Cerpen
Disukai
21
Dilihat
5,151
Sandro
Misteri

PAGI hari, Sandro tampak menyimpan beban di kepala. Sarapan di meja makan tak disentuhnya. Sebelum Mak Sawitri memberi uang saku, Sandro sudah meninggalkan rumah, Berangkat ke sekolah satu-satunya di kampung Pamarican. Di tepi desa dekat sungai yang mengalir kecoklatan.

Ambang sore, Mak Sawitri gelisah. Sandro belum pulang dari sekolah. Dengan tubuh berkeringat sepulang dari sawah, Mak Sawitri mencari Sandro ke sekolah. Di tengah jalan, perempuan empatpuluhan itu bertemu dengan Rosana. Kawan sekelas anaknya. “Sandro sudah meninggalkan kelas saat istirahat ke dua, Bik.”

Di depan poskamling, Mak Sawitri yang akan kembali ke rumah berpapasan dengan Mad Thoyib. Bujang tua dengan sekeranjang rumput di kepala. “Dari mana, Tri? Kamu tampak gelisah.”

“Mencari Sandro. Ia belum pulang dari sekolah.”

Mad Thoyib menurunkan sekeranjang rumput dari kepala. Meletakkannya di lantai poskamling. Menyeka keringat di wajah dengan telapak tangannya yang kasar. “Sabar Tri! Baru saja aku melihat Sandro.”

“Di mana, Kang?”

“Di pinggir kolam belakang rumahmu.”

Bergegas Mak Sawitri menuju kolam. Berdiri di depan pintu dapur yang terbuka. Menatap Sandro yang meluruskan pandangannya ke pusar kolam. “Apa yang kamu lakukan di situ?”

Sandro mengangkat wajah. Berpaling ke arah Mak Sawitri. Tanpa sepatah kata, Sandro beranjak dari tepi kolam. Melintasi perempuan itu. Memasuki rumah melalui pintu dapur. Di ruang belajar, Sandro meletakkan tas sekolah di meja. Duduk di kursi kayu. Mengetuk-ketukkan ujung jari-jarinya ke meja. Tanpa memperhatikan Mak Sawitri yang telah berdiri di belakangnya, Sandro terus mengetuk-ketuk meja.

“Sejak pagi, kamu tampak lesu. Apa yang kamu pikirkan, San?”

“Mimpiku semalam telah menggangu pikiranku. Hingga aku tidak bisa belajar dengan baik.” Sandro menghirup napas panjang dan menghembuskannya. “Aku tadi membolos, Mak.”

“Aku tahu.” Mak Sawitri duduk di kursi lain. “Mimpi apa?”

“Melihat bulan.”

Mak Sawitri bangkit dari kursi. Wajahnya tampak cerah. “Berbahagialah, karena kamu akan mendapat anugerah Tuhan.”

“Bukan! Petaka!”

“Maksudmu?”

“Bulan yang kemudian terjatuh di kolam belakang rumah itu berubah menjadi sepenggal kepala perempuan. Berlumuran darah.”

Wajah Mak Sawitri pucat. Keringat dingin membasahi tubuh. Napasnya mengalir tidak teratur. Jantungnya berdegup kencang.

“Apakah Mak baik-baik saja?”

“Kepalaku pening. Aku harus istirahat. Ambilkan aku minyak kayu putih di kotak obat.”

Sandro beranjak dari kursi. Meninggalkan ruang belajar. Menuju kotak obat yang melekat di dinding ruang keluarga. Sesudah mendapatkan, Sandro memasuki kamar tidur emaknya. Di mana perempuan berwajah pasi itu berbaring lemas di ranjang sprei kusut merah tua. “Ini minyak kayu putihnya, Mak.”

“Terima kasih.” Mak Sawitri membuka tutup botol minyak kayu putih itu. Mengusap-usapkannya ke leher dan pelipis. “Makan. Lalu istirahat, Sandro! Nanti malam, aku ingin bercerita denganmu.”

”Ya, Mak.” Sandro meninggalkan ruang tidur emaknya. Menutup pintu tanpa deritan.

***


Selepas senja di ruang makan. Mak Sawitri dan Sandro menyantap nasi bungkus yang dibeli dari warung Bik Ijah. Sesudah menenggak air putih dari gelas, Mak Sawitri menatap anaknya yang kurang berselera makan. “Habiskan makanmu! Emak akan bercerita yang berhubungan dengan mimpimu.”

“Sungguh?” Sandro menghabiskan nasi bungkusnya yang masih separuh. “Segeralah bercerita, Mak! Aku siap menyimaknya.”

“Dua belas tahun silam saat aku mengandungmu, petaka terjadi di rumah ini. Orang-orang Pamarican menuduh babakmu sebagai penjagal tubuh Sulastri. Kembang lengger yang mati dengan potongan-potongan tubuh berserakan di tepi sungai. Kepalanya mengapung di kolam belakang rumah.”

“Karena tuduhan itu, Bapak meninggalkan rumah sebagai pecundang.” Menyembunyikan diri di pulau seberang?”

“Bukan!” Dengan ujung kebaya, Mak Sawitri mengusap air mata yang mengalir deras dari sudut kedua mata ke pipinya. “Sandro, aku telah berbohong besar padamu.”

“Maksud, Emak?”

“Bapakmu tidak pergi ke pulau seberang. Tetapi, ke pulau keabadian. Orang-orang Pamarican membantainya di halaman.”

Wajah Sandro senampak lempengan besi terbakar. Seluruh tubuhnya bergetar, karena amarah tertahan. “Apakah terbukti, Bapak yang membunuh kembang lengger itu?”

“Tidak!”

“Nyawa dibalas nyawa. Siapa dalang pembunuh Bapak?”

“Maksud, Sandro?”

“Aku ingin membunuhnya.”

“Membunuhnya, berarti membunuhmu. Dalang pembunuhan bapakmu adalah kebohonganku. Kebohonganku adalah keselamatanmu.”

“Aku tidak tahu apa yang Emak maksudkan.”

“Kamu akan segera mengetahui jawabannya.” Mak Sawitri memasukkan kertas bekas pembungkus nasi ke dalam kresek. Memasukkan ke dalam keranjang sampah di sudut ruang makan. “Sudah waktunya kamu belajar, Nak.”

Sandro diam. Menatap Mak Sawitri yang melangkah gontai ke kamar tidur. Dengan kecewa, Sandro menuju ruang belajar. Menggambar rembulan yang melayang jatuh ke kolam. Rembulan yang serupa sepenggal kepala perempuan.

***

Selepas subuh, Sandro yang terbangun karena jeritan Mak Sawitri bergegas menuju sumber suara. Di tepi kolam di belakang rumahnya, di mana anak itu mendapatkan tubuh emaknya yang tergeletak tanpa kepala. Terpenggal dengan celurit yang belum terlepas dari telapak tangannya.

Belum sempat Sandro berteriak, langit benderang sontak tampak kelam. Terjatuh pingsan di tepi kolam. Di samping tubuh Mak Sawitri yang masih mengucurkan darah segar dari lehernya.   

***


Pagi hari di kamar tidur. Sandro yang lunglai di ranjang tersadar dari pingsan. Bukan Mak Sawitri yang duduk di bibir ranjang. Membangunkannya untuk berangkat sekolah. Melainkan, Mad Thoyib. “Emak di mana, Wak?”

“Emakmu sudah tinggal di alam keabadian. Kemarin siang, jenazahnya dimakamkan dengan layak.”

“Mengapa Emak bunuh diri?”

“Aku tidak tahu. Satu yang aku tahu, emakmu hanya meninggalkan pesan tertulis. Aku mendapatkannya di ruang belajarmu.” Mad Thoyib memberikan lipatan kertas dari saku bajunya kepada Sandro. “Bacalah, anakku!”

Sandro menerima pesan tertulis emaknya dari Mad Thoyib. Membacanya dalam hati: “Sudah waktunya rahasia hidup yang telah kusimpan bertahun-tahun harus tersingkap. Agar tidak ada persoalan yang akan mengganggu belajarmu, Nak.

Semasih berusia belasan tahun, aku jalani hidup sebagai pelacur. Karena kesadaran ingin hidup sebagai perempuan baik-baik, aku menerima pinangan bapakmu untuk menjadikanku istri.

Aku sangat mencintai bapakmu. Karenanya, aku sangat marah besar ketika bapakmu berselingkuh dengan Sulastri. Bukan kepada bapakmu, kemarahan aku alamatkan. Melainkan kepada kembang lengger yang potongan-potongan tubuhnya aku buang ke tepi sungai. Kepalanya aku lemparkan ke kolam belakang rumah.

Menyaksikan kematian Sulastri yang sangat mengenaskan, orang-orang Pamarican berang bukan kepalang. Mereka mendakwa, bahwa bapakmu yang membunuhnya. Karena dua hari sebelum kematian Sulastri, Bapakmu berselisih dengannya. Aku tidak tahu apa yang dipersoalkan.

 Sesudah pemakaman Sulastri, orang-orang Pamarican mendatangi rumah kita. Menyeret bapakmu ke halaman rumah. Membantainya beramai-ramai. Membuang mayatnya di tempat pembuangan sampah di tepi desa.

Namun, kamu tidak perlu bersedih atas kematiannya. Karena, ia sesungguhnya bukan bapak kandungmu. Jika kamu ingin tahu siapa bapak kandungmu, tidak lain adalah Mad Thoyib. Lelaki yang tidak pernah pupus mencintaiku. Aku terpaksa menerima cintanya, sewaktu bajingan itu tidak pernah pulang dari rumah Sulastri.”

Sandro bangkit dari ranjang. Membakar pesan tertulis emaknya dengan korek api. Melemparkannya ke lantai. “Apakah cerita sudah berakhir, Ayah?”

“Mengapa kamu memanggilku, Ayah?”

Sandro tidak menjawab, selain meletakkan kepalanya di pangkuan Mad Thoyib. Entah mengapa? Sandro mulai merasakan darahnya mengalir hangat ke seluruh tubuh. Memberi kehidupan baru. Seperti matahari yang telah dilahirkan dari rahim malam berkabut.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)