Masukan nama pengguna
Dirimu terbaring sendirian dalam keadaan mati. Sudah satu tahun dirimu menjadi bangkai di sini. Tubuhmu terurai oleh belatung. Mereka keluar dari sel-sel yang membusuk, mengoyak susunan daging dan kulit yang sudah tua. Baju putih yang terakhir kali dipakai olehmu berubah warna menjadi kecoklatan, berasal dari darah yang merembes dan mengering. Begitu juga dengan kain putih yang menjadi alas tidurmu.
Dirimu mati dalam keadaan tidak ada seorang pun yang tahu. Anakmu. Cucumu. Semua orang mengira dirimu baik-baik saja dan tengah dirawat oleh pembantu. Bahkan, tetanggamu. Mereka mengira dirimu sekarang berada di rumah anakmu itu. Alhasil, tidak ada yang geger dengan kepergianmu itu yang secara diam-diam. Dirimu benar-benar membuat suasana seolah semuanya baik-baik saja. Sebenarnya dirimu datang ke sini sendirian dengan perasaan yang sudah patah. Berjalan dengan gontai dengan tubuhmu yang sudah renta ke rumah pohon di tengah hutan belantara. Berniat untuk mati dalam hening.
Saat masih kecil, dirimu sering bermain ke sini dan tidak sengaja menemukan rumah pohon yang sudah lama ditinggalkan itu. Mungkin, rumah itu dibangun oleh para pemburu liar sebagai tempat peristirahatan dan pengintaian. Tetapi, mereka meninggalkan rumah itu karena pemerintah sudah melarang perburuan liar. Jika sampai ketahuan, nasib mereka akan dipenjara.
Sekarang, setelah dirimu meninggalkan rumah pohon itu selama berpuluh-puluh tahun, kondisinya sangat mengenaskan. Lebih mirip rumah setan. Dan, cocok dipakai sebagai kuburan. Mungkin, dirimu berharap seperti itu. Raut wajahmu tidak menampakan kekecewaan sedikit pun saat melihat atapnya yang bolong di mana-mana, beberapa lantai kayunya menggelayut pada sisa-sisa kekuatan paku yang berkarat. Barang pasti kondisinya sudah lapuk termakan rayap.
Bahkan, ayunan itu, tempat favoritmu dulu, kini hanya tinggal dua utas tali yang dirambati gulma. Dirimu membelai tali itu, dan mencerabuti gulma. Kemudian melihat ke arah tangga juga sudah habis. “Sepertinya, aku harus susah payah naik menggunakan tali,” gumam mu pada diri sendiri. Dirimu mengikatkan koper yang sedari tadi dibawa ke punggung, menggunakan gulma yang merambat itu.
Tanganmu gemetar termakan usia saat mencoba mengangkat tubuhmu. Isi koper itu tidak berat. Dahan pohon itu pun tidak ikut tertunduk karena berat badanmu yang sangat ringan. Dirimu begitu kurus dan tidak terawat. Dengan susah payah, dirimu berhasil menaiki rumah pohon itu. Dirimu menapaki setiap sudut lantai dengan hati-hati. Tahi rayap berjatuhan. Dirimu meratapi lapukan yang ikut terjatuh.
Dirimu meraba dengan hati-hati, mencari tempat ternyaman untuk berbaring. Tepat di sudut ruangan. Cukup ideal. Atapnya belum roboh, hanya sedikit berlubang. Dirimu mengeluarkan kain berwarna dan baju berwarna putih dari koper yang dirimu bawa. Memakainya.
Kain itu. Dirimu membentangkannya di lantai kayu yang berdebu. Lalu, Dirimu terlentang di sana. Mendekapkan kedua tangan di atas dada.
"Akhirnya," ucapmu seraya tersenyum. Senyum yang coba menguatkan.
"Aku hanya tinggal menunggu setelah ini, menunggu mati!"
*
Semua bermula saat dirimu tengah sakit. Anakmu tidak kunjung menjenguk. Padahal, dirimu sudah memintanya untuk datang. Akhirnya, dirimu mengancam tidak akan memberinya warisan. Mau tidak-mau anakmu pun datang bersama anak dan istrinya. Kalian bertengkat di dalam kamar. Anakmu mengunci pintu. Lalu, dia misuh-misuh kepadamu.
“Sudah tahu, aku sibuk di perusahaan, Pah. Kenapa, Papa tidak mengerti! Aku kan sudah bilang, lebih baik Papa dirawat di panti jompo saja, biar semua orang tidak menghawatirkanmu!”
Dirimu berkata bahwa dia begitu tega kepada orang tua. Lalu, dirimu berderai air mata sambil menyebutnya anak durhaka.
“Lah, bukannya, Papa yang bilang, kalau seorang laki-laki tidak bisa mencari uang, berarti dia tidak berguna? Bukankah itu yang Papa ucapkan saat aku menganggur dulu?
“Setidaknya, berilah kabar, Nak. Sejak kamu pergi, kamu tidak pernah memberi kabar apa pun. Bahkan saat ibumu meninggal kamu tidak datang ke pemakamannya,” katamu lirih.
Kamar itu pun mendadak menjadi hening.
“Papa merasa, bahwa umur ini sudah tidak akan lama lagi ... “ ucapmu membuka percakapan kembali. Kalian saling menatap. Di mata anakmu masih ada bara amarah, “jika boleh, Papa meminta untuk dirawat sekali ini saja. Sampai Papa meninggal,” pintamu melanjutkan ucapan yang tadi terhenti.
Anakmu tetap saja menolaknya, dia beralasan tidak akan sempat.
“Lihatlah, Pa, sekarang saja, Aku merugi miliyaran karena harus meninggalkan MoU dengan perusahaan luar negeri. Andai saja Papa tidak merengek seperti bayi! Ingat ya, Pa, aku membangun perusahaan ini dengan keringat sendiri! Tidak meminta modal sedikit pun darimu. Bahkan aku tidak sudi untuk melanjutkan usahamu yang kolot itu.”
Dirimu semakin tersentak. Hatimu hancur berkeping-keping.
“Ah, begini saja. Bagaimana kalau aku mencarikan pembantu untuk merawatmu. Jangan berpikiran keras kepala! Menurut saja, ini terbaik untukmu!”
Dirimu mengiyakan sarannya itu, tetapi dengan syarat dirimu akan mencari pembantunya sendiri. “Ya, sudah, Papa tidak akan merepotkanmu lagi,” katamu menutup percakapan itu.
Sebenarnya, dirimu tidak bertindak demikian. Dirimu tidak akan pernah mencari pembantu itu. Dengan sisa tenaga, di pagi hari yang cerah dirimu berkeliling di perumahan elit itu, sambil mengabari tetanggamu bahwa dirimu akan pindah dan di rawat oleh anak semata wayangmu. Semua orang sangat setuju dan memuji tindakan anakmu.
Siang harinya, saat anakmu kempali pulang ke rumahnya, dirimu pergi ke tempat Notaris dan asuransi. Semua kekayaanmu itu disumbangkan ke panti-panti sosial. Termasuk rumahmu yang berada di kawasan elit itu. Dirimu hanya menyisakan beberapa peser uang untuk ongkos naik bus Semua tindakanmu itu dilakukan sendiri. Anakmu tidak mengetahuinya. Sekarang mungkin dia sibuk bekerja.
Setelah semua urusanmu itu beres, dirimu pulang ke rumah untuk berkemas. Dirimu hanya membawa sebuah koper berisi kain putih dan baju putih. Hanya itu saja. Dirimu berangkat menuju halte bus terdekat saat malam menjelang dan semua orang tengah tertidur lelap. Ada Pak Satpam di pos jaga, dirimu menatapnya. Dia sedang tengadah dan mendengkur. Kakimu berjinjit, agar sebisa mungkin tidak menimbulkan suara.
Mulai hari itu, semua orang menganggap kamu pergi ke rumah anakmu. Dirimu naik bus antar-provinsi, menuju ke sini. Ke tengah hutan belantara tempat dulu dirimu suka bermain. Dalam perjalanan, dirimu berderai air mata menyesali perbuatan anakmu itu. Pak kondektur menghampirimu dan menanyai tujuanmu. Dirimu memberi ongkos dan menjawab kota tujuanmu. Tetapi, dirimu meminta untuk berhenti saja di pinggiran hutan belantara.
“Nanti ada yang menjemput,” ujarmu. Jelas bahwa itu hanya alasan belaka.
Hari telah berganti dan dirimu sudah sampai di hutan ini. Kakimu yang lemah sudah tidak bisa setangkas dulu. Sesekali langkahmu terhenti untuk mengambil tenaga melewati akar yang menyebul dari dalam tanah. Terkadang dirimu tersungkur, lalu bangkit lagi. Semakin memasuki hutan ini, dirimu menjadi lebih bersemangat dan berseri-seri. Sebuah senyum yang janggal menuju ajal.
“Ah, sepertinya notaris itu sudah datang dan menjual rumahku,” gumammu sambil beristirahat di bawah pohon ara tua. Pohon itu sudah tidak berbuah lagi. Matamu yang sudah layu memandangi dahan dan ranting pohon yang sudah rapuh tanpa daun.
"Entah mati dengan cara apapun, ritus kematian makhluk tanah akan kembali ke tanah! Entah itu dikubur, dikremasi, atau dengan cara orang-orang zoroaster!" teriakmu secara tiba-tiba. Dirimu tersengal dan mengambil nafas untuk berteriak kembali, "wahai makhluk-makluk tanah, jemputlah aku bila telah jadi bangkai!"
Meskipun sudah lama dirimu meninggalkan tempat ini, tetapi, kaki mu menuntun ke arah yang benar. Seakan mata kaki itu bisa melihat dan mengingat dengan jelas—jalan yang dulu dirimu pernah lalui. Jalan setapak itu sudah tertutup gulma dan daun-daun jatuh. Ah, ya, dan akar-akar yang menyembul.
Senyum di wajahmu merekah saat melihat rumah pohon itu dari kejauhan. Kembali, dirimu tersenyum ganjil menuju ajal.
*
Dirimu berceracau terus di dalam rumah pohon di tengah hutan belantara itu. Dalam keadaan menggigil dan kelaparan. Dirimu tak beranjak sedikit pun dari alas kain putih itu. Bahkan saat hujan. Rintik air yang merembes dari atap yang tak sempurna itu menimpa tubuhmu. Tetapi, dirimu memilih untuk tidak beranjak.
Sesekali matamu terpejam lalu membukanya. Dirimu menyaksikan bilah-bilah kayu berjatuhan. Rumah pohon ini semakin terkikis dan habis. Namun, hal itu tak sedikit pun membuatmu goyah. Dirimu tetap tegar berbaring menunggu mati. Hingga akhirnya dirimu pun mati. Mati dalam keadaan senyap yang melebihi kata senyap.
Saat dirimu berubah menjadi seonggok bangkai, makhluk tanah yang kau pinta itu pun akhirnya datang. Rayap tetap pada tugasnya menggerogoti kayu. Sesekali menggerogoti bajumu dan kain putih itu. Belatung-belatung yang bermetamorfosis jadi lalat. Mengerumuni bangkai berbau tak sedap.
Semut-semut pun datang bergerombol. Mereka mencabik-cabik kecil dagingmu yang telah membusuk, kemudian membawanya ke sarang mereka. Di bawah tanah. Hal ini berlangsung sampai sekarang. Masih ada tersisa sedikit daging yang menempel pada tulang-belulangmu. Organ dalammu telah terburai.
Bau busuk dari tubuhmu mengundang gagak. Mereka mematuk-matuki bangkaimu. Mempercepatnya menjadi habis. Burung-burung gagak, dan juga binatang buas lain yang memakan tubuhmu, tak menjadikanmu batal menjadi makhluk tanah dan kembali ke tanah. Mereka mensucikan jasadmu dan membuang sisa kotoran dirimu dalam bentuk tai.