Cerpen
Disukai
4
Dilihat
3,253
Mimpi Malam Kesebelas
Thriller

Sebenarnya, pada malam ke sebelas, aku bermimpi aneh kembali. Setelah—kau tahu—aku melewati mimpi-mimpi sepuluh malam[1] yang pelik nan ganjil itu. Tetapi, Aku tidak menceritakannya kepada siapa pun sesegera mungkin. Tidak seperti cerita dari mimpi-mimpi sebelumnya. Karena, apalah arti sebelas itu—tidaklah lebih lanjutan bilangan yang berulang dari satu di digit berikutnya.

Namun, setelah aku menimang-nimang, apakah sebaiknya aku menuliskannya kembali setelah melewati waktu seratus tahun penantian kebangkitan ibu atau memendamnya sendirian saja, aku memutuskan untuk mengungkapkannya. Kawanku, mimpi ini adalah suatu entitas lain yang bukan sekedar kelanjutan bilangan. Ia begitu hidup dan nyata.

Ah, meski aku tahu sekarang kita telah lewat beberapa dekade dari seratus tahun itu dan yang muncul hanyalah tangkai bakung raksasa. Tetapi, tidak apa-apa, mungkin ibu terlalu lelap dan damai dalam matinya, sehingga dia tidak ingat, sekarang sudah lebih dari seratus tahun. Aku terlalu lelah menanti, sampai-sampai aku beranggapan sekuntum bunga itu sebagai kelangsungan dari janji ibu kepadaku.

Jika persepsiku seperti ini, semua beban terasa ringan. Setiap janji sudah tunai dan aku kini damai. Dan, kebas di pundak ku akibat menggendong seorang anak buta yang telah bereinkarnasi dari matinya dua ratus tahun lalu, tepat saat tahun Naga pun terasa menghilang begitu saja—Aih, dia tiba-tiba membebani pundak ku sebagai patung batu Jizo sebelum menuduhku sebagai pembunuhnya. Aku seakan terbebas dari semua kutukan dewa yang sangat melaknat, memberatkan dan melelahkan selama ini. Leganya.

Sekarang, aku kembali memiliki cukup tenaga untuk menceritakan mimpi yang kesebelas. Tentunya, tidak kalah menggetirkan dari cerita ku setelah meninggalkan bilik Osho di kuil itu.

Seperti inilah mimpiku:—

Terik begitu menyengat dan kulit ku melepuh. Di depan ku terhampar gurun pasir tak berujung. Aku berjalan tanpa alas kaki. Jejak langkah kembali tertutup oleh pasir yang terbawa angin. Aku mendongkak ke langit. Tak ada awan. Keringat yang keluar dari pori-pori langsung menguap begitu saja tanpa permisi atau pun singgah barang sejenak. Ah, apa itu? Benda seperti belukar yang menjalar. Dengan tergopoh-gopoh aku mendekati apa pun yang terlihat berbeda di gurun ini. Ternyata, serumpun mawar merah tumbuh dengan ganjil.

Aku mencabutnya, berharap dari balik akar itu tersimpan limpahan air. Yang ada hanya tanganku berdarah terkena duri-durinya yang tajam. Dan, sekonyong-konyong aku terperosok ke dalam liang bekas akar mawar itu. Tersedot dengan kecepatan cahaya. Melewati ruang yang legam. Lalu, terlempar seperti kotoran yang berhasil keluar dari lubang dubur. Aku berguling-guling. Terus. Tiada henti. Pusing.

Brakk.

Aku menabrak batang pohon ara besar. Pohon itu berguncang. Menggugurkan daunnya. Malang. Semua daunnya hilang. Tiba-tiba pohon itu mati. Semua batangnya menghitam seperti telah terbakar larva yang sangat panas. Perlahan, batang pohon itu lapuk dan berubah menjadi butiran-butiran debu putih yang terbang ke angkasa.

Semua peristiwa dan latar dari cerita ini pun segera berubah.

Aku mendengus. Bau amis menyeruak. Di depan ku, terhampar lautan darah yang beriak-riak tersapu angin. Mual. Perutku bergejolak dan terpaksa memuntahkan isinya. Ribuan bintang panas berukuran kecil keluar dari rongga mulutku. Kemudian mereka terbang sangat jauh sambil berkelap-kelip. Semua itu terbayang tanpa mataku perlu memandangnya. Mataku terpaku kepada tanah. Badanku membungkuk. Tidak mungkin aku sempat mendongkak dan melihat keindahan dari muntahanku itu.

Aku merasa semua isi perutku telah terkuras. Aku mencoba berlari sejauh mungkin sambil menutup hidung dan mulut. Di depan sana aku melihat segerombolan orang berbaju merah. Aku mengampiri mereka dan bertanya sambil bersusah payah, “di mana sebenarnya aku ini?”

Mereka tidak menjawab—atau bahkan menganggapku tidak ada. Aku merasa sangat marah dan memukuli mereka. Kepala mereka terlepas dengan sangat mudah. Darah keluar seperti air mancur. Aku menjerit dan berlari lagi. Terus berlari. Sejauh mungkin. Sampai aku bertemu dengan segerombolan orang berbaju merah lagi. Dan, aku mengulangi hal yang sama. Berkali-kali. Sampai akhirnya, mereka menjawab pertanyaanku.

“Kita sedang berada di dunia nyata,” kata mereka semua. Setelah ku perhatikan, ternyata wajah mereka sama.

“Dusta!” hardik ku. Sontak salah satu dari mereka menyumpal mulutku dengan apel. Aku menggigitnya dan menelannya.

“Ayolah, saudaraku, kita duduk di bangku itu dan berbincang sebentar, jangan mudah marah dan tersulut emosi begitu, “ kata mereka serempak.

Pikiranku menolak, tetapi tubuhku bergerak dengan sendirinya—seperti digerakkan kekuatan magis, apakah berasal dari apel itu?—mengikuti kemauan mereka. Berbicara sesuai dengan standar dan norma mereka. Jika aku salah bicara dan menyinggung perasaan mereka, mulutku secara tiba-tiba akan membeku. Dan, salah satu dari mereka akan mencairkannya dengan mengusapkan kain basah berwarna merah dan anyir. Lalu mengajari kembali cara berbicara dengan baik dan benar kepadaku.

“Semua harus selaras! Ingat, kau tidak boleh mencemooh kami!”

“Ya, aku harus jadi orang baik di dunia ini. Aku berjanji.”

Mereka tersenyum dan memujiku secara berlebihan. Bahkan menganggapku hebat dan menjadikanku bintang ketika aku membadut. Bertingkah konyol dan bodoh adalah bakat sempurna yang harus dijaga. Aku sempat merasa ketagihan akan pujian itu. Ada rasa ingin terlihat lebih hebat oleh mereka. Sampai aku keceplosan menyampaikan pentingnya peran individualitas dalam kelompok menurut Bertand Russel,[2] seorang Filsuf yang pemikirannya berpengaruh setelah kematianku.

Mereka murka. Menganggapku akan membangkang. Lalu, mereka menghukumku tanpa pengadilan.

“Ingat, semua harus seragam!” kata hakim setelah menjatuhi ku dengan dakwaan.

Aih, hukumannya itu ternyata adalah belajar. Aku di bawa ke sekolah. Lalu seorang—yang sepertinya guru—membawa buku tebal dengan ekspresi jijik. Dia membuntal buku itu dengan kain berwarna merah lalu melemparkannya ke mejaku.

“Baca semua doktrin ini sampai kamu hafal!”

Dan, terjadi lagi. Aku menurut begitu saja. Setiap lembar itu, aku membacanya dengan sangat lama. Entahlah, sejak kapan aku menjadi bosan membaca buku. Apakah karena bacaan ini adalah buku tentang doktrin yang dipaksakan masuk ke dalam kepalaku? Atau, memang karena membaca adalah hukuman paling ampuh di dunia ini? Aku tidak tahu lagi.

Suara cambuk menggelegar seraya teriakan yang sangat keras keluar dari sang guru, “baca yang keras!”

“Tidak ada pribadi yang ada hanya kelompok dan kepentingannya!”

“Lanjutkan!”

“Dunia ini adalah tempat busuk ternyaman untuk dihuni. Untuk hidup. Untuk makan. Dan, melanggengkan kekuasaan.”

“Terus!”

“Lautan darah babi itu adalah sumber kehidupan sejati. Dahulu tempat ini gersang dan tandus. Untuk apa merasa suci dan jijik. Justru yang suci adalah buruk. Mereka—orang-orang suci itu—mencoba berbeda dengan orang kebanyakan. Terkutuk. Karena ada orang suci maka lahirlah kehinaan. Sedangkan kehinaan itu adalah norma primitif yang sudah ada sejak jaman nenek moyang.”

“Ya bagus, lanjutkan! Hei, kamu berbuatlah kotor mulai sekarang!”

“Ya, aku berjanji dengan sangat tidak sungguh-sungguh!”

Lalu, aku terus belajar di tempat itu. Siang dan malam. Sampai mereka memberiku kain berwarna merah dan segelas darah babi segar. “Minum dan pakailah! Sekarang kau resmi menjadi kami,” ucap mereka sambil menepuk pundak ku. Aku berganti pakaian dan meminum darah itu tanpa ragu. Tanpa rasa jijik dan mual seperti pertama kali aku datang ke sini.

Lalu, mereka membawaku berkeliling. Aku dan mereka menimba darah babi dari sumur. Menyirami tanaman dan sayuran. Mencuci setiap kain sehingga berwarna merah. Memberi minum hewan-hewan ternak itu dengan darah babi. Lalu kami berjalan menuju patung babi emas raksaksa untuk memujanya.

Hari berganti, kami mengambil satu babi dari peternakan untuk disembelih di atas sumur. Sebelum pisau itu mengoyak—emm sebut saja—lehernya. Kami merapal doa, meminta maaf karena telah membunuh tuhan dan menangis tersedu-sedu.

Aku menyaksikan darah itu mengalir deras dan menyala. Sumur itu bercahaya. Membuat sebuah jalur seperti urat yang berbuara ke arah danau merah. Aku merasa takjub denagn keajaiban ini. Setelah selesai menjalankan ritual ini, kami berkumpul di pinggir jalan. Tiba-tiba ada seorang pemuda bertanya ini dimana. Dan, dia meninju kami satu persatu dengan sangat keras.


[1] Mimpi-mimpi sepuluh malam atau Yume Ju-Ya adalah kumpulan cerita pendek karya Natsume Sooseki (1867-1916).

[2] Bertand Arthur William Russel, Lahir di Inggris 1872. Dia adalah seorang Filsuf positivisme serta ahli matematika dan logika.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (3)