Flash
Disukai
0
Dilihat
6,045
Jarak yang Jelas
Drama

Seharusnya tidak begini. Di tengah keramaian perpustakaan kampus di akhir pekan, tidak seharusnya aku bertemu dengan orang yang paling aku harapkan tidak berjumpa lagi. Sialnya lagi, pria berlesung pipi itu bertingkah seolah tidak pernah ada tragedi dalam hubungan kami sebelumnya. Tragedi? Bagiku, itu tidak hanya sekadar hal buruk yang menimpa sesaat saja. Itu membekas, bahkan hingga sekarang. Bekas yang membuatku tidak bisa lagi tersenyum barang sekilas pun padanya. 

“Wen, kita kan temenan udah lama. Gue juga baru di Singapura, lo pasti bisa bantuin gue, ‘kan? Gue beneran clueless banget masalah ini itu. Jalur MRT aja gue masih bingung,” katanya. 

Tidak kugubris. Bertahun-tahun aku bicara padanya dan dia tidak pernah menghargaiku sama sekali. Dan sekarang, jangan harap aku masih memiliki rasa belas kasih untuk membalas ucapan tidak pentingnya itu.

“Masa gue mau ke HarbourFront dari Changi aja nyasar, Wen. Kan nggak lucu gue muter-muter nggak jelas pakai MRT,” katanya yang masih tidak patah arang mengajakku berinteraksi.

Dasar aneh, ngapain lo dari Changi ke HarbourFront? Baru masuk Singapura, terus mau nyebrang lagi ke Batam? Gerutuku dalam hati. Aku berpindah ke rak lain, mencari buku atau jurnal referensi untuk materi diskusi sustainable tourism dengan mahasiswaku awal pekan ini.

“Lo sibuk banget, ya? Kerja jadi dosen di Singapura bedanya apa sih sama di Indonesia? Culture kelasnya pasti beda, deh. Lo inget nggak waktu kita masih kuliah, tiap dosen nanya, mahasiswanya pada diem semua,” katanya sambil tersenyum lebar. 

Mengajakku bernostalgia? Kenapa tidak sekalian membahas masa lalu kita? Masa kuliah di mana aku tidak hanya berjuang untuk mendapatkan IPK bagus, tapi juga untuk mempertahankan hubungan kami. Kenapa tidak membahas alasan dia menyerah begitu saja tanpa peduli dengan perasaanku?

Aku hanya menghela napas pendek. Mataku masih meneliti tiap judul buku dan bundle jurnal pariwisata, mencari penelitian paling baru. Sedangkan pria itu menatapku setelah mengoceh tentang ini dan itu–hal yang tidak penting sama sekali. 

“Wendy, lo selama bertahun-tahun di sini, pasti pernah beli oleh-oleh dong buat keluarga lo di Indonesia. Lo belinya di mana sih? ABC?” tanyanya lagi menyebut salah satu toko oleh-oleh terkenal di Bugis Street.

Ah, kenapa suaranya semakin membuatku muak. Bukannya sebagai mahasiswa magister yang mendapat beasiswa fully funded, seharusnya dia fokus pada studinya? Kenapa malah memikirkan oleh-oleh di saat dia baru saja merantau ke Singapura?

“Wen, gue–”

Bruk!

Dengan sengaja aku jatuhkan buku yang paling besar di rak itu. “Astaga, Wendy,” katanya spontan dan langsung mengambil buku yang terjatuh. Sedangkan aku menghela napas, menatap tepat di matanya saat dia mencoba untuk menyerahkan buku itu. 

“Kenapa, Wen? Kok ngeliatinnya gitu banget?” tanya–Ah, bahkan aku tidak ingin menyebut namanya–pria itu.

“Harus pakai cara apa lagi, Bri? Biar lo paham sama apa yang udah gue bilang sebelumnya,” tanyaku tajam. Dingin. “Gue nggak mau lagi berurusan sama lo!” kataku dengan penuh penekanan. “Dan ini peringatan buat lo. Jangan pernah muncul di hadapan gue lagi seolah nggak pernah terjadi apa-apa di antara kita,” tambahku.

Dari sekian banyak mahasiswa dan dosen dari Indonesia, kenapa harus aku yang didatanginya? Apa dia tidak punya teman Indonesia lagi? Lagi pula ini Singapura, dia bisa menemukan orang Indonesia dengan mudah. Kenapa harus datang kepadaku seolah sebelumnya dia tidak pernah meninggalkanku begitu saja untuk memperjuangkan hubungan kami?

Pria itu terdiam. Dia menatap tepat di mataku. “Ini cara lo ngehukum gue?” tanyanya dengan nada suara rendah. “Kayak gini cara lo ngebales gue, Wen?” dia bertanya lagi.

Aku mengernyitkan dahi. “Ngehukum? Ngebales?” tanyaku seolah tidak mengerti maksud dari ucapannya. “Brian,” akhirnya kupanggil juga nama itu–setelah sedari tadi aku menghindarinya, kurasa aku perlu untuk menyebut namanya, “gue cuma nyontoh lo,” kataku yang setelah itu menyeringai. Tanpa perlu menunggu responnya, aku melangkah pergi. Kembali memberi jarak yang sangat jelas di antara kami. Tidak seperti dia, menghilang begitu saja tanpa kejelasan. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)