanya… menutup telinganya.
Karena seperti Rehan, langit pun lelah jadi saksi dari suara-suara manusia yang dipenuhi kebohongan, kebencian, dan kepura-puraan.
Sejak ia pulang dari panti, dunia terasa lain.
Ia kembali ke rumah. Tapi rumah itu… tidak benar-benar menjemputnya.
Ibunya sibuk.
Tetangga menghindar.
Sekolah belum menerima.
Dan Rehan…lebih senyap dari sebelumnya. Tapi bukan karena takut. Melainkan karena kini ia mengerti satu hal yang lebih pahit:
“Manusia tidak hanya menolak mendengar manusia, mereka juga membuat alam kehilangan keinginan untuk berbicara.”
Rehan berjalan ke taman kecil di ujung gang.
Tempat itu dulu ramai.
Anak-anak bermain.
Daun berguguran.
Angin mengacak rambut siapa pun yang berani berdiri di tengah.
Tapi hari itu, taman itu seperti foto yang dibekukan.
Tidak ada kicau burung.
Tidak ada goyangan pohon.
Tidak ada suara serangga.
Bahkan rumput pun tampak ragu untuk tumbuh.
Ia duduk di bangku kayu yang mulai lapuk. Mengamati bunga liar yang tumbuh di sela beton.
Biasanya bunga itu akan menghadap matahari. Tapi kini, kelopaknya menguncup, seolah ia malu menampakkan dirinya di hadapan manusia.
Rehan menunduk.
Menyentuh tanah dengan ujung jari. Dan ia merasa dingin itu bukan hanya dingin. Itu adalah kehilangan.
“Alam bukan tidak peduli. Alam hanya tidak ingin bicara kepada makhluk yang terlalu angkuh untuk mendengarkan.”
Malam hari, Rehan keluar ke halaman.
Langit hitam polos. Tidak ada bintang. Seperti lembar kertas yang tidak ingin ditulisi.
Ia berdiri lama.
Menunggu angin.
Menunggu hembusan yang biasa memeluknya.
Tapi tidak datang.
Bahkan suara jangkrik pun absen. Kucing-kucing yang biasa mengais tong sampah kini bersembunyi. Dan pohon-pohon tampak seperti patung: berdiri, tapi tak hidup.
“Jika Tuhan menciptakan alam untuk jadi pengingat, maka diamnya langit hari ini adalah hukuman yang tak terlihat tapi terasa.”
Ia mulai percaya, bahwa bukan hanya manusia yang berdosa, tapi dunia yang membiarkan dosa bersuara tanpa teguran.
Dan karena suara manusia terlalu keras, terlalu sombong, terlalu penuh paksaan dan moral palsu…alam pun akhirnya memilih diam sebagai bentuk perlawanan.
Di jalan pulang, ia melihat seorang ibu menampar anaknya karena menumpahkan es krim.
Tidak ada yang menegur.
Tidak ada yang menghalangi.
Semua mengalihkan pandangan.
Rehan berjalan lewat.
Dan suara tamparan itu walaupun pelan bergetar di dadanya sebagai suara merah gelap, keras, berlendir, menyisakan dengung yang menyesakkan.
Namun lebih menyakitkan dari tamparan itu, adalah diam orang-orang di sekitarnya.
Diam itu bukan netral.
Diam itu adalah dosa baru: dosa yang mengamini kekerasan tanpa perlu berkata apa-apa.
Rehan ingin berteriak.
Ingin bicara. Tapi lidahnya kelu.
Bukan karena takut, tapi karena ia tahu: “Suara yang lahir dari hati, takkan pernah dipahami oleh telinga yang dibentuk dari kebiasaan membungkam.”
Malamnya, hujan turun lagi.Tapi kali ini disertai angin. Namun tetap tak ada suara.
Seperti film bisu.
Seperti dunia yang mati perlahan, bukan karena bencana, tapi karena kehilangan dialog antara nurani dan semesta.
Rehan keluar.
Berjalan ke tengah hujan tanpa payung. Air membasahi rambut, wajah, tubuhnya. Tapi ia tetap berdiri, seolah menantikan sesuatu.
“Jika Engkau masih di atas sana,” bisiknya dalam hati,“ dan masih menyimpan suara yang suci, maka kembalikanlah kemampuan kami untuk mendengar bukan mendengar suara bising, tapi suara yang datang dari mereka yang sering dibungkam: anak-anak, sunyi, luka, dan langit itu sendiri.”
Ia menengadah.
Air hujan membasuh wajahnya seperti pengakuan.
Dan untuk pertama kalinya, Rehan tidak melihat warna dari suara.
Karena tak ada suara yang lahir malam itu.
Alam sedang berkabung.
Bukan karena kematian, tapi karena terlalu banyak suara yang hidup tanpa tanggung jawab.
“Manusia menuntut Tuhan untuk menjawab doa mereka, padahal mereka tak pernah benar-benar mendengar suara tangis dari pohon yang ditebang, suara jeritan dari tanah yang dilukai, atau suara hati anak-anak yang dikirim ke panti hanya karena mereka terlalu jujur.”
Dan malam itu, Rehan diam.
Tapi bukan karena takut. Melainkan karena ia sedang memberi ruang bagi semesta yang ingin bersuara, tapi terlalu lama dibungkam oleh dosa manusia.
Seminggu setelah Rehan kembali dari panti, berita tentang dirinya menyebar seperti bau busuk yang ditiup angin siang.
Tidak ada yang melihat langsung, tidak ada yang bertanya padanya, tapi semua orang…tertawa.
“Eh, itu tuh. Anak yang katanya bisa lihat warna dari suara.”
“Serius? Dulu sempat dikirim ke panti, kan?”
“Anaknya pendiam sih, tapi katanya kayak kesurupan kalau bicara.”
“Lucu ya. Aneh tapi diem. Mana cocok hidup di kota kayak gini.”
Tawa mereka tidak meledak.
Tidak heboh. Tapi pelan, tajam, dan berbisik dengan gigih seperti semut menggerogoti luka.
Di warung dekat rumah, Rehan duduk sendirian.
Ia hanya ingin membeli roti dan susu. Tapi mata penjaga kasir menatapnya seperti melihat sesuatu yang harus dijauhi.
“Eh, ini anak yang suka diem itu, ya?” bisik seorang ibu muda ke temannya.
“Yang matanya aneh. Katanya bisa lihat aura suara orang.”
“Tapi dia gak bahaya, kan?”
Rehan menatap lantai.
Ia tidak marah.
Ia tidak menangis.
Ia hanya merasa: “Tawa mereka bukan untuk menghibur. Tapi untuk mengasingkan.”
Di sekolah, keadaannya tak lebih baik.
Rehan kembali masuk.
Tapi kelas menyambutnya bukan dengan sapaan, melainkan dengan keheningan yang keras kepala.
Anak-anak memindahkan tas agar ia tidak duduk di dekat mereka. Guru menyebut namanya dengan nada datar. Dan semua tawa yang dulu terdengar seperti mainan yang pecah kini terdengar seperti bel alarm: terus berbunyi, tapi tak pernah dimatikan.
Suatu siang, Dimas seperti biasa membuka pertunjukan di kelas.
"Guys, denger-denger si Rehan ini bisa lihat suara ya? Coba kita bisikin doa, kali aja bisa dilihat warnanya, terus kita bisa tahu dosa siapa paling tebal!"
Tawa meledak.
Anak-anak menepuk meja.
Beberapa bahkan bersiul.
Rehan diam.
Tapi matanya tetap menatap Dimas.
Dan suara Dimas saat itu keluar sebagai merah kehitaman seperti arang yang disulut kembali setelah lama mati. Penuh dendam. Penuh ketakutan. Tapi dibungkus tawa.
Guru mereka tidak menegur.
Ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata: “Sudah-sudah, jangan ganggu teman. Kasihan Rehan.”
Kasihan.
Kata itu menghantam lebih keras dari hinaan. Karena ia tidak menawarkan ruang, hanya jarak.
Hari itu, Rehan pulang lebih awal.
Kepalanya berat, bukan karena pusing, tapi karena ia menyimpan terlalu banyak suara yang tak pernah punya tempat untuk dikeluarkan.
Di jalan, ia lewat sekumpulan anak kecil. Salah satunya meniru gaya Rehan berjalan pelan sambil menunduk.
“Ini aku, Rehan. Anak sunyi. Liat suara. Takut manusia. Hiii…”
Lalu mereka tertawa.
Anak kecil.
Yang belum belajar logika, tapi sudah pandai meniru pengusiran.
“Tertawalah, dunia,” pikir Rehan, “karena dengan tertawa, kalian bisa menyamarkan rasa bersalah kalian sendiri.”
Di rumah, ibunya memasak.
Aroma tumisan bawang putih memenuhi ruang tamu. Tapi kehangatan itu palsu. Karena saat Rehan duduk, ibunya hanya berkata: “Kamu kenapa cepat pulang? Ada masalah lagi?”
Rehan menggeleng.
Ia ingin bicara.
Tapi lidahnya mengering, karena ia tahu: yang bertanya tidak benar-benar ingin mendengar.
Beberapa hari kemudian, sekolah menggelar acara perayaan Hari Bahasa.
Anak-anak diminta tampil:
membaca puisi, berdebat, drama.
Rehan tidak mendaftar. Tapi namanya tetap dimasukkan ke dalam daftar oleh guru BK.
“Sebagai bentuk terapi. Biar kamu belajar mengekspresikan diri lagi,” katanya.
Tapi ekspresi tidak bisa dipaksa. Dan terapi yang tidak diminta kadang lebih menyakitkan dari penyakitnya.
Hari tampil tiba.
Anak-anak lain bersorak.
Dimas tampil lebih dulu.
Membacakan puisi yang katanya ditulis sendiri: “Suara adalah warna Tapi kadang suara adalah luka. Seperti teman kami. Yang katanya bisa lihat warna dari mulut kita”
Tawa.
Guruh.
Penuh ejekan yang dibungkus rima.
Rehan menatap dari bangku penonton.
Tangannya dingin.
Kepalanya berat.
Tapi ia tidak menangis. Karena air matanya sudah digantikan oleh satu kalimat:
“Tawa kalian adalah senjata yang tak terlihat, tapi meninggalkan bekas seperti luka bakar.”
Ketika giliran Rehan tiba, ia naik panggung.
Tanpa teks.
Tanpa skrip.
Tanpa suara.
Ia hanya berdiri. Menatap penonton. Dan semua anak, semua guru, semua orang dewasa untuk sesaat diam. Karena mereka bingung:
Apakah ini bagian dari penampilan?
Apakah Rehan lupa naskah?
Apakah ia sakit?
Tapi Rehan tahu: diamnya adalah bentuk perlawanan. Dan itu lebih keras dari kata-kata.
Setelah dua menit berdiri, ia menunduk pelan. Kemudian turun.
Tak ada tepuk tangan.
Tak ada komentar.
Hanya satu kalimat dari pembawa acara: “Penampilan tadi… unik.”
Dan semua tertawa lagi.
Tapi Rehan tersenyum.
Karena ia sadar: “Mereka menertawakanku bukan karena aku lemah, tapi karena aku tak mau jadi bagian dari permainan mereka.”
Malam itu, ia menatap langit seperti biasa.
Langit masih diam.
Angin masih menolak menyapa.
Tapi Rehan merasa damai.
Karena ia tahu, dunia bisa menertawakannya sesering yang mereka mau. Tapi suara hatinya yang tak pernah bisa ditertawakan masih hidup.
Dan selama suara itu masih ada, ia tidak akan hilang.
Hari itu Rehan tak ke sekolah.
Tidak karena sakit.
Tidak pula karena mogok. Tapi karena ia sudah tidak punya alasan lagi untuk bicara dengan dunia yang menolak mendengar bahkan saat ia berdiri diam di tengah panggung.
Langit di luar jendela pagi itu tak lagi berubah.
Tidak biru. Tidak putih.
Hanya… datar. Seolah ia sedang menunggu sesuatu. Atau mungkin… berkabung.
Ibunya mengetuk pintu kamar tiga kali.
Seperti biasa.
Satu… dua… tiga…
“Rehan, kamu gak sekolah?”
Tak ada jawaban.
Ia membuka pintu pelan.
Rehan duduk di pojok kamar, bersandar di dinding.
Matanya terbuka, tapi tak bicara.
Napasnya tenang, tapi tidak dalam.
"Rehan?" Ibunya mendekat, menyentuh bahunya.
Rehan menoleh perlahan, lalu tersenyum. Tapi itu bukan senyum lega.
Bukan senyum bahagia. Itu adalah senyum terakhir dari seseorang yang sudah selesai berbicara dengan dunia.
Hari-hari setelahnya, Rehan benar-benar berhenti bicara. Bukan karena kehilangan suara. Tapi karena semua kata sudah habis makna.
Orang-orang menyangka ia trauma.
Beberapa guru menyebutnya gangguan psikis.
Psikolog sekolah berkata ini fase "isolasi diri."
Tapi tak satu pun dari mereka pernah bertanya: "Apa yang telah kami lakukan hingga anak ini memilih diam?"
Di rumah, ibunya mulai merasa kehilangan, bukan karena Rehan menjauh, tapi karena ia tidak lagi bisa meraba pikirannya.
“Aku ingin bicara padamu,” katanya suatu malam.
“Tapi kamu diam. Kenapa, Nak?”
Rehan menatap ibunya.
Matanya masih menyala, tapi seperti lilin terakhir sebelum padam.
Ia ingin berkata: “Karena dulu, saat aku bicara, kalian tidak pernah benar-benar mendengarku.”
Tapi ia hanya tersenyum, seperti yang ia lakukan belakangan ini: senyum sebagai perisai terakhir sebelum menghilang.
Di sekolah, Rehan kembali duduk di bangku pojok. Kepala tertunduk. Tangan menulis sesuatu di buku, walau tidak ada tugas.
Dimas mencoba menggodanya lagi.
"Eh, Rehan. Kok diem terus sih? Udah gak bisa lihat suara, ya?"
Tak ada balasan.
Tak ada reaksi.
Dan anehnya, untuk pertama kalinya…Dimas merasa takut. Karena tidak ada tawa yang menyambut ucapannya.
Anak-anak mulai menjauh.
Guru mulai memperhatikan.
“Rehan terlihat semakin tenang, ya?” kata guru BK. Tapi di balik ketenangan itu, dunia tidak tahu Rehan bukan tenang, ia sedang pelan-pelan berpamitan.
Malam itu, Rehan keluar sendirian. Ia berjalan ke bukit kecil di ujung kota, tempat ia dulu bermain saat kecil.
Tempat di mana angin pernah memberinya bisikan, dan suara hujan pernah terdengar seperti lagu pengantar tidur.
Kini tempat itu… kosong. Tapi bukan sepi yang menyakitkan, melainkan sepi yang suci.
Ia berdiri di tengah rerumputan.
Menengadah.
Langit masih sama. Masih tidak menjawab. Tapi Rehan tidak kecewa. Karena kini, ia tidak mencari jawaban.Ia hanya ingin dunia tahu, bahwa ia pernah bicara, pernah mencoba, pernah menunggu.
Ia menutup mata. “Aku bukan hilang. Aku hanya tidak ingin memaksa diriku tetap bicara pada dunia yang sudah memutuskan untuk tuli.”
Keesokan paginya, Rehan tak bangun. Ia tak kembali.
Tak ke sekolah.
Tak menulis lagi.
Ibunya mencari.
Tetangga bertanya.
Guru mencoba menelepon.
Tapi tak ada jejak.
Hanya kamar yang rapi.
Jendela yang terbuka. Dan buku catatan berisi ratusan halaman tanpa satu pun suara tertulis.
Di halaman terakhir buku itu, ada satu kalimat: “Jika kalian bertanya ke mana aku pergi, tanyakan dulu: ke mana suara kalian saat aku masih ada?”
Dan sejak hari itu, angin mulai bersuara lagi.Hujan kembali mengetuk genteng. Langit berani menggelap.
Karena kini, yang hilang bukan Rehan. Tapi satu-satunya suara yang bisa membuat dunia merasa bersalah tanpa satu pun kata.