Masukan nama pengguna
“Coba bapak ibu buat list, urutkan hal yang membuat bapak dan ibu kesal, dan marah pada pasangan masing-masing, kemudian beri nilai. Dari yang dilist tadi dijumlahkan nilainya. Maka skor itulah nilai pasangan masing-masing.”
“Silahkan. Dimulai dari sekarang, saya beri waktu sekitar lima belas menit.”
Mentor dalam acara, yang diadakan oleh pakar konsultasi pernikahan dan keluarga itu, memberikan arahan, kepada setiap pasangan yang hadir. Di salah satu aula hotel, berbintang lima, yang sejuk dan berinterior mewah. Adalah Risma. Dia bersemangat sekali, mencatat dengan konsentrasi, mengurutkan secara detail segala kekurangan, serta apa-apa yang suka dilakukan suaminya, yang membuat dirinya kesal, selama umur pernikahan mereka. Hal-hal yang membuat Risma marah itu, ditulis, lengkap, detail, dengan harapan suaminya bisa berubah. Matanya berseri-seri, mulutnya komat kamit, melafal setiap kata yang ditulisnya. Semua dia hafal diluar kepala, tanpa pikir panjang. sampai kertas yang berukuran buku anak sekolah, merk bintang obor itu, sudah penuh dengan catatannya. Dia akan menulis di halaman berikutnya.
Kalkulator androidnya, membantu dalam penjumlahan dan menentukan skor sang suami. Setelah itu dia menutup dengan wajah yang sumringah. Setelah selesai diliriknya suaminya dengan senyum kepuasan.
Kali ini, papa akan tahu bagaimana, papa perlakukan mama selama ini pa. Papa harus berubah, bisiknya dalam hati.
Hidayat, suami risma, dari tadi hanya melihat gelagat istrinya, dengan senyum penuh makna. Lembaran kertas dan pena yang ada di tangannya masih berbentuk seperti yang diberikan oleh panitia konsultasi pernikahan dan keluarga itu. Tidak ada sedikitpun kata yang ditulis. Kertas itu kosong. Dia tidak ingin menuliskan kekurangan istrinya, suami adalah pakaian bagi istri, begitu juga sebaliknya. Sudah seharusnya saling menutupi kekurangan masing-masing. Apa gunanya mencatat kekurangan istri, yang juga menjadi aib baginya, kemudian diberi nilai, dan dipertontonkan dalam acara ini. Hidayat sangat tidak setuju.
Semua peserta yang mengisi bersemangat menyampaikan hasil, yang telah dinilai untuk pasangan mereka masing-masing. Ada gelak dan canda tawa, menghiasi acara sampai ruangan dibuat riuh olehnya. Berbeda dengan Hidayat. Senyumnya kecut, tidak terdengar suara tawanya sama sekali. Berbeda dengan Risma, yang sudah tertawa terpingkal-pingkal, dan menahan sakit perut, karena lucunya tingkah peserta yang hadir.
Sampailah pada giliran Risma, yang menyampaikan skor untuk sang suami.
“Aku punya nilai hanya dua ratus lima puluh point saja,” sahut Risma, sambil melambaikan lembaran tugasnya, kemudian dibaca satu persatu. Hampir seluruh peserta yang hadir, berdecak kagum, alangkah detailnya catatan ibu ini. Risma jelas berbangga hati.
Kini giliran Hidayat yang harus buka suara.
“Aku tidak punya nilai. Tidak akan, aku memberinya skor. Hanya dari list kekurangan pasangan yang aku cintai. Aku menikahinya dengan perjuangan dan dasar dari cinta. Aku terima semua kekurangannya, pun dengan kelebihan yang dia miliki. Pantaskah kita menilai pasangan? Memberikan skor? Apa pantas dengan nilai segitu, bagi orang yang telah menemani hidupku selama ini? Apakah setelah dinilai seperti ini akan memberikan perubahan dengan cepat? Bagiku, istriku, tidak bisa dinilai hanya dengan angka. Dia sangat berharga. Dia sempurna. Kelemahan yang ada dalam dirinya adalah kelebihan bagiku. Aku tidak setega itu, untuk membukanya di forum ini.” Ucapan yang penuh emosi, mengalir begitu saja.
Suaranya sedikit gemetar, matanya agak sendu, nyaris meneteskan air. Kertas yang dipegang bergoyang, tanda tangannya gemetar. Betapa dalam perasaan Hidayat. Dalam cintanya, dalam juga rasa kecewanya. Hanya karena ulah Risma istri tercinta.
Hadirin yang hadir pada hari itu terdiam. Semua mata tertuju pada pasangan itu, tak terkecuali Risma yang mendengar itu, secara jelas, dari lelaki yang duduk di sisinya dari mulai acara berjalan. Suasana berubah hening, mentor pun juga ikut terdiam. Ada guratan penyesalan yang mendalam. Dipandanginya wajah suaminya dengan lekat. Lelaki pemalu itu tidak sanggup membalas tatap istrinya lebih lama. Matanya hanya melihat istrinya sekilas, kemudian dia menunduk.
Risma baru paham, kalau selama ini dia hanya mementingkan dirinya sendiri. Betapa banyak suaminya mengalah, hanya untuk kepentingan dirinya. Bahkan dia tidak segan-segan mengorbankan kepentingan anaknya, agar itu mengganggu kesenangan Risma. Dan Hidayatlah yang menjadi tumbal dari kesenangan itu. Tidak hanya istri yang buruk, dia juga ibu yang buruk.
Kini Risma merasa menjadi wanita paling konyol diantara hadirin yang hadir. Dia baca kembali satu persatu lembaran itu, yang tak lain hanyalah aib sang suami yang sampai ke publik. Malu, kerdil, kolokan, sedih, ingin lari dari acara ini, adalah campuran rasa yang bertumpuk dalam hati Risma.
Dalam hati Hidayat berkata.
Betapa banyak kekurangan ku selama ini, yang tidak ku disadari, sehingga diluapkan dalam lembaran kertas yang melebihi satu halamannya. Dibacakan didepan umum. Ditepukin. Disoraki oleh semua yang hadir. Ditertawakan. Sungguh baru kali ini, aku meragukan kepantasan ku menjadi seorang suami dan ayah. Tak layakkah aku bagi mu Risma?
Acara terus berlalu, dengan mentor memberikan wejangan dalam membangun hubungan rumah tangga yang bahagia. Ibu dan ayah yang bahagia akan menghasilkan anak yang bahagia dan cerdas. Mentor yang pandai menguasai panggung, kembali menghangatkan suasana acara. Memberikan gelak tawa, riuh rendah dari hadirin yang ada di ruangan itu. Tanpa memperdulikan Pasangan Hidayat. Tips dan trik, berumah tangga, dan mendidik anak, yang disampaikan tidak membuat Hidayat dan Risma tertarik lagi. Mereka hening, bisu tanpa kata, tapi hati mereka saling bertanya.
“Apakah pernikahan itu layak dilanjutkan?”
Perjalanan pulang mereka tidak sama seperti dulu. Tidak ada lagi, tangan yang biasa menggenggam lembut jemari Risma, yang diiringi dengan senyuman dan tatapan lembut penuh kasih sayang. Kemana pujian yang selalu dilontarkan ketika Risma memasak, kini semuanya, terasa dingin. Senyum yang menghiasi wajah hidayat, saat ini adalah senyum kekakuan, yang tidak seperti senyum khas seperti biasanya. Tidak menyisakan garis dan kerutan di ujung mata. Hanya ujung kedua bibir yang terangkat secara bersamaan, benar-benar senyuman yang tidak tulus.
“Ma, aku mau pulang ke kampung halaman dulu ya, tadi tante Ana menelpon, mengabari bahwa ibu sakit. Cuma seminggu saja, semua yang kamu perlukan sudah aku siapkan, tambahan uang belanja, aku taruh di tempat biasa. Baju-bajuku juga sudah ada di travel bag, jadi kamu tidak perlu repot mengurusnya.”
“Ya. Tapi kenapa mendadak sekali pa.”
“Yang namanya sakit, kan nggak direncanakan.”
Deg. Jawaban yang tajam sekali, tidak pernah ada sebelumnya. Dia ingin pergi sendiri, tanpa keluarga, ini bukan kebiasaannya. Sekecil apapun permasalahan, pastilah Risma diajak, atau paling tidak, dia akan berembuk terlebih dahulu, bisa pulang bareng, atau dia saja yang pulang. Risma hanya memilih diam dan tidak ingin melanjutkan lagi, baginya obrolan yang sebentar ini, sudah menghormatinya, sebagai istri.
****__________****
“Kamu juga sih yang salah. Kenapa semua kekurangan suami kamu umbar. Supaya Apa?” Kata Ella pada sahabatnya.
“Ku kira seru aja, biar dia bisa berubah gitu”
“Berubah? Maksudmu berubah dengan cepat? Kamu sendiri bisa berubah juga nggak?”
“Jangan mengharapkan orang berubah, sementara kamunya sendiri nggak.”
“Ris, Nggak semua yang diinstruksikan dalam acara seminar, lokakarya, workshop, atau apalah namanya. Kamu umbar. Sudah jelas suamimu itu, orangnya lurus, pemalu, nggak suka dipublish. Kamu ada mikir sampai kesitu nggak sih?”
Risma hanya terdiam, dengan penyesalan yang dalam.
Alangkah bodohnya keputusannya yang dia buat selama ini, dimana kurangnya Hidayat, siapa yang paling banyak berkorban dan mengalah. Risma mematung di sudut masjid, tanpa mendengarkan celotehan Ella.
“Ris, kita itu, hidup di suatu zaman, dimana kedudukan keluarga sudah dianggap tidak penting lagi. Coba lihat diluar sana. Orang-orang berpikiran, untuk lebih mementingkan kelangsungan hubungan berpasangan. Apa karena Hidayat dari keluarga biasa dan dari desa, kamu merasa lebih tinggi, sehingga kamu ingin memberikannya pengajaran, dengan mengajaknya bergabung pada konsultan pernikahan dan keluarga.”
“Kamu harus tahu juga Ris, nggak semuanya metode yang diberikan benar dan cocok dengan setiap pasangan. Metode itu bisa benar dan bisa juga salah. Jangan semuanya ditelan mentah-mentah gitu.”
“Lebih baik, kamu mempelajari pernikahan baginda Rasulullah, banyak kok buku-buku yang berkaitan dengan itu di toko buku.
Risma terdiam, merasa tertampar, benar, dia sombong dengan kedudukan keluarganya yang lebih tinggi dari Hidayat.
Alangkah kerdilnya jiwaku. Sok bangsawan, sampai-sampai junjungan sendiri aku permalukan.
“Ris, ingat nggak, waktu kita ikut dauroh pranikah, kata ustadzahnya itu begini. Bukti mencintai pasangan itu, lebih baik banyak memberi, bukan banyak menuntut. Itu tanda ikhlas dan menjalankan pernikahan.
“Bagaimanapun pelayanan kita kepada suami, itu urusan kita dengan Allah, pahala ganjarannya. Pun jika suami membalas baik atau buruknya, tetap ada juga ganjarannya. Berumah tangga itu ibadah, dan pendidikan. Semua amalan kembali kepada pemilik amal.”
“Ya juga sih,” ujar Risma dengan nada menyesal. Panjang lebar Ella menceramahi sahabatnya itu.
***________________***
Tttt …! Bunyi klakson mobil yang berhenti di depan rumah Risma, membuat anak-anaknya penasaran dan ingin keluar rumah.
“Papa,” teriak si sulung, menyambut kepulangan Hidayat.
“Papa kenapa tidak video call,” rengeknya karena kangen ingin bermain.
Hidayat hanya tersenyum, dan kembali memeluk kedua anaknya.
Risma yang menyaksikan dari tadi, merasa harap cemas, mencoba tersenyum kepada sang suami yang baru sampai. Hidayat membalas dengan senyuman yang mesra, dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Risma tidak tinggal diam disambutnya tangan suaminya, langsung menciumnya.
“Pa, maafkan mama ya.”
Hidayat merangkul istrinya, kedalam pelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sebuah kecupan di kening dalam pelukan itu sudah merupakan jawaban, “ya” walaupun tanpa kata-kata. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Kadang kala, menyelesaikan permasalahan dalam setiap hubungan, tidak selalu diselesaikan dengan kata maaf. Dengan berlalunya waktu, bisa menjadi obat yang mujarab dari kata maaf itu sendiri. Memang kehidupan pernikahan, rumit, dan penuh misteri.