Masukan nama pengguna
Terlihat beberapa orang sedang berlarian menuju rumah Nenek Juleha. Leni yang penasaran, mengikuti di belakangnya dengan seragam putih abu yang masih menempel.
Rumah Nenek Juleha kini telah ramai pelayat. Beberapa orang juga tengah sibuk, mempersiapkan acara pemulasaraan jenazah.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un ...," ucap Leni yang baru mengetahui jika Endang anaknya nenek Juleha yang hampir melahirkan, kini telah berpulang.
Leni memandangi tubuh Endang yang telah tertutup kain jarik di atasnya, dengan perut yang masih membuncit.
Tanpa terasa, air mata Leni ikut menetes.
Setelah disholatkan, iring-iringan rombongan pengantar jenazah mulai terdengar.
"Lā ilāha illallāh ... Lā ilāha illallāh ... Lā ilāha illallāh ...."
Aroma daun pandan dan bunga segar, menyeruak memasuki setiap celah rumah yang dilewatinya.
Entah siapa yang memulai menyebarkan berita jika ada orang yang meninggal dalam keadaan hamil atau melahirkan, akan menjadi kuntilanak.
Malam harinya setelah jenazah Endang dikuburkan, suasana terasa sunyi. Hanya suara jangkrik saling bersahutan dan juga burung emprit yang terdengar.
Aroma daun pandan dan bunga-bunga segar yang baru saja ditaburkan di atas makam Endang, terhembus angin memasuki rumah Leni yang masih berada di sekitaran makam.
Leni yang sedang berada di dalam kamarnya, sesekali menatap ke arah jendela yang bertepatan dengan jalan paving menuju area pemakaman. Tirai yang menutupi jendelanya, perlahan mulai tersibak diterpa angin. Leni mengendap-endap, jantungnya mulai berdetak kencang saat langkah kakinya semakin mendekati arah jendela.
Belum sampai ia meraih tirai yang hendak ditutupnya kembali, suara ketukan pintu di depan rumah membuat ia mengurungkan niatnya. Leni segera bergegas ke depan.
Kreek ...
Leni menoleh ke kanan kirinya. Bulu kuduk mulai meremang, saat ia tidak mendapati siapapun di depannya. Leni mengusap dahinya yang telah berkeringat. Udara yang terasa dingin, membuat suasana semakin mencekam.
Brak!
Baru saja ia menutup pintu depan; pintu kamarnya yang sedang terbuka, tiba-tiba tertutup dengan sendirinya.
"Ya Allah ...."
Leni semakin ketakutan, ia memilih duduk di sofa menunggu kedua orang tuanya pulang.
Suara kucing yang meraung di samping rumahnya, membuat ia berpikir ada sesuatu yang tengah berada di sekitarnya.
Leni yang merupakan anak tunggal hanya bisa berdoa, agar kedua orang tuanya segera pulang dari rumah neneknya yang sedang sakit.
Din! Din!
Tak lama, terdengar suara klakson mobil orang tuanya.
Alhamdulillah ....
Perasaan Leni telah lega, ia segera membukakan pintu dan bergegas menghampiri ibunya yang sudah turun dari dalam mobil.
"Mah ... Mbak Endang, meninggal Mah ...."
"Inalillahi ... ya Allah, dia udah lahiran emangnya?"
"Belum Mah, Mba Endang jatuh katanya, terus pendarahan."
"Terus bayinya gimana?"
"Masih di dalam perut ... meninggal juga Mah ...."
"Ya Allah ...."
Bu Ela terlihat menyeka air matanya yang terjatuh, ia turut berduka atas kematian tetangganya yang baru saja akan dikaruniai anak setelah tujuh tahun menanti. Tapi sepertinya Tuhan berkata lain.
Pak Broto yang mendengar istri dan anaknya sedang bercerita, ikut masuk ke dalam obrolannya. Ia yang mengetahui anak perempuannya sedang ketakutan, malah tertawa dan tersus meledeknya.
"Ya udah, nanti Leni tidur sama Mamah dulu, bapak yang sendirian."
Pak Broto mengalah untuk bertukar tempat sementara. Tirai yang masih tersibak, menggerakkan Pak Broto untuk menutupnya.
"Astaghfirullah!"
Baru setengah jalan Pak Broto menutup tirai, ia melihat sesosok perempuan dengan daster putih sedang berdiri menatapnya dengan tatapan nanar. Pak Broto lekas menutup tirainya kembali.
Untung, tadi Leni tak suruh pindah. Kalau dia yang lihat pasti minta pindah rumah. Fiuh ....
Pagi pun tiba, setibanya di kelas Leni bercerita ke salah satu temennya yang masih satu komplek.
Ternyata mereka berdua merasakan hal yang sama.
****
Hari kedua masih sama, saat malam semakin larut, suasana masih sepi seperti malam sebelumnya. Seusai pulang tahlilan, tidak ada yang berani untuk keluar dari rumahnya.
Tok tok tok
Kembali terdengar suara ketukan pintu. Kali ini terdengar dari pintu belakang rumahnya yang langsung menghadap ke area pemakaman.
Pak Broto, Bu Ela, dan Leni saling bertukar pandang.
"Siapa yang malam-malam begini ketuk pintu belakang?" gumam Pak Broto.
Setelah menenangkan anak istrinya, ia segera beranjak mencoba mengintip dari jendela kecil yang berada di dapurnya.
Tok tok tok
Kembali suara itu terdengar, kali ini di pintu depan rumahnya.
"Pak ... itu suaranya pindah di depan," teriak Bu Ela.
"Biarlah Bu ... nanti juga pergi sendiri."
Tuk tuk tuk
Kini suaranya berpindah di jendela kamar Leni.
Leni semakin erat memegangi tangan ibunya.
"Ayo, kita ngaji bareng ... sekalin doain Mba Endang," ujar Pak Broto dari arah dapur.
Mereka bertiga segera mengambil wudhu dan mengaji bersama, dibarengi suara ketukan yang masih mengitari rumahnya.
"Shodaqollah hul adzim ...."
Suasana mulai hening, suara ketukan yang sedari tadi terdengar telah berhenti.
Tok tok tok
Kembali mereka mendengar suara ketukan pintu, tapi sepertinya suara itu berasal dari rumah depannya.
Pak Broto yang penasaran mencoba mengintip dari lubang kunci pintu depan.
"Astaghfirullah!!!" Pak Broto terkejut, ia segera kembali ke ruang tengah.
"Kenapa Pak?" Bu Ela bertanya penasaran, melihat suaminya yang ketakutan.
"Mba Endang Bu, dia lagi ngetuk pintu depan rumah Bu Fajar."
"Astaghfirullah ...," ucap Bu Ela dan anaknya serempak.
"Berarti, yang dari tadi ketuk pintu rumah kita Mba Endang Pak?" Leni mulai bertanya-tanya.
Pak Broto menanggapinya hanya dengan menganggukan kepalanya.
"Udah tenang, besok bapak coba bilang ke keluarganya," ujar pak Broto lirih.
*****
Hari ketiga, setelah kematian Endang warga dibuat geger dengan ketukan pintu yang kerap mereka dengar setiap malam.
Ternyata benar ketukan pintu itu ... Endang yang melakukan.
Beberapa orang juga mengaku melihat penampakan Endang. Pak Broto yang sudah dua kali melihatnya memilih diam, tidak menceritakan kepada mereka semua.
Setelah semua warga tenang, saatnya Pak Broto berbicara.
"Jadi Endang sebenarnya meninggal karena apa?"
"Jatuh katanya Pak, pas di jalan," ujar salah seorang keluarganya.
"Gak langsung dibawa ke rumah sakit memangnya?" sambungnya kembali.
Semua orang terdiam, mereka juga memikirkan hal yang sama.
Terlihat suami Endang clingak-clinguk ketakutan.
Mata Pak Broto menatap tajam ke arah suaminya.
"Edo! Yang bawa Endang ke rumah siapa?"
Pak Broto merupakan salah satu orang yang disegani di desanya, membuat Edo ketakutan ditambah penampilannya yang mirip seperti polisi India dengan kumis dan perawakan yang mumpuni, semakin menggambarkan kesangarannya.
Dengan terbata Edo menjawabnya.
"Es-sa-saya Pak ...."
"Kenapa tidak dibawa ke rumah sakit?" pertanyaan Pak Broto semakin menyelidik dan menjalar. Edo sebisa mungkin menjawabinya, ia bisa saja dibentaknya di depan orang-orang saat memberikan jawaban yang tak masuk akal.
Pak Broto yang mendengar berbagai alasan Edo berpura-pura menerimanya. Ia tidak mudah percaya begitu saja. Pak Broto juga bersikukuh akan menyelidikinya lebih lanjut ke tempat TKP agar terbukti kebenarannya. Di sana, ia bisa melihat kamera CCTV yang terpasang di depan parkiran tempat yang Edo maksud.
****
Malam kembali tiba. Ilham yang baru saja pulang dari kampus, mau tak mau harus melewati pintu makam yang menuju rumahnya. Suasana sepi dan hening terasa mencekam, hanya suara-suara binatang malam dan hembusan angin yang menemaninya, ditambah anak hujan yang kian mulai terasa menjatuhi tubuhnya.
Dari jauh, Ilham melihat seorang wanita berdiri menghadap ke arah makam. Ilham yang tidak melihat wajahnya, tetap melanjutkan laju motornya. Ia tak berpikir macam-macam. Setelah berhasil melewati depan pintu makam, motor Ilham yang sedang dikendarainya mulai terasa berat. Ilham yang penasaran, segera melihat ke jok belakang melalui kaca spion motornya.
"Aaa!!!" Ilham menjerit ketakutan melihat wajah Endang dengan daster putih telah berada di belakangnya.
Ia segera berhenti dan sembarang menjatuhkan motornya di tengah jalan. Ilham berlari tergopoh menuju rumahnya, yang tinggal berjarak beberapa meter saja.
Brag! Brag! Brag!
"Bu ... buka Bu, cepet!!! Bu ...."
Ilham semakin panik. Di gedor-gedornya pintu depan. Wajahnya telah memucat, keringat dingin mulai menjalar membasahinya.
"Kenapa Am?"
"Telung dino Bu ... telung dino Bu ...."
Ilham tak bisa berkata-kata, hanya kata itu yang ia lontarkan.
Bu Nita yang melihat anaknya hampir pingsan, segera membawanya masuk ke dalam rumah dan kembali berpikir dengan ucapan anaknya.
Tiga hari kematian Mba Endang maksudnya?
Sementara suaminya mengambil motor Ilham yang ditinggalkannya di tengah jalan.
Pak Zahid merasa merinding. Dilihatnya sepanjang jalan desa dari ujung ke ujung. Seperti sebuah kehampaan, jalan desa yang telah beraspal, kini sepi dan kosong. Semenjak kematian Endang, tak ada satupun orang dan kendaraan yang berlalu lalang selepas isya. Pak Zahid mulai bergidik, ia lekas membawa motor Ilham dan kembali memasuki rumahnya.
*****
Terlihat Endang sedang berada di atas genting rumah salah satu warga sambil mengayunkan-ayunkan kedua kakinya, tangannya seperti sedang menimang bayi. Matanya menatap nanar ke depan, terkadang ia tertawa, terkadang ia menangis meratapi nasibnya yang telah dicampakan suaminya yang lebih memilih selingkuhannya dibanding dirinya yang sedang mengandung anaknya.
Kematian memang bukan sebuah pilihan, tapi mungkin ini sebuah jalan terbaik untuk Endang, agar ia tidak merasakan sakit hati yang selama ini selalu ia sembunyikan dari semuanya.
"Hihihihi ... hihihihihihi ...."
Endang tertawa cekikikan dari atas genting, melihat suami dan wanita selingkuhannya berlari ketakutan; saat melihat dirinya yang tengah terduduk di atas genting.
Suara lolongan anjing liar dan burung gagak ramai terdengar, seperti ikut menertawakan mereka berdua.
Malam semakin larut, Endang kembali berpindah-pindah menduduki genting rumah warga yang ia inginkan.
"Hihihihihi ... hihihi ...."
Semakin malam semakin sering suaranya terdengar, memecah keheningan malam yang kini hanya bertemankan sepi.