Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
14,269
Sudut pandang
Drama

Penampilan seringkali menipu, seringkali pula kita memberikan penilaian lebih awal tanpa mengetahui kebenaran dibaliknya.

Sama seperti halnya ketika aku menjadi seorang driver ojek online, oleh temanku yang mempunyai profesi lain, aku sering dianggap mempunyai taraf hidup jauh dibawahnya.

Karena mendapat penghasilan tidak menentu, tatapan mereka seakan iba. Aku layaknya orang yang pantas untuk diberikan sedekah, aku begitu dianggap remeh.

Sebenarnya ingin kutunjukkan seberapa besar penghasilan dan tips yang bisa kudapat tiap hari, tapi kutahan karena tidak ingin merusak kebanggaan diri orang lain.

Jujur saja, dibandingnya aku justru lebih beruntung. Aku tidak perlu bangun dini hari untuk berangkat ke kantor, tidak perlu juga sampai harus menjilat atasan agar dapat naik jabatan.

Dengan sesuka hati aku dapat memutuskan kapan mulai bekerja dan istirahat, iri hati sesama rekan seprofesi tidak pernah kualami karena orderan sudah diatur oleh sistem. Bisa dikatakan kami para driver ojek online saling berbagi kebahagiaan disela waktu menunggu orderan.

Segelas kopi dan sebatang rokok sudah cukup untuk kami mengakrabkan diri.

Jika kami dianggap babu hanya karena disuruh-suruh membelikan pesanan milik orang lain, justru kami mengganggap sedang menjalankan bisnis jasa pengantaran.

Ingat temanku! sebuah bisnis tidak hanya sekedar menawarkan sebuah produk.

"Apa perlu aku membuatmu bungkam?"

Belum sampai niat hati terlaksana, aku teringat dengan salah satu penumpang. Saat melajukan kendaraan di kota Solo, di pinggir jalan seorang ibu-ibu memberhentikan. 

Dia berniat memakai jasa tanpa menggunakan aplikasi, sebenarnya ingin kutolak dengan alasan tidak sesuai SOP pekerjaan.

Namun rasa iba membuatku tidak sampai hati, ditengah teriknya matahari dia menyusuri kota bersama kedua orang anaknya yang terbilang masih kecil. Satu orang berada di gendongan sementara satu lagi berjalan disamping.

Mereka terlihat begitu kusam, baju mereka bahkan tidak layak untuk dipakai keluar rumah.

Ketika ditanya berapa jasa yang harus dibayarkan, aku menjawab seiklasnya. Sang ibu nampak tersenyum seketika mendengar.

Setelah mereka naik, motor kulajukan ketempat tujuan. Disepanjang perjalanan obrolan kami terbangun, kuketahui dia merupakan seorang pengemis yang sering meminta-minta diperempatan jalan.

Dari mobil-mobil dan motor yang terhenti karena lampu merah uang diperoleh, bersama sang anak, ibu itu memanfaatkan rasa iba yang dimiliki oleh orang lain.

'Apakah aku juga termasuk salah satu korban?'

Rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat penjemputan, dia berkata pulang lebih awal dikarenakan akan ada acara keluarga. Dia juga sempat mengeluh karena baru mendapatkan sedikit penghasilan.

Tapi yang membuatku terkejut, nominal yang disebutkan lebih dari penghasilanku dalam satu hari.

Baru jam dua siang uang dua ratus ribu sudah berada digenggaman, gila!

"Memang biasanya dapat berapa Bu?"

"Paling sedikit mendapat tiga ratus ribu mas".

Aku tidak habis pikir, pendapatan yang dimiliki oleh seorang pengemis ternyata jauh diatas imajinasiku.

Tidak hanya itu, sesampai ditempat tujuan bangunan megah telah menyambut. Dibanding rumahku, tempat yang ditinggali sang Ibu lebih besar dan bagus, aku berhasil dibuat bungkam.

Dalam hati aku berkata, 'Seharusnya yang layak dikasihani itu aku'.

Temanku, mungkin kamu tidak akan menyangka, perjuangan semasa kita sekolah dulu seperti tidak ada artinya.

Untuk apa kita peduli dengan status sosial jika setiap profesi sama-sama bertujuan untuk menghasilkan uang.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)