Masukan nama pengguna
Jelaga perlahan menelan lembayung dari arah timur. Sang Surya sudah sepenuhnya tenggelam di sudut lain cakrawala. Dewi Aphrodite menebarkan pesona magis di akhir hari yang hendak berganti malam. Kini, jantung malam sudah terbit dari arah yang berlawanan. Mengenakan wajah siklus mudanya, yang tersisa hanya seutas cahaya perak menyerupai sabit raksasa bergelayutan di angkasa.
Aku terpaku di atas sini, lembah sunyi Mandalawangi sembari meratapi tebaran gemintang yang berdebar-debar kecil. Meratapi dirimu. Hatiku, laksana oksigen yang dipaksa merendah dan terperangkap di permukaan bumi, tak kuasa menembus atmosfer untuk berpindah pada sedikit oksigen yang berpendaran ribuan tahun cahaya jaraknya dari sini. Cahaya yang berasal dari bintang yang sudah mati. Dari pendaran dirimu yang sudah jauh.
Air mataku berguguran tak tahu malu, setetes demi setetes dari kelopaknya yang sembab. Ku tatap dan kubelai serumpun kelopak bunga abadi yang bermekaran dalam gelap. Sontak, pikiranku diajak menjelajahi berjuta kenangan musim dan kurun waktu oleh bunga itu. Tentu, bukan hanya kenangan diriku dan dirimu. Bunga ini saksi bisu berjuta kisah dan kasih yang bertebaran di muka bumi.
“Nir. Di tempat seperti inilah kita merasa nyaman. Jauh dari hiruk-pikuk kebusukan politik, kapitalisme dan berbagai hal anjing lainnya.”
“Benar kata Soe Hok Gie ‘Kebenaran hanya ada di langit, dan dunia hanyalah kepalsuan.’ Aku sudah muak, ingin merubahnya.”
“Dan, bunga-bunga revolusi sepertimu haruslah abadi seperti Edelweiss.” ucapmu padaku seraya menyeruput secangkir kopi saat pagi masih perawan, di lembah sunyi Mandalawangi.
Kau seperti sengaja mengutip kata-kata Gie di tempat ini, tempat favoritnya. Ingatan itu berpendar seperti bintang mati yang menyampaikan pesan bahwa ia pernah ada jutaan juta tahun yang lalu. Dan, Kau pernah berkata seperti itu.
Ya, aku semakin yakin bahwa semua berita tentangmu hanyalah kepalsuan. Aku yakin, bahwa kau tidak mati bunuh diri.
*
“Besok jadi ikut ke Senayan?”
Aku bertanya kepadanya. Ia tak menggubrisnya. Tubuhnya mematung di hadapan buku. Di hadapan sebuah karya Sartre. Kopi Toraja yang ku suguhkan tinggal setengah. Kreteknya dibiarkan mengepul begitu saja dalam asbak.
“Fana!” tegur ku dengan nada yang lebih tinggi.
Ia terkesiap. Kesadaran kembali pada raganya. Ia tutup buku itu. Meletakkannya di meja. Menyeruput kopi yang tersisa. Menyesap kretek. Mengembuskan kepulan asap ke langit-langit. Tersenyum padaku.
“Ya, Nir?” tanyanya.
“Rokokmu serupa dupa!” Aku berkata sekenanya.
“Hehe.” Ia hanya terkekeh.
“Besok jadi ke Senayan?” tanyaku sekali lagi.
“Jadi,” jawabmu singkat.
Aku sedikit tidak yakin, seorang Fana yang ku anggap hanya sebatas entitas golongan kutu buku akan turun ke jalan. Tidak seperti diriku. Diriku sudah terbiasa menyuarakan dengan lantang kebusukan-kebusukan patriarki.
Rintik hujan turun secara perlahan, memecahkan keheningan kala perbincangan dua insan ini membisu. Petrichor menyeruak dan memberi kabar bahwa tanah kini sudah basah.
Ia kembali mengambil bukunya. Namun, segera ku cegah.
“Kamu yakin?” tanyaku menyela.
“Ya...” Fana menghela nafas, “Banyak membaca membuatku resah. Dan, hanya akan menjadi sebuah onani intelektual belaka, jika, aku hanya menggerutu sendiri lalu kembali tenggelam dalam bacaan. Saat ketidakadilan yang begitu nyata akan diterapkan menjadi undang-undang, siapa yang harus melawan kalau bukan kita? Regulasi yang merenggut orisinalitas manusia. Aku tak bisa menutup mata, Nir!” lanjutnya dengan tatapan yang berbinar-binar.
Aku hanya menyimpulkan senyum. Hujan makin menjadi. Suara riuh air yang jatuh menimpa genting, mengalir deras tertarik gaya gravitasi dengan kecepatan konstan, membentuk tirai hujan yang menjadi penutup percakapan kami.
*
Kala itu, demonstran tumpah ruah di Senayan. Buruh Tani dikumandangkan. Aparat TNI dan Polri membentuk sebuah barikade. Kawat berduri membentang. Baliho bertuliskan: DPR GOBLOK, DEMOKRASI TELAH MATI dsb, terpajang di pagar kantor wakil rakyat itu. Beberapa perwakilan ketua BEM melakukan orasi.
Aku melihat Fana dengan penuh semangat mencoba merangsek barisan polisi yang menghalangi pintu masuk gedung DPR. Aku segera menarik bajunya. Dan, berteriak dekat daun telinganya:
"JANGAN GOBLOG, BAGAIMANA JIKA KAMU KENAPA-NAPA!"
Amarahnya mereda. Nafas tersengal. Keringat bercucuran. Aku mengajaknya ke tepi jalan, jauh dari kerumunan. Memberinya sebotol air. Ia meneguk hingga habis setengahnya. Di sisi lain, para demonstran semakin memaksa masuk.
Aku melihat kepulan asap hitam membumbung ke langit dari tempat kami tadi berada. Batu berterbangan ke mana-mana. Aparat membalas dengan lemparan gas air mata. Demonstran berhamburan.
Chaos. Beberapa demonstran menembakan flare dan petasan ke arah polisi. Tak mempan. Aku seperti melihat adegan nyata dari Spartan.
Dari sisi lain, ada beberapa polisi yang mengejar demonstran yang berhamburan. Mereka menangkap dan memukul orang-orang yang sial. Entahlah, mungkin polisi-polisi itu mencoba menunjukan kekuatan agar tercipta kembali order.
"Su—asana semakin chaos, ayo kita pulang saja!" ajak ku dengan nafas yang tersengal-sengal karena lelah berlari.
"Hah!? Bagaimana dengan yang lain?" sergahnya.
"Aku tak suka jika unjuk rasa berujung kerusuhan," ucapku seraya mengatur nafas.
*
Kejadian di Senayan pun telah berlalu. Menimbulkan letusan demontrasi yang sporadis. Setelahnya, waktu mempertemukan kami pada ketakutan terpendam yang menjadi kenyataan begitu cepat.
Investor-investor asing mulai berdatangan ke negeri ini. Membangun smelter untuk mengeruk habis material alam yang terpendam. PHK masal terjadi di mana-mana. Harga sembako melonjak tinggi. Ketidak-adilan pada buruh perempuan.
Fana berangkat ke Sulawesi. Katanya, ada daerah yang terdampak akibat limbah tambang Nikel. Ia mencoba melakukan riset. Sudah beberapa bulan ia di sana. Kami sering berkirim kabar.
"Parah, Nir. Aku tak tega melihat saudara-saudara kita di sini. Mereka menderita akibat timbal, merkuri dan logam berat lainnya. Belum lagi dampak kehilangan lahan dan tempat mencari ikan."
"Nir, lihatlah bagaimana air yang mengalir di sungai-sungai ini berwarna darah dan mengalir ke laut. Alam seakan memberi pertanda!"
Fana mengirimkan beberapa foto lewat WhatsApp. Melihat gambarnya saja hatiku seperti disayat-sayat pisau ketidakadilan. Sangat memprihatinkan. Perih. Beberapa hari kemudian kulihat tulisan Fana tayang di beberapa surat kabar. Ironinya, tak ada yang menggubris. Ada mungkin, namun sedikit. Hanya cuitan-cuitan yang tenggelam begitu saja.
Aku tak menyaksikan dengan masif ada gerakan pemberontakan seperti kejadian Senayan. Tak ada narasi dari terpelajar yang terlontar untuk mengusir kelaliman nyata di depan mata. Atau mungkin, para terpelajar di negeri ini menganggap bahwa masalah yang terjadi di belahan sana biar saja diselesaikan di sana. Entahlah.
"Aku tak akan menyerah, Nir. Untungnya di sini aku tak sendiri. Masih ada Mahasiswa yang terbuka matanya. Aku akan tetap bersama suara-suara kecil ini yang merintih."
"Kau tahu, Nir, tabiat-tabiat orang yang tak pernah kenyang memakan uang? Mereka mendadak buta huruf, bahkan buta senyata-nyatanya, mendadak tuli, mereka enggan melangkah pada masalah yang telah mereka sebabkan. Namun, jika yang datang kepada mereka membawa serta uang..."
"Kau tahu sendiri, Jika sudah seperti ini, bukan hal yang tidak mungkin jika Aku membuat gerakan yang akan... Demi sebuah perbaikan negeri ini."
"Jaga dirimu!" pesanku.
Setelah itu, untuk waktu yang sangat lama, Fana tak lagi mengirim pesan kepadaku. Tiba-tiba, untuk waktu yang lebih lama lagi, muncul berita di televisi bahwa ia mati bunuh diri.
*
Di atas sini, di lembah sunyi Mandalawangi. Saat malam semakin lingsir. Air mataku semakin bercucuran tanpa malu kepada bunga abadi yang tak pernah gugur. Aku tak kuasa lagi menatap bintang. Menatap cahayanya yang sebenarnya telah lama mati.
***
50 Cerpen Pilihan Kamar Sastra