Masukan nama pengguna
Lama tidak berjumpa, sekali kabar terdengar, berita duka membawa kesedihan. Umur manusia memang tidak ada yang tahu, tidak ada juga yang bisa memilih bagaimana dia akan meninggal.
“Namun kenapa kau bisa sampai menyerah dengan dunia?”
Malam hari saat berkumpul dengan keluarga kecilku didepan televisi, aku begitu dikejutkan dengan kabar pemberitaan orang meninggal. Bukan karena sebuah penyakit ataupun tindak kriminal pembunuhan, menggunakan tali jemuran lelaki itu memutuskan mengakhiri hidup.
Istriku sampai menepuk bahuku untuk menyadarkan, aku benar-benar dibuat mematung.
“Kamu kenal mas?”
Mungkin karena khawatir, istriku menginginkan sebuah kejelasan. Dari respon yang kutunjukkan saat melihat televisi, tentu dia curiga. Ekpresi sangat mustahil untuk bisa kusembunyikan.
“Dia teman dekatku dik.”
Ketika kuberi jawaban, perhatiannya sekarang mengarah ketelevisi. Istriku mungkin sama terkejutnya, beruntung buah hati kami yang sedang berada di pangkuan masih berusia balita. Dia belum mengetahui apapun tentang pahitnya realita kehidupan, saat ikut menyaksikan dia justru tertawa kecil. Begitu menggemaskannya anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada kami.
“Kenal dimana mas?”
“Dia teman satu kampusku dulu, tiga tahun kami tinggal dalam satu rumah kontrakan yang sama.” Aku menjelaskan.
“Apa dia hadir di acara resepsi pernikahan kita?”
Setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Di Sragen sekarang aku menetap dan berumah tangga, Sudah dua tahun kami menikah, sudah dua tahun juga kami tidak berjuma. Terhalang jarak dan waktu menjadi kendala.
“Saat pernikahan kita, Harno meminta maaf karena pekerjaan tidak mengijinkannya untuk libur. Hanya Rendi saat itu yang bisa hadir.”
Istriku memaklumi, dari berita dia mengetahui almarhum berasal dari luar daerah. Jarak yang terlampau jauh mengakibatkan teman-temanku banyak yang tidak hadir, aku sadar diri.
“Apa kamu masih ingat dulu aku pernah terjebak kedalam permainan judi slot online?”
“Iya mas, kamu pernah cerita.”
“Dialah yang menyadarkanku, jika bukan karenanya, aku dan Rendi pasti belum berhasil menata hidup.”
Kuakui saat itu aku sedang berada di posisi terendah, jangankan untuk menatap masa depan, aku bahkan sempat terancam Drop out dari kampus. Empat belas semester merupakan batas tenggang akhir kami sebagai seorang mahasiswa, selebih itu sudah tidak ada lagi kesempatan.
“Karena dia jugalah aku berhasil mendapatkan uang untuk membayar biaya perkuliahan dan wisuda.” Sambil menunjuk ke arah televisi, aku mengingat kembali jasa temanku semasa hidup.
Istriku sendiri belum pernah kuceritakan, yang dia tahu hanya sebatas permukaan dari masa kelamku. Baginya yang terpenting aku sudah berubah dan tidak lagi terjebak pada masa lalu. Namun walaupun begitu, rasa curiga tidak dipungkiri timbul.
“Jujur dik, Rendilah orang yang memperkenalkanku dengan judi slot online. Dia sendiri terjerumus karena diajak oleh temannya yang lain, awalnya aku tidak tertarik sama sekali. Namun karena setiap hari selalu melihatnya memainkan, imanku pada akhirnya goyah. Dari awalnya sekedar mencoba-coba, kami berdua menjadi kecanduan.”
“Padahal saat itu jurusan pendidikan agama Islam yang kalian tempuh?” Istriku bertanya.
Perbuatanku memang memalukan, walaupun ilmu agama dimiliki namun bodohnya larangan dari Tuhan tetap saja kulanggar. Aku tidak bisa berkutik, rasa malu menghalangi mulut untuk mengeluarkan kata.
“Bagiamana kalian pada akhirnya bisa bertaubat?” Istriku memberikan pancingan pertanyaan agar aku mau bercerita.
“Harno tidak seperti kami, imannya tidak tergoyahkan. Dia bahkan selalu memberikan nasihat, tapi namanya juga seorang pecandu, maksud baik dari orang lain tidak kami hiraukan.
Karena hal tersebut, Rendi bahkan sempat ingin berkelahi dengan Harno. Dia merasa kehidupannya terusik, dia menganggap uangnya sendirilah yang dipakai, tidak ada orang lain yang dirugikan.
Kuakui saat itu aku sependapat dengan Rendi, tapi sebagai teman aku tidak bisa memihak salah satu diantara mereka. Aku hanya bisa melerai keduanya.”
“Dan kamu masih saja tetap memainkan?” Raut wajah dari istriku berubah kesal, aku ditatapnya sinis.
“Iya dik, karena itulah kami kehilangan segala-galanya. Pada awal memainkan aku masih bisa mengatur keuangan, hanya dari sisa uang saku aku berani bermain.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku semakin bernafsu untuk menghasilkan uang banyak dengan begitu cepat. Tanpa berfikir dampaknya kedepan, aku semakin menggila.
Bukannya untung, kekalahan lebih sering dialami. Tidak ada kata jera saat itu, kami berdua justru semakin tertantang. Untuk memainkan kami sampai berani berhutang.”
Untuk melanjutkan cerita aku sedikit ragu, aku tahu perubahan emosi sedang dialami oleh istriku. Aku takut nanti saat di kamar dia akan tidur membelakangi, untuk membujuk agar amarah mereda tidaklah mudah.
“Sampai sekarang kamu masih punya hutang?”
“Kalau itu tenang, semua sudah kubayar lunas. Aku tidak mau dianggap layaknya keledai, terlalu berat beban pikiran yang akan menimpa ketika berhutang.”
“Bagus kalau begitu,” nampaknya tingkat kekhawatiran dari istriku mulai menurun. Dia takut kalau-kalau aku masih bermain dibelakangnya.
“Kamu belum pernah bercerita bagaimana kamu bisa taubat?”
“Aku malu untuk mengatakannya.”
“Tidak usah malu, aku istrimu, kita sudah saling berjanji untuk saling terbuka.” Istriku mengingatkan.
“Begini dik, karena semakin terlilit hutang, aku dan Rendi menjadi berani untuk menjual barang-barang pribadi. Laptop sampai gas lpg di kontrakan sampai rela kami jual, tapi bodohnya, uang dari hasil penjualan tidak segera kami bayarkan kepada orang-orang yang kami pinjami.
Aku dan Rendi sebenarnya juga mulai sadar judi slot online hanya mengundang malapetaka, dari sebagaian kecil hasil penjualan barang, kami putuskan untuk mencoba peruntungan terakhir kali, setelah itu tidak akan kami sentuh seumur hidup lagi.
Siapa tahu kali ini kemenangan berpihak, tidak banyak, masing-masing orang hanya mendepositokan modal seratus ribu.”
“Tapi kalian kalah lagi?” istriku berhasil menebak.
“Iya dik, uang yang seharusnya dipakai untuk membayar hutang justru kalap kami habiskan dalam semalam. Bukannya berkurang, hutang semakin bertambah dan kami tidak lagi memiliki aset.
Harno sampai lelah untuk memperingatkan, aku heran kenapa kami berdua begitu bebal.” Dalam hati aku beristiqfar, semasa remaja segala dosa kurenungi.
“Karena semakin terpuruk dan tidak ada jalan keluar lagi, kami sampai berani menipu orang tua.” Istriku menggelengkan kepala seakan tidak percaya, aku sendiri merasa layak dikatakan sebagai anak yang durhaka.
“Pelbagai alasan dengan tega kami karang, entah itu untuk tambahan mengerjakan tugas sampai beralasan butuh uang untuk berobat ke dokter. Kami berdua benar-benar menjadi duri dalam daging di keluarga. Parahnya lagi, uang untuk membayar kuliah juga kami pakai.
Namun kemenangan tidak lagi kami kejar, nafsu hanya mengatakan sekedar balik modal saja sudah cukup.
Ketika berada diambang batas deadline pembayaran dan semakin bangkrut, barulah kami sadar sedang benar-benar diujung tanduk. Orang-orang yang kami pinjami juga mulai menagih, banyak yang sampai mendatangi rumah kontrakan. Rasa malu dan bersalah tidak terhindarkan, terlebih mereka juga teman satu kampus.
Sebenarnya aku juga sempat ingin bunuh diri karena tidak kuasa menahan penderitaan, saat itu sepeserpun uang tidak kupunya. Untuk meminta lagi kepada orang rumah sudah terlalu sering, aku takut kebiasaanku akan diketahui oleh mereka, lingkaran setan benar-benar menjebak.
Ketika tidak ada jalan terang, aku sampai memantapkan hati untuk menjual motor pemberian. walaupun kedepannya akan memunculkan masalah baru di keluarga, namun setidaknya hutang-hutangku dan biaya perkuliahan terbayar lunas.
Sementara Rendi sedang berusaha menghubungi temannya yang lain untuk kembali meminjam uang, dia masih belum menyerah, harapan untuk mendapatkan uang banyak dengan modal kecil masih ditanamkannya dalam lubuk hati.
Entah kenapa langkah yang dilakukannya ingin juga kembali kuikuti, kebimbangan begitu membutakan arah.
Namun sebelum niat berhasil terlaksana Harno mencegah, aku dan Rendi dikumpulkannya diruang tamu rumah kontrakan. Kami berdua diberikan tamparan secara mendadak, tidak sakit, kami juga tidak marah.
Aku dan Rendi justru tertunduk, air mata kamk keluar sebagai wujud keputus-asaan. Kami berdua saat itu meminta tolong untuk dibebaskan dari rasa kecanduan.”
Mungkin karena terlalu panjang bercerita, anakku yang sedang berada dipangkuan menjadi terlelap. Aku sedikit bersyukur dia tidak mendengarkan sisi kelam dari ayahnya.
Sebelum melanjutkan cerita, aku mengusap pelan rambut dari sang buah hati kami, wajah pulasnya menenangkan jiwa.
Aku begitu bersyukur Tuhan masih mau memberikan kesempatan kedua, jika saat itu aku benar-benar memutuskan untuk mengakhiri hidup, mungkin keluarga kecilku tidak akan terbentuk. Kebahagiaan tidak akan pernah kuraih karena menyerah ditengah jalan.
Istriku beranjak dari tempat duduk, dia menggendong buah hati kami untuk dipindahkan kedalam kamar. Ketika kembali cerita baru kulanjutkan,
“Aku mengira saat itu Harno hanya akan memarahi seperti biasa, tapi ternyata tidak.”
“Memang apa yang dilakukannya mas?”
Istriku telah terbawa arus dalam cerita, fokus perhatiannya sekarang benar-benar tertuju kemasa laluku.
“Saat itu Harno mentransferkan uang kepada kami, masing-masing orang mendapatkan jatah seratus ribu?”
“Memang cukup mas? Hutangmu memang berapa?”
Istriku sempat salah dalam mengira, sebagai mahasiswa yang belum mempunyai penghasilan tetap, hutang lima juta teramatlah banyak. Uang pemberian Harno jauh dari kata cukup.
“Harno mengatakan; ‘kalian harus benar-benar berjanji untuk berhenti bermain, mungkin kalian menyepelekanku karena mudah jika hanya menasihati. Maka dari itu aku akan sekalian ikut bermain bersama kalian untuk terakhir kalinya.’
Saat itu aku dan Rendi seakan tidak percaya, demi kami berdua dia rela ikut menceburkan diri kedalam kolam penyesatan.
‘Setelahnya kalian akan kuantarkan kerumah, minta maaflah dengan orang tua kalian masing-masing. Jangan ada lagi kebohongan agar Tuhan mempermudah jalan hidup kalian, akan kubuktikan jika berhenti itu mudah asalkan benar-benar ada niat dari dalam hati.’
Aku dan Rendi tertegun, jika sampai menghiraukan nasihat dari Harno lagi kami berdua akan semakin merasa berdosa.”
“Jadi saat itu kalian diantarkan kerumah?” istriku bertanya.
“Ya ini dek yang membuatku malu, saat kami bertiga bermain, mukzizat datang tanpa di duga.
Kemenangan yang begitu besar kami dapatkan secara bersamaan, padahal sebelumnya teramat sulit. Hutang-hutang karena berjudi berhasil kami lunasi dengan judi juga."