Masukan nama pengguna
Tidak sedikit yang berpendapat kalau penampilan adalah nomor satu. Wajar saja karena yang pertama kali dilihat adalah apa yang kita kenakan dan nampak oleh yang melihat. Tapi, apakah itu, sudah menjadi patokan dalam menilai kualitas, dan value diri seseorang? Setelah penampilan orang akan melihat unsur lainnya bukan? Itulah kini yang menjadi beban pikiran Hanna.
Entah apa yang ada dalam pikiran Bu Manajer dan rekan kerjanya. Kalau di setiap acara kantor, seluruh karyawan wajib memakai baju yang seragam warnanya. Siapa juga yang sudi, mematuhi aturan dress code seperti itu. Kalaupun ada, pastinya, itu adalah acara yang paling membosankan. Dress code memang indah dipandang oleh mata orang lain, karena keseragaman. Melambangkan kekompakan.
Kompak? Kata siapa? Lihat saja taman bunga. Pasti tidak ada bunga yang sejenis, dan satu warna saja di taman itu. Taman yang indah, pasti ditanami berbagai jenis bunga dan warna. Kalaupun melambangkan kekompakan? Yakin? Coba saja bergabung dengan mereka. Kalau ada temannya yang tidak hadir satu orang. Siap-siap jadi sasaran ghibahan mereka.
Sayangnya trend dress code sudah sampai ke daerah-daerah kecil. Termasuk kota kecil tempat Hanna berdomisili, sekaligus bekerja. Kota yang luasnya hanya enam puluh ribuan hektar, dan hanya dihuni oleh penduduknya dua ratus sembilan puluh ribuan saja. Itupun di ramaikan oleh kabupaten tetangga di sekitarnya. Bisa-bisanya, mereka menerapkan, aturan dress code segala. Apa sepenting itukah gaya. Hanna benar-benar dalam dilema.
“Acara kita besok, dianjurkan memakai baju Merah ya, Biar kompak.” Ujar Ibu Manajer, memberikan arahan pada semua bawahannya.
“Sepakatkan? Kalau kostum kita seragam warna merah semuanya. Biar menyala.” Lanjutnya tersenyum penuh keyakinan. Warna merah menyala adalah favoritnya. Diperkirakan ada belasan baju warna ini dilemari bu boss. Tidak hanya itu. Heels, flat shoes, tas pun, banyak berwarna merah. Belum lagi kerudung dengan merek-merek terkenal.
“Apa tidak terserah, baju apa saja bu, karena saya tidak punya baju merah, dan tidak suka warna itu.” Hanna mencoba memberikan alasan. Karena, baju warna merah, seperti dendeng balado jika dipakainya.
“Oh…yang lain bagaimana? Setuju kita pakai dress code, atau warna kostumnya terserah saja?” Ibu Manajer melemparkan pendapatnya kepada yang lain.
“Aduh Han, apa susahnya sih beli, baju baru yang warna merah. banyak no di pasar, toko baju, atau distro. yang thrift juga ada.” Ujar Anneta, yang sedari tadi bersemangat, dengan acara dan dress code. Dari semua rekan kerja dia yang paling suka dengan dress code dan paling fashionable. Annetta selalu memberikan kejutan di setiap acara, yang menerapkan aturan dress code. Semua mata tertuju padanya. Annetta sangat menikmati, setiap lirikan mata yang memandang, ungkapan yang memuji, dan pastinya dikelilingi orang-orang, yang satu selera dengannya. Selera tinggi tentang style. Anneta laksana bintang, dengan magnet yang penuh daya tarik, dan populer kantor. Tapi tidak sedikit juga, yang mengatakan selera berpakaiannya aneh.
“Iya beli aja yang baru, yang murah juga ada. Gak usah yang mahal-mahal kali.” Lauren menimpali.
Bukan masalah membeli, baru atau pun thrift, yang membuat Hanna enggan. Hanna punya uang untuk membeli baju kapanpun dia mau. Uang juga tidak menjadi masalah, apalagi urusan beli satu stel pakaian. Tapi apa harus, setiap ada acara, selalu diselubungi dengan dress code. Buat apa dress code. Diumurnya yang menginjak, mau kepala tiga ini, style bukan lagi prioritas. Apa lagi dari dahulunya Hanna tidak suka mengikuti trend yang berbau fashion.
Hanna senang dengan pakaian yang nyaman, tidak ribet, tidak terlalu banyak aksesoris, warna tidak mencolok. Kesederhanaannya dapat dilihat dari lemari pakaian, yang dia punya. Dia sengaja membatasi isi lemari,supaya tidak banyak pakaian yang menumpuk dan tidak terpakai. Dia tidak malu memakai pakaian yang itu-itu saja ke kantor, ke pesta atau jalan-jalan. Mengikuti tren fashion merupakan kesia-siaan, dan menghabiskan uang. Tidak ada gunanya. Mau dilihat siapa. Mau di puji fashionable oleh siapa.
Toh, akhirnya membuat lemari pakaian padat dan rumah sumpek oleh pakaian yang tidak lagi terpakai. Bahkan akhirnya menjadi sampah. Bagus, kalau bisa dijual seken, atau dilungsurkan ke saudara.
Itulah. Hanna berbeda. walaupun pakaian layak, tapi agak takut juga, kalau di lungsurkan kepada saudara-saudaranya. Lebih baik belikan yang baru, atau sedekah uang saja. Begitu prinsip yang dipegangnya. Kalaupun ingin membeli baju, harus dilihat dulu mana yang benar-benar tidak ingin dipakai lagi, dan digantikan dengan pakaian baru. Seribet itu hidup Hanna. Tapi, entah kenapa dia senang saja menjalaninya.
Dalam setahun mungkin Hanna, hanya membeli satu set pakaian. Itu pun jarang. Tidak dengan buku. Dia selalu menyempatkan, membeli empat buku fiksi dan nonfiksi. Memakai pakaian bagus itu, keharusan. Tapi ingat, baju hanya sebatas kemasan. Yang lebih penting adalah isi. Sesuatu yang berkualitas, tentu dilihat dari isi. Kemasan hanya pendukung saja. Ruh dan otak, adalah isi dalam tubuh seseorang. Semakin ribet saja prinsip Hanna.
“Han. Kok bengong, biar gue temenin deh. Nanti beli baju baru kita. Warna merah darah, biar menyala. Lu gak usah mikirin uang deh. Bukan juga yang beliin baju lu. Tapi bentar lagi kita akan terima bonus. Dua jam lagi berdering HP lu, notif dari bank.” Ujar Lauren, sambil menepuk pundak Hanna.
“Ah yang bener.” Sahut yang lain, senang.
“Dika dari bagian akuntansi, yang ngasih tahu gue.” Tukas Lauren, dengan bangga.
“Ntar deh, gue pikirin dulu.” Sahut Hanna lemah.
Wanita dan Fashion memang tidak bisa dipisahkan. Alasannya beragam. Diantaranya karena cowok adalah makhluk visual. Senang dengan yang tampil menarik. Sebab itulah, banyak rekan kerja Hanna yang perempuan, senang berdandan dan paham gaya yang sedang viral, dan tahu betul dengan barang-barang branded. Biar dilirik. kalau diajak jalan-jalan pun, nggak malu-maluin.
Apakah dress code sudah menjadi keharusan, di setiap acara. Seberapa penting dress code dalam status sosial. Waktu yang lalu, acara kantor Hanna juga menerapkan dress code. Untungnya Hanna punya baju itu. Beberapa bulan kemarin, acara pengajian. Juga diatur dress code juga. Biar suci, seputih hati. Jadi dianjurkan pakai, pakaian putih. Ke Pengajian? Kita cuma duduk mendengarkan ceramah ustadz, di lapangan. Kok juga diatur juga, baju apa yang mau dipakai? Buat apa coba. Biar kalau, dilihat dari atas langit, pakai drone. Kalau semua karyawan disini, kompak, dan ada nuansa lautan manusia putih-putih. Sesuci awan. Apa cuma untuk gitu? Akhirnya Hanna tidak jadi mengikuti pengajian. Dia minta izin, yang kebetulan menjemput mamanya ke bandara, pulang dari Malaysia.
Keimanan gue bukan ditentukan oleh pakaian. Yang penting menutup aurat, sesuai syariat aja sudah. Lagian Allah melihat kita, tidak dari pakaian kok. Bisa emangnya ketaqwaan gue ditentukan dari warna baju.
Dirumah Hanna, masih memikirkan pakaian yang jadi dress codenya.
“Hanna.” Suara mama memanggil dari balik pintu kamar.
“Ya ma.” Sahut Hanna, sambil membukakan pintu.
“Ini, mama dititipi oleh-oleh dari tante mu di Kuala Lumpur. Baju buat kamu. Lihatlah, kemarin mama nggak sempat periksa, karena buru-buru.” Kata mama sambil menyodorkan paper bag.
“Makasih ya Ma.” Ucap Hanna
“Ya, bilang sama tante mu terima kasih. Jangan lupa WA dia, habis ini.” Sahut mama, agar anaknya tidak lupa berterima kasih.
“Siap ma.” Ujar Hanna.
Dia ingat. Kejadian waktu itu. Percakapan dengan mama, sewaktu pulang dari Kuala Lumpur. Sayangnya paper bag itu lupa ditaruh dimana. Karena waktu itu ada tamu, tas itu buru-buru di taruh. Tapi dimana. Hanna tidak bisa mengingat detailnya. Hanna mencoba membuka lemari, dan mencari dimana letak benda itu. Akhirnya ketemu di pojokan lemari, tanpa susah payah. Hanna langsung membuka tas belanja itu. Dan ternyata isinya satu potong tunik, panjang, berwarna hitam, dipenuhi, dengan motif bunga, kecil-kecil berwarna merah, yang mendominasi di baju itu. Hanna langsung tersenyum. Akhirnya Hanna menemukan solusi.
Hmm ya udah. Acara beberapa hari lagi acara kantor. Tunik ini yang gue pakai. Yang penting ada unsur merah menyalanya. Tidak harus merah polos kan. Unsur merah juga bolehlah. Lagian, ini yang membedakan gue dengan yang lain. Kalau di foto dari jauh gue pasti paling nampak karena paling beda. Syukur Alhamdulillah.