Masukan nama pengguna
MESKI bukan kyai atau sarjana, Abah Musyafie yang baru setahun tinggal di Desa Waringinsungsang adalah jagonya bila bicara soal agama, pengetahuan umum, dan politik. Namun lelaki berumur enampuluhan yang semasa mudanya tak bercita-cita menjadi kyai, dosen, atau politikus kini memilih hidup sebagai tukang sapu surau tua di tepian desa itu.
Abah Musyafie prihatin atas keadaan surau tua yang ditelantarkan karena jemaah lebih memilih masjid baru di tengah Desa Waringinsungsang sebagai tempat ibadahnya. Dalam hati, Abah Musyafie merasa bahwa surau itu senasib dirinya. Selalu dikunjungi semasih megah. Ditinggalkan sesudah tua tak terurus.
Sekian lama Abah Musyafie merenungi nasibnya yang tak ubah surau tua itu. Namun kian merenungi surau itu, Abah Musyafie kian mencintainya. Kian mencintai surau itu, Abah Musyafie kian menyatu dengannya. Bangunan yang harus dijaga kesuciannya dari najis, kata jorok, dan perilaku iblis yang amat dibenci Allah.
Karena cintanya pada surau tua itu, Abah Musyafie tidak segan-segan menggunakan uang dari penjualan tanah warisan untuk membangunnya. Mengecat dindingnya. Memasang keramik pada lantainya. Mengganti gentingnya. Melengkapinya dengan sepasang loudspeaker. Sejak terbangunnya surau itu, Abah Musyafie tak hanya sebagai tukang sapu. Tapi tukang pengisi padasan dan muadzin.
***
DENGAN suara serak-serak, Abah Musyafie mengumandangkan adzan awal di ambang subuh. Orang-orang Desa Waringinsungsang tersentak manakala mendengar adzan yang digemakan melalui loudspeaker dari arah surau tua itu. Lantaran sudah limapuluh tahun, surau itu telah sepi dari jemaah.
Lewat kabar dari mulut ke mulut, orang-orang Waringinsungsang mengetahui bahwa surau tua di tepian desa itu telah hidup kembali berkat Abah Musyafie. Abah Musyafie berbangga hati. Saat Ramadhan tiba, surau itu kembali diramaikan oleh jamaah. Mengingat masjid baru di tengah desa tidak mampu menampung jumlah jamaah yang selalu membludak di malam Ramadhan pertama.
Pada malam Ramadhan minggu pertama, jamaah yang memenuhi surau tua itu mencapai tiga saf. Pada minggu ke dua, jamaah tinggal satu saf. Pada minggu ke tiga, jamaah tinggal dua orang. Abah Musyafie, dan seorang lelaki berjenggot putih hingga ke dada yang memperkenalkan dirinya bernama Mbah Haji Bustamie. Salah seorang sesepuh yang dihormati di Desa Waringinsungsang.
“Maaf Mbah Haji, Bustamie!” Abah Musyafie memecah kesunyian di dalam surau tua sesudah usai pelaksanaan sholat tarwih. “Apakah setiap tempat suci di desa ini hanya diramaikan para jamaah pada malam Ramadhan minggu pertama?”
“Tak hanya tempat suci di desa ini saja, Abah Musyafie. Tapi hampir seluruh tempat suci di desa-desa lain mulai sepi dikunjungi para jamaah sejak malam Ramadhan minggu ke tiga. Namun nanti pada minggu terakhir, tempat-tempat suci itu akan kembali diramaikan para jamaah. Mereka ingin mendapatkan anugerah Allah dari malam seribu bulan.”
“Oh…. Begitu ya Mbah Haji.”
“Lha iya. Masak kamu tak tahu?” Mbah Haji Bustamie tertawa lepas hingga gigi-giginya yang meranggas hitam tampak kelihatan di mata Abah Musyafie. “Tapi, sudahlah! Apa yang telah kamu lakukan untuk menghidupkan surau ini pasti dicatat oleh Allah, Musyafie. Kata orang Jawa, ‘Gusti ora sare.’”
“Mbah Haji….” Abah Musyafie menghela napas. “Aku tidak berharap Allah akan mencatat atau tidak atas apa yang aku lakukan. Satu yang aku harapkan, semoga apa yang aku lakukan ini dapat menghapus dosa-dosaku di masa silam. Hidup sebagai pengembara yang mabuk ilmu agama, pengetahuan umum, dan politik. Hingga aku lupa kewajibanku sebagai kepala rumah tangga yang harus menghidupi istri dan anak-anak dengan upah kerja. Hingga aku bercerai dengan istriku. Hingga aku berpisah dengan anak-anakku. Hingga aku seperti surau tua ini.”
Mbah Haji Bustamie yang tak melontarkan komentar atas penuturan Abah Musyafie lenyap serupa segumpal asap tersapu angin. Jantung Abah Musyafie berdegup kencang. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Dengan langkah bergetar, Abah Musyafie meninggalkan surau itu sesudah menutup pintunya.
***
BENAR kata Mbah Haji Bustamie. Pada malam Ramadhan minggu terakhir, surau tua itu kembali dikunjungi banyak jamaah. Namun anehnya, Abah Musyafie tak melihat Mbah Haji Bustamie datang ke surau itu. Sesudah ditanyakan pada beberapa jamaah, Abah Musyafie mengetahui bahwa Mbah Haji Bustamie adalah pendiri surau itu yang telah meninggal limapuluh tahun silam. Karena sering menampakkan diri di surau itu membuat para jamaah yang ketakutan lebih memilih masjid baru di tengah desa sebagai tempat ibadah.
Mendengar penuturan dari para jamaah, Abah Musyafie semakin tahu rahasia besar di balik surau tua itu. Namun sebagai seorang yang baru setahun tinggal di Desa Waringinsungsang, Abah Musyafie tidak akan berencana mengundang dukun pengusir roh. Lantaran Abah Musyafie berpikir, “Berkat kecintaannya dengan surau tua itu membuat arwah Mbah Haji Bustamie sering hadir. Bukan untuk menyapu dan mengisi padasan. Namun untuk selalu membersihkan dosa dan memenuhi jiwanya dengan kalimat-kalimat taubat. Kalimat-kalimat arif bagi setiap orang mati yang belum merasa suci, sekalipun sudah mengenakan jubah haji.”
Sekian lama Abah Musyafie hanyut dalam pemikirannya sendiri, hingga tak sadar bila para jamaah yang menyelesaikan sholat tarwih malam itu telah kembali ke rumah masing-masing. Abah Musyafie baru sadar, manakala menangkap suara semirip suara Mbah Haji Bustamie. “Musyafie, aku titipkan surau tua ini kepadamu. Jadikan tempatmu untuk belajar mencintai Tuhan-mu. Hanya dengan mencintai-Nya, kamu akan hidup tenang di usia senjamu.”
Selepas suara itu, Abah Musyafie menyaksikan seluruh ruangan surau tua dengan cahaya neon duapuluh watt itu seterang langit dengan seribu bulan. Serupa Bima yang baru saja mendapatkan petuah dari guru Ruci, Abah Musyafie merasa dilahirkan kembali dari rahim kegelapan. Sebagaimana matahari baru yang menyembul dari balik bentang bukit timur. Di hari fitri yang sebentar lagi akan tiba.
Yogyakarta-Cilacap, 2023
TENTANG PENULIS
SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastrannya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Bakti, Gong, Artista, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Mata Jendela, Trapsila, Karas, Swaratama, dll.
Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); dan Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021).
Novel dan fiksi sejarahnya: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021).
Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger Pecinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); dan Babad Dipanegara (Araska, 2020).
Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017).
Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021).
Selain menulis naskah buku dan karya sastra, sering menjadi juri lomba membaca dan mencipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam penciptaan karya sastra untuk siswa dan guru bahasa Indonesia. Sekarang menekuni sebagai youtuber dengan channel: Pawarta Jawa TV, Sanggar Sastra Sapusada, lan JCTV Top News. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta.