Cerpen
Disukai
2
Dilihat
5,261
Cerita Calon Koruptor
Slice of Life

Perlu kiranya aku berbangga hati pada sahabat karibku yang satu ini, Burhanudin namanya. Ia berhasil mencapai cita-citanya. Saat kulihat televisi pagi tadi, pada sebuah acara berita, tak kuasa aku menahan air mata. Bagaimana tidak, dari acara tersebut dapat ku ketahui Burhanudin ini, sahabat karibku, menuntaskan hajatnya yang ia pendam sedari kecil dulu.

Saat itu kira-kira umur kami lima tahun. Aku selalu bermain di rumahnya. Tak jarang kami mandi dan makan bersama. Ke mana-mana selalu bersama. Orang tua kami sudah memaklumi dengan persahabatan yang dijalin sejak dini ini. Namun, karena dulu di rumahku belum mempunyai televisi aku selalu nebeng di rumahnya: menonton kartun dan kisah petualangan anak. Kami selalu tertawa riang menyaksikan tingkah lucu mereka. Sampai pada suatu siang, Ayah Burhan pulang lebih awal dari biasanya. Ia duduk di sofa, dan langsung memarahi kami yang duduk di depan televisi.

“Sekalian saja, tempel wajah kalian di TV!” Begitu hardiknya. Kami yang ketakutan setengah mati, langsung menjauh, dan duduk di samping Ayahnya Burhan. “Mana remot, ayah mau lihat berita!” Pintanya, dan ia langsung berinisiatif untuk mencarinya terlebih dahulu. Remot ketemu. Burhan memprotes sambil merengek meminta untuk tidak dipindahkan. Ya, sebetulnya aku juga ingin memprotes, tapi, aku tahu diri. Meskipun ini acara favorit kami: kisah petualangan anak-anak. kami hanya bisa pasrah sambil dihina: “Nonton, kok, film bocah kurang madang!”

Sempat ada kesal di benak kami berdua, Burhanudin menunjukkan sikap lebih kentara. Ia moncongkan bibirnya yang hitam dan besar. Alis mengangkat tinggi tertarik dahi yang mengerut. Tapi, itu tidak lama. Acara berita siang itu menyita perhatian dan sikapnya secara drastis. Bahkan, ia sampai memiliki cita-cita ingin seperti yang diberitakan.

*

Pukul tujuh tepat. Kami sebenarnya sudah tiba di sekolah sejak pukul lima subuh. Begitulah tradisi kami bersekolah di awal tahun penerimaan siswa baru Sekolah Dasar. Namun, bukan untuk belajar lebih giat. Akan tetapi, orang tua kami sangat berkeyakinan kukuh, bahwa bangku paling depan saat pertama kali sekolah dapat membawa keberuntungan dan mencerdaskan anak mereka. Karena semua orang berkeyakinan begitu, sampai-sampai ada yang rela menginap di sekolah sehari sebelumnya. Padahal jarak antara rumah dan sekolah tidaklah sampai sepuluh kilometer jauhnya.

Alhasil, aku dan Burhan mendapat bangku paling belakang. Semua anak tampak rapi dan wangi minyak telon. Bedak terlukis cemong di wajah kami yang lugu. Andai saja dahulu aku sudah melek gaya. Mungkin, akan ku protes ibuku yang mendandani aku seperti ondel-ondel. Akan tetapi, bukan itu yang sebenarnya ingin ku ceritakan.

Aku sangat ingat, betapa gaduhnya suasana saat itu. Tiba-tiba ada seorang perempuan paruh baya memasuki kelas kami. Suasana yang tadinya kacau menjadi tenang seketika. Ya, kalian pasti salah sangka. Sebenarnya orang tua kamilah yang sedari tadi membuat kebisingan itu. Kami hanya diam, mendengarkan mereka merumpi. Walau kadang ada tawa dan riuh rendah dari kami apabila sudah akrab sebelum masuk sekolah. Kalian tahu, kami masih malu-malu!

Oh, ya. Perempuan tadi menggunakan baju hijau. Aku pikir hansip wanita. Ternyata, ia memperkenalkan diri sebagai Kepala Sekolah. Suara dan suasana yang ia bawa sangat teduh dan keibuan. Setelah itu ia menyuruh kami memperkenalkan diri satu-persatu. Ada yang menjawab dengan lantang, ada pula yang malu-malu. Setelah itu ia menanyakan apa cita-cita kami. Awalnya kami hanya berdiam diri saja. Seperti tak mengerti apa itu cita-cita. Wajar, desa kami dahulu tak memiliki Taman Kanak-kanak. Atau mungkin, ada yang ingin bicara tetapi takut untuk mengungkapkan. Seperti aku ini. Namun, aku melihat Burhan berbisik kepada ibunya. Ia pun lalu mengangkat tangan lalu berkata dengan lantang.

“Bu, aku punya cita-cita.”

Ibu Kepala Sekolah sontak saja menanyakan apa cita-citanya. Burhan menjawab:

“Aku ingin jadi anggota dewan, Bu!”

Ada raut muka bahagia yang terpancar dari semua orang tua di sana. Namun, sekonyong-konyong raut muka bahagia itu berubah menjadi masam ketika Burhan menjawab pertanyaan kenapa ia ingin jadi anggota dewan. Bahkan, aku melihat pada beberapa orang tua seperti menahan tawanya. Dan, kelakar itu pun pecah. Anak-anak yang tak mengerti apa-apa pun ikut-ikutan tertawa. Padahal sahabatku ini hanya menjawab:

“Aku ingin jadi anggota dewan, karena aku nanti bisa korupsi!”

Kejadian ini terulang setiap saat ia ditanya apa cita-citanya. Di setiap jenjang pendidikan. Hanya bedanya, tak ada kelakar hinaan dari orang tua yang mengantar anaknya saat SMP, SMA dan Kuliah. Aku memosisikan diri sebagai punakawannya. Setiap ada yang menertawakan cita-citanya, aku langsung berdebat dengan orang itu, kalau perlu adu jotos.

Aneh, padahal niatnya sangat tulus dan jujur, dan negeri ini sedang krisis orang-orang yang tulus dan jujur seperti Burhan ini. Akan tetapi, sikap yang ia terima justru direndahkan dan dihina-dina-kan. Ini belum seberapa, kami mendapat perlakuan tidak manusiawi saat menjadi mahasiswa. Dulu, saat semua mahasiswa turun ke jalan untuk membela lembaga anti korupsi, kami dicap penghianat bangsa dan negara. Ya, kami membela keputusan dewan dengan membekukannya lembaga anti korupsi itu. Karenanya, ruang ICU menjadi tempat bermalam kami selama dua pekan.

Tak akan kuceritakan bagaimana mereka menghajar kami secara brutal. Namun yang pasti, apakah sebuah lembaga lebih penting dari nyawa? Apakah tindak korupsi adalah tindakan paling terkutuk di marcapada?

Saat di Rumah Sakit, aku jadi terpikirkan sesuatu. Selama ini orang hanya bertanya pada tahapan satu lapis saja. Seolah tak ada hal lain dibalik itu. Ya, kalian pasti paham: orang-orang hanya menanyakan kenapa Burhan ingin menjadi dewan. Sesudah itu, mereka menertawakan alasannya. Sungguh hakim yang sangat kejam. Aku pun sepertinya jatuh pada tahapan kedunguan seperti itu. Tak pernah kutanyakan sekalipun alasan mengapa ia ingin korupsi. Padahal aku selalu membelanya. Kuberanikan diri untuk bertanya dan jawaban yang ia berikan sungguh memukul nuraniku. Begini katanya:

“Ah, kamu mah, masa enggak sadar, sih! Simpelnya, sih begini: Anggota dewan kan bisa bikin kebijakan. Nah, aku teh mau bikin kebijakan yang hebat pokoknya mah. Aku mau buat maju daerah terpencil. Cuma, dana buat daerah kaya begitu teh suka kecil. Jadi, aku mau korupsi buat menyalurkan dana ke daerah kayak begitu. Tanpa sepengetahuan anggota dewan yang lain! Ah, daripada dikorupsi buat kepentingan sendiri kan?”

Begitulah kisah Burhanudin sahabatku, cerita calon koruptor.

Kembali ke masa kini, tadi pagi di televisi, aku melihat ia berhasil menjadi anggota dewan yang tertangkap kasus korupsi. Ia pun berhasil mengungkapkan alasan yang sama sepeti di Rumah Sakit kepada media, kenapa ia korupsi.

***

Ciamis, 15 Oktober 2019

(Juara 2 Lomba Cerpen Tk Mahasiswa Unsil)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)