Cerpen
Disukai
3
Dilihat
7,283
Kado Untuk Ibu
Horor

Sudah beberapa hari ini, Rio tengah sibuk dengan tugas barunya di kantor. Ada beberapa proyek baru, yang harus segera ia tangani. Berangkat di ujung pagi dan pulang larut, belakangan ini menjadi makanan hariannya.

"Rio, kamu sudah selesai laporannya belum untuk proyek pembangunan perumahan yang baru?" tanya pak Budi yang merupakan Atasannya.

"Waduh belum selesai ini Pak, kemarin yang dilaporkan segini, kenapa sekarang jadi segini?" keluhnya bingung, sambil menunjukkan kertas laporan yang sudah di printnya.

"Ya sudah, udah jam 9 malam ini. Ayo pulang, besok kita ke area untuk memastikan," titahnya.

"Baik Pak ...." 

Rio segera membereskan meja kerjanya dan segera menyusul pak Budi dibelakangnya.

"Hati-hati di jalan Rio," seru pak Budi dari dalam mobilnya.

"Iya Pak, pak Budi hati-hati juga di jalan."

Din!

Pak Budi menyalakan klakson mobilnya, sebagai tanda pamit.

Rio segera menghidupkan motornya dan siap meluncur, berharap segera sampai di rumahnya.

Di tengah perjalanan, jalan raya masih terlihat ramai. Berbeda halnya setelah Rio berada di jalan yang menuju desa. Jalanan begitu sepi, tidak seperti hari biasanya.

Kemana orang yang biasa pada jualan? Tumben jam segini sepi banget. Baru jam setengah sepuluh malam, gimana nanti kalau jam 12 malam.

Dari jauh terlihat seorang wanita sedang berjalan merunduk dengan rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya, lengkap dengan pakaian kerja yang dikenakannya tersorot lampu temaram yang berjarak di pinggiran jalan desa. 

Saat Rio mulai berhadapan hendak melewatinya, wanita itu menghentikan langkahnya dan melambaikan tangannya ke arah Rio.

Rio segera menghentikan laju motornya.

"Ada apa Mba?" sapanya lembut tanpa menaruh kecurigaan apapun.

"Mas aku mau pulang, tapi masih jauh. Sudah malam Mas, dingin ... boleh minta tolong antarkan saya ke ujung jalan sana?" pintanya lirih, sambil menunjuk arah.

Rio berfikir sejenak, semenjak berpacaran dengan Andini, ia tidak pernah memboncengkan wanita lain selain ibunya. Tapi saat matanya kembali melihat wanita itu, Rio merasa iba.

" Ya, boleh deh!" jawabnya singkat.

Segera wanita itu naik ke atas motornya. 

Sepanjang perjalanan mereka saling terdiam, bulu kuduk Rio seketika meremang saat melewati jalan desa yang dipinggirannya ditumbuhi pepohonan. Motornya mulai terasa berat, dan hawa dingin kian menyelimutinya.

Perasaan tadi gak sedingin ini deh ....

"Mba kenapa sendirian?"

Rio sengaja bertanya untuk memecah keheningan.

"Saya ditinggal rombongan Mas,"

"Rombongan apa Mba? Pawai? Karnaval?" Rio kembali bertanya penasaran.

"Rombongan iring-iringan jenazah Mas," jawabnya samar, suaranya terbawa angin.

"Hah!!!" Rio sontak mengerem motornya, ia mulai melihat ke arah kaca spion motornya secara perlahan.

Terlihat wanita itu terbang dari jok motor belakangnya.

"Hihihihi ...."

"Hihihihi ...."

"Mas tolong aku ...."

"Mas tolong ..., hihihihi ...."

Terdengar suaranya melengking semakin tinggi.

"Aaaaakh!!!"

Rio segera menutup telinganya.

"Mas tolong aku mas ... tolong ... hiks, hiks, hiks ...."

Rintihnya dengan suara tangis yang mengiris.

Tiba-tiba wanita itu sudah berada di depannya, dengan muka penuh darah dan terkoyak separuhnya, bekas terkikis aspal yang telah berkerikil.

"Astaghfirullah!!!"

Rio terkejut dan segera membaca sebisanya.

"Bismillahirrahmanirrahim ...."

"La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim ... La haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim ... Astaghfirullah ... Astaghfirullah ...."

Suara cekikikan silih berganti dengan ringkihannya yang masih terus menusuk kedua telinganya.

Rio berulangkali melafalkannya dengan memejamkan mata dan menutup kedua telinganya dengan tangan. Rio mengingat kata guru agamanya sewaktu sekolah, jika sulit untuk mebaca ayat-ayat suci, cukup baca hauqolah atau berdzikir untuk memohon pertolongan kepada Sang Pencipta.

Beberapa menit kemudian semua terasa hening. Rio kaget saat membuka matanya. Ternyata ia telah berada di jalan desa diantara dua makam yang saling berhadapan, yang sering disebutnya makam kembar oleh warga sekitar.

Makam kembar? Perasaan tadi masih di jalan sekitar perkarangan warga.

Rio bingung, badannya kini bergetar. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, segera ia berbelok dan tak lupa membaca basmallah saat menghidupkan motornya.

Sesampainya di rumah, Rio demam. Ibunya bingung melihat anak bujangnya yang tiba-tiba menggigil sepulang kerja. Terlihat wajahnya begitu pucat dan tubuhnya yang lemas. 

"Kerja ya kerja, jangan mau dikerjain. Pulang larut malam terus. Jadi begini! Sakitkan?" omel ibunya sambil memijit tengkuk Rio dan mengoleskannya dengan minyak kayu putih.

Rio masih meringkuk dan menggigil kedinginan. Ibu Rio segera menyelimutinya dan meminta Rio untuk lekas tidur.

Malam itu tidak ada sepatah katapun yang terucap dari mulut Rio.

               ****

Assasholatu khairum minannaum ....

Saat ibunya hendak membangunkannya, Rio masih meringkuk. Biasanya sebelum subuh, Rio sudah terbangun untuk sholat berjamaah di mushola. 

"Rio, bangun Nak ... udah subuh," ucapnya halus, sambil mengelus rambutnya.

Rio terbangun dengan wajah masih pucat.

"Bu ... Rio sakit, nanti minta tolong ijinkan ke pak Budi ya Bu. Diambil cuti bulan ini aja."

"Iya, nanti ibu hubungi pak Budi. Kamu sholat subuh dulu gih ... di rumah aja kalau masih sakit. Nanti ibu buatkan bubur."

"Iya Bu ... "

Rio segera menunaikan sholat subuh di rumah.

Matahari mulai terbit, hawa sejuk khas pedesaan di sebuah kota kecil mulai terasa. Ibu Rio membuka jendela rumahnya satu persatu dan segera menghubungi pak Budi memintakan cuti untuk anaknya, tak lupa juga membuatkan bubur untuk Rio.

"Rio makan dulu, ini buburnya udah matang. Mumpung masih hangat, " ujarnya.

Rio telah berada di atas kasurnya seusai subuh, dengan tubuh yang kembali terbungkus selimut.

Perlahan Rio membuka mulutnya, saat sang Ibu menyuapi bubur.

"Bu, Rio mau cerita ...."

"Cerita apa? Kamu cape kerja? Keluar aja kalau gitu. Cari kerjaan lain yang jam kerjanya wajar. Gak kaya gini. Berangkat pagi sebelum matahari terbit, pulangnya larut malam terus! Masuk angin kamu," protes ibu Rio.

"Bukan itu Bu, jadi semalam ada cewe minta dianterkan pulang. Pas ditengah jalan dia terbang, tau-tau di depan motor Rio. Mukanya ancur banyak darahnya, hii ... serem banget pokoknya. Pas dia ngilang, ternyata Rio sudah berada di jalan desa yang di kiri kanannya makam Bu," jelasnya.

"Astaghfirullah, lagian kamu si ... ada cewe malam-malam minta dianterin bukannya curiga malah ...."

"Kasihan bu, gak tega liatnya," potong Rio.

"Ya udah, nanti ibu ke ustad minta air doa biar kamu mendingan ya ...."

Rio mengangguk setuju dan kembali sesuap demi sesuap bubur masuk ke dalam mulutnya.

Setelah Rio meminum air doa dari seorang ustad, tubuhnya kini membaik. Wajahnya sudah kembali segar. Usut punya usut, wanita yang Rio temui semalam adalah korban kecelakaan tabrak lari pagi itu, yang di makamkan disalah satu makam kembar yang saling berhadapan.

                ****

Seorang perempuan cantik dengan rambut panjang yang dicepolnya, menggunakan hem lengan pendek warna merah, celana hitam panjang, dan sepatu pantofel hitam, tak lupa name tag dan ID Card yang telah menggantung di lehernya.

Ia berangkat dari rumahnya, tak ada firasat apapun dari keluarganya. Hanya saja Riani meminta ibunya memasak daging rendang kesukaannya yang akan dimakannya sepulang kerja.

Bagaikan disambar petir; selang beberapa meter dari rumahnya, kecelakaan itu terjadi. Wajahnya menghantam jalan aspal yang telah berkerikil membuat wajahnya rusak, tubuhnya mengejang, mulutnya mengeluarkan darah segar. Benturan yang begitu keras mengenai kepalanya membuat Riani seketika meninggal di tempat.

Tangis keluarga pecah, saat mendengar anak sulung perempuannya telah pergi untuk selamanya.

Ibunya tetap memasak daging rendang ditengah kepedihan yang sedang ia rasakan, sesuai pesan terakhir anaknya. Mungkin masakan rendang yang di maksud bukan untuk dirinya, melainkan untuk tamu yang akan datang melayatnya.

_____

Andini menceritakan sekilas tentang Riani kepada Rio pacarnya, seusai Rio menceritakan kejadian malam itu dengan ciri-ciri yang disebutkan sama persis dengan gambaran Riani.

Andini yang merupakan sahabat Riani, merasa iba saat kerap terdengar beberapa orang menceritakan arwahnya yang gentayangan.

Entah apa yang sebenarnya Riani cari.

Andini dan Rio mulai mencari tahu, mereka menuju rerumputan pinggir jalan bekas kecelakaan Riani. Bisa jadi ada bagian tubuhnya yang tertinggal seperti jari atau anggota tubuh lainnya.

"Gak ada apa-apa Din ...," ujar Rio sambil mengorek-ngorek rumput dengan kayu.

"Kita tanya warga sini aja yu, barangkali mereka tau sesuatu," ajak Andini.

Andini dan Rio menghampiri ibu-ibu yang sedang mengobrol di depan teras rumahnya sekitar tempat kecelakaan Riani. Saat mereka mulai bertanya tentang Riani, semuanya hanya diam dan saling menatap.

Mereka tidak berani bercerita banyak, karena setiap malam arwah Riani masih sering mengetuk-ngetuk rumah warga untuk meminta tolong. Tidak ada yang berani menjumpainya, sehingga Riani tidak sempat berbicara apa yang sebenarnya ia cari.

****

Andini meminta Rio untuk mengantarnya ke makam kembar seusai Rio pulang bekerja. Seperti biasa Rio pulang malam, tapi kali ini pukul 19.00 masih bisa terbilang sore. Rio segera menjemput Andini di rumahnya untuk menuju ke makam kembar. Sebuah gundukan tanah yang masih munjung Andini dekatinya.

"Ri, kamu kenapa? Apakah ada urusan yang belum selesai? Apa ada sesuatu yang masih kamu cari?" Andini berbicara di atas batu nisan yang yang bertuliskan nama sahabatnya.

Rio mreketik, melihat pacarannya melakukan hal seperti itu.

Suara lolongan anjing liar terdengar, angin kencang mulai menerpa dedaunan, pohon bambu di ujung makam terlihat bergoyang ke segala arah. Bunga kapas kering berjatuhan; menghujani makam yang berada di sekitarnya, daun pohon randu dan kamboja yang telah menguning terlihat berterbangan tertiup angin.

Andini berdiri menatap setiap sudut makam, berharap ia segera bertemu dengan sahabatnya. 

Rio berlari ke arah Andini dan memegangi lengannya dengan erat.

"Woi! Apaan si ni, jangan pegang-pegang napa ...," gerutunya sambil mengibaskan tangannya.

Andini yang berpenampilan santai dengan kemeja dan topi yang selalu di pakainya, menggambarkan karakternya yang pemberani dan berjiwa petualang, berbeda dengan Rio yang anak rumahan.

Andini menyoroti pohon bambu yang tengah bergoyang, ia perlahan mendekatinya, sementara Rio mengikutinya dibelakang. Terlihat sosok putih berada ditengah-tengah pohon bambu. Rio tak henti-hentinya melafalkan doa-doa.

"Ssst ... diam dulu, aku mau coba ke situ. Kamu di sini aja ya ...," pintanya ke Rio.

"Jangan tinggalin aku," Rio cemas sambil melihat sekelilingnya.

"Bentar ...,"

Andini melangkahkan kakinya mendekati rerimbunan pohon bambu yang bergoyang, berharap sosok putih itu Riani.

........

........

Keratak

Keratak

Kaki Andini mulai melangkah menginjak dedaunan bambu yang telah mengering berserakan di bawahnya.

Diarahkan senter ponsel ke tengah pohon bambu, terlihat wajah membusuk dengan darah yang berwarna gelap, tubuhnya terbungkus kain putih yang lusuh dengan noda tanah, matanya bolong terlihat beberapa belatung keluar dari lubang mata, di tambah bau yang menyengat membuat Andini merasa mual.

"Wlek ... wlek ... set!!! Pocong ... pocong ... lari Yo! Cepetan lari!" Andini berlari, sambil terus memegangi perutnya yang mual.

Walaupun Rio tak melihatnya, tapi ia yang trauma pernah melihat penampakan Riani membuatnya berlari dengan kekuatan penuh, menyalip Andini yang kini tertinggal jauh dibelakangnya.

Andini tercengang melihat pacarnya berlari layaknya sebuah kuda yang sedang berpacu.

Fiuh ....

Mereka akhirnya sampai di pintu makam, berjongkok, dengan nafas yang masih ngos-ngosan.

"Kamu si Din, ada-ada saja ngajakin aku kesini," gerutu Rio.

"Aku pengin ketemu Riani Yo, mau tau apa yang sebenarnya dia cari. Aku tuh niat mau bantuin dia." 

"Andini ...."

"Din ...."

"Eh, eh, sebentar deh Yo!" seru Andini sambil menepuk-nepuk pundak Rio yang masih berjongkok.

"Apaan!!!"

"Sebentar, sebentar, kita dengarin lagi baik-baik."

Mereka berdua mulai memasang telinganya masing-masing.

"Andini ...."

"Isterinya mas Al ...."

"Andini ceweku ni! Bukan istrinya Al!" sahut Rio yang juga mendengarnya.

"Nah!!! Tuh? Dengarkan? Ini baru Riani ...," gumamnya senang, Andini berdiri mencari keberadaan suara itu. 

"Eh Din kamu mau kemana! Kalau ternyata pocong yang tadi kamu liat gimana?"

"Cuma Riani yang selalu bilang kalau aku istrinya mas Al! Kamu taukan sinetron Ikatan Cinta?"

"Iya tau, tapikan kamu pacar aku ...."

"Udah-udah gak usah cemburu! Ayo kita cari Riani."

"Riani ... Riani!!!" teriak mereka kompak.

Mereka kembali mencari keberadaan Riani ke dalam area makam.

"Itu tuh di pohon randu kayaknya ...."

Rio menunjuk ke arah pohon randu yang di bawahnya terdapat bayangan seseorang wanita.

Andini segera mendekat ke arah pohon randu.

Beruntungnya Andini, Riani yang ia lihatnya hanya berwajah pucat dengan bibir yang yang membiru.

"Riani! Kamu apa kabar?"

"Hiks,hiks,hiks ...." Riani hanya menangis.

"Riani! Kamu curang! Kenapa waktu itu kamu menampakkan wajah seram saat bonceng aku?" ucap Rio dengan nada kesal.

"Mana kutahu kamu pacarnya Andini? Aku juga baru tau sekarang kalau Andini ternyata udah punya pacar. Hiks,hiks,hiks ...," Riani menjawabnya.

"Udah Yo, gak usah dibahas yang udah lewat ...," Andini menengahi.

Rio dengan kesal menatap ke arah Andini.

Selama ini kamu anggap aku apa? Sampai Riani aja gak tau kalau aku pacar kamu!

"Din ... waktu aku kecelakaan pas ulang tahun ibuku. Aku udah pesen kue di Toko Kanaya Bakery, sama kalung di Toko Mas Jaya Abadi, semua udah lunas aku bayar Din. Tolong nanti kamu ambilkan ya; notanya aku selipkan di meja kerjaku, nanti kamu bilang aja ke temenku, barangkali notanya masih ada. Hiks,hiks,hiks ...," pintanya lirih sambil terus menangis, membayangkan ibunya yang di tinggalkan tepat di hari ulang tahunnya.

"Kenapa kamu meneror warga sekitar sini Ri?"

"Cincin tunanganku ada yang ambil Din, waktu aku lagi sekarat."

"Astaghfirullah ... tega-teganya, masih ada juga orang yang sempet ngambil cincin!" pekik Andini.

"Aku merasa ada orang yang dengan sengaja menariknya, saat cincinku hampir lepas. Waktu mas Herman melayat, ia sudah tidak melihat cincin pemberiannya lagi. Mas Herman mengira ... aku telah menjualnya, karena aku sudah tak mencintainya. Hiks,hiks,hiks ...."

"Sudah-sudah Ri, kamu tenang ya ... nanti besok aku ke kantor kamu, sama ke rumah tunangan kamu buat ngejelasin semuanya ...."

"Makasih ya Din, kamu benar-benar sahabatku ... dengan beraninya kamu main ke rumahku yang hanya sepetak gundukan tanah, malam-malam pula, hiks ...." 

Andini tak kuasa menahan airmatanya.

Rio ternyata sudah menangis sedari tadi; saat Andini menoleh ke arahnya, Rio terlihat sedang menyeka air matanya.

"Makasih ya Rio, udah nganterin Andini ke sini. Andini benar-benar wanita langka. Gak ada wanita yang bisa sehebat dia. Jaga dia baik-baik ya ... aku pamit."

Andini segera memeluknya, bertepatan dengan bayangan Riani yang telah menghilang di hadapannya.

"Din ... Din ...." Rio menepuk bahunya.

Andini tersadar, saat ini yang dipelukannya hanya sebuah pohon randu.

"Eh buset! Kenpa Riani jadi gede gini!" celetuknya sambil menepuk batang pohon randu di depannya.

"Weh! Tadi Riani bilang pamit. Kamu main peluk aja," terang Rio.

"Hihihihi ...."

Terdengar suara wanita tertawa cekikikan di atas pohon randu.

"Kamu mau lihat gak Yo?" ledek Andini.

"Udah gak usah! Paling juga kuntilanak. Ayo pulang udah malam ... kita malah di kuburan," cetus Rio.

Segera mereka meninggalkan area pemakaman tanpa menoleh ke atas pohon.

"Hihihihi"

"Hihihihi"

"Hihihihi"

Suara itu terus mengikutinya.

"Caper tuh kuntilanaknya ...," kembali Rio berucap saat mulai menaiki motornya.

Andini hanya tersenyum.

Mereka berdua segera menaiki motornya, meninggalkan jalan desa yang diapit makam kembar.

            *****

Sepulang kerja, Rio kembali menjemput Andini hendak melaksanakan tugas yang sudah di embannya. Sebuah pesan-pesan dari Riani.

Langkah pertama mereka menuju ke rumah Herman; tunangan Riani, untuk menjelaskan mengapa cincin tidak terpakai di jari manisnya.

Kedua mereka ke kantor Riani, mencari nota yang ternyata masih ada diselipan meja yang terlapisi kaca di atasnya.

Ketiga mereka ke toko emas.

Keempat mereka ke toko kue. Digantinya sebuah kue ulang tahun dengan kue yang baru, karena kue yang sebelumnya sudah tidak layak konsumsi. Sudah hampir satu minggu tak diambilnya, selepas kepergian Riani.

Kemudian, mereka segera menuju ke rumah Riani yang berada di belakang kantor balai desa.

Tok tok tok

"Assalamualaikum ...."

Krek

"Walikumslam ... eh, mba Andini, Mas ... silahkan masuk ...."

Andini dan Rio segera masuk.

Mereka duduk di lantai yang masih beralaskan karpet berwarna hijau.

Wanita yang kini di depannya, masih terlihat raut kesedihan yang terpancar dari wajahnya.

"Nanti malam acara tahlilan ke 7 harinya Riani, nanti pada datang ya ...," harapnya disertai dengan senyuman kecil di sudut bibirnya.

"Iya Bu Insya Allah, nanti kami hadir."

Ibu Riani membukakan snack toples yang berjejer di atas karpet dan mengambilkannya air mineral cup yang telah disediakannya.

"Ayo Din, Mas, silahkan di nikmati dulu ...."

Andini dan Rio saling bersenggolan lengan, untuk mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan mereka.

"Bu maaf sebelumnya, ini ada titipan dari Riani," Andini mulai membuka suara.

"Titipan?" Ibu Riani bingung sambil mengernyitkan dahi.

"Iya Bu, Ibu selamat ulang tahun ya ... semoga Ibu panjang umur, sehat selalu, selalu Allah kuatkan, dan Ibu sekeluarga selalu di berikan keberkahan."

Andini berujar sambil membuka box kue ulang tahun yang masih berada di tangannya. Sementara Rio menyalakan lilin yang masih bertengger di atas kue dengan sebuah korek yang dibawanya.

Terlihat ibu Riani menitikkan air matanya.

"Selamat ulang tahun ... selamat ulang tahun ...."

Andini dan Rio menyanyikan sebuah lagu ucapan selamat ulang tahun, sambil membawa kue ke arahnya.

Bukan waktu yang tepat sebenarnya, untuk melakukan semua ini. Tapi ini permintaan Riani yang sudah diamanatkan kepada Andini dan Rio untuk merayakan ulang tahun ibunya.

"Ini Riani yang memintanya Bu," ucap Andini yang kini telah berpindah di samping ibu Riani. Ayah dan Adik Riani ikut berkumpul di ruang tamu, melihat secuplik perayaan ulang tahun ibunya.

Dengan penuh kekhusyukan ibu Riani mengangkat kedua tangannya dan terdengar ia berdoa bukan untuk dirinya, melainkan doa untuk anaknya yang baru saja pergi tepat di hari ulang tahunnya.

"Riani, kamu adalah kado terindah kami. Kamu hadir bertepatan di ulang tahun ibu, setelah penantian kami selama 6 tahun. Tapi kini Allah telah mengambilmu kembali bertepatan juga saat ulang tahun ibu, 20 tahun kami menjagamu. Belum sempat kami melihatmu bahagia di hari pernikahan yang sebentar lagi akan terlaksana. Semoga kamu bahagia di sana, Allah ampuni segala kesalahanmu Nak, hiks ...." 

"Aamiin ...," suara kami kompak, sambil menyeka air mata secara bersamaan saat ibu Riani mulai meniup lilin.

Sebuah kotak perhiasan kami berikan kepada ayah Riani, untuk memberikannya ke istrinya.

Terlihat sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati saat ayah Riani membukanya. Ayah dan Ibu Riani menangis melihatnya. Anaknya tahu apa yang sedang ibunya inginkan, tanpa harus memintanya.

"Bu, Riani sepertinya mendengar keinginan ibu saat kita bicara beberapa waktu yang lalu," ucap ayah Riani.

Ibu Riani mengangguk.

Sebelumnya, ibu Riani sedang bercanda dengan suaminya saat berada di dapur, meminta kado sebuah perhiasan kalung di hari ulang tahunnya.

Tetapi, Ayah Riani tidak bisa menjanjikannya; karena gaji bulanannya selama ini selalu habis untuk keperluan keluarga.

Ibu Riani pun memakluminya, karena ia memang tahu keadaan ekonomi keluarga mereka.

Riani yang tak sengaja mendengar percakapan orang tuanya saat mengambil nasi di dapur, berinisiatif untuk membelikan sebuah kalung untuk ibunya dengan uang tabungannya sendiri.

Ayah Riani kemudian memakaikan kalung pemberian anak sulungnya di leher isterinya.

Andini dan Rio dengan haru melihat ke arah mereka.

Tak hentinya keluarga Riani berterimakasih kepada mereka berdua.

Semenjak pesan-pesan Riani telah tersampaikan, rumor tentang arwah gentayangannya kini menghilang secara perlahan. Semua pedagang kembali berjualan di pinggir jalan, warga mulai terlihat berseliweran di malam hari tanpa takut lagi dengan suara ketukan pintu dan suara permintaan tolong yang kerap di dengarnya hampir setiap malam.



















Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)