Cerpen
Disukai
2
Dilihat
3,947
Runtuh
Thriller

Tik-tok... Tik-tok... Tik-tok... 

Fana Sastra Atmaja menatap gamang sebuah revolver yang terletak di atas meja kerjanya. Ruangan itu hening. Tidak ada kebisingan selain suara jam yang terus berdetak setiap detiknya. Tubuhnya menegang. Merasa terintimidasi oleh detak dari detik jam yang berdengung di kepalanya.

Bulir keringat dingin mulai terekstraksi dari permukaan dahinya. Menyatu. Sampai pada suatu titik bobot tertentu, cairan itu bercucuran secara perlahan. Membuat sebuah bekas seperti lendir bekicot dari pelipis sampai ke dagu. Ia mengambil revolver itu. Membuka tempat peluru. Semuanya terisi. Ia menutupnya kembali. Memutar lambung peluru itu. Lalu membuka kokangan.

Tik-tok... Tik-tok... Tik-tok...

Suara detik jam bergema ke seluruh ruangan. Sehingga Fana dapat mendengar suara itu datang dari segala arah. Baik itu dari jendela raksasa yang menghalangi ruangan ini dari dunia luar atau dari dinding-dinding pualam. 

Seiring dengan detik yang berlalu, nafasnya kian memburu. Menjelma keriuhan baru yang selaras dengan irama jantung. Fana mengarahkan revolver itu ke keningnya sendiri tanpa perintah dari siapa pun. Matanya menatap langit-langit. Ia mendapati lampu tanam yang meredup.

Ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang gagal dan sedang merasakan simulasi kematian. Kegelimangan prestasi dan kekayaan melintas di pikirannya. Lalu tergambar di langit-langit kantor. Matanya seperti sebuah proyeksi yang merupakan perantara antara memori dan citra khayal di dunia nyata.

Fana seakan melihat rumahnya yang dulu. Rumah megah seperti istana yang telah disita bank. Mobil-mobil mewah berjajar di garasi. Istrinya yang kabur dengan direktur perusahaan lain. Hidupnya begitu hancur. Penuh teror debt collector bank. Juga tagihan dari para vendor

Tangan sebelah lagi menggapai-gapai kenangan yang tak teraih itu. Begitu menyedihkan. Sore tadi, pekerja terakhirnya berpamitan dari kantor itu. Seorang Office Boy.

“Pak, mohon maaf, saya juga akan mengikuti yang lain. Saya berhenti secara suka rela dari perusahaan bapak. Tapi, izinkan saya untuk tetap bekerja membersihkan di kantor ini sampai akhir bulan nanti,” pintanya.

Kini saat malam mulai menjelang, Fana terdiam di ruangannya sendirian dengan status perusahaan yang pailit. Ia merasa dirinya telah ditinggalkan oleh seluruh dunia dan sedang berada di luar garis dan waktu orang-orang normal. 

Ia menaruh papan namanya ke dalam laci saat dirinya mulai bangkrut. Hal itu menandakan bahwa statusnya sebagai presiden direktur telah berakhir. Jauh hari sebelum ia memutuskan untuk bunuh diri.

Seandainya Fana tidak memulai proyek yang ditawarkan perusahaan milik negara itu, mungkin sekarang ia tidak akan bangkrut. Sempat ia melakukan penagihan kepada mereka yang berkuasa. Namun, nihil. Suaranya tidak didengar. Malah dituduh mengada-ada dan memalsukan tagihan dan proposal.

“Pak, saya meminta gaji saya dari proyek kemarin, istri saya akan melahirkan. Dokter bilang harus sesar. Hanya dari gaji itu yang bisa saya harapkan,” ucap mandor lapangannya. Belum lagi mandor itu menjelaskan para tukang yang belum dibayar.

Fana hanya bisa menangis dan menjelaskan keadaannya kepada si mandor itu. Ia menjanjikan akan membayar mereka saat uang proyek dibayar penguasa atau aset perusahaan berhasil dijual. Tiba saatnya aset perusahaan mulai menipis. Selain harus membayar para pekerja. Fana juga harus membayar hutang jangka pendek dengan bunga yang membengkak.

Jam dinding terus bersuara tanpa menghiraukan kegelisahan Fana. Tik-tok... Tik-tok... Tik-tok... Fana menelan ludahnya. Gleek. Ujung jarinya telah berhasil menekan setengah dari pelatuk. Tiba-tiba ia melihat gambaran anaknya yang masih kecil. Ia membayangkan apa jadinya jika sang anak mengetahui bapaknya mati dengan lubang di dahi.

Sejenak pikiran waras merasuki kepalanya. Ia meletakan kembali revolver itu. Dan menatap jendela. Di luar dunia telah hitam. Dirinya terpantul dengan sempurna di kaca. Fana menatap bayangannya dengan perasan sedih. Ia melepaskan jas yang dipakainya. Menyisakan kemeja lusuh berwarna putih.

"Oh. Tidak ... Tidak bisa begini," ucapnya sambil mengatur nafas yang tersengal. Ia tampak lemas. Lalu seterusnya Fana berkata pada diri sendiri dengan nada yang sangat memilukan. Seperti seekor anjing sakit di pinggir jalan.

"Aku tidak bisa mati dengan proses yang sangat menyakitkan ... Lihatlah kemalangan yang menimpaku ini, aku tak mau menambah kesakitan lagi!" rintihnya.

Ia berjalan dengan gontai ke arah jendela raksasa itu. Mendekati gambaran dirinya sendiri. Sehingga dia seperti berhadap-hadapan dengan seorang kembaran. Di bawah sana hiruk-pikuk Ibu Kota. Orang-orang gila kerja baru pulang saat larut malam. Mereka berjalan di trotoar menuju pemberhentian busway.

Gedung yang disewa Fana berhadapan dengan beberapa gedung perusahaan besar. Mereka seakan mengejek karena Fana tidak mampu untuk mempertahankan dan bersaing dengan para kapitalis rasksasa itu.

“Hidup ini sudah seperti mati yang sebenarnya dan aku terkubur dengan angan-angan dan pencapaian yang sudah ku bangun selama ini. Semuanya runtuh dan menimpaku. Membuatku sesak. Tidak bias bernafas lagi.”

“Para pegawaiku, bagaimana nasib kalian sekarang?” 

“Aaaah, sepertinya kalian hidup dengan lebih baik saat keluar dari sini.” 

Fana terus meratap. Mobil-mobil di bawah sana lalu-lalang dan tersendat jika ada lampu merah. Suara kelakson mengaung dibarengi gas yang menderu. Hingar-bingar perkotaan membuat diri Fana semakin merasa gila. Ia berteriak sekencang-kencangya. Melepaskan semua ketidak-berdaya-an diri.

Sempat Fana berfikir untuk memecahkan kaca itu dan melompat. Namun, pikirannya itu ia bantah sendiri.

"Ah, tidak, tidak! Aku sudah bertekad untuk tidak menambah kesakitan dalam hidupku. Aku tidak bisa membayangkan tubuhku tercerai-berai di trotoar itu. Yaa ... Mati tanpa rasa sakit dan tenang ...." Fana mendesis, sambil membulatkan tekadnya.

Ia kembali ke meja kerjanya. Selain revolver, di sana sudah ada benda-benda yang tak lazim. Seperti sebotol sianida dan tambang. Kalau laporan keuangan, koran, kopi,dan apel, bukan lah yang aneh jika harus berada di atas meja seorang presiden direktur, bukan?

Fana mengambil secangkir kopi dan sianida. Mencampurkan zat beracun itu ke dalam kopi. Ia mendekatkan hidungnya ke ujung cangkir. Lalu mengendus aroma itu dalam-dalam.

"Nikmat! Aroma ternikmat yang pernah ku hirup. Aroma kematian," ucapnya sambil menyeringai. 

"Tak kusangka minuman yang sangat aku sukai ini akan mengakhiri hidupku," didekatkannya secangkir kopi itu ke mulut. Namun, sekonyong-konyong Fana bergeming. Menatap sayu ke dalam legamnya kopi.

"Tunggu, jika aku mati dengan cara seperti ini, berarti hal yang paling aku sukai akan menjadi sesuatu yang membunuh, apakah ya, kau patut disalahkan atas kematianku?" renungnya. 

Tik... Tok... Tik... Tok.. Tik... Tok... 

Kembali jam dinding bersuara lantang dalam keheningan. Fana di ambang kebingungan. Ia berpikir keras. Sangat keras. Kembali mempertimbangkan. Apakah sebaiknya ia mati dengan pistol, kopi sianida, melompat, atau...

"Bodohnya aku!" bentaknya pada diri sendiri.

"Kenapa aku membawa tali sedangkan di sini tak

ada tempat untuk mengikatnya?"

"Jika begini aku tak bisa mati gantung diri di sini."

"Memang, aku membawa tali itu sebagai simbol telah dililit hutang, tetapi bukankah percuma jika aku tidak bisa mati di sini? Mati bersama perusahaanku?"

"Aku ingin mati di sini!"

Fana terus saja bermonolog. Kini sambil mondar-mandir di dalam ruangan. Pada setiap langkah itu ia merasa semakin terpisah dari dunia.

"Tunggu ... kenapa aku harus mati?" celetuknya tiba-tiba sambil berhenti di depan meja.

"Kenapa aku tidak melawan sekali lagi?” 

“Bukankah mereka yang seharusnya mati? Orang-orang licik itu!” umpatnya sambil menggebrak meja.

Tak sengaja tangan Fana menyentuh sebuah apel yang sedari tadi ada di sana. Tak tersentuh dan tak terpikirkan kehadirannya.

Apel itu menggelinding hampir terjatuh. Fana menangkapnya dengan sigap. Pikirannya melayang. Mengingat kejadian pagi tadi, saat ia mendapatkan buah itu dari seorang nenek-nenek di pinggir jalan.

"Aku kira kau akan menjadi apel beracun yang kudapat dari nenek sihir." ia berkata sambil menyeringai. Lalu memakan apel itu satu gigitan penuh, menelannya tanpa di kunyah.

"Uhuuuk... Uhuuuuk..." Ia tersedat. Tak bisa bernafas. Buah apel itu jatuh ke lantai, terlepas dari genggaman tangannya. Fana menghiraukan itu. Tangan itu kini ia gunakan untuk memukul-mukul dada. Namun, tak berhasil keluar.

Sepotong buah itu menghalangi pernapasan. Fana membuka mulutnya lebar-lebar, kemudian memasukan tangannya. Memaksanya agar keluar. Upayanya sia-sia. Sepotong penuh gigitan apel terlalu sulit untuk dikeluarkan.

Ia mulai kehabisan nafas. Merintih. Tik tok... Tik tok... Tik tok... Fana terjatuh. Membuyarkan semua yang ada di atas meja: revolver, secangkir kopi, sebotol sianida, tumpukan laporan keuangan, koran, seutas tali. Tubuhnya rubuh dan tertimpa semua yang jatuh. Mengejang. Kemudian mati.

Tik tok... Tik tok.. Tik tok..

                                                                        *

Keesokan harinya, Orang-orang di jalan Ibu Kotan tetap dengan hiruk-pikuknya. Nuansa gila kerja. Deru mesin kendaraan. Seakan tak terjadi apa-apa. Di pinggir jalan, seorang anak penjaja koran berkeringat dengan pakaian dekil. Berjalan sepanjang trotoar. Menawarkan korannya kepada siapapun yang ia jumpai.

"Koran, Pak. Koran, Bu. Ada berita hangat, seorang Bos bunuh diri karena frustasi ditemukan mati oleh seorang OB!"

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)