Masukan nama pengguna
Plak!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi sebelah kananku.
"Jadi istri gak becus ngurusin suami! Gimana mau punya anak?" hardik Mas Gilang, yang ternyata seorang tempramen.
"Maaf mas, aku gak sengaja," jawabku pelan, sambil kupegang pipi bekas tamparan suamiku yang masih terasa perih.
Entah sudah ke berapa kalinya Mas Gilang mendaratkan tangannya di kedua pipiku.
Sebagai istri aku selalu menutupi kehidupan toxic rumah tanggaku, karena takut membuat orang tuaku kecewa atau mungkin mereka tidak akan percaya. Dimata mereka, mas Gilang adalah menantu yang sempurna yang selalu di bangga-banggakan karena kemapanannya. Setahun sudah pernikahan ini terjadi. Bagaikan burung di dalam sangkar, kehidupanku selalu di atur olehnya tanpa adanya sebuah perlawanan karena ketakutan yang selalu menghantuiku; setiap satu kata perlawanan, tak segan pula sebuah tamparan akan aku dapatkannya.
Terkadang otakku mengajak untuk bercanda dengan sebuah kematian yang konyol. Saat aku melihat sebuah gunting yang tergantung di paku, pikiranku mulai kacau. Segera kuambil gunting, mataku terus menatap ke ujungnya yang tajam dan lancip. Ingin rasanya kumati, menancapkan dengan keras gunting ini ke perutku. Tapi aku segera kembali tersadar, mati bukanlah sebuah pilihan.
Segera kugunting dengan penuh rasa dendam, ujung pewangi pakaian sachet yang akan kutuang ke dalam air di mesin cuci yang sedang berputar.
Jika aku harus memilih, aku memilih untuk tinggal di rumah orang tuaku ataupun rumah mertuaku. Agar sifat mas Gilang berubah layaknya malaikat, meratukan aku di depan keluargaku ataupun keluarganya. Seperti rumah tangga yang harmonis, impian semua para wanita. Mas Gilang benar-benar pandai bersilat lidah dan berakting layaknya pemain film layar lebar.
"Ambar!!! Buatkan aku kopi sekarang!"
"Iya mas, sebentar akan aku buatkan."
Fiuh ... untung kopinya masih ada, batinku sambil kulihat botol kaca tempat kopi, yang tinggal beberapa sendok. Segera kubuatkan kopi hitam favoritnya.
"Ambilkan korek juga, di atas TV sekarang! Gak pake lama!" serunya kembali. Lagi dan lagi kudengar teriakannya.
Saat aku hendak berbelanja, kulihat uang di dompetku yang telah menipis. Aku segera menghampirinya yang sedang asik merokok, sambil menyeruput secangkir kopi yang baru saja kubuatkan.
"Mas uang belanja udah habis, tinggal 5ribu," ucapku dengan sangat hati-hati.
"Kamu gak lihat di Tik-Tok? Uang 2ribu aja bisa jadi menu makanan di istri yang tepat. Itu kan 5ribu? Masih sisa 3ribu, jelas cukuplah!"
"Mas, ta-ta ...."
"Sana belanja! Keburu aku lapar!" Potongnya, belum sempat kulanjutkan perkataanku.
Aku hanya bisa berlalu, entah apa yang harus kubeli dengan uang 5ribu ini. Kulihat isi kulkas, hanya tersisa wortel, bawang dan cabe.
Segera kuputar otak, sembari berjalan menuju pedagang sayur. Terlihat para ibu-ibu sedang berbelanja macam-macam dengan nominal yang cukup banyak, terkadang ingin rasanya seperti mereka. Tapi, kembali kulihat uang nominal 5ribu yang berada digenggamanku saat ini.
Aku duduk termenung di kursi kayu panjang yang disediakan pedagang sayur, sambil menunggu pembeli yang berharap segera berlalu. Satu persatu pembeli mulai beraturan pergi.
Aku segera beranjak menghampiri pedagang sayur.
"Bu beli bayam satu ikat, tempe, sama tahu."
"Udah itu aja neng? Totalnya 5ribu."
Aku segera membayarnya dan segera pulang ke rumah, sebelum mas Gilang menelponku.
"Cukup kan uang 5ribu buat belanja?" celetuknya saat melihatku lewat di depannya dengan membawa kantong belanja.
Aku hanya meliriknya, dan segera memasaknya di dapur sebelum ia kembali berteriak karena merasa lapar.
Sayur bening bayam, perkedel tempe, tahu goreng dan sambal telah selesai kubuatnya. Segera kuhampiri mas Gilang untuk mengajaknya makan siang. Entah ia hendak kemana, bajunya kini telah berganti.
"Mas makanannya udah siap, mari makan," ajakku.
Segera mas Gilang menghampiri meja makan, dan tersenyum melihat apa yang aku masak. Aku pun tersenyum, aku berpikir mas Gilang menyukainya karena aku berhasil memasak menu makan, hanya dengan uang belanja 5ribu.
Ia duduk dan meneguk segelas air putih yang sudah kusiapkannya. Segera kuambilkan nasi untuknya.
"Siang ini kebetulan mas di ajak makan sama orang kantor, kamu makan sendiri ya," ucapnya sambil berlalu pergi. Kembali kudengar ucapannya yang membuatku semakin kesal. Aku hanya bisa menangis, rasa lelahku kembali tidak di hargainya entah tidak bisa kuhitung ini yang sudah ke berapa kalinya.
Tak terasa hari sudah mulai gelap, tak ada kabar darinya. Aba-aba untuk menyuruhku memasak pun tidak ada. Mungkin mas Gilang sadar, karena tadi uang belanjaku yang tersisa 5ribu sudah habis untuk menu siang.
Aku pikir ia akan membelikan nasi goreng atau makanan lain, untuk makan malam kami berdua.
Din!
Terdengar suara mobilnya berhenti di halaman rumah. Kubukakan pintu untuknya. Kulihat kedua tangannya kosong, hanya sebuah kunci mobil yang ia pegang di tangan kanannya.
"Mas udah makan malam?" tanyaku.
"Udah tadi sekalian, sebelum pulang ke rumah."
"Oh, aku lapar mas ... aku pengin beli nasi goreng."
"Tadi siang masih ada sisa nasi dan lauk kan? Ya, tinggal kamu makan! Nasi gorengnya kapan-kapan lagi aja ...," cetusnya dan segera menuju ke dalam kamar.
Terpampang di meja makan hanya ada sisa nasi dan tempe goreng, sayur bayam sisa kubuangnya; karena sudah lebih dari lima jam. Aku terpaksa makan nasi hanya berlauk tempe yang kembali ku gorengnya. Sambil menikmati nasi yang hanya berlauk tempe, kembali air mataku terjatuh membasahi nasi yang sudah terasa hambar.
Betapa malangnya nasib wanita ini yang sudah tertipu dengan tampang lelaki mapan yang hartanya hanya untuk dinikmatinya sendiri.
****
"Minggu depan, area kerjaku pindah. Kamu beberes ya, jangan sampai ada yang terlupa! Barang-barang mu juga. Jangan lupa di bawa!" ungkapnya sebelum berangkat bekerja.
"Iya Mas," pikiranku semakin kacau, membayangkan kehidupan yang kelak akan jauh dari keluarga. Aku takut sifatnya semakin jauh di luar nalar.
Aku langsung membuat sebuah checklist untuk segala keperluannya. Berjaga-jaga untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan.
Hari itu pun tiba, kami menuju pelabuhan dengan menaiki sebuah kapal Feri untuk sampai ke tempat tujuan. Sesampainya, mas Gilang seperti sudah berjanjian dengan seorang wanita yang merupakan teman kerjanya. Ia terlihat sudah menunggunya di pelabuhan, kulihat wanita itu melambaikan tangan ke arahnya.
"Gilang ... kamu lama banget si, aku dari tadi sendirian nungguin kamu," ucapnya manja di depanku, matanya terus melirik ke arahku.
Jelas aku lebih cantik, batinku. Kembali kutatapnya dengan tatapan sinis.
"Iya sorry, tadi mampir dulu ke rumah orang tua."
"Ayo naik ...," ajaknya sambil menarik lengan mas Gilang.
Ingin rasanya kudorong mereka berdua ke dalam laut.
Perlahan kapal Feri yang kami tumpangi berjalan menuju ke tengah laut. Mereka berdua masih asik mengobrol di dalam kapal, tanpa melihat keberadaanku. Aku yang sudah tidak heran dengan kelakuan mas Gilang memilih untuk keluar dari dalam kapal, melihat keindahan laut yang berwarna biru tua yang semakin menandakan kedalamannya. Ingin rasanya segera kujatuhkan tubuhku ini ke dalamnya.
Tiba-tiba hujan gerimis, aku kian menikmatinya; kurentangkan kedua tanganku menghadap ke arah laut. Kubiarkan setiap tetesannya menjatuhi wajah dan tubuhku secara perlahan, semakin lama hujan semakin deras terbawa angin laut yang semakin kencang hingga terasa seperti sebuah tamparan yang menghujani wajahku. Ombak semakin besar menghantam kapal yang kami tumpangi. Suara jeritan penumpang semakin ramai seperti membelah samudra di atas kapal yang tengah terombang-ambing. Aku pun terjatuh ke dalam lautan yang begitu luas. Kupejamkan mataku saat mulai terjatuh. Hidungku terasa panas, mataku perih, dadaku terasa sesak, aku mulai melayang.
Selamat tinggal dunia yang fana.
Hingga semuanya terasa gelap.
..........
"Kak ... Kak ... Kak ... bangun Kak," terdengar suara seorang lelaki membangunkanku, sambil menepuk-nepuk pipiku.
Apakah itu suara malaikat?
Apakah aku yang kini telah berada di surga?
Mungkinkah kini aku sedang berada di tempat kehidupan bawah laut yang sering di bahas para youtuber?
Mataku terasa berat dan perih, perlahan aku mencoba untuk membukanya sedikit demi sedikit. Samar-samar kulihat wajah dua orang lelaki di hadapanku.
Rasa sesak di dada, membuatku batuk dan mengeluarkan air bercampur pasir halus dari dalam hidung dan mulutku yang terasa sangat panas. Aku mulai sadar, benar! Ada dua orang lelaki kini berada di hadapanku dan mereka hanya orang biasa sama sepertiku, bukan malaikat.
"Alhamdulillah ... udah sadar ...."
Kudengar mereka mengucap rasa syukur saat aku terbangun.
Matahari terasa sangat terik, kulihat sekelilingku. Hamparan pasir, pohon pantai, dan laut. Aku mulai bangkit dengan tubuh yang masih gontai, salah satu dari mereka memegangiku agar aku tak terjatuh. Aku masih linglung berjalan menuju arah bibir pantai, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi.
Mungkinkah ini sebuah mukjizat dari Tuhan yang telah membuatku kembali hidup?
Kulihat diriku sendiri, sebuah dress putih yang sedang kukenakan, perhiasan yang berada di jari manis dan leherku, jam tangan yang masih menempel di pergelangan tangan kiriku; dan juga sebuah jepit rambut ala korea yang berbentuk kupu kecil, masih menyangkut di pinggiran rambutku.
"Nama Kakak siapa?" Mereka mulai bertanya tentangku. Aku masih terdiam dan berusaha kembali mengingat semuanya.
"Ayo Kak ikut kami ...."
Awalnya aku menolak, aku takut mereka berdua akan berbuat macam-macam. Tapi mereka terus meyakinkanku. Aku segera mengikuti langkah-langkahnya, melewati hamparan pasir yang di pinggirannya ditumbuhi pohon mangrove menuju sebuah perkampungan di tepian pantai yang semua rumahnya terbuat dari kayu. Beberapa orang melihatku, mungkin karena penampilanku yang aneh. Dress putih yang telah bercampur dengan pasir, rambut panjang pirangku yang kusut, kulitku yang mulai menghitam dan telapak kakiku yang tak beralaskan sandal. Aku berjalan tertunduk; saat ada orang yang bertanya aku hanya tersenyum, membiarkan dua orang lelaki yang tengah bersamaku menjawabnya.
Perjalanan kami bertiga berhenti di sebuah rumah kayu bercat hijau kukus, terlihat seorang wanita sedang menggendong anaknya keluar dari dalam rumahnya. Salah seorang lelaki yang telah menemukanku masuk ke dalam rumah itu, seperti sedang mengajak berbincang istrinya. Aku hanya melihatnya dari halaman rumah.
"Mam, di rumah kamu aja ya ... istriku sepertinya keberatan," ujarnya saat ia kembali keluar dari dalam rumahnya.
"Waduh, kamu tau kan? Aku orang miskin, adikku banyak, tiap hari makan ikan asin mana mungkin cewe cakep gini mau diajak makan ikan asin?" Kudengar suara lelaki yang sepertinya bernama Imam sedang berujar.
"Aku mau kok makan ikan asin," celetukku sambil tersenyum.
Mereka berdua tersenyum ke arahku.
"Alhamdulillah ... ayo ikut ke rumahku," ajaknya.
Aku mengikuti di belakangnya, hingga sampai di sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Terlihat ibunya sedang menjemur ikan asin di samping rumah.
"Assalamualaikum Bu .... "
"Waalaikumsalam,"
Ibu Imam segera menghampiriku, aku segera bersalaman dengannya.
"Siapa ini Mam?" tanyanya.
Aku hanya bisa tersenyum. Ada kalanya aku ingin menjawab; tapi percuma, aku masih belum tahu siapa diriku.
"Sepertinya dia putri duyung Bu ... Imam mendapatkannya di laut, pas tadi lagi menjala ikan sama bang Roni."
"Masya Allah, putri duyung? Ya Allah ... cantik sekali kamu Nak ... seumur-umur ibu baru melihat putri duyung. Ayo masuk Nak ...."
Kulihat Imam tersenyum melihat ekspresi ibunya yang sudah menua. Segera kusenggol lengan Imam.
Aku duduk di ruang tamu yang hanya beralaskan karpet plastik bermotif, salah satu adiknya tersenyum ke arahku, adiknya lagi membuatkan minuman untukku, dan satu adiknya lagi mengajakku mengobrol. Ketiga adik Imam, semuanya perempuan yang berusia sekitar 15 sampai 20 tahun. Kulihat Imam sedang berbincang dengan ibunya di dalam kamar.
"Nak, ibu kasih kamu nama Putri ya ... karena kamu cantik," ujarnya seraya keluar dari dalam kamar, sambil menghampiriku yang sedang mencicipi rempeyek ikan teri.
"Baik Bu," aku menyetujuinya.
Malam ini, aku tidur sekamar dengan kedua adiknya. Adik perempuan satunya tidur bersama ibunya. Kulihat Imam tidur di ruang tamu yang hanya berselimut sebuah sarung. Semakin malam, udaranya semakin dingin hingga tak terasa waktu sudah mulai subuh. Terdengar suara adzan yang berkumandang. Saat kuterbangun, kedua adiknya sudah tidak berada di sampingku. Aku segera beranjak mencoba mengintip dari dalam kamar, kubuka pintu kamar secara perlahan. Ternyata mereka sedang sholat subuh berjamaah di ruang tamu. Imam satu-satunya lelaki di rumah ini, ia yang menjadi imamnya. Aku tertegun melihatnya, aku yang telah lama meninggalkan kewajibanku sebagai seorang muslim rindu akan hal itu. Kututup kembali pintu kamar secara perlahan saat mereka mulai salam. Kini mulai kudengar suara lantunan ayat suci Al-Qur'an yang sedang mereka baca.
Bismillahirrahmanirrahim ....
Ar-raḥmān
'Allamal-qur`ān
Khalaqal-insān
Hingga tiba di suatu ayat yang membuatku menangis.
Fa bi`ayyi ālā`i rabbikumā tukażżibān
Aku manangis, semenjak menikah aku jarang beribadah. Aku lebih sering meratapi nasibku. Mungkin ini hidayah dari Tuhanku agar aku kembali ke jalannya.
Tok tok tok
"Putri," suara ibu Imam mengagetkan lamunanku.
"Iya Bu," aku segera bangkit dan keluar dari dalam kamar.
"Kamu menangis nak? Apa kamu sudah ingat?"
Aku tersenyum dan menggeleng. Aku segera mengambil wudhu dan melaksanakan sholat subuh.
Lebih baik aku tinggal disini dulu untuk sementara waktu. Mereka keluarga yang taat beribadah dan juga memperlakukanku dengan baik.
Hari berganti hari telah aku lewati, aku ikut bekerja membuat ikan asin di rumah salah satu tetangga bersama ketiga adiknya. Mas Imam dan Bang Roni setiap hari mencari ikan di laut. Hidup di pesisir pantai membuat kulitku sedikit menghitam, tapi aku bahagia hidup bersama mereka. Kalaupun aku sudah mengingat semuanya, rasanya aku tidak ingin pulang ke rumahku.
Selain bekerja, aku mengajarkan beberapa tetangga sekitar cara membuat olahan ikan. Aku juga berjualan empek-empek bersama ibu di depan rumahnya, yang semakin hari semakin ramai pembeli.
Keseharian kami bekerja, berdagang, dan mengobrol sambil menganyam daun pandan yang dijadikan tikar ataupun bentuk kerajinan lainnya. Masih jarang ada warga yang memiliki televisi maupun handphone android, karena jaringan internet di kampung yang masih sulit untuk di temukan; suasana kampung juga masih sangat asri dengan kehidupan yang sederhana. Setahun, dua tahun, tiga tahun, tak terasa aku sudah berada di kampung ini.
Ayah, Ibu, Fera adikku, aku rindu kalian ....
Selama ini keluargaku pasti menangisi kepergianku, tak pernah lupa selalu kupanjatkan doa untuk mereka. Aku tidak peduli lagi dengan suamiku, yang aku pedulikan orang tuaku yang semakin menua dan juga adikku. Tiga tahun setelah kepergianku, berharap mas Gilang sudah kembali menikah saat aku pulang ke rumah orang tuaku nanti.
"Mas Imam, aku sudah ingat semuanya," ucapku padanya.
"Alhamdulillah ... kamu tinggal dimana?"
Aku terdiam sesaat, kupandangi matanya yang begitu teduh dan penuh ketulusan. Mas Imam lelaki biasa yang kini telah mengisi hatiku, mewarnai hari-hariku dengan kasih sayang dan juga kesederhanaan yang membuatku jatuh cinta padanya.
Sebenernya, sudah lama aku mengingatnya mas ... selama ini aku hanya berpura-pura mas, untuk menghindari suamiku.Tapi kini kerinduanku terhadap keluarga, tak bisa kusembunyikan lagi.
Aku tersenyum dan mulai menceritakan kehidupanku dari awal, pekerjaanku dulu, hobiku, hingga perjalanan cintaku saat pertama kali aku bertemu mas Gilang, lalu aku menikah dengannya, KDRT yang pernah aku alami dan juga perselingkuhan mas Gilang dengan teman kerjanya; sampai akhirnya aku hanyut di lautan yang berharap mati saat itu juga.
Mas Imam terlihat menghela nafas panjang, mendengar kisahku yang rumit.
Sampai tiba waktunya aku berpamitan pada ibu dan ketiga adik mas Imam untuk pulang ke daerah asalku, sekedar mengunjungi keluargaku dan aku berjanji akan kembali.
Aku diantar mas Imam menaiki sebuah kapal Feri, perjalananku kali ini baik-baik saja hingga aku sampai di depan halaman rumahku.
Haru biru mewarnai kedatanganku, dan saat itu juga aku baru berani bercerita tentang kelakuan mas Gilang selama ini terhadapku. Terlihat sebuah kesedihan dan kekecewaan di mata mereka saat aku menceritakan semuanya. Orang tuaku juga bercerita, mas Gilang telah menikah lagi setahun semenjak kehilanganku; dan kini ia telah memiliki seorang anak.
Aku juga mengenalkan mas Imam kepada keluargaku, mereka kini mengerti bukan harta yang membuat orang bahagia; tapi kehidupan yang damai dan saling mengasihi.
Aku dan mas Imam berniat untuk menemui mas Gilang, bagaimanapun juga aku pernah manjadi istrinya. Dengan menaiki motor matic peninggalanku sewaktu aku bekerja dulu, aku berboncengan menuju rumah mas Gilang bersama mas Imam.
Rumahnya masih sama seperti dulu tidak ada yang berubah, aku juga tengah penasaran dengan siapa sekarang ia menikah.
Aku langkahkan kaki menuju pintu depan rumahnya.
"Aa ... sakit mas ... ampun ... ampun!!!"
Belum sempat kuketuk pintu, kudengar suara teriakan seorang wanita dari dalam rumahnya yang sepertinya sedang kesakitan.
Tok tok tok
Tok tok tok
Tok tok tok
Segera kuketuk pintu rumah mas Gilang berulangkali.
Krek ....
"Ambar???" Matanya terbelalak tak percaya melihatku yang masih hidup. Pandangannya kini mengarah ke penampilanku yang telah berhijab dan kemudian ia melihat ke arah mas Imam yang berada disampingku.
Terlihat juga seorang wanita dari dalam rumah mas Gilang menghampiriku, kulihat pipinya merah bekas tamparan dan tangannya lebam seperti bekas pukulan kayu. Dia sepertinya malu melihatku. Ya! Wanita itu selingkuhan mas Gilang yang pernah aku temui di kapal saat itu, yang akan selalu kuingat wajahnya.
"Ma-maafkan aku mba, aku sudah pernah menyakiti mba Ambar," ucapnya dengan air mata yang mengucur, menahan sakit bekas pukulan dan juga air mata sebuah penyesalan telah memilih lelaki yang salah, seperti yang dulu pernah aku alami.
Aku mengangguk dan memeluknya, bagaimanapun juga aku tak sudi jika mas Gilang melakukan hal yang sama kepada wanita lain, walaupun wanita ini pernah menyakitiku.
"Sampai kapan kamu begini mas? Menyiksa istri setiap ada kesalahan? Bahkan kesalahan sedikit pun kamu tak segan untuk mendaratkan tanganmu! Hah??? Sampai kapan? Sampai ada yang mati terus kamu dipenjara baru kamu berhenti?" Kulontarkan kata-kata penuh emosi yang membuatnya tercengang. Aku yang selama ini hanya diam, sekarang berani bersuara keras di hadapannya.
"Ambar ... A-a ...."
"Akan aku laporkan perbuatanmu ini mas!" tukasku sambil berlalu pergi meninggalkannya tanpa rasa peduli. Segera aku dan mas Imam menuju kantor polisi dan melaporkan kejadian KDRT yang tengah dialami oleh istrinya mas Gilang.
****
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, terdengar kabar mas Gilang telah ditangani pihak yang berwajib. Sementara aku dan mas Imam tengah melangsungkan pernikahan secara sederhana di kediamanku. Beberapa keluarga mas Imam dan tetangganya ikut serta hadir di acara pernikahanku dan mas Imam. Mereka semua menaiki sebuah kapal Feri menuju daerahku. Kulihat juga Lita dan anaknya yang masih kecil menghadiri acara pernikahanku.
"Semoga bahagia selalu ya mba Ambar dan mas Imam ... makasih juga mba Ambar, sekarang aku dan anakku lebih tenang. Berharap suatu saat jika mas Gilang keluar penjara, ia akan berubah ...," ucap Lita berbisik saat berada di sampingku.
"Iya sama-sama," jawabku sambil tersenyum ke arahnya.
Tak lupa kami juga berfoto bersama.