Masukan nama pengguna
Namanya adalah Kartan, di pematang sawah pandangannya menembus keatas langit. Semilir hembusan angin membuat suasana disekitar tempatnya duduk terasa tenang, sesekali dia memejamkan mata untuk menikmati keadaan.
Dengan bantuan beberapa orang, padi disawah telah berhasil dipanen secara keseluruhan. Sekarang dia sedang menunggu kehadiran pak Haji selaku pemilik tanah.
Setelah padi diangkut menggunakan mobil pickup, hasil panen akan dikirimkan ke tempat pengepul. Orang yang dinantikan mungkin sedang berada disana, Kartan tidak mempermasalahkan.
“Ayo mas dimakan,” salah seorang buruh tani berkata. Namanya Ginah, umurnya menginjak kepala tiga lebih sedikit, terpaut hampir sepuluh tahun dengan Kartan.
“Iya budhe,” karena pemilik sawah telah mempersiapkan makan siang bagi para pegawai, Kartan segera menyantap ketika diingatkan. Namun jatah makanan tidak dihabiskan semua, Kartan masih menyisakan beberapa untuk dibawa pulang.
“Sudah sering kubilang, jangan panggil budhe, panggil saja mbak.” Dengan genit Ginah menggoda.
“Kamu jadi orang jangan gatel!” salah seorang buruh tani mengejek, dia sering dipanggil Sur.
“Sudah ganteng, pekerja keras, coba kamu lahir lebih awal.” Walaupun sudah ditegur rekannya, Ginah tidak memperdulikan.
Sebagai seorang janda yang baru dua tahun ditinggal pergi sang suami, sosok kehadiran lelaki mulai dirindukan. Hampir tiap malam Ginah merasa kesepian apabila sedang berada di dalam kamar.
Sebagai bunga desa, sebenarnya Ginah dengan mudah dapat mencari suami pengganti. Namun dari pengalaman pernikahan sebelumnya, rasa trauma masih terbayang.
“Sama aku saja nah,” buruh tani yang lain menyahut. Dia seorang lelaki paruh baya berumur diatas Ginah.
“Istrimu mau dikemanakan mas? Berani kamu mendua?” Ginah kembali menggoda.
Walaupun hidup penuh kesederhanaan, kebahagian terpancar pada mereka. Ketika mendengar gurauan dari Ginah semua orang tertawa, Kartan juga demikian, senyuman kecil ditunjukkan.
“Ini ambil saja jatah makan siangku mas, kebetulan tadi pagi aku sudah masak banyak untuk anak-anak.” Walaupun terkesan genit, Ginah sebenarnya orang yang baik hati. Mengetahui ayah Kartan juga tidak bertanggung jawab seperti suaminya, rasa empati muncul.
Sejak sang Ibunda meninggal dunia, ayah Kartan memutuskan untuk pergi merantau ke ibukota. Hampir sepuluh tahun namun tidak pernah kembali, menurut para warga, istri baru telah diperoleh.
Sudah lama juga kiriman uang tidak diberikan, dampaknya Kartan harus rela putus sekolah. Keterbatasan ekonomi membuatnya harus bekerja keras sejak kecil.
Karena tidak tega, para tetangga yang lebih dulu merantau sering mengajak Kartan untuk sekalian ikut serta, mendapatkan penghasilan lebih di kota besar dijadikan sebagai daya tarik. Tapi tetap saja tawaran ditolak dengan alasan berat hati jika harus meninggalkan neneknya sendirian di rumah.
Selang beberapa saat ketika perbincangan terajut, mobil Kijang Doyok berwarna merah tua yang mereka tunggu pada akhirnya tiba. Orang didalamnya merupakan pemilik sawah, dari pintu dekat bangku pengemudi dia turun.
“Itu lihat pak haji datang,” mbak Sur memberitahu.
Para buruh tani segera merapikan peralatan makan mereka dan mulai mendekat. Satu persatu orang mengantri dengan tertib, Kartan berada paling belakang sementara Ginah dan Sur tepat didepannya.
Walaupun tidak banyak penghasilan yang bisa diperoleh, Kartan cukup senang karena sementara waktu sang nenek tidak akan merasa kelaparan. Setelah dari sawah barulah Kartan akan membantu tetangganya yang lain untuk merawat ternak. Dari sana dia akan mendapatkan bagi hasil ketika nanti ternak terjual.
Sebagai seorang pemuda, Kartan tidak pernah merasa malu. Menurutnya gengsi tidak akan membuat perutnya kenyang, asalkan halal semua pekerjaan akan rela dilakukan guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.
“Ini nah buatmu,” ketika antrian mulai berkurang, Kartan menyaksikan secara langsung pak Haji memberikan uang lebih kepada Ginah. Walaupun dilakukan secara sembunyi-sembunyi tapi Kartan masih bisa mengetahui.
Untuk menanyakan kejelasan, Kartan merasa tidak mempunyai wewenang. Dari pada ikut campur, prasangka baik coba ditanamkannya dalam hati. Kartan beranggapan Ginah sudah lama ikut dengan pak Haji, maka wajar apabila apresiasi diterima.
Berbeda dengan Sur yang juga menyaksikan, tatapan sinis justru ditunjukannya kepada Ginah. Rasa iri hati terpancar dari dalam diri, suasana bahagia setelah menerima upah berubah muram.
“Sudah mbak, semua orang mempunyai jatahnya masing-masing.” Kartan mencoba menenangkan, dia begitu peka dengan suasana disekitar. Perhatian dari Sur coba dialihkan untuk menghindari adu mulut.
Sejak dulu Ginah dan Sur terbilang tidak pernah akur, padahal mereka sudah berteman sejak kecil. Entah apa yang menjadi pemicu.
Mereka berdua sebenarnya sama-sama menyandang status sebagai seorang janda, bedanya Sur ditinggal mati oleh sang suami. Sementara Ginah bercerai dikarenakan sang suami melakukan KDRT.
Mempunyai istri yang terbilang cantik membuat suaminya gelap mata, Ginah sampai dilarang untuk keluar rumah karena takut direbut oleh lelaki lain. Namun parahnya, sebagai kepala rumah tangga justru dia tidak bekerja, di meja judi waktu lebih banyak dihabiskan.
Ketika kalah bermain, amarah akan diluapkan kepada Ginah. Mengutip istilah sekarang, sang suami terlalu posesif. Ginah dianggapnya berselingkuh dibelakangnya, pukulan, tamparan, cacian dengan tega diberi.
Karena sudah terlalu keterlaluan, Ginah pada akhirnya meminta tolong kepada Pak Haji untuk membantu mengurus surat perceraian.
Yang tidak disadari oleh Kartan, gosip mulai beredar setelahnya. Sebagai bentuk kekesalan, Sur dengan tega menyebarkan rumor ke seluruh warga.
Ginah dikatakan sebagai janda penggoda lelaki orang, lebih parahnya lagi, Pak Haji selaku tuan tanah dikabarkan sedang menjalin hubungan gelap.
Pernah suatu sore, Bu Hajjah selaku istri pemilik tanah melabrak Ginah karena terhasut gosip dari para tetangga. Dengan luapan emosi Ginah didatangi, para warga sekitar yang mendengar keributan menjadi keluar rumah. Sumber suara mereka cari.
Beruntung kedua anak Ginah yang masih kecil sedang menemani Kartan memandikan ternak di sungai, mereka tidak tahu ada kejadian buruk yang sedang berlangsung.
Sebanyak apapun Ginah menjelaskan, Bu Hajjah tetap tidak mau mendengarkan. Rasa cemburu telah menguasai diri, Pak Haji tidak tinggal diam, mengetahui sang istri pergi kerumah Ginah dia segera menyusul.
Sebagai seorang istri, Bu hajjah merasa harga dirinya telah diinjak-injak. Status sosial yang dimiliki membuatnya jumawa, Ginah tidak dianggap sebanding hanya karena seorang janda miskin.
Semakin lama Ginah semakin dikucilkan, terutama oleh para ibu-ibu di desa. Mereka takut suami mereka juga menjadi korban.
Walaupun pak Haji mengatakan berita hanya sekedar fitnah, Bu Hajjah tetap saja melarang suaminya untuk memperbolehkan Ginah membantu saat musim bertani tiba, begitu pula dengan para istri pemilik sawah yang lain.
Di desa tidak banyak lapangan yang tersedia, untuk mencukupi kebutuhan kedua anaknya, Ginah mulai kesulitan. Nenek Kartan bahkan balik membantu, karena sudah menganggap seperti keluarga sendiri, Kartan sering diminta untuk mengantarkan makanan kerumah.
Kartan tidak habis pikir bagaimana warga desa bisa begitu tega, dia tahu betul Ginah bukan seperti yang dituduhkan. Justru para lelaki didesanya yang sering menggoda, dimanapun Ginah berada, rayuan gombal akan diterima.
Entah berapa kali Ginah mendapatkan tawaran oleh para pemuka untuk dijadikan sebagai istri kedua, tapi selalu ditolaknya.
Jika mempunyai niat buruk, tidak mustahil di desanya akan terjadi sebuah kericuhan karena para lelaki akan saling berebut untuk mendapatkan hati.
Karena merasa bersalah, pak Haji diam-diam menitipkan uang kepada Kartan untuk disampaikan kepada Ginah. Sebenarnya bantuan ingin ditolak, namun keadaan tidak mendukung, bagaimanapun juga uang sedang dibutuhkan.
Ginah takut apabila sampai ketahuan, masalah dapat bertambah semakin parah. Didesanya Pengaruh yang dimiliki bu Hajjah terbilang besar dikalangan ibu-ibu, bukannya membaik, kehidupan Ginah justru dapat semakin sulit kedepannya.
Agar tidak selalu terpuruk, Ginah berusaha mencari pekerjaan sampai ke luar desa. Kepada Kartan dia meminta tolong untuk menjaga anaknya ketika sedang tidak berada dirumah. Kartan menyanggupi.
Walaupun begitu, gosip tidak kunjung mereda. Sekarang dengan tega Ginah di fitnah sedang bekerja sebagai seorang pelacur, di desa lain dia menggoda para lelaki hidung belang untuk diajak tidur.
Ketika ingin memperbaiki keadaan dan membela Ginah, Kartan justru dianggap mempunyai hubungan spesial. Karena sering berkunjung kerumah, banyak dari warga desa curiga tanpa dasar.
Kartan bahkan ikut dituduh sudah berzina dengan Ginah, agar tidak terkena laknat dari sang Pencipta, Sur menghasut para warga untuk mengusir mereka berdua.
Pada malam yang ditentukan, para ibu-ibu kompak mengepung rumah Ginah, sementara para suami memilih untuk bungkam. Mereka takut terseret kedalam masalah.
Mengetahui orang datang beramai-ramai, anak-anak Ginah bersembunyi didalam kamar. Dari luar terdengar teriakan, “Usir! Pergi kamu pelacur! Pergi!”
Karena masih kecil, mereka menangis sejadi-jadinya. Mereka takut terjadi sesuatu dengan sang Ibu, anak tertua hanya bisa memeluk adiknya untuk menenangkan walaupun dengan bercucuran air mata.
Beruntung karena laporan dari salah seorang warga, pak Lurah, pak Haji dan Kartan datang sebelum keadaan bertambah parah.
Seketika dilokasi Kartan justru dijadikan sebagai tempat pelampiasan emosi selanjutnya, menggunakan gagang sapu badannya beberapa kali mendapat pukulan. Banyak yang menghinanya sebagai “pezina!”
Agar masa tidak bertindak lebih anarkis, Pak Lurah mencoba melerai, dia berjanji akan membantu menyelesaikan masalah. Besok malam di balai desa, seluruh warga akan diundangnya untuk hadir.
Ketika mulai tenang, para ibu-ibu disuruh untuk segera pulang kerumahnya masing-masing. Pak Haji membawa istrinya pergi, sedangkan badan Kartan sedikit dipenuhi luka memar.
Ginah tersimpuh lemas didepan pintu, bajunya sedikit robek, sementara beberapa helai rambut rontok karena terkena jambakan dari salah seorang warga.
Anak-anak Ginah baru berani mendekat setelah masa menghilang, mereka berdua memeluk sang Ibu erat. Sepanjang malam tangisan meliputi seisi rumah.
Karena sudah tidak kuasa menahan beban hidup, di sepertiga malam Ginah bersimpuh kearah tanah. Doa dipanjatkan kepada sang kuasa untuk meminta diberikan keadilan. Begitu lama dia bersujud sampai dikeesokan harinya warga dikejutkan dengan kabar duka.
Dalam keadaan suci Ginah meninggal ketika sedang melaksanakan Sholat malam, tentu saja seluruh desa dibuat gempar.
Orang-orang yang menuduh Ginah menjadi ketakutan, mereka tahu keadaan Husnul Khatimah tidak bisa didapatkan oleh sembarangan orang. Mereka sadar selama ini ternyata telah salah dalam memberikan penilaian.
Tuhan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengabulkan doa hambanya yang sedang teraniyaya.
Kini pusat amarah warga berbalik kearah Sur, atas perbuatannya dia mendapatkan ganjaran yang setimpal. Bukannya Ginah yang terusir, kini Sur justru yang diarak warga untuk keluar dari desa. Mereka takut akan mendapatkan malapetaka.
Bu Hajjah juga demikian, dia banyak memanjatkan permintaan maaf kepada sang Kuasa. Gelar haji yang dimiliki tidak lagi dibanggakan, belum tentu juga dia bisa meninggal dalam keadaan terhormat. Beruntung Bu Hajjah memiliki suami yang disegani oleh warga, jika tidak, mungkin nasibnya akan sama seperti Sur.
Sang suami menasihati untuk tidak hanya memperbanyak doa, sebagai penebusan dosa, Bu Hajjah diminta untuk juga meminta maaf kepada dua anak Ginah. Kali ini saran disetujui, dia juga berjanji tidak akan lagi meragukan apa yang dikatakan oleh sang suami. Bu Hajjah bahkan berkeingan untuk merawat kedua anak Ginah.
Ketika menyadari Makam dari Ginah menimbulkan bau harum semerbak mewangi, para warga semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka begitu takut mendapatkan balasan tidak hanya dineraka.
Derajat Ginah benar-benar terangkat, para warga sekarang mengingat almarhumah sebagai perempuan yang Sholehah, tidak jarang para peziarah datang untuk mendoakan. Makam dari Ginah dikeramatkan.
Disamping tempat peristirahatan terakhir wanita yang dianggapnya kakak, kini Kartan berada. Kalimat perpisahan ingin diucapkan sebelum meninggalkan desa.
Setelah malam kejadian, Kartan memutuskan untuk pergi merantau. Bukan keinginannya sendiri, sang nenek justru yang menyarankan, beliau menganggap desa mereka sedang mendapatkan karma dari sang Pencipta.