Masukan nama pengguna
Adalah Rana, yang sengaja memilih untuk menyendiri, memulai dengan lamunan yang panjang tentang sebuah istilah yang lumrah di dunia kerja, yaitu multi tugas. Sorot matanya kosong, melayang entah kemana, terkadang dia memejamkan matanya yang tidak mengantuk itu, sebagai tanda dia memikirkan sesuatu. Walaupun suasana sunyi dan dirinya yang duduk dengan tenang, tapi pikirannya sedang berperang, berkecamuk dalam otaknya.
“Tidak ada orang yang betul-betul multitasking, bisa melakukan dua atau tiga tugas, dalam satu waktu. Bohong. Itu hanya pengalihan fokus dari satu tugas ke tugas lainnya. Mungkin bagi orang lain dengan ritme pekerjaan yang statis itu bisa dan menambah skill dan talentnya. Seperti violinist, sekaligus pianis, ada orangnya, banyak yang berbakat seperti itu, bahkan dia bisa juga main gitar. Tapi aku kan bukan mereka, lagian kasusnya juga beda” pikirnya.
Tapi bagaimanapun, Rana dituntut untuk itu. Mau tidak mau, suka tidak suka. itu sudah tuntukan baku, dan wajib dilakukan, semua pegawai disini juga begitu. Kalau tidak mau ya sudah. Itu artinya rana tidak berguna, dan Rana tidak akan dilibatkan lagi. Rana takut jika dia dikucilkan dan tenaga serta pikirannya tidak akan dipakai lagi.
Kalau sudah begitu, tentu Rana akan mati perlahan. Mati rasa, lemah semangat, laksana pohon. Dibawah tidak berurat berakar, di atas tak berpucuk, dan batang pun di geret kumbang. Ternyata, jika kalau ingin bekerja kantor pemerintah daerah, beginilah rasanya, walaupun tidak mengharapkan kejelasan jenjang karir.
Dalam Rana mengikuti rapat, ternyata dalam rapat itu, dia juga harus melaksanakan tugas lain. Dalam satu waktu ada ada tiga sampai empat perintah yang terus dilakukan berulang-ulang. Walaupun ini hanya tugas sepele, tapi seiring berjalannya waktu, tidak hanya jenuh, yang dirasakannya. Ada beban yang seolah menempel, dalam pikiran, perasaan selalu diburu-buru waktu, harus cepat melakukan sesuatu, padahal dia lagi sedang santai. Perasaan itu selalu saja menghantuinya, sampai-sampai terbawa mimpi saat dia tidur.
Perlahan tapi pasti, perasaan didesak yang menghantui, tuntutan supaya cepat menyelesaikan pekerjaan, sudah menjadi momok baginya. Dia tidak bisa lagi menikmati ketenangan, ketika sedang bersantai, agak barang sejenak, termasuk beribadah, memasak, dan melaksanakan hobinya. Ini, sudah sampai mengganggu aktivitasnya, bagi keluarga tercinta. Alam bawah sadarnya menyampaikan pesan lain, dimana dia harus mengerjakan semua perintah dengan serba cepat, tepat sempurna. Rana jadi, merasa capek, capek pikiran, capek hati dan capek perasaan. Tapi belum sadar kalau dia butuh pertolongan.
Selain itu, Rana juga ingin semua pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan rencana, berjalan lancar berdasarkan kehendak dirinya, sesuai dengan waktu yang telah diperkirakannya, tanpa peduli bahwa alam ini ada pengendalinya. Jika semua itu terjadi diluar kendali Rana, dia bisa marah besar, kecewa dan meluapkan semuanya pada orang yang tidak bersalah, kata-kata yang terlontar pun, tidak sepantasnya di dengar.
“Ya Allah, apa yang telah ku alami selama satu dekade ini?” Bisik Rana dalam hati, saat dia menyadari ada yang tidak beres terjadi dalam dirinya.
***________________***
“Ran Besok ikuti rapat ya, linknya ada dishare di WAG kita,” ujar Bu Novi pada Rana yang lagi sedang sibuk mengentri data.
Hanya menoleh sebentar, Rana mengiyakan, dengan anggukan, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Di Meja yang berukuran seratus dua puluh kali dua ratus sentimeter itu, dipenuhi dengan barang-barang, seperti PC, file-file, dan dokumen. Nyaris tidak ada space untuk tangannya agar leluasa mengetik, menulis, atau bekerja dengan baik, layaknya pegawai kantoran. Mau bagaimana lagi, penderitaan, karena minimnya fasilitas kerja yang jauh di kata ergonomis, nyaris dialami oleh semua pegawai.
Sepuluh tahun, Rana menjadi pegawai negeri disana. Tidak ada kemampuannya untuk komplain, bisanya hanya pasrah, menerima keadaan, tapi tidak rela juga, hanya mendongkol dalam hati. Sehingga, menyebabkan trauma pada fisiknya. Ada saja keluhan yang dirasakan, seperti nyeri di bahu, lengan, tangan dan leher karena tidak selesa untuk mengetik.
Bu Novi atasan Rana datang, dan duduk di kursi kosong tepat di samping Rana.
“Lagi mengerjakan apa Ran?” Tanyanya pada Rana.
“Ini bu, Ran lagi menginput data, ke aplikasi yang dibutuhkan kantor pusat.” Jawab Rana singkat.
“Ran, tolong buatkan SPJ BBM ibu dong, nih bill nya,” pinta Bu Novi sambil menyodorkan bukti pembayaran BBMnya selama satu bulan kepada Rana.
“Baik, bu, Insya Allah secepatnya,” Ujar Rana.
“Pencairan dana sudah dibuat sama Ilham belum Ran?” Bu Novi melanjutkan pertanyaanya, tanpa sadar telah mengalihkan konsentrasi Rana dalam bekerja.
“Wah, kalau itu, Rana kurang tahu juga bu.” Rana berusaha mengingat, tapi sebenarnya dia benar-benar tidak tahu. Jawaban yang sebentar tadi hanya sekedar basa-basi saja.
“Rasanya sudah lo Ran, kemarin sudah ibu paraf kok,” timpal Bu Novi.
Rana hanya diam, dan mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Ini pekerjaan pengentrian data, yang instruksinya langsung dari kantor pusat. Dia hanya diberi waktu dua hari, sedangkan besok Rana harus mengikuti rapat melalui zoom meeting. Otomatis bahan rapat juga harus disiapkan.
“Ran coba cek deh kebagian keuangan, tanya sama Pak Zilda,” Bu Novi menambahkan instruksinya lagi.
“Ilham kemana Ran, belum kembali dari istirahat ya?” Kembali pertanyaan ditujukan pada Rana.
“Kayaknya belum bu, mungkin ada yang diurusnya sama vendor.” Jawab Rana sedikit membela Ilham.
Rana bangkit dari kursinya, lalu melangkah ke bagian keuangan, menanyakan apa yang ditugaskan oleh Bu Novi. Sepanjang perjalanan Rana menghela nafas yang panjang. Dan bertanya dalam hatinya.
“Mengapa harus aku yang selalu disuruh. Apakah tidak ada orang lain? Sebanyak ini kita di ruangan, haruskah sebagian besar tugas dilimpahkan pada ku? Tapi tidak mengapa, artinya aku adalah andalan di bidang ku. Aku senang menyelesaikan setiap permasalahan.”
Seulas senyum pasti dan percaya diri, mengayunkan langkah Rana dengan cepat, menuju ruangan keuangan, tujuannya untuk menemui Bapak Zilda. Rana kembali dengan senyum yang berseri-seri, sambil membawa map bisnis di tangannya.
Rana kembali tenggelam dalam pekerjaannya menginput data, tapi tak lama berselang, adzan berkumandang, pertanda waktu sudah sore dan sebentar lagi jam pulang. Tapi Rana sengaja lembur, dan menyelesaikan pekerjaannya, sampai jam waktu menjelang maghrib. Setibanya di rumah pun Rana juga membawa pekerjaannya, yaitu menyediakan bahan rapat, seperti yang dipinta Bu Novi, dan berakhir sampai tengah malam.
Esok hari seperti yang dijadwalkan, Rana memulai rapat. Tapi ditengah rapat berlangsung, pesan di WA berbunyi. Dengan cepat dia membuka aplikasi whatsappnya, dan membaca dengan seksama. Ada perubahan data, dari kantor lain yang berkoordinasi dengan bidangnya. Padahal Rana sudah menyelesaikannya tadi malam, begadang sampai larut malam. Sekarang di tengah rapat ini dia harus menginputkan kembali data yang berubah. Rana kecewa, tapi dia hanya bisa diam dan mencoba, fokus ke ke acara zoom meetingnya.
Baru bisa fokus dalam pembahasan rapat, atasannya Bapak Roland menelpon, memintanya untuk membuatkan surat tugas yang akan dibawanya ke Bandung setelah waktu istirahat nanti. Pak Roland yang lagi rapat dari pagi tadi mendapat instruksi kalau dia harus keluar kota siang ini agar bisa melaksanakan rapat besok.
Dalam konsentrasi yang terpecah, Rana mencoba mengurutkan prioritas apa yang akan dilakukannya pagi ini. Dia beralih membuat surat tugas, kemudian dia melanjutkan entri data yang baru. Aplikasi penginputan data dari server kantor pusat, berjalan sangat lambat. Telah dicoba berkali-kali oleh Rana, yang ada hanya loading page. Kemudian Rana menelpon fasilitatornya.
“Halo, Din, aku lagi ada perubahan data nih dari yang dientri kemarin, kok aplikasinya gak bisa diakses ya?” Ujar Rana di telepon kantor.
“Halo juga Ran. Iya nih Ran, soalnya kan yang pakai se Indonesia, bisa jadi karena semua yang akses, server jadi lemot.” Ujar Fasilitator dari seberang.
“Trus gimana dong Din?” Keluh Rana.
“Mau gimana lagi Ran, kamu yang sabar, dan coba aja terus.” Pungkas Dina tanpa tahu kalau Rana sedang gelisah.
Tak lama berselang, suara yang bersumber dari zoom miliknya, sedang menyebut nama kantor dan kotanya.
“Bapak ibu dari Dinas Koperasi dan Perekonomian Kota Tiram, apakah masih ada di tempat?” Ujar suara dari seberang.
“Bapak Ibu, Kami ulangi apakah masih ada di tempat dan mengikuti zoom?” Lanjutnya
Otomatis panggilan itu buat Rana. Karena peserta yang hadir satu orang, satu wakil dari kantornya. Rana limbung, sampai dimana tadi yang dia bahas, dia tidak tahu karena fokusnya teralihkan, oleh perubahan entri data tadi. Seperti orang bodoh saja Rana. Dia menjawab dengan tergagap, pada pertanyaan yang diajukan. Untunya Rana, cepat memperoleh konsentrasinya kembali. Akhirnya rapat koordinasi via zoom meetingnya berjalan dengan lancar. Tapi Rana ngos-ngosan.
***_____________***
Hari berganti, musim pun berganti, tapi ritme tugas rana, stabil, statis, tetap ada perintah, dalam perintah, dalam satu waktu. Siasat Rana dengan mengatur yang tugas berdasarkan prioritas dan urgensi, hanya isapan jempol belaka. Tidak ada pekerjaan yang betul-betul selesai sempurna sesuai harapan. Jika ada tugas yang sudah final, dalam rapat final. Jika pimpinannya berubah pikiran, Rana harus merubahnya lagi. Capek, sangat capek. Raga dan rohnya merasakan kelelahan yang akut. Dalam kesendirian, saat istirahat Rana bergumam.
“Mungkinkah aku butuh cuti? Karena selama ini, aku tidak pernah mengajukan cuti.”
Himpitan pekerjaan telah membuat Rana limbung lahir dan batin. Rana butuh istirahat, barang sejenak.
Dalam lamunannya, dia mencoba mengukur kemampuan dirinya, sampai dimana kompetensi yang dimilikinya, apakah bertambah atau tidak. Atau adakah keahlian yang didapat selama dia bekerja, menghabiskan waktu, dan mengerahkan tenaga dan pikirannya di kantor ini.
Sebuah hentakan yang menyadarkan, kalau yang dirasakan Rana, dari pimpinannya adalah tuntutan untuk patuh, itu saja, tidak ada yang lain. Bawahan laksana tombol sebuah mesin, yang tinggal pencet saja, agar bekerja sesuai keinginan.
“Dalam satu dekade ini, bukan pengalaman yang bertambah yang aku dapat. Sungguh aku hanya bekerja selama setahun dengan pengulangan sepuluh kali setiap tahunnya. Jangan mimpikan dirimu, akan mencapai level expert, karena akan menambah luka dalam batin. Ya, tidak ada jenjang karier yang pasti, job deskripsi yang jelas. Sebagai pegawai disini kamu cukup bekerja, kerjakan apa yang diperintah dan diinginkan pimpinanmu. Keluar rumah agar tidak jenuh, dan mendapatkan gaji buat tambahan biaya hidup.
Rana, kamu bisa jatuh miskin jika resign, tapi terlalu lelah buat bertahan. Nikmatilah, ini lah masa yang harus kamu hadapi.
Bekerja jadi pegawai di sini tidak lebih dari menunggu masa pensiun tiba. Bagi orang yang terlalu lurus dalam dunia kerja.
Rana, bangkit dari duduknya, lalu membereskan mukena yang baru saja dipakai. Kemudian, dia mengambil satu sachet good day vanilla latte, dan menyeduhnya dengan air panas dari dispenser. Lalu kembali duduk di kursi kerjanya. Kali ini Rana ingin me time, dengan membuka aplikasi youtube, menyetel lagu syahdu Engelbert Humperdinck, sambil memejamkan mata. Dia sedang membayangkan, menonton konser penyanyi lawas itu, di suatu gedung yang mewah, dan yang dipadati banyak orang.
Baru saja memejamkan mata, tiba-tiba ingatan Rana, tertuju pada beberapa peristiwa beberapa waktu yang lalu.
“Pak bisa pesan nasi uduknya nggak sih, ini udah dari tadi lho, dua dua kali saya dilewatkan.” Kata yang biasa tapi sedikit berteriak, sampai menjadi perhatian pembeli disana.
“Kamu bisa cepat nggak sih, lama banget,” kata Rana pada anak bungsunya.
Ingatannya juga tertuju pada pertengkaran dengan suami, hanya karena hal sepele, dan tidak penting untuk dibahas. Dalam beberapa hari ini, setiap pagi, Rana malas bangun, malas bergerak, dan berat hati untuk berangkat ke kantor. Rana membuka matanya dan menyadari dia stress di tempat kerja dan dengan pekerjaannya.
“Assalamualaikum,” sapa Ismi, yang baru datang, yang kembali dari istirahat siang.
“Waalaikumsalam,” jawab Rana.
Kedatangan Ismi, mengingatkan Rana pada cuti tahunan lagi. Karena Ismi baru saja kembali dari cuti tahunan. Rana meminta bantuan Ismi, dalam mengurus surat cuti. Mungkin bagi Rana cuti sejenak dari hiruk pikuk pekerjaan, adalah yang terbaik bagi dirinya dan bisa menghabiskan waktu bersama keluarga.
“Tidak ada salahnya mengambil cuti, walaupun hanya dirumah saja. Liburan bukannya harus healing ke tempat wisata atau ke pusat perbelanjaan, karena dirumah pun seorang diri, sambil menunggu anak dan suami pulang dari sekolah dan kantor adalah healingnya kaum ibu yang bekerja.”
Rana sudah mantap untuk mengajukan cuti.