Flash
Disukai
25
Dilihat
12,444
3 LELAKI & PEREMPUAN YANG INGIN BUNUH DIRI
Drama

Bila mengenang masa kanakku, kedua mataku sering berkaca-kaca. Terkadang air mataku yang menyerupai lilin terbakar sumbunya meleleh di pipi. Sungguh. Masa itu tak berpihak padaku. Gadis kecil berkulit hitam, dekil, dan berbawah tirus. Gadis ingusan yang lahir dari rahim perempuan miskin. Istri pertama ayahku yang hanya seorang petani kecil. Hidup di gunung. Jauh dari keramaian kota.

Sewaktu ibuku meninggal, penderitaanku semakin sempurna. Aku yang tinggal bersama ayah dan ibu tiri dan kakak perempuan tiriku senasib budak pada zaman kolonial. Baru saja bangun pagi, aku harus bermandi keringat. Berjalan kaki sepanjang tiga kilometer untuk mengambil air dengan kelenting dari sendang. Merebus air, menanak nasi jagung, dan menyayur untuk sarapan keluargaku. 

Tak seperti kakak perempuan tiriku, Mirna. Bila pergi ke sekolah, ia selalu berbekal uang. Karena saku kosong, aku hanya menggigit jari ketika melihat teman-teman SD-ku jajan di warung kecil samping sekolah. Aku yang sering menyendiri hanya dapat melihat saat mereka minum dan makan. Membayangkan betapa nikmatnya minum dawet saat jam istirahat di siang yang gerah. Betapa sukanya ketika dapat mengunyah kacang atom sesudah dilambungkan dan memasuki lubang mulutnya.

Waktu terus bergerak ke depan. Namun aku seperti tetap berjalan di tempat. Nasib buruk sejak masa kanak hingga remaja belum juga hengkang dari hidupku. Bahkan nasibku semakin parah ketika memasuki SMA. Di saat aku mendambakan seorang pacar seperti menegakkan benang ke langit. Hampir semua kawan cowok tak mau melirik wajahku yang berada di bawah standar cantik. Aku hanya pasrah ketika Rian si bintang kelas tampan yang aku taksir memilih Mirna sebagai pacarnya.

Lantaran takut dibilang cewek tak laku, aku berpura-pura menerima tembakan Sarno. Teman sekelas yang menurutku terjelek di sekolah. Namun, kebaikannya yang tulus kepadaku, aku perlahan-lahan mecintainya. Hingga aku tak dapat menolak ketika ia mengajakku berjalan-jalan ke alun-alun, taman kota, atau pantai.

Tahun kelulusan tiba. Saat itu, aku merasa sangat bahagia. Berkat dukungan Sarno, nilai ijazahku melampaui Rian. Prestasiku itulah yang membuat kawan-kawanku tak memandangku dengan memicingkan sebelah mata. Benar kata mendiang ibuku, “Sum! Sekalipun kamu tak secantik Mirna, jangan minder! Hanya prestasi yang akan mendongkrak rasa percaya dirimu nanti.”

Kebahagiaan yang aku rasakan tak dapat dilukiskan dengan serangkaian kata-kata dalam puisi. Tetapi kebahagiaan itu sontak serasa tercerabut dari diriku ketika ayahku yang tertabrak mobil di jalan raya dekat pasar meninggal di tempat. Bagaikan langit cerah yang tiba-tiba terselimuti awan tebal, kebahagian berubah menjadi kedukaan tak terkira. Terlebih belum seminggu ayah meninggal, aku diusir oleh ibu tiriku dari rumah milik ayahku sendiri.

Hanya berbekal pakain yang melekat di tubuh, aku tinggalkan rumah dengan wajah basah air mata. Tak ada tempat yang bakal aku tuju, selain rumah Bulik Rinten di kota. Adik kandung ibuku yang telah berstatus janda ketika Paklik Harja tergoda dengan seorang penari tayub.

Tiga setengah bulan tinggal di rumah Bulik Rinten, kebutuhan sandang dan panganku tercukupi. Bahkan dari Bulik Rinten, aku dibelikan android. Hingga aku dapat berkomunikasi melalui WhatSapp dengan Sarno pacarku yang bekerja di ibukota usai lulus SMA.

Di kota tempat Bulik Rinten tinggal, kesadaranku untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri mulai timbul. Dengan bekerja di parbik tekstil, aku memperoleh gaji setiap bulannya. Separoh gaji itu, aku tabung. Seperempat aku gunakan untuk kebutuhan keseharianku. Makan, pakaian baru, alat make up, dan beaya transportasi saat pergi dan pulang kerja.

Kebahagiaan hidupku serupa cahaya lampu yang semula meredup berlahan-lahan terang-benderang. Karena pakaian dan alat make up, Bulik Rinten sering mengatakan bahwa aku tampak cantik. Tidak seperti sewaktu aku datang di kota itu dengan pakaian lusuh dan wajah yang lekat dengan keringat.

Ketika bercermin di depan kaca almari kayu, aku membenarkan pujian Bulik Rinten atas diriku. Sungguh. Aku merasa wajahnya mulai memancarkan cahaya. Karena itulah, banyak lelaki yang menjadi kawan kerjaku di pabrik meminta nomer WhatsAppku. Bukan hanya yang lajang, mereka yang sudah beristri ingin memacariku. Tetapi, aku menolaknya dengan halus. Demi Sarno. Ya, demi dia.

Waktu terus merangkak dengan pasti. Hingga suatu hari, aku dihadapkan masalah sulit. Bulik Rinten yang tak punya BPJS opnam di rumah sakit. Merasa berhutang budi, aku harus menggunakan uang tabunganku untuk beaya opnam. Karena masih jauh dari kurang, aku beranikan untuk hutang pada Bos yang sudah berusia kepala 5.

Dengan senang Bosku meminjamkan uang padaku sebanyak 85 juta. Bahkan Bosku akan memberikan uang itu tanpa mengembalikan asal aku bersedia menjadi simpanannya. Entah syetan mana yang menggodaku untuk mengkhianati cinta Sarno. Dengan tanpa pertimbangan lagi, aku bersedia menjadi istri simpanan Bosku.

Usai kebahagiaan sepulang Bulik Rinten dari Rumah Sakit, aku ditimpa musibah yang melampaui tsunami maha dahsyat. Oleh seorang dokter kandungan, aku yang berhubungan layaknya suami istri dengan Bosku dinyatakan positif tiga bulan. Karena Bosku tidak ingin rumah tangganya berantakan, aku disarankan untuk menggugurkan janin di kandunganku pada seorang dukun.

Manakala janin yang masih segenggaman tangan keluar dari rahimku bersama darah, aku merasakan dunia akan kiamat. Mengetahui jiwaku tergoncang, Bosku menemui diriku di dalam ruang kerjanya. Mendadak aku melupakan prahara yang menimpaku sewaktu Bosku akan membeayai hidupku tanpa harus bekerja di pabrik tekstil itu. ia pula akan menguliahkanku di kota.

Dua tahun sudah aku menjadi penghuni kampus. Di saat semangat-semangatnya kuliah, Sarno datang ke rumah Bulik Rinten untuk melamarku. Lantaran tidak mau mengecewakan harapan Bosku untuk menjadi sarjana, aku terpaksa menolak lamaran Sarno. Akibat penolakanku itu, Sarno mengutukku bila aku tak akan mendapatkan suami sepanjang hidupku.

Bagiku kutukan Sarno hanya seperti angin yang melintas tanpa meninggalkan jejak. Terbukti sesudah Bosku meninggal karena serangan jantung, aku menerima cinta MIftah. Kawan kuliahku si anak juragan tahu. Usai mendapat gelar sarjana, kami berencana untuk menikah.

Bertepatan hari Jumat Klowon tahun baru Jawa, aku dan Miftah resmi menjadi suami-istri di hadapan seorang naif. Di perempatan jalan dekat terminal yang terkenal angker, mobil yang membawaku dan MIftah sepulang dari KUA bertabrakan dengan truk. Seketika pandanganku gelap. Aku tak sadarkan diri.

Entah berapa hari aku tergeletak pingsan di ranjang Rumah Sakit. Aku tak tahu. Seusai siuman, aku hanya melihat Bu Lik Rinten dan keluarga Miftah yang menangis. Kepadaku mereka mengatakan kalau Miftah telah dikuburkan tiga hari lalu. Dengan air mata berlinang di pipi, aku semakin membenci Sarno. Aku pula semakin membenci pada diriku sendiri. Aku masih diberi napas oleh Tuhan.

Aku ingin bunuh diri.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)