Masukan nama pengguna
SEJAK nekad menikah dengan Frandy di KUA pada tujuh tahun lampau, Nadya tak pernah berkumpul dengan Annemie ibunya. Perempuan paroh baya berdarah blasteran Jawa-Belanda yang tak menyetujui perkawinan Frandy-Nadya itu lebih memilih meningalkan Jakarta. Singgah di rumah warisan mendiang suaminya di bilangan Anna Paulowna, Noord Holand.
Perpisahan dengan Annemie adalah kenestapaan bagi Nadya. Kenestapaan itu kian dirasakan Nadya pada setiap hari lebaran. Karena Nadya tak pernah bertatap muka dengan ibunya untuk mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri sebelum sungkem di bawah lututnya. Benar kata hati Nadya, kalau ibunya masih bersikukuh menolak Frandy sebagai menantunya.
Di hadapan Lily – anak semata wayangnya yang masih TK 0 Besar – kenestapaan Lidya merangkak menuju puncaknya. Air mata Lidya yang sederas hujan siang itu membasahi ranum pipinya, saat Lily berulang menanyakan foto berbingkai kayu berukir coklat yang melekat di dinding ruang tamu.
“Kenapa Mama menangis?” tanya Lily polos. “Apakah pertanyaanku salah, Ma? Kalau ya, Lily minta maaf. Lily janji tak akan menanyakan lagi tentang foto perempuan yang wajahnya mirip Mama itu.”
Tak ada sepatah kata keluar dari celah setangkup bibir Nadya yang menurut Frandy semerekah wamar di musim bunga. Namun hatinya yang serasa disayat-sayat ribuan silet itu meronta, saat Nadya tak sanggup memberikan jawaban pada Lily. Gadis kecilnya yang kemudian meninggalkan ruang tamu dengan wajah tertunduk lesu.
Selepas Lily, Nadya kembali merasa bersalah karena telah menentang kehendak ibunya untuk tidak menikah dengan Frandy. Seorang penguasa yang tujuh tahun silam masih hidup dalam kemelaratan. Seorang calon suami yang disangsikan Annemie tak akan sanggup memberi nafkah pada anak perempuannya. Apalagi membahagiakan dengan membelikan rumah dan mobil mewah, atau mengajak tour ke luar negeri sebulan sekali.
Di ruang tamu, Nadya masih merenungi nasibnya sebagai anak malang yang serasa dibuang oleh ibunya sendiri. Tak lama kemudian, Nadya mendengar deru mobil yang tengah diparkir di halaman. Karena berpikir mobil itu milik Frandy, Nadya bergegas menyeka airmata dan keluar dari ruang tamu untuk menyambut suaminya. Di luar dugaan Nadya. Mobil itu bukan milik Frandy, melainkan milik Bram. Kakak kandunganya yang menyempatkan mampir untuk menyampaikan kabar penting.
“Kabar tentang apa, Bang?”
“Mama mau merayakan lebaran di Indonesia.”
“Mama hanya akan merayakan lebaran dengan keluargamu kan?”
“Kau salah! Mama akan mengunjungimu sesudah menyadari kesalahannya selama ini. Mama ingin meminta maaf padamu. Terlebih pada Frandy!”
Wajah Nadya sontak senampak bentangan langit resik sesudah menderaskan hujan. “Dapatkah aku pegang kata-katamu, Bang?”
Bram tersenyum tipis sebelum mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Sambil menyodorkan android yang telah terbuka halaman pesan WhatsApp kiriman Annemie itu pada Nadya, Bram berkata, “Baca sendiri pesan WA dari Mama!”
Membaca pesan WA dari Annemie, Nadya dalam keharuan. Nadya merasa kalau Idul Fitri yang segera tiba akan menjadi berkah bagai hujan pertama di ujung kemarau. Berkah yang akan mempertemukan kembali antara Nadya dengan Annemie. Kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
***
TAKBIR menggema di langit malam lebaran. Tidak sebagaimana Frandy dan Lily yang ikut takbiran di masjid, Nadya memilih di rumah. Mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan Annemie yang akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta jam 9 pagi. Mempersiapkan ruang tidur khusus bagi ibunya dan membersihkan ruang tamu.
Sepulang Frandy dan Lily dari masjid, Nadya baru selesai menata ruang tamu. Melihat ada yang aneh pada Nadya, Frandy berseloroh. “Tak seperti malam-malam lebaran sebelumnya, sejak sore tadi kau tampak sibuk sekali? Memangnya akan ada tamu agung esok pagi?”
“Pertanyaanmu sudah mengandung jawabannya, Frand.”
“Maksudmu?”
“Besok pagi, Mama akan datang ke rumah.”
“Tak mungkin. Mamamu yang terhormat itu sudah datang di rumah kita. Ia sangat membenciku.”
“Karena itu, Mama yang telah salah menilaimu selama ini akan datang untuk meminta maaf kepadamu, Frand.”
Frandy yang belum sepenuhnya percaya perkataan Nadya itu hanya menghela napas sebelum meninggalkan ruang tamu yang berubah lengang. Suasana lengang itu mendadak pecah. Ketika Lily melontarkan pertanyaan yang tak diduga Nadya. “Siapakah Madam Annemie, Ma? Apakah ia, nenek Lily?”
“Benar, Ia yang fotonya selalu kau tanyakan itu, Sayang.”
“Jadi….”
“Ya! Foto yang melekat di dinding itu adalah foto nenekmu.”
“Kenapa Mama tak pernah mengatakan sebelumnya, kalau foto yang melekat di dinding itu foto Nenek?”
“Waktu belum memungkinkan, Sayang. Tapi kau sekarang sudah mengetahuinya kan, kalau foto itu foto nenekmu,” jawab Nadya arif. “Waktu semakin malam. Sekarang kau tidurlah! Sesudah sholat Id di masjid esok pagi, kita ke bandara. Menjembut nenekmu.”
Dengan wajah berbinar, Lily beranjak dari ruang tamu. Selepas Lily, Nadya mematikan lampu ruang tamu. Karena lelah sesudah siang hingga malam sibuk berkerja di rumah, Nadya segera terbawa ke alam tidur sesudah merebahkan tubuhnya di ranjang. Di samping Frandy yang selalu mendengkur saat tidur.
***
SEBELUM matahari muntah dari rahim malam, Nadya beserta Frandy dan Lily sudah terbangun. Dengan pakaian baru, mereka pergi ke masjid untuk takbiran dan sholat Id. Sebagaimana jamaah lainnya, mereka menyimak khotbah dari kyai. Tentang makna lembaran hidup baru. Tentang calon pemimpin baru yang diharapkan menjadi nahkoda bagi bahtera bangsa. Tentang harapan baru yang akan membawa perbaikan nasib dari hari ke hari.
Namun harapan yang diserukan kyai agar dimiliki oleh setiap umatnya itu tak tak dimiliki Nadya pada hari itu. Harapan akan kedatangan Annemie tinggallah harapan saat mendengar kabar melalui televisi sepulang dari masjid. Kabar tentang tertembaknya pesawat yang ditumpangi Annemie di tepian wilayah udara benua Eropa oleh seorang tak dikenal identitasnya.
Bersama jatuhnya foto berbingkai di ruang tamu yang tak diketahui penyebabnya, langit biru di mata Nadya tampak terselimuti sembilan lapisan awan. Orang-orang yang akan bersilaturahmi pada tetangga kiri-kanan membelokkan arah langkah ke rumah Nadya. Mereka mengerumun di antara Frandy dan Lily untuk menyadarkan Nadya dari pingsan.
TENTANG PENULIS
SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastrannya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Gong, Artista, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, dll.
Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); dan Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021).
Novel dan fiksi sejarahnya: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021).
Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger Pecinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); dan Babad Dipanegara (Araska, 2020).
Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017).
Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021).
Selain menulis naskah buku dan karya sastra, sering menjadi juri lomba membaca dan mencipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam penciptaan karya sastra untuk siswa dan guru bahasa Indonesia. Sekarang menekuni sebagai youtuber dengan channel: Pawarta Jawa TV, Sanggar Sastra Sapusada, lan JCTV Top News. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta.