Masukan nama pengguna
Jangan pernah bangga dengan ilmu yang kau pamerkan
Jangan pernah sombong dengan kealiman yang kau pertunjukan
Bukan aku, kau, dia, mereka dan semua penghuni dunia yang menilainya
Bukan pula jin dan malaikat yang memutuskannya
Bahkan iblis terusir dari surga
Dan dikutuk lebih lama dari umur dunia karena kesombongannya
Bahwa diakhir usia kita, kita mendapatkan perlakuan yang sama
Berkafankan kain yang sama
Terbungkus dalam warna yang sama
Ditutup berbilah papan
Dan ditimbun oleh tanah
Tak ada yang beda
Bahkan Rasulullah sendiripun mendapatkan cara yang sama….
Tak seharusnya aku memperlakukannya seperti ini. Tak sepantasnya dia menjadi sasaran rasa kecewa dan amarahku. Walaupun apa yang kualami berhubungan erat dengannya, namun dia tak bersalah sedikitpun. Dan aku tahu, dia pasti tak menginginkan semuanya jadi seperti ini.
Sedari tadi dia hanya terdiam menatapku seakan tak percaya dengan segala emosi yang tanpa sadar kulampiaskan didepannya. Dan kini kulihat matanya mulai berkaca-kaca.
Karena aku tak pernah seperti ini padanya. Aku tak pernah membuatnya sedikitpun merasa sedih kala ada bersamaku. Dan dia mengenalku sebagai lelaki yang bisa dan akan berusaha untuk tetap bisa menjaga emosi sepedih apapun itu.
Tapi semuanya telah terjadi. Emosiku terlanjur terluahkan dengan cara yang tak pantas sama sekali. Benar-benar tak pantas.
Apakah aku yang harus dipersalahkan jika hingga saat ini dia tak jua menentukan pilihan pada salah satu lelaki yang begitu banyak menginginkannya? Haruskah aku yang menjadi tempat melampiaskan rasa iri dan cemburu dari semua lelaki yang memujanya hanya karena dia masih dekat dan akrab denganku walau sudah kukatakan kalau aku dan dia sulit untuk bersatu?
Bahwa se-kufu, sesuatu yang baru kudapatkan telah bisa ku terima. Menerima 4 perkara kala mencari pasangan dan memahaminya sebagai hak semua orang untuk mencari pendamping hidup telah ikhlas kuterima. Karena itulah aku mengikhlaskan dirinya yang memiliki begitu banyak perbedaan dariku dalam 4 perkara itu. Tapi mengapa dia masih saja merasa nyaman kala denganku? Haruskah aku melarangnya? Mengapa mereka semua tak mau memahaminya?
“Abang berubah.” Katanya padaku.
Aku menatapnya. Mencoba untuk menahan emosi didada. Tapi jujur, kali ini aku tak sanggup menahannya.
Padahal mereka memiliki segala kelebihan dariku. Mereka semua memiliki 4 perkara itu. Ilmu agama yang hebat. Tubuh yang sempurna. Garis keturunan terhormat. Dan pekerjaan mapan yang menjanjikan. Tapi mengapa aku, manusia rendah ini yang dijadikan tempat pelampiasan rasa iri dan cemburu mereka karena tak bisa mendapatkan hatinya?
Bahwa ego didalam dirilah yang kini mengalahkan ilmu. Ketidaksiapan hati menerima kenyataan kala mendapati diri yang menganggap memiliki kelebihan dari orang lain, tak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Menganggap diri lebih baik dari siapapun seperti Musa kala berada didepan umatnya.
Bahwa Nabi Musa saja pernah ditegur Allah kala berkata sombong didepan umatnya saat seorang umat bertanya, siapakah orang yang paling berilmu? Musa menjawab bahwa dirinyalah orang yang paling berilmu. Tapi Allah menegurnya dan mengatakan bahwa ada seorang hambaNya yang lebih berilmu daripadanya. Hamba itu bernama Khidir.
Tidakkah mereka bisa mengambil itu sebagai pelajaran? Dengan ketinggian ilmu yang mereka miliki pasti mereka lebih memahami daripada aku yang tak memiliki ilmu yang berarti. Bahwa ilmu yang dikenal manusia dibumi ini hanyalah setangkup air didua telapak tangan yang mengambilnya dari lautan luas. Sedikit sekali. Tiada bermakna untuk disombongkan.
Tapi itulah manusia. Setinggi apapun ilmunya akan berubah menjadi sebuah keangkuhan kala mereka meletakkannya berdampingan dengan ego, ambisi, nafsu dan keinginan mereka sendiri. Berlaku tanpa sadar, atau dengan kesadaran, mencibir dan memandang hina pada mereka yang tak berilmu. Merendahkan umat lainnya seakan mereka paling istimewa, bagai iblis yang tak pernah mau menyembah Adam walau Allah memperintahkannya untuk itu.
Seperti itulah pandangan mereka padaku karena dia.
“Sejak kapan abang perduli dengan kata-kata mereka?” katanya. “Sejak kapan abang membiarkan kata-kata mereka mempengaruhi abang? Karena abang yang adik kenal adalah seorang lelaki yang tak pernah mau membiarkan dirinya terpengaruhi kata-kata orang lain.”
Aku diam menatapnya. Selama ini aku memang tak pernah menanggapi cibiran siapapun padaku. Aku menyadari bahwa begitu banyak kelemahan pada diriku. Aku menghormati mereka dengan segala kerendahanku. Tapi jangan sesekali menghina imanku. Jangan sesekali menyinggung kadar ketulusan beragama yang kutanamkan di diriku. Jangan pernah menganggap kecil ketakwaanku meski aku tak pernah berpenampilan layaknya “seorang muslimin” yang mereka tunjukkan. Aku juga punya harga diri yang kutanamkan dalam hati demi mempertahankan agama dan imanku. Aku tak menginginkan belas kasihan untuk imanku. Aku tak butuh bantuan untuk penguat imanku. Aku akan mencari, mempertahankan dan berjuang sendiri dengan kekuatanku bagai Musa yang mencari Khidir untuk belajar mengenal Allah lebih dekat lagi walau Taurat telah diwahyukan untuknya dan Allah berbicara langsung padanya.
Seberapa hebatnyakah ilmu yang mereka miliki itu? Apakah ilmu yang mereka banggakan itu lantas membuat mereka menjadi makhluk mulia? Seharusnya, dengan bertambahnya ilmu yang mereka miliki, semakin menderita tubuh dan tersiksa diri karena kini memiliki tanggung jawab yang besar untuk ilmu yang ada pada diri agar berguna untuk kemaslahatan umat. Tapi penderitaan dan siksaan itu bukanlah dalam hal yang menyengsarakan hati tapi lebih kepada sebuah nikmat dari Allah karena telah memberikan tingkat keimanan yang lebih tinggi lagi. Dan diri akan menjadi sangat malu karena menyadari betapa rendahnya hati, betapa bodohnya diri karena menyadari masih dan akan terus bergantung hidup pada kemurahan Yang Satu. Allah swt.
“Apakah kehadiran adik mengganggu abang? Apakah adik yang menjadi penyebab kemarahan abang?” katanya lagi. “Jika itu benar maka adik mohon maaf atas semua itu. Katakanlah pada adik, apa yang harus adik lakukan untuk meredakan gejolak amarah itu.”
Aku menundukkan wajah. Aku tak sanggup menatap matanya. Aku tak berani memandang wajahnya.
Dia sangat baik padaku. Dia terlalu istimewa bagiku dan itu juga dirasakan oleh para lelaki yang tertarik padanya. Saat ini aku hanya merasakan kemarahan pada perasaan rendah diriku sendiri. Aku tak ingin melakukan itu. Tapi perasaan rendah diri itu terus menghantuiku menciptakan kebencian dan tanpa kusadari menghasilkan kemarahan berupa kesombongan. Karena kini aku sibuk berdebat dengan diriku sendiri bahwa aku tak lagi dan tak ingin lagi mengagumi dan mengharapkannya. Terlebih lagi kala mengenang perkataan mereka bahwa aku tak pantas mendekatinya, aku tak layak untuknya dan aku tak sederajat dengannya karena rendahnya ilmuku. Karena wanita hebat sepertinya hanya layak untuk lelaki hebat seperti mereka. Mereka begitu memujanya mengatakan betapa beruntungnya bila bisa memilikinya. Betapa hidup mereka akan menjadi lebih sempurna dan dialah pelengkap kesempurnaan itu dengan kecantikan, sikap, ilmu dan kelembutannya. Bahwa akan menjadi sebuah musibah dan cobaan berat untuknya jika dia menjadi milikku.
Karena itulah aku membenci rasa rendah diri ini. Walaupun dia berakhlak luar biasa mulia seperti Siti Khadijah, berwajah cantik rupawan seperti Zulaikha dan memiliki keagungan cinta sejati layaknya Fatimah Azzahra, aku tak lagi mau menyimpan angan dan harapan padanya. Bahkan sedikit rasa cinta yang dulu kusisakan dihati untuknya kubunuh paksa dengan rasa amarah dan kebencian pada diri ini.
Bahwa kini ku sadari aku telah menzalimi diriku sendiri. Seharusnya apa yang kudapatkan menjadi pelajaran untukku. Semestinya aku belajar dari ilmu Musa yang dia dapatkan kala mengikuti Khidir. Musa mempelajari dua hal terpenting untuk obat kesombongan dirinya agar kembali menundukkan kepala menatap bumi dan jangan pernah mengenadahkan wajah menantang langit. Musa belajar bahwa tak seharusnya merasa bangga dengan hebatnya ilmu syariat yang kita miliki karena disana terdapat ilmu hakikat. Jangan pernah mempersoalkan cobaan-cobaan yang kita alami karena dibalik itu semua terdapat rahmat Allah yang tersembunyi bersama kelembutan kasih sayangnya.
Khidir mengajarkan sesuatu yang singkat namun sangat bermakna. Bahwa ada sebuah kebijaksanaan hakikat dari sebuah tindakan yang dipandang konyol, aneh dan bodoh oleh orang lain. Ketika Khidir melobangi perahu yang mereka tumpangi, membunuh anak yang mereka temui dan mendirikan rumah tanpa upah adalah sesuatu yang melanggar syariat. Tapi ada ilmu hakikat disana yang mengandung kebijaksanaan. Khidir melakukan semua itu berdasarkan petunjuk Allah.
Dan Musa akhirnya memahaminya. Musa belajar dari sikap Khidir. Tentang kesabaran. Tentang ketenangan. Tentang sikap rendah diri. Tentang diam tanpa mengatakan apapun namun tetap melakukan sesuatu. Dan tentang tindakan bijaksana yang terkadang dipandang konyol dan sebelah mata.
Seharusnya aku belajar itu.
“Abang….”
Aku menatapnya. “Mungkin sebaiknya adik tidak lagi menemui abang.”
Dia balas menatapku.
Aku menghela nafas sejenak. “Mungkin sebaiknya kita tak lagi dekat seperti ini. Mungkin sebaiknya kita belajar untuk saling menjauhkan diri.”
“Apa abang ingin memutuskan ikatan ukuwah yang sudah terjalin diantara kita selama ini?”
“Mungkin sebaiknya begitu agar tak lagi memunculkan fitnah.”
“Dan abang membiarkan fitnah itu muncul karena mendengarkan apa yang mereka katakan padahal kita berdua saling mengerti keadaannya.”
Aku terdiam.
“Jika itu bisa mengurangi apa yang menjadi gejolak amarah dan ketersinggungan abang, adik akan melakukannya. Tapi adik tak akan pernah memutuskan ikatan ukuwah ini. Adik akan tetap menyapa dan memberi salam pada abang walau abang tak mau membalasnya. Adik akan tetap menjaga ikatan ukuwah ini meski abang ingin memutuskannya. Karena adik yakin, abang juga tak akan pernah bisa memutuskan ikatan ini.”
Aku menatapnya. Dia mengucapkan kata-kata itu dengan tegas walau raut kesedihan terpancar diwajahnya dan matanya berkaca-kaca.
Biasanya, mendengarkan suaranya menyenangkanku. Mendapatkan nasehat dan penjelasannya tentang sebait ayat indah Al Quran menenangkan hatiku. Bahwa kemuliaan hatinya untuk membantuku mengenal Allah lebih dekat lagi mencerahkan hatiku.
Tapi tidak kali ini. Karena kali ini aku merasakan pergulatan batin didada. Antara rasa sayang dan rendah diri. Antara cinta dan sadar diri. Dan antara kesombongan dari rasa sakit hati dan perasaan malu pada diri ini.
Aku memang tak berilmu. Sama sekali tak berilmu….