Cerpen
Disukai
29
Dilihat
7,083
RUMAH ALLAH
Religi


Based from reality life....

Aku hanya bisa memandang sedih ibuku yang terbaring sakit disatu-satunya ranjang kayu tua di gubukku ini....

Aku pernah mencoba membawa ibuku ke rumah sakit. Tapi aku tak punya uang agar ibuku bisa mendapatkan pelayanan rumah sakit. Orang-orang yang bertugas di sana ternyata tak memiliki hati yang putih seputih baju yang mereka kenakan. Mereka menolak ibuku dengan alasan klasik dan sederhana namun mengundang amukan dan kemarahanku dalam hati. Ibuku tak bisa berobat sebelum aku menyetorkan uang deposit!

Dari mana aku mendapatkan uang? Untuk makan saja aku harus kalang kabut mencari ke sana kemari. Sekolahku sudah dua tahun ku tinggalkan saat aku duduk di kelas dua smu karena aku tak tega melihat ibuku yang sakit-sakitan terus bekerja. Akupun mencoba untuk mencari pekerjaan membantu ibuku yang semakin sakit. Tapi pekerjaan apa yang bisa didapatkan dari seorang pemuda yang tak tamat sekolah dan tiada keahlian selain kerja kasar, kuli dan serabutan? Akupun terpaksa harus rela menjalani hidup yang seperti ini walau dalam hati selalu berontak mempertanyakan keadilan Tuhan.

Dan amarahku pada Tuhan akan hidup seperti apa yang aku jalani ini semakin meluap dan perlahan-lahan membesar saat ibuku mengangankan sesuatu yang menurutku sangat tidak mungkin dan tak masuk akal. Ibuku mengangankan bisa menunaikan rukun islam ke lima, naik haji ke Mekkah!

Suatu angan yang menurutku mustahil walau aku tahu bahwa apapun bisa terjadi saat DIA melafaskan KUN FAYAKUN! Tapi saat ini aku bicara tentang kenyataan dan realita hidup. Untuk berobat saja aku harus bekerja lebih keras lagi, bahkan meninggalkan ibuku hingga larut malam. Belum lagi untuk makan sehari-hari dan uang sewa gubuk ini. Semua itu menjadi tanggung jawabku yang semula ingin kujalani dengan mencoba ikhlas menerima hidup yang menjadi takdir Illahi. Aku mencoba pasrah sambil mengharapkan pahala dari Allah untuk semua penderitaanku ini.

Tapi aku hanyalah seorang pemuda labil dengan kehidupan keras yang aku jalani. Emosi dan kegelisahan, amarah dan kekecewaan, luka dan penderitaan pada hidup yang serba sangat kekurangan yang aku jalani berkumpul dan mengendap menjadi satu di dasar hati. Puncaknya aku tak lagi sanggup menahannya saat ibuku terus mengangankan ingin pergi berkunjung ke rumahNYA! Aku tak lagi bisa menahan kesabaran menghadapi angan ibuku yang bagiku sangat tak masuk akal.

Karena semua itu tak mungkin terjadi! Dari mana daya dan upaya itu datang? Dalam bentuk apa? Uang? Siapakah di dunia ini yang dengan ikhlas dan rela mau mendermakan uang yang sedemikian besarnya pada orang seperti kami? Bahkan untuk membawa ibuku ke rumah sakit aku pernah memohon pada tetanggaku yang lebih mampu. Tapi mereka hanya bisa memberikan doa dan tepukan di bahu sambil mengatakan bahwa aku harus tabah menghadapi semua ini.

Apa yang bisa didapat dari doa dan tepukan di bahu? Aku bukannya tak menghargai itu, tapi saat ini aku tak butuh doa dan nasehat. Apa mereka pikir bahwa hanya dengan doa dan nasehat ibuku bisa sembuh? Apa mereka pikir dengan sabar dan menyerahkan semua ini pada Yang Maha Kuasa penyakit ibuku bisa hilang? Ucapan mereka yang hanya bisa menasehati tanpa pernah membantu itu semakin mengundang kebencianku pada hidup.

Hidup tak berpihak pada orang-orang sepertiku. Kami tak punya pilihan untuk menentukan hidup. Kami hanya bisa menjalani dan dipaksa menerima apa yang menjadi takdir kami tanpa tahu apa sebenarnya arti keberadaan kami di dunia ini, apakah menjadi bagian dari dunia atau hanya menjadi bahan pelajaran bagi mereka yang memiliki segalanya agar tidak menjadi orang seperti kami. Kami hanya jadi pelengkap keberadaan dan bukti bahwa selain ada orang kaya juga ada orang miskin.

Tapi ibuku tetap yakin dengan angannya. Ibuku terus saja berkata bahwa aku tak boleh melupakan peran Tuhan dalam menentukan hidup. Apa saja bisa terjadi termasuk keajaiban dan mukjizat. Tuhan yang berkuasa, Dia yang mengatur rezeky para hambaNya. Dia yang memberikan kemiskinan dan kekayaan pada umatnya. Tinggal umatnya yang harus menentukan apakah kemiskinan dan kekayaan itu dianggap sebagai anugrah ataukah sebagai beban hidup.

Aku tersenyum miris. Keajaiban? Mukjizat? Aku hampir tak mempercayai dua kata itu. Di reality dunia yang aku jalani ini, dua kata itu tak pernah ada dalam pikiranku. Apakah kemiskinan ini menjadi anugrah atau beban, aku juga tak bisa memilih.

Saat ini semua orang begitu percaya pada mukjizat dan keajaiban. Tapi apa mereka sadar bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia untuk menjalankan hidup dan takdir mereka hanya dengan keajaiban? Apa mereka tak sadar bahwa sekarang ini mereka berada di realita dan kenyataan hidup di dunia?

Sedangkan Rasulullah tak pernah mengajarkan umatnya hidup dengan hanya mengharapkan keajaiban. Sedangkan Rasulullah tak memiliki mukjizat dalam diri Beliau. Mukjizat yang Rasulullah miliki hanyalah Al Quran dan Hadist. Beliau tak seperti nabi sebelumnya yang memiliki kehebatan untuk membuktikan kenabian mereka pada umatnya. Beliau tak seperti nabi Musa yang bisa membelah laut dan mengubah tongkat menjadi ular. Atau nabi Daud yang memiliki suara merdu dan mampu melebur besi dengan tangan untuk dijadikan baju perang. Atau nabi Sulaiman yang mampu dan bisa menundukkan semua jenis makhluk hidup didunia ini termasuk jin dan setan. Dan Beliau tak seperti nabi Yusuf yang memiliki kecantikan tiada tara dan mampu menafsir mimpi.

Rasulullah adalah Rasulullah, seorang lelaki sederhana yang buta huruf, yang tak mengharapkan mukjizat dalam diri untuk menyadarkan umatnya agar menyembah Allah. Karena Rasulullah ingin umat manusia ini menjadi insaf dan syadar dengan keikhlasan dan kerelaan hati mereka. Rasulullah ingin mereka berakhlak mulia, mencontohi akhlak mulia yang Rasulullah miliki hingga Allah menjadikan Rasulullah sebagai kekasihNYA. Agar seluruh umat islam taat menjalani apa yang tertulis dalam Al Quran dan hadist.

Tapi berapa banyak orang yang mau membantu saudara mereka yang susah? Berapa banyak yang mau menyadari bahwa di dalam harta mereka ada hak bagi kami orang miskin? Dan tak semua dari mereka mau bersedekah secara ikhlas tanpa riya di dada.

Allah itu Maha Adil, tapi manusia menafsirkan keadilan itu menurut ukuran mereka sendiri. Betapa kelima rukun islam itu adalah wujud keadilan Allah untuk hambanya. Diantara lima rukun islam itu, hanya dua ibadah yang haram diganti sedangkan tiga ibadah lain ada penggantinya. Dua itu adalah mengucapkan dua kalimah Syahadah dan sholat lima waktu. Haram hukumnya bila mengganti kalimah Syahadah dengan kalimah pengakuan lainnya karena akan menjadi musyrik dan syirik. Haram hukumnya meninggalkan sholat, bahkan saat sakit dan tak bisa menggerakkan tubuh sekalipun karena kita masih punya akal dan hati yang menggerakkan keinginan dan perasaan. Hanya orang gila dan tak sadarkan diri yang boleh meninggalkan sholat.

Sedangkan ibadah yang lain ada penggantinya. Berpuasa di bulan Ramadhan, tak semua orang bisa dan mampu berpuasa di bulan suci. Orang yang sakit, yang harus menelan obat demi kesembuhannya diperbolehkan mengganti saat sehat nanti. Juga wanita yang sedang haid. Jika ibadah puasa ini tiada penggantinya, mungkin seluruh wanita di dunia akan menjadi penghuni neraka karena mereka memiliki kelemahan dalam diri mereka. Dan mereka akan menggugat Tuhan karena tidak adil.

Lalu zakat. Tak semua orang mampu berzakat. Tak semua orang memiliki harta untuk diberikan saat ramadhan hampir berakhir. Fakir miskin yang hidup serba kekurangan tak diwajibkan untuk mengeluarkan zakat, malah mereka diwajibkan untuk menerima zakat karena itu merupakan hak mereka atas harta orang-orang yang berpunya.

Dan yang terakhir adalah ibadah yang menurutku terkadang hanya menjadi ajang pembuktian kekayaan saja, ibadah haji. Mereka yang memiliki uang bisa mengerjakan ibadah haji. Atau mengerjakan ibadah penggantinya yang disebut umrah. Dengan uang yang mereka miliki, apakah itu halal atau haram tanpa memperdulikan asal usulnya, mereka bisa berkunjung kapan saja mereka inginkan. Apalagi dengan kehebatan transportasi saat ini, mereka bisa dengan mudah berkunjung ke Mekkah yang mereka sebut dengan “rumah Allah”. Tapi tahukah mereka apa “rumah Allah” yang sebenarnya itu? Mereka tak perduli dengan saudara mereka yang serba kekurangan. Mereka cuek. Mereka lebih bangga dengan gelar haji dan bercerita tentang keajaiban yang seolah-olah terjadi pada mereka saat berada di sana.

Tapi tahukah mereka bahwa Allah itu Maha Kuasa? Berapa kalipun mereka ke sana, berapa kalipun mereka mencium Hajarulhaswad, mereka tak lantas menjadi haji yang mabrur. Mereka tak lantas mendapatkan pahala yang besar ketika ada keluarga miskin di sekitar mereka teraniaya dan terzolimi oleh hidup dan keadaan. Mereka tak akan mendapatkan apa-apa.

Bahwa Allah itu Maha Adil. Ibadah Haji bukan satu-satunya tiket dan penjamin diri bisa masuk syurga. Masih banyak jalan menuju “rumah Allah” yang sebenarnya. Apalagi jika dijalani dalam kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki, pahalanya akan lebih besar dari ibadah haji. Bahwa Allah lebih menyukai orang yang terzolimi dan teraniaya oleh apapun, tapi tetap sabar, ikhlas dan pasrah pada apa yang menjadi takdir mereka. Karena islam bukan hanya untuk mereka yang memiliki kekayaan duniawi saja.... 

Di bumiMU yang manakah hambamu ini berada ya Allah.

Ketika mengucapkan dua kalimat syahadat untuk mengakuiMU                 sebagai Tuhan dan Rasullulah sebagai utusanMU. Tetapi menyekutukanMU dengan kemewahan dan keindahan yang berasal dari MU. Memuja berlebihan. Bahkan berlaku syirik tanpa di sadari. Bukankah harta, istri dan anak juga cinta dan kekuasaan hanyalah cobaan bagi kaum yang mau berfikir? Karena hanya Engkaulah yang layak disembah

Di bumi MU yang manakah hambaMU ini berdiri ya Allah.

Ketika menyembahMU kini hanya menjadi suatu ritual semata. Tanpa keikhlasan dan ketaatan. Serta kesucian untuk taat hanya kepadaMU. Tanpa ada perasaan khianat dalam hati yang menyembah pada yang lain selain dariMU. Hingga akhirnya muncul penyesalan ketika datangnya hari akhir menjadi penyesalan yang tak berarti lagi

Di bumi MU yang manakah hambaMU ini berpijak ya Allah.

Ketika puasa tak lagi mensucikan hati dan jiwa. Atau menjauhkan diri dari perbuatan yang engkau murkai. Berzinah dan tak lagi memperdulikan dosa. Zina terhadap harta. Zina terhadap kekuasaan. Dan zina pada makhluk yang bukan muhrim. Hingga akhirnya yang didapat hanyalah rasa lapar. Tanpa ada pahala seperti yang telah Engkau janjikan.

Di bumi MU yang manakah hambaMU ini memohon ya Allah.

Ketika mengeluarkan zakat bukan lagi suatu kewajiban. Dan sadaqah hanyalah alat untuk mendapatkan nama dan kepopularan. Bersama riya yang mengiringi. Tanpa adanya rasa tanggung jawab untuk berbagi. Bahwa ada hak para fakir miskin di setiap harta yang dikumpulkan. Karena harta dunia begitu indah dipandang mata. Padahal syurga adalah keindahan yang abadi

Di bumi MU yang manakah hambaMU ini berdiri ya Allah.

Ketika berkunjung ke rumahMU dan mengharapkan haji yang mabrur. Dengan gelar yang didapatkan dan dibanggakan. Tanpa memperdulikan asal muasal harta. Mengunjungi MU tak lagi sesuatu yang religius. Bahkan tak bisa mendekatkan diri padaMU. Walaupun telah berkunjung ke rumahMU. Sementara melupakan saudara se-IMAN yang dilanda kesusahan. Tetangga yang kelaparan. Yang akan menjadi pertanyaan dari MU di akhirat nanti. Karena bukankah ada banyak jalan menuju rumahMU yang sebenarnya? Dan doa serta ucapan syukur dari orang yang terzolimi teraniaya dan membutuhkan bantuan itu seratus kali lebih mulia daripada berkunjung berkali-kali ke rumahMu bersama kesombongan akan gelar yang didapatkan. Dan Engkau Maha Tahu atas segalanya.

Dan di bumi milik MU inilah hambaMU kini berada.

Dengan rukun Islam yang semakin kehilangan makna. Dan syariat agama yang tiada lagi ada artinya. Bersama hilangnya Iman di dada. Hingga saat datangnya hari akhir yang telah Engkau janjikan tiba....

Aku mengangkat kepala ibuku dan meletakannya di pangkuan. Tak terdengar lagi sesak nafasnya menahan sakit. Dadanyapun tak lagi naik turun seperti biasa. Azan syubuh dan air mata yang mengalir di pipiku seolah menjadi pertanda bahwa ibuku kini telah pergi bersama angannya berkunjung ke “rumah Allah”.

Mungkin bagi kalian terasa indah dan mengharukan. Tapi tidak untukku karena aku sudah muak dengan ketidakadilan hidup.

 .....,.............................................

Jika ada hari kasih sayang, hari kemerdekaan dan hari-hari lainnya, adakah hari untuk kaum dhuafa?

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)