Masukan nama pengguna
Hidup seringkali memaksa kita untuk memilih. Bertahan atau menyerah. Terkadang kita, dihadapkan, pada jalan buntu, atau gelap. Atau tidak ada jalan lain yang harus ditempuh, sehingga itu, satu-satunya pilihan, tetap melangkah, berjalan, bertahan mengayunkan kaki, menginjak kerikil tajam dan semak belukar yang melukai kaki. Tak tahu sampai dimana ujungnya. Yang jelas. Jika ingin hidup bertahanlah. Terima, segala ketidak adilan, kesengsaraan, yang entah sampai kapan akhir kesudahannya. Bukankah hakikat sabar itu sendiri bertahan, terhadap penderitaan yang dialami. Tapi ingat. Tidak ada jalan yang benar-benar cadas, sepanjang kita sabar melaluinya. Pastinya akan ada jalan yang mulus dengan pemandangan yang indah, setelah sabar melalui tahapannya.
Bertahan hendaklah bertindak aktif. bisa jadi melawan, berusaha dan do’a adalah kawan sejati dalam menempuh liku jalan penderitaan.
Abah salim, adalah panggilan akrab, yang biasa dipanggil oleh seluruh rekan kerjanya. Tidak peduli tua ataupun muda. Panggilan abah tetap melekat dalam diri salim. Lelaki yang perawakannya tinggi sekitar seratus tujuh puluh sentimeter. Kurus, kulit kuning menuju coklat. Tidak tepat juga disebut sawo matang. Berkacamata minus dan plus selalu menjadi ciri khasnya.
Di umurnya yang memasuki empat puluh lima tahun ini. Dia sedikit terusik dengan kenyataan pahit hidupnya. Dianya yang dulu menikmati hidup seolah tanpa beban. Kini merasa sering gelisah, tidak tenang. Kadang kala seperti diburu waktu, pada hal tidak ada seorangpun yang mendesaknya.
Bermula dari mendengar ceramah ustadz, tentang dosa jariyah di tempat kerja. Kurang lebih begini penyampaian dari sang ustadz.
Pegawai Negeri Sipil, memiliki dosa jariyah. Seperti kelebihan anggaran yang tidak dikembalikan kepada negara. Tapi dia membaginya, menggunakannya untuk kepentingan pribadi. tidak mau berusaha untuk merubahnya, dengan dali ini sudah merupakan sistem, yang sudah ada dari dulunya. Na'udzubillahi min dzalik. memakan sesuatu yang bukan haknya, adalah tindakan dosa besar. Siapapun yang terlibat dalam hal itu, dosanya adalah dosa jariyah.
Ceramah ustadz itu, selalu terngiang dalam pikiran dan hati Abah Salim.
Sebenarnya tidak menjadi beban bagi Abah, karena Abah Salim abah hanyalah seorang staf pelaksana, selama dia menjadi pegawai negeri sipil. Tidak ada jabatan eselon yang di mencantol dalam dirinya, seumur pengabdiannya. Jadi buat apa abah galau, toh bukan abah yang mengambil keputusan setiap penggunaan anggaran. Tapi Abah juga bagian dari itu. Sedikit banyak. Ada juga cipratannya. Ibarat kita bermain air, teman yang mandi, menyelam sampai ke dasar. Kita yang ada di tepi pasti kebasahan juga. Meskipun tidak sampai kuyup.
“Jadi apa kenapa aku merasa terbebani.”
“Siapa yang mengambil keputusan.”
“Tapi kamu juga ikut menikmatinya.”
“Memang aku bagian juga dari mereka.”
Tidak itu saja yang membuat gundahnya hati Abang Salim, ada banyak hal yang kurang cocok, yang tidak masuk di akal, yang harus dilakukan Abah. Tapi harus dilakukan, karena alasan sudah ada dalam sistem. Itulah salah satu mengapa dia betah, hanya sampai, menjadi pelaksana, yaitu PNS dengan kasta terendah, di lingkungan pemerintah daerah. Sementara teman seangkatan, bahkan umurnya jauh di bawah abah telah menjadi kepala seksi, kepala bidang, bahkan ada yang menjadi kepala dinas. Bukan abah tidak ingin mencapai jenjang karir yang bagus, tapi cara mencapainya itu, yang membuat Abah berfikir untuk mencapainya.
“Buat apa punya jabatan kalau dari hasil main sikut-sikutan.”
“Andai ada tes yang memberikan hasil murni, belum tentu aku gagal”
“Tapi siapa yang suka dengan tes untuk jenjang eselon?” Pikir abah. Pertanyaan itu menempel kemana saja abah pergi, seolah di beri lem yang sangat kuat di kepalanya.
Abah juga kurang senang melihat, teman-temannya yang menenteng tas tangan, atau barang bawaan pimpinannya, kalau sedang melaksanakan perjalanan dinas. Bagi Abah itu sudah tidak wajar. Orang kita sama digaji pemerintah, dia enak saja lenggang kangkung, sementara bawahan sudah kewalahan membawa barang bawaannya. Mana lagi kalau dia bawa anak dan istri. Bisa-bisa jatah kamar hotel dipakai oleh keluarganya. Abah pernah mengalaminya. Jatah kamarnya di pakai atasan bersama istrinya.
Sang atasan sedang mengalami disharmonis itu, membujuk istrinya untuk dinas, bersama abah. Hitung-hitung jalan-jalan lah. mereka yang dinas. Tapi sang istri dan anaknya, bisa pergi ke mall atau ke taman hiburan. Untung ini di Jakarta, Abah tidak kewalahan, karena sanak saudaranya banyak di Jakarta. Abah terpaksa menelpon saudaranya, Minta izin tidur dirumah saudara, dengan alasan kangen dan ingin silaturahmi, sekalian melihat keponakannya yang masih usia taman kanak-kanak. Meski kesal, tapi Abah tidak bisa protes dan berbuat banyak. Sejak saat itu abah kapok, dan tidak berani lagi di perintah, melaksanakan dinas di luar kota. Sudah cukup satu kali itu, Abah sudah bisa menolak. Karena mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya.
Yang abah sesalkan, kenapa tidak seorangpun yang berani berbicara pada atasan, walau hanya untuk memberikan padangan. Baik buruknya keputusan itu. Tidak ada. Semuanya iya pak. Siap pak. Abah muda pun juga begitu dulunya. Setiap mengingat peristiwa itu abah selalu beguman.
“Ya Allah betapa bodohnya aku kala itu.”
Sampai timbul tekad.
“tidak akan lagi, perjalanan dinas, atas nama menemani, mengiringi pejabat tinggi.”
Memang Abah memenuhi janjinya. Setiap perintah di tolak Abah dengan lembut. Dan seseorang pasti siap menggantikan tugas Abah. Jadi abah tidak pernah merasa bersalah. Malahan orang itu bersyukur dan berterima kasih pada Abah.
****
Abah yang pintar, pengalaman dalam organisasi dan masyarakat. Tidak mampu dilirik Bapak Bupati untuk membantunya dalam mengemban tugas membangun kabupaten, walaupun Bupati itu sendiri satu sekolah dengan Abah Salim, hanya beda tingkat saja.
Abah dinilai terlalu realistis. Abah tidak bisa menyenangkan hati atasannya. Abah pemalas, kalau sudah urusan memenuhi dan melayani keinginan pimpinannya. Ditambahlah mulut abah yang cenderung blak-blakan, terlalu jujur dalam menyampaikan isi hatinya, pelit juga dalam memberikan pujian. Pimpinan butuh juga pujian. Sedikit sanjungan yang menyenangkan pasti akan mendatangkan kesenangan dan pimpinan pasti akan mengingat Abah Salim, yang royal dan menyenangkan. Memang abah jauh dikatakan layak, untuk mendapatkan jabatan. Tidak peduli Abah dengan kesemuanya itu.
“Bah, Abah sudah layak menjadi pimpinan. Minima eselon tiga lah.”
“Banyak-banyak saja ketemu bupati, beliaukan kakak tingkat Abah.”
“Bener Bah, Masak sama-sama pernah menjadi pengurus osis, gak ada rasa pedulinya. Abah saja yang kurang bergaul dengannya.”
“Sering-sering lah, main ke kediaman rumdin biar beliau ingat Abah. Karena yang mau jabatan itu banyak juga, mereka berseliweran di rumdin.” Rumdin adalah singkatan dari Rumah Dinas.
Perkataan rekan-rekan kerja Abah, di sela istirahat di teras mushola, tidak membuat abah tergiur. Terbesit saja pun tidak. Abah hanya tersenyum dan menjawab.
“Aku tidak berminat dengan jabatan yang diperoleh, dengan cara seperti itu.”
sambil tersenyum abah memasang sepatunya, dan meminta izin untuk pergi.
*****
“Assalamualaikum,” ujar Abah.
Wa’alaikumsalam, oh Abah, ada yang bisa kami bantu?”
“Ada saya mengantarkan surat ini, ke kasubag kepegawaian. Orangnya ada?” Ujar Abah kepada salah satu pegawai disana.
“Oh… jadi, Abah akan bergabung dengan kita.” Ujar kasubag kepegawaian, yang sudah lama mengenal Abah.
“Iya, saya dimutasi kesini. Mulai tanggal ini. Insya Allah, mulai besok saya sudah berada disini.” Ujar abah dengan tenang.
“Siap Abah, Selamat bergabung ya Bah. Semoga Abah betah.” Ujar mereka yang telah lama mengenal Abah.
Ternyata abah dimutasi. Alasannya tidak jelas. Walaupun Abah PNS senior, Abah cukup cekatan dalam bekerja. Pantang bagi Abah untuk berleha-leha. Abah juga tidak kalah dengan pegawai baru soal penggunaan teknologi. Abah cepat belajar, dan jarang merepotkan. Semua paham, dan merasa lumrah. Karena Dinas tempat abah bernaung adalah dinas favorit, lahan basah. Banyak yang mengincar. Mungkin karena pegawai yang membludak, terpaksa abah yang dipindahkan. dasar abah tetap saja legowo.
****
“Ris, lu udah lihat statusnya, Lisa Belum.” Ujar Dina pada Riska.
“Belum, memang ada apa?” Riska balik bertanya pada Dinas
“Abah pensiun!”
“Apa?”
“Iya,nih lihat. Aku baca ya, Selamat purna tugas Abah, Terimakasih telah menjadi bagian dari dinas kami. Banyak pelajaran yang kami terima selama Abah disini. Abah tetaplah ayah kami.” Dina Membaca dengan serius
Tak mampu mereka menahan rasa penasaran. Riska langsung menelpon Abah. Meneror abah dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Di kantor lama abah Riska dan Dina juga cukup dekat dengan Abah. makanya mereka tega meneror orang tua itu.
“Kenapa Abah pensiun, kan ada waktu enam tahun lagi lo bah?” Serang Riska.
“Iya, ini sudah keputusan Abah dari dulu. Banyak yang tidak sejalan dengan jalan pikiran Abah. Lebih baik Abah pensiun dini.” Tutur Abah dengan tenang.
“Hmmm… Sudah kuduga.” Lanjut Dina, dengan lantang.
Tidak ada rasa malunya lagi, karena saking dekatnya Abah dengan anak-anak itu. Abah hanya menjawab dengan terkekeh.
Mereka paham. Sangat paham. Abah sudah lama berubah. Yang terpenting adalah pendukung keputusan Abah.
Abah, dinilai lemah. Tidak bisa berpandai-pandai. Terlalu lurus. Tidak ada jejak karier yang istimewa pada diri Abah. Dari CPNS sampai pensiun. Jabatan pelaksana setia menemani karier Abah. Pria senyap, yang berpandangan idealis dan rumit itu. Yang senyumnya, selalu penuh makna. Dia menjadi Ayah bagi pegawai baru, dengan kharisma dan keteladanannya.
“Aku tidak heran, kalau abah ingin pensiun dini. Toh Abah juga punya usaha lain yang selama ini dikelola istrinya. Pastinya Abah tidak kekurangan biaya untuk pendidikan anak-anaknya, yang sedang kuliah.” Kata Dina pada Riska.
“Iya, Abah juga senang menulis. Pasti seru menjalani hobi, dalam masa pensiun.” Balas Riska.
Kabar Abah mengajukan pensiun dini. Sangat cepat diterima di kabupaten yang hanya empat kecamatan dan pegawainya hanya sekitar seriuan orang. Banyak yang menyayangkan. Tapi Banyak juga yang kagum dan menerima keputusan sulit itu. Tengah kondisi ekonomi negara saat ini. Pastinya ada imbas ke kabupaten tempat tinggal Abah. Tapi yang yang namanya keputusan. Harus siap dengan segala konsekuensi. Semangat Abah.