Cerpen
Disukai
1
Dilihat
7,088
Wanita Berkebaya
Horor

Malam semakin larut, aku sudah mulai berbaring di atas kasur sambil kudengarkan channel radio favoritku menggunakan earphone berharap ada seseorang yang berkirim salam untukku. Walaupun pada kenyataanya tidak ada, tetap kunikmati setiap lagu yang diputarnya.

Dit!

Terdengar suara klakson motor yang sepertinya berhenti di depan halaman rumahku.

Siapa yang malam-malam hendak bertamu ke rumahku?

Aku segera beranjak dari tempat tidurku.

Dengan pelan, kubuka tirai ruang tamu.

Reno???

Perlahan lelaki tampan dari tanah pasundan itu berjalan mendekati pintu.

Tok tok tok

"Assalamualaikum ...."

Sengaja kubuka pintu tanpa bersuara, aku bersembunyi dibalik pintu. Kulihat dari celah pintu yang terbuka, ia seperti kebingungan.

"Assalamualaikum ...." Kembali terdengar suaranya mengucap salam.

Langkah Reno semakin dekat hendak memasuki rumah. Aku segera mengagetkannya.

"Dor!!! " seruku seraya keluar dari balik pintu.

"Saha eta! Saha eta!" Reno terkejut, reflek mengeluarkan bahasa sundanya.

"Hahaha ...."

Aku tertawa mendengar Reno yang reflek mengeluarkan kata andalan orang sunda kalau menanyakan orang yang sedang kerasukan.

"Astaghfirullah, si Teteh ... kumaha kabarna Teh?" tanya Reno sambil mengelus dadanya sendiri yang masih kaget.

"Alhamdulillah abdi damang. Tumben kamu Ren datang kesini, gak ada angin gak ada hujan."

Reno yang masih seumuran denganku, membuatku senang untuk meledeknya.

"Abdi hayong ningali keluarga mamang, sekalian mau nyari kerja didieu," jawabnya, dengan wajah yang masih sedikit kesal karena ulahku.

"Jangan ngomong bahasa sunda dong, tau kan aku dari lahir sampe besar di jawa?" protesku yang tidak fasih berbahasa sunda hanya sekedarnya saja, karena kebetulan ayahku berasal dari daerah Sunda. Saat kecil beliau tinggal di Bandung, dan sekarang Ayah telah lama menetap di daerah Jawa.

Tak lama Ayah dan Ibu keluar dari dalam kamarnya dan menyambut kedatangan Reno yang sudah bertahun - tahun tidak berjumpa. Tak lupa Reno menyampaikan salam dari Bapak dan Ibunya yang tidak bisa ikut datang karena sibuk bekerja. Reno datang hanya seorang diri dengan membawa titipan orang tuanya yang dipackingnya di dalam sebuah dus yang berisi brownies ketan, batagor bandung, nanas simadu, ubi cilembu, lenca dan beberapa makanan khas sunda lainnya.

Aku dan Reno yang baru saja lulus dari SMA, masih sama-sama menjadi pengangguran. Kami pun bercerita panjang lebar dengan suguhan seadanya sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan dini hari. Kami kembali ke tempat tidur masing-masing, sedangkan Reno memilih untuk tidur di sofa ruang tamu. Sebelum menuju ke kamar, kutengok adikku di dalam kamarnya. Syukurlah dia masih tertidur nyenyak, ia tak terbangun walaupun tadi kami sedikit berisik.

Dia besok pasti seneng liat Aa Reno datang, apalagi besok hari minggu pasti bakal minta nyari pepatung di tanggul.

              ****

Asholatu khairum Minannaum...

Kumandang adzan subuh telah terdengar. Reno dan Ayah sudah bersiap untuk ke mushola dengan membawa payung saat kudengar gerimis kecil mulai menjatuhi genting, aroma hawa hujan kian tercium membuat suasana subuh semakin syahdu.

Aku dan ibu menunaikan sholat subuh dirumah, sembari bersiap untuk memasak setelahnya.

Hujan masih setia mengguyur, dan kian mereda saat matahari sudah mulai terlihat. Kabut pagi menyelimuti hamparan luas persawahan yang bisa kulihat dari halaman belakang. Dingin udara pagi, berhembus menerobos ke dalam rumahku.

"Aa Reno!!!" Haikal terkejut, ia langsung berlari ke arah Reno yang sedang sarapan.

"Haikal ... ayo sarapan bareng, kelas berapa sekarang?" tanya Reno sambil mengusap-usap rambutnya.

"Kelas 2 SD Aa ...,"jawabnya.

"Sini mau makan dulu?"

"Haikal mau mandi dulu, terus sarapan, terus nyari pepatung di tanggul sama Aa."

Reno hanya tersenyum mendengar celotehan Haikal.

"Tuh kan bener, udah aku tebak pasti minta nyari pepatung. Kamu mandi dulu sana. Bau peta ...," celetukku yang sudah menebaknya semalam.

Haikal segera ke kamar mandi, sementara ibu menyiapkan sarapan untuk Haikal sambil menunggu hujan yang sudah mulai mereda.

Kami bertiga naik ke atas tanggul saat matahari belum begitu terik. Menyebrangi sebuah anak sungai yang menuju tanggul, dengan jembatan kayu yang terbuat dari batang pohon bambu yang dirangkai. Saat kami sudah berada di atas tanggul, terlihat semua keindahannya. Sebuah bendungan sungai besar yang dipinggirannya di tumbuhi pohon kamboja yang berbunga lebat, pohon akasia, pohon randu, pohon cemara, begitu tumbuh dengan subur terlihat dari batang pohonnya yang besar dan kokoh. Sudah seperti berada diatas bukit. Tanggul penuh dengan ilalang dan rerumputan yang tak pernah habis, walau sering dijadikan pakan ternak oleh beberapa warga setempat.

Saat aku dan Haikal hendak menangkap pepatung, terdengar Reno sedang berbicara dengan seseorang.

"Neng geulis ... dari mana sendirian? Mau Aa antar?" 

Aku kebingungan sekaligus merinding. Aku tak melihat siapapun selain Reno sedang berdiri sendirian yang sedari tadi berada agak jauh dariku.

"Ren ... Reno ...," aku berseru memanggilnya.

"Iya Teh, naon?

"Naon, naon! kadieu sekedap ... tadi teh maneh ngomong sama saha?"

"Sama neng geulis, eta noh ... pake kebaya! Kebaya warna hijau, rambutnya panjang lurus, panon hideung, pipi koneng, irung mancung. Ningali sok ... geulis pisan eui!" jawab Reno sambil memintaku melihat ke arah yang ditunjukkannya.

Aku melongo, hanya hamparan ilalang yang sedang berbunga kulihat.

Apa iyah Reno bisa melihat yang tak kasat mata? 

Kulihat jam yang menempel di pergelangan tanganku. Hingga menjelang pukul 9 pagi tanggul masih sepi, hanya kami bertiga yang berada diatasnya. Entahlah! Mungkin karena hujan pagi tadi yang membuat tanahnya sedikit berlumpur, sehingga warga malas untuk berjalan-jalan menikmati udara segar. Aku meminta Haikal dan Reno untuk segera pulang saat kulihat mulai ada sesuatu yang janggal. Tetapi Reno kekeh, kembali ia mencari wanita berkebaya hijau yang tadi ia temui. 

"Reno, bener kamu gak mau pulang?" seruku kembali.

"Tinggal aja Teh, gara-gara teteh ni ... jadi pergi tuh si Eneng."

"Sak karepmu ...! Demit penunggu sungai besar itu. Hati-hati! Awas nanti kamu diculik nyaho ...," sahutku kesal. Aku dan Haikal pulang ke rumah. Reno yang kekeh mencari wanita itu, kutinggalkan seorang diri.

Sesampainya rumah, aku dan Haikal mulai menghitung pepatung yang baru saja kutangkap di teras rumah.

"1,2,3,4 ...."

Tiba-tiba pikiranku tak tenang, sudah meninggalkan Reno sendirian di atas tanggul. Reno memang pernah tinggal disini beberapa tahun lalu. Tapi aku tetap khawatir takut terjadi apa-apa dengannya.

"Reno mana Key?" Ayahku mulai bertanya, saat beliau tak melihat Reno bersamaku.

"Tadi lagi nyari awewe pake kebaya ijo katanya." 

"Emang masih ada disini cewek pake baju kebaya? Ini bukan tanggal 21 April kan?"

"Bukan Ayah ... gak tau tuh tadi udah Keyla suruh pulang. Tapi gak mau."

"Sana kamu susulin, dia orang baru. Takutnya kenapa-kenapa."

Kekhawatiran ayah sama denganku. Saat aku hendak beranjak, suara Reno terdengar memanggilku.

"Teh ... pokoknya teteh harus bantu aku nyari cewek itu lagi!"

"Kenapa emangnya? liat tuh Nisa, Iin, Arina gak kalah cantik. Jelas adanya! Kamu udah pernah kenal mereka kan waktu tinggal di sini? Sekarang dah cantik-cantik mereka. Jangan cari yang gak ada."

"Gak bisa teh, itu cewe tipeku banget! Aku belum sempet kenalan."

"Masuk yuk Haikal, si Aa lagi kesambet dedemit!"

Aku segera membawa Haikal memasuki rumah, Reno yang masih penasaran dengan wanita itu memilih duduk di bangku teras.

Sudah tiga hari ini, setiap hari Reno manaiki tanggul berharap bertemu lagi dengan sosok yang membuatnya penasaran. Entah pagi, entah sore. Sudah beberapa kali keluargaku menasehatinya untuk tidak mencarinya kembali. Seperti terhipnotis atau memang egonya yang terlalu tinggi, Reno tetap kekeh untuk mencari wanita berkebaya itu.

Rasanya kasian juga melihat Reno yang terkadang melamun di bangku teras. Akupun berinisiatif mencari cara agar Reno dapat bertemu kembali dengannya, dengan sosok tak kasat mata yang jelas-jelas aku tak bisa melihatnya.

"Eh Ren ... gimana kalau kita coba ke tanggulnya sehabis ujan? mau pagi, sore, siang, intinya sehabis hujan aja deh. Kemarin kan kamu liat dia setelah hujan. Ini kan teduh, bentar lagi sepertinya akan hujan. Walaupun siang bolong si, tapi coba aja. Gak ada salahnya kan?" saranku sambil ikut duduk di bangku teras.

"Emmmm ... boleh juga sarannya teh," jawab Reno setuju.

Terlihat Mba Sus tetangga baru yang rumahnya di pinggir jalan desa, berjalan menuju ke arah sungai saat aku dan Reno sedang mengobrol.

"Mba, Mas, weruh Faris?" tanyanya saat lewat dihadapan kami. (Mba, Mas, lihat Faris?)

"Gak liat mba Sus," jawabku.

"Ya Allah, anak lanang ... wis pan udan ora balik-balik. Makasih Mba, Mas," gerutunya dengan bahasa ngapak dan melanjutkan langkah kakinya ke arah sungai. (Ya Allah, anak laki ... udah mau hujan gak pulang-pulang.)

Aku dan Reno hanya tersenyum mendengarnya.

Hujan pun turun. Hari sudah mulai siang, adzan duhur telah berkumandang. Aku dan Reno segera bergegas sholat dan makan siang terlebih dahulu bersama keluarga, sambil menunggu hujan reda.

"Teh ... ayo...," ujar Reno, saat hujan sudah mulai mereda.

Aku dan Reno segera bangkit dan berjalan ke arah sungai menaiki tanggul. Dinginnya angin yang masih bercampur anak gerimis terasa menusuk tulang. Dari arah tengah kami menuju arah utara, kemudian ke arah selatan. Tapi nyatanya nihil. Kami merasa lelah, sepanjang tanggul telah kami lewati dari ujung ke ujung. Kami akhirnya memilih beristirahat sejenak, duduk beralaskan sandal di atas rumput yang masih basah berharap dia (") lewat dihadapan kami.

Tak lama kami duduk, dari atas tanggul terdengar suara wanita yang sedang bermain air dan tertawa. Reno yang begitu penasaran ia segera mencari sumber suara itu.

"Teh ... Teteh ... kadieu...," ujarnya berbisik sambil melambaikan tangannya ke arahku. 

Aku segera menghampirinya. Dari balik ilalang yang menjulang, Reno melihat dua wanita cantik yang semuanya menggunakan kebaya, salah satunya wanita berkebaya hijau yang sedang bermain air di pinggiran sungai. Saat aku melihat ke arah sungai, tak terlihat apapun. Hanya air sungai yang mengalir deras selepas hujan. 

"Neng ... Neng geulis ...," serunya kepada dua wanita itu dari atas tanggul.

Aku hanya diam saja melihat Reno yang sedang berbicara sendiri.

"Teh, aku mau turun ke sungai. Teteh tunggu di atas aja ya."

"Eh gelo maneh! Teteh ditinggal sendirian disini?"

"Bentar aja, please yah ... mau kenalan bentar. Janji!" ujarnya.

"Iya deh, iya ... hati-hati awas demit tuh ...."

Belum selesai kubicara, ia segera menuruni tanah bersusun untuk turun menuju ke sungai besar. Aku tetap mengawasinya dari atas. Reno terlihat sedang asik mengobrol dan bercanda ria seperti dengan dua orang di kanan kirinya, walau aku tak melihat lawan bicaranya.

Saat aku sedang melamun, Reno tergopoh berlari ngos-ngosan ke arahku.

"Teh ... lari Teh, cepet ...," serunya sambil berlari meninggalkanku. Aku terheran, hanya menggelengkan kepala karena tingkahnya. Aku pun pulang seorang diri, tetap berjalan seperti biasanya.

Ternyata Reno langsung masuk ke dalam kamar Haikal dan mengunci pintu kamarnya, saat aku tak melihat batang hidungnya di sekeliling rumah.

Brak brak brak!!!

Brak brak brak!!!

"Rese luh ya, ninggalin aku sendirian di tanggul!" teriakku setelah kugedor-gedor pintu kamarnya.

Reno tak menjawabnya, tak ada pembahasan masalah tadi siang. Kami mengobrol seperti biasanya hingga malam menjelang. Reno kali ini memilih tidur di kamar Haikal.

Seperti biasanya, kudengarkan channel radio favoritku. Saat sedang menikmati lagu, terdengar suara tapak kaki kuda seperti mengitari rumahku.

Tuk-tak-tuk-tak

Kulepas earphone yang terpasang disalah satu telingaku.

...........

Perasaan tadi ada suara kuda lewat, kok ini gak ada ya? Apa perasaanku saja kali yah, batinku.

Kupasangkan kembali earphoneku, terdengar kembali suara itu.

Tuk-tak-tuk-tak 

Perlahan kuamati, suara itu terdengar melambat seperti berhenti di halaman rumahku. Ingin sekali rasanya kuberanjak, tapi nyaliku mulai ciut. Jelas saja, kuda itu bukan milik salah satu warga di desa ini. Karena setahuku, selama ini tidak pernah ada warga yang memelihara kuda.

Malam berganti malam, hampir setiap malam aku mendengar suara tapak kaki kuda itu. Ingin sekali rasanya kubercerita, semakin lama semakin penasaran kudibuatnya. Saat kami mengobrol pun, semua terlihat baik-baik saja. Ayah, Ibu, Haikal dan Reno semua biasa-biasa saja, tidak ada yang bercerita tentang sesuatu yang aneh setiap malam. Jadi aku memilih untuk diam. 

Saat aku membeli sayur di pedagang keliling, terdengar heboh suara bu Fajar sedang bercerita tentang mba Sus.

"Eh ibu-ibu, kemarin waktu si Sus nyari Faris anaknya tu, dia ketemu sama wanita cantik! cantik ... banget pokoknya. Pake kebaya warna merah, di pinggir sungai. Waktu di tanya si Sus liat Faris apa nggak, dia gak jawab tapi cuma senyum. Abis itu dia lompatin sungai kecil! Itu sungai kan lebar ... pas Sus liat kakiknya, ternyata kakinya kuda!!! Sempat si Sus mematung katanya, sangkin syoknya dia. Untungnya ada mang Didi yang lewat abis ngarit nyari rumput buat makan kambing. Si Sus dipanggil-panggil diem aja, akhirnya di tepuk pundaknya sama mang Didi. Baru dia sadar!"

Berbagai spekulasi kegaduhan terjadi saat itu. Semua ibu-ibu yang disana mulai bercerita tentang pengalaman horornya masing-masing.

Setelah aku selesai membayar belanjaanku, segera ku pulang ke rumah. Langkah demi langkah ku pikirkan dan perlahan mencerna apa yang baru saja ku dengar.

Apa iya, tapak kuda yang aku dengar tiap malam??? Ah sudahlah.

Tepatnya malam Jum'at, sudah kebiasaan keluarga kami membaca surat Yasin untuk dikirimkan kepada keluarga yang sudah berpulang ke pangkuan Illahi.

Aku memilih membacanya sehabis sholat isya, sekalian menjelang tidur. Pukul sepuluh malam aku baru akan menunaikan sholat isya, setelah selesai membuat surat lamaran kerja bersama Reno. Reno yang sudah sholat di musholla, ia memilih untuk langsung tidur bersama Haikal. Ayah dan Ibu yang lelah bekerja, kulihat sudah tertidur nyenyak.

Aku mulai mengambil wudhu, selesai sholat isya ku ambil Al-Qur'an di atas lemari.

Bismillahirrahmanirrahim

Yaa siin ...

Wal-qur`ānil-ḥakīm ...

Ayat demi ayat satu persatu kubaca.

Tuk-tak-tuk-tak

Kembali kudengar suara itu, tapi tak kuhiraukan. Aku tetap membaca surat Yasin sampai selesai. 

Shadaqallahul Adzim

Kucoba mendengar kembali dengan seksama.

Tuk-tak-tuk-tak

Argggh... 

Ternyata suara itu masih ada. Kali ini aku akan melihatnya! geramku.

Gak sabar rasanya ingin melihat sosok dibalik tapak kuda itu.

Perlahan kubuka tirai di ruang tamu sedikit demi sedikit.

Aku tak melihat apapun. 

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuatku kaget, langsung spontan kubuka pintu tanpa melihat dulu siapa yang mengetuknya.

Krek...

Tak ada siapapun!

Mataku awas melihat sekelilingku, aku berjalan ke depan, menuju halaman yang hanya berpagar pohon beluntas.

Sepi ....

Aku berbalik badan kembali menuju rumahku.

Tuk-tak-tuk-tak 

Aku menghentikan langkah kakiku,

Hening .... 

Hanya suara serangga malam yang saling bersahutan.

Saat aku kembali melangkah,

Tuk

Saat aku kembali melangkah lagi,

Tak

Tiba-tiba angin berhembus melewati leherku yang masih terbalut mukenah.

Aku merasa ada seseorang yang menepuk pundakku.

Hatiku berkata lari,

Tapi raga ini memberontak! aku memberanikan diri untuk melihatnya.

Perlahan kuputar kepalaku dengan mata terpejam. Perlahan kubuka mataku.

Ah ... syukurlah tidak ada apa-apa.

Saat aku berbalik, sesosok wanita cantik berkebaya hijau berdiri di hadapanku.

"Astaghfirullah!" sontakku kaget. Aku berdiri mematung. Mataku seperti terhipnotis untuk selalu memandang kecantikannya. Tubuhku terasa membatu, tak ada yang bisa digerakkan.

"Neng geulis ... temanmu mana?" Suaranya yang lembut lirih terdengar di telingaku.

Dia tersenyum menatapku.

Perlahan dia membelai kepalaku.

"Katanya mau kenalan? Mau tau rumahku? Setiap hari dia mencariku? Hihihi ...." Tertawanya membuatku merinding.

Tolong aku ya Allah ... tolong .... 

Mulutku tak bisa berucap seperti terkunci. Hanya lewat hati kumemohon pertolongan.

"Kalau cari aku, aku di pohon kamboja di seberang sungai. Ada dua pohon kamboja disana. Satu rumahku, satu rumah temanku. Aku tunggu kamu dan temanmu. Bawakan aku bunga mawar merah yang bertangkai. Sebagai tanda kalian telah berkunjung ke rumahku."

Wajah cantik yang dihadapkan berubah menjadi sosok yang menyeramkan. Kepala bertanduk dengan rambut panjangnya, senyumnya menyeringai lebar, matanya memutih, separoh tubuhnya berubah menjadi seekor kuda berkaki empat. Sosok siluman kuda berambut panjang sekarang yang sedang berada dihadapanku! bukan lagi seorang wanita cantik.

"Aaaaa!!!"

Aku menjerit sekeras-kerasnya. Hingga semuanya terasa gelap.

Hari sudah mulai pagi. Aku bisa mendengar semuanya saat adzan subuh berkumandang, orang yang sedang menyapu dan juga berbincang. Hanya saja mataku masih terasa berat saat aku mencoba untuk membukanya dan tubuhku masih membatu, sekuat tenaga ku coba menggerakkan jariku, tapi pada kenyataanya aku tak bisa.

"Keyla ... bangun Key ... Keyla ...."

Kudengar juga suara beberapa orang yang mencoba berusaha untuk membangunkanku. Sampai akhirnya, kudengar suara Ibuku meminta Ayah untuk memanggil seorang Ustad yang berada tak jauh dari rumahku.

"Assalamualaikum ...."

Aku mendengarnya, ku dengar suara Ustad Aziz datang mengucap salam. Dan ku dengar juga keluargaku bercerita tentang peristiwa semalam saat aku pingsan di halaman rumah setelah terdengar jeritanku yang begitu keras. Hingga para tetangga ikut mendatangi rumahku.

Perlahan kudengar ustad Aziz membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan doa-doa. Aku kembali berusaha membuka mataku secara perlahan.

"Alhamdulillah ...," seru mereka semua saat aku tersadar.

Ibu segera memelukku. Haikal yang ikut panik, juga segera memelukku. Kulihat Reno menatapku dengan tatapan penuh penyesalan, ia hanya berdiri di depan pintu.

Waktu pun berlalu. Setelah keadaanku mulai membaik, Reno menceritakan semuanya. Sebenarnya Reno juga merasakan teror suara tapak kaki kuda hampir setiap malam. Dia juga bercerita, jika ia pernah berjanji kepada wanita itu akan memberikan setangkai mawar merah asalkan dia mau diajak berkenalan dengannya. Singkat cerita akhirnya mereka berkenalan saat berada di sungai besar kala itu. Setelah wanita itu pamit hendak pulang ke rumah, Reno meminta untuk mengantarnya. Tetapi kedua wanita itu menolaknya. Kakinya berlari cepat melewati pinggiran sungai yang berpasir dan saat Reno memperhatikan dengan seksama, ternyata wanita cantik itu berkaki kuda.

Aku pun mulai mengerti, mengapa wanita itu setiap hari mendatangi rumahku! Ya, hanya untuk menagih janji Reno yang akan memberikannya setangkai bunga mawar!

Paginya, aku berboncengan dengan Reno mencari penjual bunga mawar merah tangkai yang masih segar. Lewat google maps, akhirnya aku menemukan toko bunga yang juga menjual bunga segar. Kami membeli tiga, dua untuk wanita berkebaya hijau, satunya untuk wanita yang berkebaya merah. 

Setelah kudapatkan bunga itu, aku segera menuju bunga kamboja yang wanita itu maksud. Memang benar ada, dua pohon kamboja yang berbunga putih lebat dan kokoh yang merupakan rumahnya. Aku dan Reno meletakkan bunga mawar di bawah kaki pohon kamboja dan tak lupa meminta maaf atas kelancangan yang pernah Reno lakukan, yang kerap menggodanya saat bertemu. Saat kami hendak berbalik melangkah untuk pulang, sebuah bunga kamboja menjatuhiku. Kuambil bunganya, kuhirup aromanya. Aromanya sangat wangi, berbeda dari bunga kamboja seperti biasanya. 

Aku menoleh kembali ke arah dua pohon kamboja yang berada di belakangku. Kulihat dua wanita cantik berkebaya merah dan hijau tersenyum sambil memegang bunga mawar merah pemberian kami.

Aku pun tersenyum kembali menatapnya.

"Panggil kami Nyai, kami penunggu sini ... yang menjaga sungai ini dan sekitarnya," serunya lirih tapi begitu terdengar jelas ditelingaku.

Aku mengangguk mengerti. 

"Teh ... Teteh ... Teteh senyum sama siapa?"

Suara Reno mengagetkanku.

Sepertinya Reno tak melihatnya, hanya aku saja yang kini bisa melihatnya.

"Yuk pulang Ren ... lain kali, jaga sikap ya! Jangan ada cewek cantik minta kenalan, kenalan, kamu kan gak tau itu cewek siapa. Jadikan mau kerja disini?" Omelku.

"Iya maaf Teh ... jadi dong ...."

Aku kembali membonceng Reno, sebelum Reno menjalankan motornya, aku menoleh kembali ke arah pohon kamboja. Wanita berkebaya itu masih terlihat tersenyum menatap kami. Aku pun tersenyum kembali seraya menganggukan kepala sebagai bentuk permisi.

Semenjak kejadian itu, aku dan Reno sudah tidak diteror lagi dengan suara tapak kaki kuda. Dan kini, kami telah bekerja di salah satu perusahaan di daerah Jawa Tengah.







Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)