Masukan nama pengguna
Babak pertama.
Di loteng sebuah gedung terlihat dua orang anak kecil sedang bermain, namanya Rani dan Jodi.
Mereka berdua begitu menikmati waktu, Rani duduk dibangku sambil memainkan boneka. Sementara Jodi sedang berimajinasi menjadi seorang manusia berkekuatan super, kain sarung diikatkan ke belakang dianggapnya sebuah sayap.
Jodi membayangkan sedang terbang mengelilingi atap, tumpukan kayu dan pagar pembatas sudah seperti fasilitas bermain.
“Hati-hati! Nanti jatuh!”
Karena terbilang bahaya, Rani seringkali memperingatkan, Tapi sayangnya Jodi terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
“Kamu perempuan diam saja! Kamu tidak akan mengerti bagaimana serunya berpetualang.”
Bukannya berterimakasih karena telah diingatkan, Jodi justru memberikan ejekan kepada Rani. Hampir setiap hari pertengkaran kecil selalu menghiasi kebersamaan mereka.
“Lihat nak, kamu kalau sudah besar, jangan sampai mempunyai suami sepertinya. Kamu tidak akan pernah bahagia.” Rani juga mempunyai kesibukannya tersendiri, imajinasi rumah-rumahan sedang dimainkan.
Rani menganggap dirinya sebagai seorang ibu rumah tangga, sedangkan boneka dipangkuan diperlakukan layaknya buah hati. Dia saat itu memberikan nasihat sekaligus menyindir Jodi.
“Kamu kaya anak kecil, sukanya mainan boneka.”
“Justru kamu yang seperti anak kecil, Superman itu tidak ada!”
“Superman itu ada!”
“Kalau memang ada, apa kamu pernah melihatnya secara langsung?” Rani menyudutkan.
“Anu,aa aku sering melihatnya di televisi.”
“Kata Ibuku, yang ditelevisi itu cuma wujud khayalan dari para lelaki dewasa, mereka hanya ingin kembali menjadi seorang anak-anak.”
“Kamu jangan mengada-ada.”
“Kamu itu seharusnya dewasa sedikit!”
Serangan bertubi-tubi diterima oleh Jodi, dampaknya perdebatan tidak terhindarkan. Karena merasa pahlawannya direndahkan dan juga kalah dalam beradu argumen, Jodi memutuskan untuk mendekat kearah Rani. Dia duduk disebelahnya.
“Untuk apa juga kamu bicara dengan sebuah boneka? kamu sudah gila?” sambil mencengkram kepala boneka milik Rani, Jodi balik menyindir.
Ketika merasa buah hatinya sedang terancam, Rani secara reflek melindungi, mereka saling tarik-menarik kemudian. walaupun seorang perempuan, tenaga yang dimiliki tidak kalah besar.
Karena lengah, tangan dari Jodi sampai tergigit. Rasa sakit tidak terhindarkan, agar Rani berhenti, boneka terpaksa dilepasnya.
Sebenarnya Jodi ingin menangis, tapi sebagai lelaki, dia malu jika sampai terlihat lemah didepan seorang perempuan.
“Makanya jangan nakal!” Rani memperingati.
Sambil memegangi tangannya yang sakit, Jodi mulai bergeser menjauh. Dia takut jika sampai terkena gigitan lagi.
“Kamu tidak apa-apakan nak?”
Bukannya menolong, Rani lebih mengkhawatirkan boneka miliknya. Melihat itu Jodi sedikit kesal karena merasa kalah berharga.
“Kamu tidak bosan bermain boneka?” Jodi bertanya, dia mencoba mengalihkan rasa sakitnya.
“Kamu sendiri juga tidak bosan bermain pahlawan-pahlawanan?” tensi pertengkaran mulai menurun diantara keduanya.
“Sebenarnya aku sudah bosan.”
“Sama kalau begitu.”
“Kenapa ya di tempat ini tidak ada anak kecil lain?” Jodi kembali mengajukan pertanyaan.
"Aku tidak tahu.”
Suasana hening menjadi terajut, mereka berdua menatap langit sekarang. Walaupun masih anak-anak, merenung bukan hal yang mustahil dilakukan.
“Aku pernah meminta Ibuku untuk dibuatkan adik.”
“Dikabulkan?”
“Aku justru dimarahi.”
“Kenapa?” Rani kembali bertanya.
“Kata Ibuku, jika banyak anak, pengeluaran rumah tangga juga akan semakin banyak. Gaji dari bapakku tidak akan mencukupi kebutuhan.”
“Tapi justru kata bapakku, banyak anak maka banyak rezeki pula." Rani menyangkal perkataan dari Jodi.
“Kalau memang benar, kenapa kamu tidak memiliki seorang adik? Kenapa kamu hanya bisa bermain dengan boneka sampai sekarang?”
“Aku tidak tahu,” kali ini Rani berhasil dibuat tidak berkutik.
“Coba kita diijinkan bermain keluar gedung, mungkin kita akan mendapatkan banyak teman”
“Bahaya! Apa kamu lupa nasihat dari para orang dewasa? Diluar banyak sekali penculik berkeliaran. Orang-orang yang tinggal di gedung sebelah pasti juga melarang anak-anak mereka bermain diluar, dimanapun tempat akan sama saja.” Rani mengingatkan.
“Kenapa ya, orang dewasa tidak membangun taman bermain khusus untuk anak-anak? Biar aman, bukankah bisa dijaga oleh para tentara. Penculik tidak akan ada yang berani mendekat.” Jodi berandai-andai.
“Siapa nanti yang akan mengantar kita ke taman? Dijalan sendirian sama saja bahaya!”
“Apa karena khawatir maka banyak yang tidak menginginkan mempunyai seorang anak?
Apa justru kita menjadi beban untuk orang dewasa?
Pantas saja mereka selalu beralasan sibuk bekerja jika kita ajak bermain?” Jodi merenung, keluh kesah banyak dikeluarkannya.
Mendengar perkataan dari Jodi, Rani terdiam. Sebagai bentuk respon dia hanya bisa mengelus-elus rambut boneka. Mereka berdua merasakan kesepian yang sama.
“Walaupun kamu menyebalkan, tapi aku bersyukur masih mempunyai teman sepertimu."
Perkataan dari Jodi membuat Rani terkejut, wajahnya memerah seketika. Jarang sekali Jodi bersikap lembut.
“Kenapa dari tadi kamu diam? Kamu sakit perut?”
Seperti tanpa dosa, Jodi merubah tema pembicaraan sesuka hati. Dampaknya emosi Rani serasa dipermainkan.
“Ih! Kenapa kamu justru merusak suasana. Lelaki memang tidak pernah peka. Kamu itu lebih menyebalkan!”
“Lah, kenapa tiba-tiba kamu marah?”
“Sudah nak! Jangan hiraukan lelaki itu lagi.” Karena merasa kesal, Rani memalingkan badan.
Jodi tersenyum melihat tingkah dari teman disebelahnya, untuk menggoda, Jodi mencolek pundak dari Rani.
“Kalau sekarang boneka itu kamu beri nama siapa?”
“Tidak akan kuberitahu!”
“Kamu jangan marah-marah terus, nanti cantikmu bisa hilang! Coba pikirkan, kalau bukan aku memang ada orang yang mau menemanimu bermain?”
“Kamu harusnya yang berterimakasih, aku justru yang menemanimu. Apa kamu berani pergi keatas sini sendirian?”
“Ya sudah, berhubung aku bosan menjadi Superman, kali ini kutemani kamu bermain rumah-rumahan.” karena tidak mau diejek penakut, Jodi menurut.
“Benar?” seperti tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Rani segera menghadapkan wajahnya kembali kearah Jodi.
“Iya, tapi jangan aneh-aneh. Aku tidak mau jika terus dipaksa berperan sebagai seorang Pangeran yang meninggal karena diracun. Kamu terlalu banyak menonton sinetron.”
“Tapi itu romantis! Salah siapa selingkuh!”
“Romantis apanya? Siapa juga yang selingkuh, kan kamu sendiri yang membuat alur cerita.
Bagaimana kalau hari ini kita beradegan polisi-polisian, nanti ceritanya, kamu akan diculik oleh penjahat. Dan aku akan datang sebagai juru penyelamat.”
“Siapa yang mau diculik? Kamu tega aku berada dalam keadaan bahaya? Jika aku dibunuh sebelum kamu sampai bagaimana? Kamu kuat jika kutinggal pergi?”
“Berarti selama ini kamu yang egois, masa aku tiap hari yang harus mati.”
“Kamukan lelaki, sudah tugasmu melindungi dan mengorbankan diri demi wanita. Katanya superhero?!” Rani menyindir.
“Siapa juga yang mau melindungi wanita cerewet sepertimu.”
“Hihh, semua lelaki memang menyebalkan!”
“Kamu memang siapa? Jika kamu istriku, baru aku mau mempertaruhkan hidupku.”
“Yasudah kalau begitu, mulai sekarang kamu jadi suamiku! Dan dia adalah anak kita.” Tanpa mendapat persetujuan, Rani memaksa.
Jodi bimbang, dia tidak bermaksud berkata demikian. Tapi sudah terlanjur boneka berpindah pangkuan, tidak ada pilihan selain mengikuti alur permainan.
“Lihat nak, Ibumu galak, setiap hari pasti kamu dimarahi.” Siapa sangka, Jodi begitu menghayati berperan sebagai seorang suami. Boneka milik Reni ditimangnya seperti anak.
“Kalau bermain jangan mengada-ngada, aku itu Ibu yang baik hati. Baru mulai sudah membuat kesal!”
“Siapa yang mengada-ada, lihat! wajah anak kita lebih mirip denganku. Dia penuh kasih sayang, tidak sepertimu.”
“Kamu tidak terima punya istri sepertiku? Seharusnya kamu bersyukur sudah ada yang mau.”
“Tuh nak, ibumu marah-marah lagi.”
“Siapa yang marah?! kamu jangan mengajari anak kita yang tidak-tidak.
“Aku heran, pantas saja kamu selalu sendiri. Mana ada lelaki yang bisa berumur panjang jika hidup denganmu!”
“Maksudmu apa? Kamu itu jahat!”
“Clark Kent, kamu lebih sayang bapak atau ibu?”
“Kamu jangan seenaknya memberi nama bonekaku! Ah sudahlah! Aku tidak mau bermain lagi!” Boneka kembali diambil oleh Reni, dia mudah berubah pikiran.
“Tidak diikuti marah, diikuti juga marah. Sebagai lelaki aku harus bagaimana agar membuatmu senang?”
“Tersererah!”
“Apa kita ganti permainan saja?” Jodi menyarankan.
“Main apa? Asal jangan perang-perangan.”
“Main kejar-kejaran?”
“Capek!”
“Main layangan?”
“Ribet!”
“Main engklek brok?”
“Permainan itu sudah ketinggalan zaman!”
“Main rembete?”
“Kuno!”
“Sebenarnya mau mu apa? Katanya terserah?!”
“Ya terserah.”
“Ahhh!!” Jodi berteriak kesal, kini dia yang memalingkan badan.
“Kamu jangan ikut-ikutan marah, kita justru tidak mulai-mulai bermain kalau begini.” Rani membujuk.
“Makanya tentukan pilihan! Kamu mau main apa?”
“yasudah, petak umpet saja.”
Jodi tidak segera menjawab, saran dari Rani dipikirkannya terlebih dulu. Tapi karena sependapat, Jodi menyetujui.
“Semisal nanti aku yang jaga, kamu jangan pergi menghilang?”
“Kamu takut?” Rani menggoda.
“Siapa yang takut?”
“Aku cuma tidak ingin sendirian.”
“Yasudah kalau begitu cepat jaga! Biar aku segera sembunyi?”
“Kok aku? Kamu jangan curang! Kita suit dulu!”
“Kalau tidak mau, aku tidak akan pernah menemanimu keatas lagi!”
“Yasudah, tapi kita hanya boleh bersembunyi disekitar sini saja. Tidak boleh turun kebawah!” Jodi memberikan syarat.
“Iya-iya, cepat sana pejamkan mata. Pakai sarungmu untuk menutupi! Awas jangan mengintip!”
“Iya.”
Jodi mulai menghitung, dua puluh detik waktu diberikan kepada Rani untuk mencari tempat bersembunyi.
Semakin lama menghitung, suara dari Rani mulai tidak terdengar, Jodi mengira temannya sudah menemukan tempat yang aman.
“Sudah ya? Aku buka.”
Pelbagai sudut atap mulai Jodi periksa, dia mengira Rani sedang bersembunyi dibelakang tumpukan kayu. Tapi ketika berniat mengagetkan, Rani tidak berada disana.
Jodi mulai panik, dimanapun tempat Rani tidak kunjung ditemukan.
“Ran, Rani, kamu dimana?
Ran cepatlah keluar! Jangan mengerjaiku! Ran? Rani?
Ran, Rani?”