Cerpen
Disukai
38
Dilihat
2,173
GENDERUWO JEMBATAN BOYONG
Horor

Banyak orang bilang, jembatan peninggalan Belanda di atas sungai Boyong itu berhantu. Di antara mereka yang pernah melihat, hantu itu berwujud lelaki tinggi besar. Berambut gimbal sampai ke pinggang. Tubuhnya hitam legam berbulu seperti kera. Wajahnya berjambang, berkumis, dan berbulu mata lebat. Kedua matanya menyala merah. Sepasang taring atas bawah memanjang keluar dekat ujung kiri dan kanan bibirnya yang tebal. Jikalau menjulur, lidah itu akan menyerupai lidah naga.

Setiap malam, makhluk yang dikenal Genderuwo Jembatan Boyong itu sering mencari angin. Menurut kabar, ia sering duduk di pagar jembatan baja. Terkadang ia menyeberang jalan. Terkadang menghadang dengan tangan merentang hingga memenuhi badan jalan pada beberapa pengendara motor atau mobil. Akibatnya, tak sedikit orang yang tewas sesudah kendaraan mereka terjatuh ke sungai.

Selain takut, banyak orang yang tak mau ambil risiko atas keselamatan jiwa mereka terpaksa memupus niat untuk melewati jalan itu saat malam hari. Kalau ada yang berani menggunakan jalan itu, mereka datang dari luar daerah. Bila mendengar keangkeran jembatan kuna itu, dijamin mereka akan mengambil jalan alternatif.

***

Seorang pengguna jalan dari luar daerah yang melintasi jembatan kuna itu adalah Johan. Seusai jalan-jalan di Malioboro, ia yang datang dari Sragen bersama Zura pacarnya hendak ke Kaliurang. Lantaran dari Jembatan Krasak ke jalan Kaliurang baru diperlebar dan diaspal, ia melajukan mobilnya tanpa hambatan.

Menjelang mobil memasuki jalan berjembatan kuna, Zura merasa bulu kuduknya meremang. Sedikit gagap, ia yang memiliki perasaan tajam itu meminta pada Johan, “Ehm…. Sebaiknya ber…balik a…rah saja, Mas Jo?”

Johan yang sering menuruti permintaan Zura itu pelan-pelan menghentikan laju mobilnya. “Lho…. Memangnya ada apa? Jalan yang kita tempuh ini akan mempercepat kita sampai Kaliurang. Kenapa kita harus berbalik arah, Say?”

“Pokoknya kita berbalik arah!” Zura yang keras kepala itu memaksa Johan untuk memutar balik mobilnya. “Segera, Mas!”

“Aneh.” Dalam benak Johan timbul pertanyaan. “Apakah kau memiliki kenangan khusus dengan jalan ini? Siapa tahu dulu kau sering melewati jalan ini bersama mantanmu.”

“Tuduhanmu tak masuk akal, Mas. Bagaimana mungkin aku yang tinggal di Sragen pernah melintasi jalan ini. Sumpah demi Allah. Aku belum pernah melewati jalan ini.”

Sebelum sampai jembatan, Johan mendadak mengerem mobilnya. Tetapi, ia tetap menghidupkan mesinnya. “Memang benar, Dik. Sudah setahun kau tinggal di Sragen. Tetapi dulu kuliahmu di Jogja. Bukankah kau pernah bilang padaku bila mantanmu asli orang Kota Gudeg?”

“Mas Jo tak perlu mengungkit-ungkit masa laluku!” Zura yang tak menyukai tuduhan Johan meningkatkan volume suaranya. “Jangan membahas masalah itu! Aku hanya minta pada Mas Jo untuk berbalik arah.”

Tanpa mempedulikan kata-kata yang terus nerocos dari mulut Zura, Johan menjalankan mobilnya ke depan. Setiba di jembatan, ia mendadak mengeremnya kuat-kuat. Ia mengumpat habis-habisan pada lelaki berambut gondrong sebahu, bercelana komprang, bersurjan lurik, dan berudeng hitam yang berdiri membelakanginya. “Bangsat! Kamu itu manusia atau bukan? Kalau manusia, kamu pasti mikir dengan otakmu! Untung aku rem mobilku. Kalau tidak, tubuhmu sudah remuk. Menjadi bangkai tak berguna.”

Berbeda dengan Johan, Zura tak mampu mengucapkan sepatah kata. Maksud hati, ia ingin berteriak. Namun, mulutnya terkunci. Keringat dinginnya membasahi sekujur tubuh. Tak sadarkan diri sewaktu sesosok lelaki itu hendak membalikkan badannya. Terkulai lemas dengan kepala berbantal pundak kiri pacarnya.

Karena perhatian lebih tertuju pada sesosok lelaki di depan mobilnya, Johan tak menyadari bila Zura tak sadarkan diri. Tak mempedulikan pacarnya, ia terus mengumpat lelaki yang perlahan-lahan membalikkan badannya. Karena kemarahannya, ia tak takut ketika lelaki itu menatapnya dengan nanar. “Percuma kamu menatapku serupa hantu. Sekalipun kamu raja iblis, aku tak takut.”

Tak ada sepatah kata terlontar dari mulut lelaki itu. Dengan tangan kirinya, ia menjulurkan rokok klobot yang ujungnya belum tersulut api ke arah Johan. Ibu jari tangan kanannya yang digerak-gerakan memberi isyarat kalau ia ingin meminjam korek api.

“Aku tak punya korek api. Aku bukan perokok.” Johan yang merasa perjalanannya ke Kaliurang dihambat lelaki itu kian berkobar kemarahannya. “Minggir! Kalau kamu nekad menghalangiku, aku terpaksa menabrakmu.”

Lelaki itu menyeringai hingga taringnya tampak berkilau ketika tertimpa cahaya lampu mobil. Dalam hitungan detik, wajah lelaki itu berubah menyeramkan. Kumis, jenggot, dan jambang tumbuh lebat di wajahnya yang hitam legam. Kedua matanya yang terbelalak memancarkan sinar merah. Ia menggeram. Usai membuang rokoknya, ia mencakari kaca mobil dengan kuku-kukuyang panjang dan runcing.

Menyadari kalau lelaki yang mengancam keselamatan jiwanya adalah hantu, Johan memutuskan untuk menabraknya. Sewaktu kepala mobilnya mengenai sasaran, timbul kepulan asap berbau amis bersama lenyapnya sosok lelaki itu. Tanpa memperhatikan keselamatan jiwanya, ia melajukan mobilnya dengan kencang.

Dalam hati, Johan merasa lega sesudah dapat mengatasi gangguan hantu di jembatan kuna itu. Sesudah memasuki Jalan Kaliurang, ia merasakan keanehan. Laju mobilnya tersendat-sendat. Bukan karena jalan yang terus menanjak, melainkan mobil itu serasa ditumpangi oleh puluhan orang.

Sesampai pertigaan jalan, Johan semakin curiga pada keanehen yang dialaminya. Ia menyalakan lampu di dalam mobilnya. Tak ada makhluk, selain dirinya dan Zura yang dianggapnya tertidur pulas. Namun, anggapannya itu salah besar. Sewaktu dibangunkan, pacarnya yang mendadak siuman itu menyeringai. Membabi buta mencakari tubuhnya.

Menyadari kalau Zura kerasukan Genderuwo Jembatan Boyong, Johan bergegas membuka pintu mobil. Sebelum menutup pintu itu dari luar, dadanya terhantam telapak kaki pacarnya. Ia terpental hingga tepian jalan. Untung sewaktu ia terpental tak ada mobil yang lewat. Bila ada, habislah riwayat hidupnya.

Tak kuasa menghadapi amukan roh Genderuwo yang menguasai jiwa Zura, Johan berteriak-teriak, “Tolong…! Tolong…! Tolong….”

Mendengar teriakan Johan yang memecah senyap, orang-orang di sekitar tempat kejadian itu berdatangan. Sebagian mereka hendak melindungi Johan dari serangan Zura. Sebagian lainnya berupaya meredam amukan Zura. Namun, upaya mereka sia-sia. Seperti kapas dihempas angin, tubuh mereka terpental sesudah dihadiahi pukulan Zura.

“Kalian semua mundur!” Kyai Miswan yang terkenal sebagai ahli spiritual di kampung itu mendekati Zura dengan tenang. “Hei, Genderuwo jahat! Tinggalkan raga anak perempuan ini.”

Zura yang merangkak untuk mendekati Kyai Miswan itu menyeringai, kuku kukunya mencakari tanah. Seusai bergidik, ia menerkam ahli spiritual itu. Sebelum menyentuh sasaran, ia terpental ke belakang. Doa yang dilafalkan ahli spiritual itu mampu mengusir roh Genderuwo dari raga pacar Johan.

Mengetahui Zura terbebas dari roh Genderuwo, Kyai Miswan meminta salah seorang warga untuk mengambilkan segelas air putih. Sesudah dikasih doa, ia meminumkan air putih itu pada Zura. Tak seberapa lama, perempuan itu kembali pulih ingatannya. Meski, ia masih seidikit linglung.

“Terima kasih, Pak. Bapak telah menolong kami.” Johan mengambil lima lembar uang ratusan ribu dari dompet kulitnya. “Terimalah tali kasihku yang tak seberapa ini, Pak.”

“Sudahlah, Nak! Tak perlu repot-repot! Aku menolongmu dengan ikhlas.”

Kyai Miswan yang terkenal suka berderma dan menolong sesama itu menolak pemberian uang dari Johan. “Oh ya, Nak. Kalau boleh tahu, kamu berasal dari mana? Kamu mau kemana?”

“Saya dari Sragen, Pak. Rencana aku mau liburan ke Kaliurang. Tetapi sewaktu sampai jembatan yang tak jauh dari sini, aku dihadang lelaki aneh. Anehnya, Pak. Ketika aku tabrak dengan mobilku, ia musnah bersama kepulan asap berbau amis. Aku pikir ia bukan manusia. Tetapi, hantu penunggu jembatan itu.”

“Betul, Nak. Jembatan Boyong kan?”

“Aku tak tahu nama jembatan itu.”

“Itu Jembatan Boyong yang terkenal dengan Genderuwo-nya. Karena marah, ia merasuk ke dalam raga temanmu itu.”

Mendengar penuturan Kyai Miswan, Johan yang amarahnya telah melandai meremang bulu kuduknya. Dalam hati, ia memupus niatnya untuk melanjutkan perjalanannya ke Kaliurang. Ia ingin cepat-cepat pulang ke Sragen. “Karena dik Zura belum fit, saya urung ke Kaliurang, Pak. Aku mohon pamit.”

“Hati-hati di jalan! Jangan lupa menyebut nama Tuhan! Biar kamu terlindung dari gangguan di jalan.”

Johan mengangguk pelan. Dengan menggandeng Zura yang masih lemas, ia memasuki mobilnya. Tak lama kemudian, mobil itu bergerak, Menuruni jalan yang semakin lama semakin kencang lajunya. Sesampai pertigaan jalan, Johan kehilangan tak tahu arah. Semustinya mobil diarahkan ke kiri, namun ia mengarahkan kembali ke Jembatan Boyong. Duapuluh meter sebelum mencapai jembatan, lampu mobilnya mendadak mati. Rem mobilnya blong. Ia dan Zura tak sadarkan diri sesudah kepala mobilnya membentur keras pada jembatan itu. Brak…! Krosak…! Senyap.

***

Pagi hingga siang, banyak orang berkerumun di Jembatan Boyong. Mereka menyaksikan tim polisi yang mengeluarkan jenazah Johan dan Zura dari dalam mobil yang ringsek di dasar sungai. Mereka bubaran sesudah jenazah keduanya dibawa dengan ambulance menuju rumah sakit terdekat.

Selepas maghrib, orang-orang di sekitar Jembatan Boyong tak bernyali keluar rumah. Mereka yang membayangkan mayat Johan dan Zura tak bisa tidur. Wajah keduanya hancur parah. Tubuh mereka hitam kebiru-biruan. Hingga menimbulkan dugaan bahwa mereka diisap darahnya oleh Genderuwo penunggu jembatan itu sebelum menghembuskan napas terakhir.[]


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)