Cerpen
Disukai
1
Dilihat
6,072
Terang bulan
Religi

Aku sudah tidak sabar menunggu malam, dimana kegelapan hadir untuk menyadarkan manusia agar tidak selalu mengejar dunia. Mungkin tidurku akan nyenyak kali ini.

Bagaimana tidak? Perjuangan selama lima tahun pada akhirnya terbayar lunas. Penantianku membuahkan hasil, tidak mudah meluluhkan hati seorang wanita yang sekeras batu.

Setiap kali kuajak ke pelaminan, entah kenapa selalu ditolak dengan pelbagai alasan. Sebagai wanita yang hidup di era modern, jenjang karir ingin diraih terlebih dahulu, aku tidak keberatan.

Menikah memang tidak seharusnya tergesa-gesa, walaupun setiap hari pertanyaan ; kapan menikah? Selalu menghantui, aku tetap sabar.

Jujur keraguan sempat muncul, aku mengira rasa sayangnya mulai luntur karena terkikis waktu. Jika memang demikian, pengorbananku berakhir sia-sia. Aku akan patah hati yang teramat dalam.

Tapi semenjak dia mengatakan ; ‘bapak sudah bertanya kapan main kerumah.'

Aku bahagia, benar-benar bahagia. Tidak ada kabar baik lain yang bisa mengalahkan. Sebagai persiapan, aku belajar dari pelbagai sumber untuk merangkai kata. Kalimat romantis namun penuh makna tanggung jawab ingin kuberi, mereka harus kubuat yakin.

Kedua orangtuamu tidak perlu cemas terkait masa depan dari sang buah hati, dengan bangga akan kukatan bekerja di salah satu bank ternama. Masalah penghasilan tidak perlu diragukan, setiap bulan penghasilanku tetap. Aku layak dikatakan sebagai calon menantu idaman.

Tidak hanya dari pihak mereka, kedua orang tuaku juga merasakan kebahagiaan yang sama. Sudah lama mereka mendambakan memiliki seorang cucu, sebagai anak tunggal dari siapa lagi mereka bisa mengharap.

Setelah kuceritakan, nasihat banyak kuterima, Ibu mengingatkan agar aku berpakaian rapi saat nanti berkunjung. Sementara bapak memintaku datang ke kedai Martabak milik keluarga kami terlebih dahulu, aku rasa buah tangan ingin diberikan kepada calon besan.

Ketika hampir sampai ke alamat rumah pujaan hati, jantungku berdetak semakin kencang. Kalimat pinangan yang sudah tersusun rapi di kepala mendadak buyar. Dibandingkan saat interview kerja, momen kali ini lebih mendebarkan.

Sebagai lelaki, keteguhan hati harus dimiliki. Jika tidak bagaimana kelak aku menjadi seorang kepala rumah tangga?.

Di depan pintu rumah aku sudah disambut dengan senyuman manis, dari gelagat yang ditunjukkan, mungkin calon istriku sama gugupnya. Sebelum keluar dari mobil, kuhirup nafas dalam, aku mencoba menguatkan diri.

Di ruang tamu sekarang aku berada, tepat didepanku duduk, calon mertua menatap dengan tajam. Aku merasa seperti mendapatkan penghakiman, aku tidak berani balas menatap. Pandanganku tertunduk, keringat mulai mengucur dari dahi.

“Ini pak Terang bulan,” sebagai pembuka jalur pembicaraan, buah tangan kusampaikan terlebih dulu. Dengan tangan sedikit bergetar makanan kutaruh diatas meja.

Aku sudah diberitahu sebelumnya, calon mertua sangat menyukai Terang bulan. Hampir setiap malam beliau membeli, diseluruh sudut kota Solo pernah di cobanya untuk membandingkan rasa.

Jika tempat jualan bapak tidak berada diluar daerah, calon mertuaku tidak perlu repot-repot berburu disegala tempat. Dalam sekali gigitan aku yakin beliau dapat langsung menjatuhkan hati.

Di kotaku tinggal, lapak dari bapak begitu terkenal. Selain karena sudah berdiri sejak lama, rasa yang dimiliki terbilang spesial. Jika adonan terang bulan dari penjual lain hanya memiliki rasa ; original, ditempat kami memancarkan aroma vanila.

Jika ditempat lain kulit terang bulan akan melembek sesampai dirumah, di tempat kami akan selalu krispi dan tetap lembut tekstur didalamnya sampai keesokan hari.

Aku tidak sabar menantikan satu gigitan masuk kedalam mulut, tidak mungkin calon mertuaku dapat menolak mahakarya dari sebuah makanan.

Dua menit berlalu, terang bulan masih ditatapnya. Dahinya sedikit mengkerut sambil sesekali memegang-megang makanan.

Apa mungkin beliau takut aku akan memasukkan racun kedalamnya? Itu tidak mungkin, aku tidak mau rencana pernikahan kami gagal.

Ketika satu potong mulai diambil, jantungku berdebar tidak menentu. Aku membayangkan akan mengalami penolakan apabila rasa tidak sesuai dengan ekspektasi.

Tapi pemikiran tersebut segera kubuang jauh, selama ini tidak ada yang bisa menyangkal kelezatan Terang bulan milik keluarga kami. Sudah turun menurun resep digunakan, Kakekku yang pertama memulai usaha kemudian dilanjutkan oleh bapak.

Karena bapak ingin aku mendapatkan pendidikan lebih tinggi darinya, aku tidak diwajibkan untuk meneruskan. Aku juga tidak begitu tertarik untuk berjualan martabak.

Saat mengunyah, calon mertuaku memejamkan mata sambil tersenyum kecil. Dalam sekali makan, tiga potong terang bulan dihabiskan. Aku tahu beliau sangat menikmati, aku begitu lega. Perasaan canggung lama-lama menghilang, aku tidak lagi terserang rasa takut. Untuk sekarang kepercayaan diri semakin tumbuh.

“Apa ini martabak kenangan yang ada di Klaten?”

“Bapak tahu?” aku berhasil dibuat terkejut, baru kusadari ternyata usaha martabak milik keluarga kami sebegitu terkenalnya. Orang luar daerah sampai mengetahui.

Calon mertua tidak merespon dengan kalimat, kepala hanya dianggukkan menandakan kebanggaan diri karena berhasil menebak dengan tepat.

“Kebetulan itu milik keluarga saya pak,”

Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, karena serba kebetulan, previlage yang kumiliki sebagai anak penjual martabak kugunakan.

“Kalau ada acara ke Jogja, sepulang dari sana pasti kusempatkan untuk mampir membeli,” calon mertuaku akhirnya mau menjelaskan.

Suasana benar-benar mencair, obrolan kami terajut di seputaran dunia martabak. Aku sampai melupakan niat utama dalam berkunjung, baru kali ini aku bangga dengan usaha milik keluarga kami.

Dampaknya calon istri memberikan kode dengan menendang-nendangkan kakinya kearah betisku. Beruntung aku lelaki yang terbilang peka.

“Anu pak, maksud kedatangan saya kemari,” tapi belum sempat menyelesaikan kalimat, calon mertuaku menyela pembicaraan.

“Aku sudah tahu maksud tujuanmu datang kemari,” yang aku heran, beliau justru terlihat sedang merenungkan sesuatu. Memberikan jeda cukup lama.

Dampaknya rasa gugup kembali menyerang, tidak hanya tangan, kakiku juga ikut bergetar.

“Begini saja, anggap aku memberikan sesuatu yang paling berharga dihidupku. Apa kamu mau berkorban hal yang sama?” calon mertuaku mendadak melemparkan pertanyaan.

“Maksud bapak?”

“Aku akan menyetujui lamaranmu dengan satu syarat.”

“Maaf pak kalau boleh tahu, syaratnya apa?”

Awalnya aku mengira beliau menginginkan mahar berupa harta benda, jika cuma itu dengan rela hati akan kuberikan. Sudah beberapa tahun aku menabung untuk mempersiapkan momen seperti sekarang.

Demi mendapatkan pujaan hati, aku siap mewujudkan apapun permintaan yang diajukan, termasuk nyawaku jika perlu.

Tapi permintaan dari calon mertuaku terbilang aneh, aku lebih memilih untuk disuruh mengambilkan bebatuan dibulan dari pada menyanggupi permintaan tersebut.

 Seusai berkunjung, aku justru kesulitan untuk memejamkan mata. Tiap kupaksakan tidur, beban dikepala semakin bertambah.

Beberapa kali panggilan dari kedua orang tuaku menjadi terabaikan, aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskan. Aku begitu tersiksa, permintaan dari calon mertuaku di luar nalar.

Hanya dua jam aku bisa tidur, di kantor pekerjaanku menjadi berantakan. Aku mudah tersulut emosi, nasabah yang telat membayar angsuran pinjaman kumarahi.

Untuk apa juga aku memikirkan masalah orang lain ketika aku sendiri sedang ditimpa masalah?

Jika berani meminjam, bagaimana caranya harus bertanggung jawab untuk mengembalikan. Walaupun anak kalian masuk rumah sakit sekalipun, resiko denda keterlambatan tidak bisa dihapus.

Apa kalian tidak membaca surat perjanjian ketika menerima uang?

Empatiku benar-benar menghilang, Aku diambang frustasi. Sampai sekarang kabar belum kuberikan kepada kedua orang tuaku, mereka pasti khawatir.

Aku takut bapak tidak terima syarat yang di ajukan, jika benar terjadi, dapat dipastikan aku akan disuruh mengganti calon pengantin, aku tidak mau.

Calon mertuaku memberikan waktu tiga hari untuk aku kembali berkunjung dengan bapak, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk membujuk.

“Apa kamu gila?”

Agar tidak berlarut-larut, sepulang kerja kuputuskan untuk memberitahu. Seperti yang kubayangkan, bapak juga tidak menerima syarat yang diajukan.

“Apa kamu ingin bapak mengkhianati kakekmu?”

“Itu kan cuma resep! Bapak tidak kehilangan, sudah banyak juga orang yang berjualan martabak.”

“Tapi apa kamu lupa? Dari resep kakekmu, bapak bisa menyekolahkan mu sampai tinggi. Walaupun kamu tidak ingin melanjutkan usaha keluarga, resep tidak akan kuberikan kepada orang luar! Biarlah kubawa sampai keliang lahat.”

Bukannya berhasil membujuk, pertengkaran antara bapak dan anak tidak terhindarkan. Kami berdua saling tidak mau menurunkan ego masing-masing. Ibuku hanya bisa menenangkan.

Jika pernikahan merupakan ibadah, apakah akan sesulit ini untuk bisa mendekatkan diri dengan sang Pencipta?

“Ini sudah malam, kalian pasti juga sudah terlalu lelah karena seharian bekerja. Lebih baik kalian istirahat dulu, obrolan kita lanjutkan nanti saat sarapan.” Ibu memberikan nasihat, bapak segera beranjak kedalam kamar. Sementara aku bertahan diruang tamu.

Keesokan harinya bapak masih berpegang teguh dengan pendiriannya, aku berangkat kerja dengan membawa tangan kosong.

Calon istriku juga sudah beberapa kali menanyakan kabar kesanggupan, aku hanya memberikan jawaban yang bisa membuatnya tenang.

“Dua hari lagi aku akan kerumah.”

Sebelum berangkat, ibu berkata akan membantu membujuk bapak. Tapi tinggal satu hari kabar juga belum kunjung datang. Disaat bekerja, aku sudah tidak fokus, jika calon mertuaku bukan pencinta terang bulan, aku dapat dengan mudah memberikan resep lain. Tidak mungkin bagi orang awam bisa membedakan rasa pada tiap makanan.

Semisal berhasilpun, aku tidak mau membangun bahtera rumah tangga dengan sebuah kebohongan. Jangankan harmonis, keluargaku dapat terkena karma.

Aku menyesal dulu tidak mau diajari bapak untuk membuat adonan, saat remaja aku terlalu idealis.

“Pak, aku benar-benar mencintai pilihanku, bapak tidak mungkin menyesal memilihnya sebagai calon menantu.”

“Pak, mereka tidak melarang bapak berjualan. Apa salahnya berbagi resep? Jika dengan resep kita dapat memberikan rezeki bagi orang lain, pintu rezeki kita akan lebih ditambahkan oleh sang pencipta”

“Pak, bukankah kakek menciptakan resep juga untuk membahagiakan keluarga? Ijinkan aku bahagia pak.”

Frustasi tidak terhindarkan, aku hampir putus asa. Aku hanya bisa memohon dengan mengirimkan pesan beberapa kali. Sepulang kerja, badan kubaringkan di atas kasur.

Untuk apa juga calon mertuaku menginginkan resep martabak milik keluarga kami, apa beliau ingin membuka usaha? Apa usaha kos-kosan dan rumah kontrakan yang dimiliki kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan?

Aku rasa tidak, calon istriku dan keluarganya terbilang taat beribadah. Mereka tidak mungkin sebegitu ambisiusnya mengejar dunia.

“Ya sudah, besuk persiapkan dirimu.”

Sekeras apapun orang tua terhadap sang anak mereka akan tetap luluh, ketika hampir menyerah bapak akhirnya luluh. Beban dikepala terasa terangkat sepenuhnya, aku banyak mengucapkan terimakasih kepada bapak. Air mataku keluar seketika, akhirnya kita akan duduk dipelaminan bersama.

Yang masih mengganjal pikiran, apakah nanti saat kedua orang tua kami bertemu mereka dapat akur. Aku harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Dirumah calon istriku muka bapak masih menyimpan rasa kekesalan, waktu menyerahkan map berwarna coklat berisi resep martabak, keikhlasan belum sepenuhnya terbangun.

“Terimakasih pak,” calon mertuaku berkata. Sementara bapak hanya menunjukkan formalitas sopan santun dengan tersenyum.

“Kami berdua sudah mau memberikan harta yang paling berharga masing-masing, aku melepaskan putriku untukmu, sementara bapakmu mau memberikan resep berharga turun temurun. Sekarang giliranmu, sebagai calon kepala keluarga, apa yang akan kau korbankan untuk kebahagiaan orang yang kamu cintai?”

Aku tidak habis pikir dengan pola pikir dari calon mertuaku, benar-benar tidak bisa ditebak. Aku selalu berhasil dibuat terkejut dan kembali dibuat depresi karenanya.

Tapi yang aku heran bapak mengalami perubahan emosi, raut wajah beliau tidak lagi tegang. Senyuman justru dengan lepas keluar, sepertinya bapak mengetahui maksud tujuan dari calon besannya yang seakan mempermainkanku.

“Kalau kamu belum paham, biar aku jelaskan. Apa kamu mau berjualan martabak? Siapa lagi yang akan melestarikan makanan Nusantara jika bukan kalian para pemuda.

Aku tidak memintamu untuk harus mempunyai pekerjaan terpandang, karena rezeki hidup sudah ada yang mengatur. Bukankah dari berjualan martabak sudah dapat membuatmu sesukses sekarang? Jadi kenapa aku harus ragu dengan masa depan dari putriku.

Nak pekerjaan bapakmu itu mulia, dari pada aku, beliau justru lebih mengikuti tuntunan dari Rasullullah untuk berdagang. Jujur aku iri.

Aku juga sudah mempersiapkan ruko untuk berjualan jika kalian jadi menikah, apa kamu sanggup memenuhi syarat terakhirku?”

Setelah dijelaskan aku menjadi menyadari kenapa selama ini calon istriku tidak mau membawaku kerumah, aku merasa berdosa karena menjerumuskannya untuk berpacaran. Kini maksud dari calon mertuaku sepenuhnya kupahami.

Agar lebih berkah dalam menjalani kehidupan, aku dibukakan jalan untuk menempuh hidup sesuai dengan syariat agama. Jika langsung dilarang untuk bekerja ditempatku sekarang, tentu aku akan membela mati-matian karena menganggap profesiku disudutkan. Aku akan mencari-cari pembenaran untuk melindungi.

Bapak mencengkram erat tanganku dan menggoncangkannya, baru kali ini kulihat beliau berlinang air mata.

“Iya pak saya setuju.”



Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)