Masukan nama pengguna
Bagaimana Dini Menemukan Subagio Sastrowardoyo
Cerpen Habel Rajavani
RABU. Jam pertama: ekonomi!
Alasan yang baik untuk tidak masuk kelas. Aku membenci pelajaran ekonomi seperti aku membenci Mama. Mama yang mengatur segalanya. Juga mencoba mengatur aku! Tapi lihat saja siapa yang menang nanti. Aku atau mama.
Perpustakaan sepi. Aku mengambil buku di depan meja Pak Saleh Husein yang sedang mengantuk di depan komputernya, guru Bahasa Indonesia kami itu merangkap kepala perpustakaan. Dia terkejut.
“Hayo, kamu membolos ya, Dini?”
“Males, Pak. Ekonomi…”
“Kasihan dong sama, Pak Puji… ”
“Bukan gak suka sama Pak Puji, saya gak suka sama pelajaran ekonomi, Pak…”
"Itu buku mau dipinjam atau mau baca di sini?" ujarnya.
"Baca di sini, Pak," jawabku.
SIMPHONI. Subagio Sastrowardoyo. Pustaka Jaya. Sampul berilustrasi lukisan abstrak yang tak jelas benar bagi saya. Jingga dan abu-abu. Simphoni? Itu musik yang dimainkan dengan orkes lengkap. Apa hubungannya dengan ilustrasi yang berantakan itu?
Oh, ini buku puisi rupanya! Aku membuka secara acak. Dan membaca apa saja yang terbentang di sana. MERAH. AKU SUKA KEPADA MERAH. KARENA MENGINGAT KEPADA DARAH. YANG BERTERIAK KE ARAH SAWANG....
Aku seperti tersedot sebuah ruang yang tak kukenal. Tersedot oleh sebuah tenaga yang kuat.
Kuat sekali. MEREBUT TERANG. DARAH MENGALIR WAKTU LAHIR. DARAH MENGALIR WAKTU AKHIR...
"Hei, isi dulu daftar bacanya..." suara Pak Saleh Husein tak terlalu kusimak.
.... DALAM DARAH BERBAYANG NYAWA. PUCAT BAGAI SIANG. Aku memegang erat buku tipis itu. Semua tampak sebagai huruf kapital. Rak buku kapital. Meja dan bangku baca kapital. Wajah Pak Saleh Husein dalam huruf kapital. Lalu perlahan kembali normal. Aku menutup buku. Tapi aku masih memegang erat buku itu.
"Hei... Hei... Masih mau dibaca?"
Aku gelagapan. Seorang murid cowok di hadapanku menunjuk pada buku yang kupegang. Yang baru saja seperti menyihirku.
"Masih mau dibaca?"
Aku seperti disadarkan dari sebuah ketaksadaran.
Aku membaca nama-nama murid yang pernah meminjam buku itu di kartu peminjaman di sampul belakang buku. Arya. Arya. Arya. Satu nama lain. Lalu Arya lagi. Arya lagi....
"Iya. Itu namaku. Arya. Kamu masih mau baca? Kalau nggak, tolong saya pinjam dulu..." katanya dengan sopan.
Naluriku untuk iseng muncul. "Aku masih mau baca... Maaf, ya.."
"Aduh, tolong deh..."
"Buku ini memangnya cuma ada satu?"
"Ada dua. Satu sedang dipinjam. Yang satu yang sama kamu itu," kata Pak Saleh Husein.
ARYA tampak mulai kesal. "Tolong jangan main-main deh..." Aha, berhasil!
Tanduk iblis di kepalaku makin panjang.
"Memangnya cuma kamu yang boleh pinjam buku ini?"
Arya tiba-tiba menarik tanganku. Membawaku ke dinding sudut perpustakaan. Ada papan pengumuman di sana. Ia menunjuk ke poster lomba menulis esai apresiasi sastra tingkat SMA.
"Ya, terus? Apa hubungannya dengan buku ini?"
"Aku ikut lomba itu... Yang saya ulas adalah buku ini. Hari ini pengumuman lomba. Akan ada diskusi sastra sebelum pengumuman itu. Jurinya yang jadi pembicara.." Dia menyebut nama seorang penyair dari Jakarta kelahiran kota kami. Saya tak kenal nama itu.
"OH, saya paham. Meskipun itu belum jadi alasan kuat bagi saya untuk memberikan buku ini kepada kamu."
"Terus?" dia bertanya, seperti menyerah. Seperti penjaga gawang yang kehabisan tenaga. Sebuah penalti yang tak keras dariku pun tak akan bisa ia bendung. "Aku harus ikut kamu ke sana."
"Oke. Ikut motorku. Suruh pulang supirmu..."
Aha, dia tahu saya diantar jemput mobil? Makin menarik. Dia memperhatikan saya. Tapi tak pernah menyapa apalagi berkenalan. Kami memang beda kelas. Permainan belum selesai. Akan ada perpanjangan waktu.
Aku harus berpegangan erat pada Arya. Aku memeluk pinggangnya. Dia memacu motor dengan kecepatan yang bisa membuat aku terpental di kilometer pertama. Tapi entah kenapa saya merasa tenang dan nyaman sekali.
Sudah terlambat katanya.
Gara-gara aku.
Aula Kantor Walikota sudah ramai ketika kami sampai. Ada spanduk dan latar panggung bergambar si penyair dari Jakarta itu. Ada serangkaian acara. Pidato dan sambutan pejabat ini dari kantor itu.
"DIN, kamu di mana? Jadi ke Twenty One?" Yudha me-WA saya. Kami sudah janjian sejak kemarin. Aku tiba-tiba kehilangan selera bahkan hanya untuk menjawab pertanyaan itu.
"Aku sudah beli tiketnya ya..." Bodo Amat!
Penjelasan sang penyair tentang sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo jauh lebih memikat. Apalagi ketika dia membahas sajak MERAH. Hah? Yang katanya diulas dengan bagus oleh seorang peserta. Peserta itulah yang akhirnya menjadi pemenang. Namanya Arya... Dari SMA yang "...wah, ini SMA saya nih. Tapi dia menang bukan karena itu ya... Ini penjurian buta. Kami juri tak tahu apa-apa siapa pesertanya.”
Aku melonjak senang merayakan kemenangan itu.
Eh, kenapa aku segirang ini? Aku melihat Arya setenang genangan air hujan di lapangan basket.
DISKUSI buku itu selesai. Aku memandangi wajah Arya bergantian. Arya yang di spanduk itu. Dan Arya yang bicara itu. Ia tak mengenali aku. Atau tak menyadari kehadiranku. Ia bicara tentang buku puisinya yang baru saja diterbitkan. Buku puisi yang ke..., ah, aku tak terlalu memperhatikan... Aku menikmati terpaan kenangan.
Dia sudah menjadi penyair sekarang. Sebelas tahun kemudian. Keinginan yang dulu selalu ia ceritakan padaku. Di hari-hari bersama kami setelah peristiwa di perpustakaan itu.
Aku menyodorkan buku puisinya kepadanya. Aku sengaja menjadi orang yang paling akhir yang meminta tanda tangannya.
"Terima kasih ya...."
Kalimatnya terputus.
Ia lalu mengangkat wajahnya menemukan mataku.
"Dini? Hai, apa kabar? Kamu dari tadi?" Aku mengangguk.
"Ini yang mana harus kutandatangani?" Ia mengangkat dua buku itu: bukunya, dan
SIMPHONI Subagio Sastrowardoyo.
"AKU tak mengembalikan buku itu. Sengaja. Aku bilang aja hilang. Hukumannya kan harus mengganti sepuluh judul buku lain. Atau satu buku yang sama..."
“Apa kabar Pak Saleh?”
“Beliau sudah meninggal. Sempat sakit lama. Katanya diabetes…” kataku.
Arya mengucapkan innalillahi lalu mengungkapkan penyesalan karena tak sempat memenuhi janji bikin pelatihan menulis kreatif di perpustakaan sekolah kami. Dia mengembalikan buku kepadaku. Aku menerimanya seperti menerima dia kembali.
Entahlah.
Saya tak pernah berharap bisa bertemu lagi dengan Arya.
Selama ini buku inilah yang membuatku merasa terus terhubung dengannya.
Bagiku, buku itu adalah perlawanan dan kemenanganku terakhir melawan Mama. Sebelum akhirnya menyerah. Aku, seperti Papa, dan saudaraku yang lain, semua harus mengikuti rencana Mama. Untukku itu berarti: kuliah akuntansi, lalu pegang keuangan perusahaan. Aku harus hidup dengan Ilmu Ekonomi yang aku benci itu.
"Kamu masih suka puisi?"
"Puisi adalah wilayah cagarku, pelarian bagi kewarasanku. Termasuk puisi-puisimu di koran-koran itu. Eh, itu aku kliping, lho... Aku juga koleksi buku-bukumu," kataku.
Kali ini, aku yang merasa seperti penjaga gawang yang membiarkan lawanku memasukkan bola dengan sebebas-bebasnya.
© Havel Rajavani, 2019-2024