Cerpen
Disukai
4
Dilihat
11,808
Rani & Jodi Chapter 2
Drama

Jodi tidak menyerah, dia begitu takut kehilangan sosok dari Rani. Entah sore yang ke berapa dia tetap mencari, harapan untuk menemukan tidak pernah padam.

“Ran, Rani!

Ran, kamu dimana? Apa kamu tidak lelah?”

Hari demi hari dilalui, bulan berganti, tahun kehidupan semakin bertambah, tapi Rani tidak kunjung muncul. Jodi sampai tidak menyadari mulai menua, beberapa helai rambut telah memutih dikarenakan termakan usia. Ingatan juga samar-samar menghilang.

Jodi sekarang duduk dibangku yang sering Rani tempati.

“Aku memang menyebalkan, tapi kamu tidak perlu sampai bersembunyi sepanjang hidup. Apa kamu lupa pernah berjanji untuk tidak meninggalkanku?

Tanpamu, aku akan semakin kesepian. Kamu tahu Ran? Setelah kamu menghilang, hanya aku anak kecil yang tersisa.

Tempat tinggal kita sekarang menjadi tidak berpenghuni, karena para orang dewasa tidak ingin berumah tangga, banyak rumah-rumah menjadi kosong. Kepada siapa coba mereka bisa mewariskan harta yang sudah payah diperoleh ketika hidup?

Peradaban manusia sedang diambang kepunahan! Jika tidak ada makhluk hidup, aku tidak akan pernah bisa menjadi seorang pahlawan.”

Karena teringat kenangan, Jodi mulai berkaca-kaca. Realita hidup belum bisa diterimanya. Diatas bangku Jodi terpuruk.

“Aku ingat betul, kamu sering marah jika aku berdiri di atas pagar pembatas. Kalau itu alasanmu untuk pergi, aku berjanji tidak akan lagi membuat khawatir.

Semua perkataanmu akan kuturuti, aku tidak keberatan untuk menemani bermain rumah-rumahan setiap hari. Kamu bebas memintaku berperan menjadi apapun, menjadi seorang pangeran yang kau bunuh karena ketahuan selingkuh aku selalu siap.

Jika kelak suamimu bermain hati dibelakang, aku sendiri yang akan membunuhnya. Kamu tidak perlu khawatir.

Untuk apa juga aku tetap bermain pahlawan-pahlawanan jika tidak bisa menjaga orang yang kucintai.

Ran, Rani! Pulanglah nak! bapak Rindu.”

Jodi tidak kuasa lagi menahan isak tangis, sosok dari Rani benar-benar dirindukan. Tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya di hati.

“Sayang! Sayang! Kamu diatas?”

“Rani? Ran, apa itu kamu? Setelah sekian lama, akhirnya kamu muncul.”

Ketika sedang meratapi nasib, istrinya datang menghampiri karena mendengar suara tangisan.

“Kenapa kamu diatas sendiri?” sang istri berkata.

“Kamu kemana saja Ran? Sini-sini duduklah disampingku.” Bukannya menjawab, Jodi kembali bertanya.

“Apa aku harus mencemaskanmu setiap saat?” sang istri membalas dengan memberikan pertanyaan.

“Kamu kemana saja selama ini?”

Sepasang kekasih saling melemparkan pertanyaan, kepedulian muncul karena adanya rasa khawatir.

“Kamu masih belum terlepas dari masa lalu?” sang istri menghela nafas, keadaan sang suami dirasanya memprihatinkan.

“Apa yang kamu katakan Ran? Apa kamu lapar karena terlalu lama bersembunyi? Bagaimana kalau aku carikan makan?”

“Kamu jangan kemana-mana!” sang istri melarang.

“Apa kamu lelah? Bagaimana kalau aku berikan pijitan?”

 “Mau sampai kapan kamu akan tetap seperti ini?”

“Maksudmu apa Ran? Apa kamu baik-baik saja?”

“Pak! sadarlah!” sambil memegangi kedua bahu Jodi, wanita tua tersebut berkata.

“Rani sudah meninggal! Sadarlah!”

“Tidak! Tidak mungkin! Kau jangan asal bicara!”

“Anak kita sudah meninggal! Sudah lebih dari sepuluh tahun dia berpulang.”

“Kamu bohong! Pasti kamu bohong!

Penipu! Benar, kamu pasti ingin menipuku! Katakan siapa kau sebenarnya?!”

“Pak! Apa kamu lupa? Kamu sendiri yang mengantarkan anak kita keliang lahat. Sebagai seorang ibu, pada awalnya aku juga tidak bisa menerima kenyataan.

Tapi aku sadar kita harus tetap melanjutkan hidup, apa kamu mau Rani tidak tenang diatas sana?”

“Diam! Kamu pembohong! Rani masih hidup, dia mungkin sedang bersembunyi disalah satu tempat. Bagaimana kamu tega mengatakan dia sudah meninggal.”

“Apa kamu lupa karena siapa dia meninggal?”

“Diam! Sudah kubilang diam! Jangan dilanjutkan! Rani masih hidup!

“Pak! karena kita Rani meninggal dunia!”

 “Diam! itu tidak benar!” Jodi semakin berlinang air mata. Dia semakin kalut kedalam keterpurukan.

“Jika dulu kita tidak terlalu ambisius mengejar dunia, Rani mungkin masih bersama kita. Sebagai orang tua, kita terlalu ceroboh meninggalkannya sendiri dirumah.

Kerja keras yang awalnya untuk membahagiakan justru membuatnya kesepian selama hidup.

Pak, aku juga rindu dengan Rani. Tapi mau sampai kapan kamu tetap seperti ini.”

“Aku ingat! Jika dulu kau mengikuti saranku, anak kita tidak akan pergi. Sebagai seorang ibu peran kamu lupakan, kamulah pembunuhnya!” karena kehilangan nalar Jodi asal menuduh.

“Apa kamu kira penghasilanmu cukup untuk menghidupi kami? Karena siapa juga aku memutuskan untuk ikut bekerja?

Aku malu pak! apa kamu pernah mengantarkan Rani berangkat sekolah?

Tiap awal bulan, dia bahkan kerap kali hampir dikeluarkan. Aku malu harus selalu meminta maaf kepada pihak sekolahan karena terlambat membayar uang SPP.

Pernah juga Rani menangis karena ingin dibelikan sepatu baru dan aku juga ikut menangis karena tidak bisa membelikan.

Jika penghasilanmu mencukupi, aku dengan sukarela akan fokus menjadi seorang ibu rumah tangga. Setiap hari kupastikan selalu berada disisinya, kemiskinanlah yang membunuh anak kita pak!.”

Karena asal tuduh, Jodi merasa bersalah. Perkataan dari sang istri berhasil membuatnya tertampar.

“Aku merasa gagal menjadi seorang ayah, kenapa juga Tuhan memberikan cobaan yang begitu berat.”

“Mungkin kita dianggap kuat oleh sang Pencipta.”

“Jika saat kesulitan ekonomi aku yang menyerah, apa mungkin Rani masih hidup?”

“Jangan mempunyai pemikiran seperti itu.”

“Andai saja kita tidak menikah, mungkin kamu dan Rani akan hidup bahagia sampai sekarang.”

“Justru Rani tidak akan terlahir!”

“Justru karena itu Rani tidak akan mengalami kematian tragis! Bukan kemiskinan yang membunuh anak kita buk, karena akulah semua orang menderita.”

“Pak! Denganmu aku bisa menemukan arti dari sebuah kebahagiaan, dulu kamu yakin dapat membahagiakanku, tapi kenapa sekarang ragu?

Dulu kamu juga tegar tiap ditimpa masalah, kenapa justru sekarang ingin menyerah?

Kamu tahu salah satu hal terindah dalam hidupku?”

Jodi tertunduk tidak berdaya, tidak hanya kepada Rani, kepada sang istri dia merasa tidak berguna.

“Saat kamu menyelipkan cincin dijari manisku, aku benar-benar bahagia saat itu. Tegakkan kepalamu pak!

Bagaimanapun juga, Rani terlahir dari sebuah kebahagiaan, dia merupakan wujud cinta kasih kita berdua.” sang istri menghibur.

“Kamu mungkin ada benarnya, saat kelahiran Rani kesedihan memang seakan lenyap dari dunia. Tidak ada beban sama sekali di hidup.

Semua orang begitu menantikan, saat menggendongnya pertama kali, aku bahkan merasa benar-benar menjadi lelaki yang sempurna. Aku begitu bahagia saat itu.”

“Aku ingat pak, saat itu kamu menangis karena terharu. Nenek dan kakeknya bahkan sampai rela datang dari jauh untuk menyambut kelahiran cucu mereka.

Sekarang kamu tidak perlu menjadi Jodi lagi, cukup jalankan peranmu sebagai seorang suami, dan aku akan tetap selalu disampingmu.

Anak kita mungkin telah tiada, tapi diatas sana dia justru merasakan kebahagiaan abadi di surga. Bukankah lebih baik daripada merasakan kesulitan hidup di dunia.”

“Aku beruntung mempunyai istri sepertimu.”

“Kita sudah berjanji untuk saling mendukung, sebenarnya aku bisa saja meninggalkanmu, tapi aku tidak mau membuat Rani bersedih diatas sana.”

“Kenapa anak kita berpulang dengan cara menyakitkan?”

“Sudah pak, jangan diingat-ingat. Jangan membuka luka lama.”

“Andai aku memasang pagar pembatas lebih tinggi, mungkin Rani tidak akan pernah terpeleset jatuh saat bermain. Tanah tidak akan menampung darah mengalir dari tubuh kecilnya.”

“Pak, sudahlah!”

“Aku sadar, selama ini hanya menjadi beban hidup untukmu. Aku tidak keberatan kamu pergi mencari penggantiku. Biarkan aku tetap sendiri disini untuk merenungi segala kesalahanku.”

“Jangan egois, waktu logika menghilang dari nalarmu, tidak sebentar waktu yang aku habiskan untuk menemani.”

“Apa kamu sebenarnya sudah berada diambang batas kesabaran?”

“Bukan itu maksudku pak.”

“Jangan menyia-nyiakan sisa umurmu, jangan juga terlalu berharap kepada orang yang telah kehilangan semangat hidup.”

“Pak, jangan menyerah! kita akan sehidup sesurga dengan Rani.”

“Apa itu mungkin?”

“Tidak ada yang mustahil.”

“Beruntung Rani mempunyai teman seperti Jodi.”

“Iya pak, walaupun sekedar boneka, setidaknya kita masih mampu untuk membelikan.”

“Kita beruntung saat itu karena berhasil memenangkan hadiah permainan di pasar malam.”

“Tuhan masih mengijinkan Rani untuk bahagia.”

“Iya Buk, tanpa Jodi disisanya, Rani mungkin tidak akan pernah bisa tidur dengan nyenyak.”

“Boleh aku minta tolong?”

“Apa pak?”

“Aku haus.”

“Yasudah, kamu jangan kemana-mana tapi. Akan kuambilkan.”

“Terimakasih.”

Setelah sang istri pergi mengambil minum, Jodi membulatkan tekad. Dari pembicaraan mereka berdua, Jodi mendapatkan pencerahan.

Kain sarung yang dipakainya kembali diikatkan kebelakang badan membentuk sayap.

“Rani anakku, kamu pasti kesepian diatas sana. Aku tidak akan membiarkanmu kesepian lagi, cukup di dunia kamu sendirian mengarungi hidup.

Aku memang tidak layak kau sebut ayah, tapi walaupun sekali ijinkan aku menebus kesalahan.

Aku tahu kamu takut dengan kegelapan, jadi ijinkan aku menemani. Aku tidak perlu kau sebut ayah jika bertemu, aku sudah senang menjadi Jodi teman bermainmu. Nak tunggu aku disana!”

Belum sempat air minum diberikan, Jodi lebih dulu memutuskan untuk melompat dari atas gedung. Sang Istri menjadi histeris karena sekali lagi dia ditinggal pergi oleh orang yang dicintai.



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)