Cerpen
Disukai
2
Dilihat
8,565
Cinta Buta
Romantis

Sepasang tangan kotor penuh bercak cat akrilik terulur dengan gemetar mencoba menggapai sesuatu dalam ruang semesta yang baginya hanya kosong dan gelap. Ia dapat merasakan—pemilik tangan itu—tangannya disambut oleh jemari lentik yang menggenggamnya dengan lembut dari arah berlawanan. Ia tersentak sebelum mulai menyadari bahwa tangan yang menggenggamnya itu adalah milik si pelanggan. Sesaat kemudian, setelah mencengkramnya dengan erat, si pelanggan menuntun tangan kurus itu ke wajahnya. Ia pun sedikit bergidik saat kulit basah oleh cat itu menyentuh permukaan kulitnya. Menelusuri setiap lekuk untuk mengenal bentuk dengan baik.

“Maaf jika terkesan tidak sopan, Mbak,” kata si pemilik tangan itu.

“Ah, tidak apa-apa, teruskan saja. Toh, aku yang meminta dilukis olehmu,” jawab si pelanggan dengan suara lembut.

Si pemilik tangan, atau kita sebut saja si pelukis, kemudian melanjutkan penelusurannya. Setiap tangannya bersentuhan dengan wajah dan kulit si pelanggan ia merasakan hal lain. Tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya. Sebuah perasaan hangat dan ganjil. Membuat dadanya terasa penuh dengan rasa bahagia. Sampai-sampai, ia tersenyum secara tidak sadar. Hal itu diperhatikan oleh si pelanggan. Dia melihat bibir si pelukis yang tipis dan berwarna merah. Juga kumisnya yang tipis. Terdapat gigi putih yang berjajar rapih. Ia pandangi seluruh wajahnya. Hidungnya mancung. Tidak luput juga bola matanya yang putih tertutup Glukoma.

“Ah, Mas, aku ingin bertanya,” kata si pelanggan sambil menghentikan tangan yang hendak mencari kuas dan perlengkapan melukis di bawah kakinya. Ia menggigit bibirnya, seperti ragu. Namun, sesaat kemudian, ia memberanikan diri dan melanjutkan, “kenapa ingin jadi pelukis jalanan?”

“Ah, itu, aku hanya ingin hidup dari apa yang aku bisa. Meskipun, aku tidak tahu bagaimana hasil lukisanku, bahkan terkadang banyak yang meminta dilukiskan karena merasa sekedar iba, tetapi, aku suka menjalani hidup seperti ini,” jawabnya sambil tersenyum. Kemudain dia menambahkan, “selagi masih muda.”

Si pelanggan merasa tersentuh dengan kegigihan untuk bertahan hidup si pelukis. Ia mainkan dan membetulkan posisi rambutnya yang terjuntai menutupi wajah. Rindang pohon di taman meneduhi mereka. Si pelukis buta kembali menghadap kanvas. Tangan kanannya menggenggam kuas. Sebelahnya lagi memegang palet berisi cat. Saat hendak mencelupkan kuas ke dalam palet itu, dia menyentuh terlebih dahulu ceruk yang ada di sana. Mencoba sebisa mungkin tidak salah mengambil warna.

“Aku akui, Mbak. Bagian tersulit dari pekerjaan ini adalah ketika aku menggoreskan kuas ke permukaan kanvas. Aku tidak bisa melihatnya sehingga lukisanku akan terlihat abstrak. Sesungguhnya, aku ingin sekali melukis seperti Raden Saleh. Meskipun, aku belum pernah melihat karya lukisannya. Namun, dapat kubayangkan, seperti apa karya Raden Saleh dari cerita teman-temanku. Ah, maaf aku jadi melantur,” kata si pelukis itu.

Air mata menetes dari sudut mata si pelanggan. Ia segera menghapusnya dengan ujung jari. Pikirannya berkecambuk. Dadanya sesak. Ia melihat ke arah kanvas yang disangga easel itu. Si pelukis sedang menggurat warna dasar berwarna cream. Ia semakin tidak kuat menahan air mata karena dirinya tahu bahwa itu bukanlah warna kulitnya.

“Kau, tahu...” kata si pelanggan sambil terisak. Si pelukis menghentikan tangannya. Pendengarannya tersadar akan isak tangis itu. Dia mencoba bertanya apakah ada yang salah. Namun, si pelanggan menjawab tidak ada apa-apa. “Tidak, aku, teringat akan umurku yang sudah dekat. Kau tahu? Aku menderita suatu penyakit dan divonis akan mati sebentar lagi,” jelas si pelanggan sambil teretawa kecil mencoba menenangkan si pelukis. Dia tidak ingin si pelukis itu terlarut dalam rasa bersalah. Sesungguhnya, bukan itu yang hendak dia bicarakan.

Suasana canggung menyelimuti mereka berdua. Si pelukis masih merasa ragu untuk meneruskan lukisannya itu. Ia meletakkan alat melukisnya. Kemudian tangannya kembali mencari-cari di ruang yang menurutnya kosong dan gelap sekali lagi. Kali ini, si pelukis bermaksud untuk menggenggam tangan si pelanggan. Dia ingin bersimpati. Sekali lagi, tangan itu di sambut oleh si pelanggan. Kali ini, yang menggenggam erat adalah si pelukis. Dia menjatuhkan pegangan itu ke pangkuan si pelanggan.

“Maaf, Mbak, kalau aku bersikap lancang. Namun, sungguh, aku hanya ingin menguatkanmu,” katanya mencoba mengusir kecanggungan ini sejauh mungkin. Si pelanggan hanya tersenyum sambil mengusap kembali air matanya yang masih bercucuran. Kemudian si pelanggan meneruskan, “ah, ya, selama hidupku, Aku tidak pernah mau untuk difoto. Aku merasa takut. Malu. Aku malu akan bentuk wajahku yang buruk rupa. Untungnya, aku akan mati sebentar lagi. Aku tidak ingin wajahku di kenang oleh siapa pun. Ini pertama kalinya, aku berani menggambar diriku di media lain. Maaf jika aku jahat dan terkesan memanfaatkanmu saja, Mas.”

“Hahahaa, tidak apa-apa, Mbak, terlepas dari apapun niat pelangganku, aku tetap dapat bayaran juga, dan itu bisa membuatku bertahan hidup. Dulu, aku pernah menjadi sosok yang kata orang idealis, tetapi, karena aku tidak mempunyai dasar dan namaku tidak besar, jadinya, aku tenggelam juga dan terpaksa mengubur mimpiku yang tinggi itu.”

Percakapan yang penuh kegetiran ini terus berlanjut sampai si pelanggan menghentikan pedagang kaki lima yang melintas. Dia membeli dua botol teh kemasan. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk si pelukis. Mereka menenggak habis minuman itu di tengah cuaca yang terik. Si pelukis kembali melanjutkan pekerjaannya. Sekarang, karena sudah merasa saling terbuka, dia bisa melakukan pekerjaannya itu sambil mengobrol lagi.

“Apa kamu pernah jatuh cinta, Mas?”

“Pernah, tetapi, aku tidak berani mengungkapkannya. Aku sadar kekuranganku, meskipun aku yakin, dia bisa menerimanya. Namun, tetap saja...Kamu mengerti, kan? Ah, ya, panggil Fana saja.”

“Oh, ya, namaku Nira... Iya, aku mengerti, aku pun sama merasakannya. Cinta bagiku hanya bayang-bayang semu yang tidak mungkin untuk digapai dan dipeluk, membuntutiku ke manapun dengan perasaan yang hitam,” keluh Nira.

Fana mencoba menghayati makna dari perkataan pelanggannya itu. Detak di dadanya semakin terasa. Membuat tubuhnya semakin hangat. Kini, Ia menggores kanvas seusai suasana hatinya. Ia tidak mempedulikan lagi warna yang terdapat di palet. Mengambilnya dengan penuh semanga. Juga, Fana tidak memperkirakan ketepatan jatuhnya kuas pada kanvas itu. Benar-benar sesuka hatinya. Namun, selama Fana melukis, baru kali ini dia bisa melukis sambil tersenyum riang.

“Sebentar lagi selesai, Mbak. Eh, Nir. Tinggal kuberi sentuhan terakhir kemudian menunggunya kering,” terang Fana.

“Tidak usah terburu-buru, mari mengobrol lagi!” kata Nira sambil bersender di bahu si pelukis. “Ah, maaf jika pertanyaan ini menyinggung, jika ada keajaiban turun dari langit, apa kamu mau dapat melihat dunia ini, Fan?”

“Tentu saja, Nir. Orang bodoh macam apa yang hendak menolak mukzijat?”

Nira tertawa, “Ah, maaf, betul juga, yah.” Dia tertawa lagi sambil menepuk pundak Fana. “Fan, wajahmu tampan. Jika kamu bisa melihat, pasti kamu tidak akan ragu lagi mengucapkan cinta kepada orang cantik pilihanmu,” kata Nira dengan nada serius.

“Ah, apalah arti tampan dan cantik, sejak aku lahir, aku tidak mengenal konsep seperti itu. Aku hanya menilai orang dari kebaikan hati dan juga sikapnya.”

“Tetapi, kenapa kamu tidak mengungkapkan cintamu waktu itu?” sanggah Nira. Fana tersentak. Perkataan sederhana itu memaksanya merenung. Ternyata dia menyadari, selama ini dirinya naif. Wajahnya menjadi murung. Nira mengusapnya secara lembut. Bibir Fana menjadi kelu. Dia hendak berucap sesuatu, tetapi, kata-katanya tertahan di tenggorokan. Lama. Sampai, kata yang bersemayam itu terasa menggelitik. Dia pun berdeham.

“Nir, jujur saja, aku tidak mengenal konsep tampan dan cantik menurut pandangan umum. Rasa naif itu muncul karena aku mempunyai kekurangan. Bukan karena wajah rupawan. Ah, jika saja aku bisa melihat, aku pasti jatuh cinta kepadamu. Tidak, aku membantah itu, sekarang pun aku telah jatuh cinta kepadamu,” ucap Fana tegas. Mendengar itu Nira tersipu. Perasaannya membuncah. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tanpa mereka sadari hari sudah sore dan lukisan itu sudah kering. Fana meraba permukaan kanvas itu untuk memastikan, agar saat dibawa oleh pelanggannya itu si cat tidak luntur.

“Ah, ini, sudah kering, Nir, tidak usah dibayar. Aku tidak tahu apakah lukisan ini bagus atau jelek. Apakah pantas disebut sebagai hadiah, tetapi, sungguh, lukisan ini buatmu,” pinta Fana sambil mencoba mencari tangan Nira.

“Ah, tidak, Fan, lukisan ini simpan saja di kamarmu atau kamu pajang di ruang tengah. Aku berkata jujur, lukisan ini sangat indah. Aku merasa itu adalah diriku yang buruk rupa. Ah, tidak jangan salah sangka dulu. Aku akan merasa sakit hati jika kamu mencoba melukisku dengan bentuk sempurna yang dibuat-buat seperti tadi. Pasti kamu menghafalnya kan, tidak benar-benar melukis secara langsung. Ini lukisan hatimu dan perasaanmu sampai kepadaku, Fan. Namun, aku sebentar lagi dijemput ajal. Jika lukisan ini dipajang di rumahku,” tolak Nira sambil menjelaskan alasannya.

“Apakah sama saja tidak akan berarti apa-apa jika lukisan ini disimpan di rumahku? Aku, kan tidak bisa melihatnya!”

“Tidak, kamu pasti bisa melihatnya suatu saat. Anugrah dari langit akan datang kepadamu. Sedangkan ia tidak akan turun kepadaku. Aku akan mati sesuai jadwal yang ditetapkan para dokter spesialis itu. Kamu masih memiliki harapan Fan. Ah, Fana, jika rasa yang tiba-tiba kita rasakan ini sebagai hadiah perpisahanku dengan dunia, maukah kau menemaniku sampai nanti aku tiada?”

Fana berderai air mata mendengar itu, “Ya... aku... mau,” jawab Fana sambil mengisak tangis. Akhirnya, lukisan itu dibawa oleh Fana. Nira pulang dengan tangan kosong. Di wajahnya masih terdapat cat yang telah mengering. Sebelum berpisah, Nira sempat menanyakan tempat tinggal Fana, dan mulai besok ia akan datang setiap hari ke sana.

Sesuai janji, setiap hari Nira datang menjemput Fana. Mereka terkadang bermain di panti sosial yang sesak dengan orang-orang malang, tempat Fana tinggal. Membersihkan sampah yang berserahan. Mencuci bajunya. Dia juga menuntun Fana berjalan ke taman, tempat pertama mereka bertemu. Fana melukis. Nira memperhatikan sambil mengajaknya mengobrol. Seperti itu lah mereka menghabiskan waktu berdua.

Sampai, pada saat-saat terakhir, Nira mulai jarang berkunjung. Tubuhnya semakin ringkih. Ia semakin sekarat. Di saat itulah dia menulis wasiat dan juga surat pernyataan donor mata untuk Fana. Ajalnya datang tepat sesuai perkiraan para dokter. Meski mengetahuinya, Fana tetap tidak bisa menerima kenyataan itu. Dirinya meraung di pemakaman. Ahli waris Nira, menepuk pundaknya. Mencoba menenangkannya. Dan memberi tahu bahwa Nira sudah memberikan matanya kepada Fana. Berikut dengan biaya operasinya.

“Sudah, Bung, terima saja, ini permintaan terakhir mendiang.”

Fana menurut dia dioperasi saat itu juga. Berjalan dengan lancar. Sekarang, sudah seminggu Fana di rumah sakit. Ia menghadap jendela yang terbuka. Perban masih membalut kedua matanya. Dokter datang mengetuk pintu. Dia berniat untuk membuka perban. Suster datang menyusul sambil membawa peralatan.

“Bagaimana kabarmu, Tuan?” tanya Sang Dokter.

“Ah, baik dok. Aku merasa senang sekali bisa melihat dunia untuk pertama kalinya. Oh, ya, apakah sudah ada yang membawa lukisanku?”

“Sudah, Tuan, Suter, tolong bawakan!”

Dengan sigap, suster menuruti perintah dari dokter itu, dia langsung memberi kanvas itu ke Fana. Fana merabanya. Merasa nostalgia. Teringat kepada Nira. Tetapi, ia belum boleh menangis. Sang dokter langsung melakukan tugasnya. Permbukaan perban itu sudah selesai. Fana lamat-lamat membuka matanya. Pandangan pertama yang ia tuju adalah kanvas lukisannya tentang Nira. Kini, air mata yang sudah seminggu itu dia tahan mengalir desar seperti badai di awal musim penghujan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)