Masukan nama pengguna
Sebuah speed penumpang sebagai alat penyebrangan antar pulau berhenti disalah satu pelabuhan kampung di daerah Kalimantan Utara.
Terlihat beberapa lelaki turun dari speed dan berjalan kaki menuju rumahnya. Tas ransel besar berada dipunggungnya. Kedua tangannya tak kosong, membawa barang-barang yang telah di packingnya.
"Adi oh Adi, sudah habiskah kontraknya? kenapa kita pulang?" tanya salah satu tetangganya dengan logat khas Kalimantan Utara ketika melihat beberapa dari mereka pulang.
"Habis sudah, kami pulang semua Pak," jawab Adi yang sudah berada di depan rumahnya.
"Owh ... mau ikut kami kerjakah? Di Perkebunan Sawit pribadi milik Pak Hasan. Lagi butuh orang banyak buat panen, secepatnya."
"Buat kapan kah Pak?" Adi bertanya kembali memastikan.
"Satu mingguan lagi, kami kesana. Bawa juga teman-teman yang lain, kami tunggu yah."
"Alhamdulillah, makasih Pak Anwar informasinya. Nanti kami berkabar kembali."
Adi tersenyum, kepulangannya disambut dengan pekerjaan yang baru.
Adi sangat bersyukur, dirinya dan beberapa temannya hanya tamatan SMP, jadi mereka hanya bisa bekerja sebagai pekerja harian seadanya karena pendidikan di kampungnya masih minim. Kalaupun harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka harus menuju ke pulau sebrang untuk tinggal disana sementara waktu. Bagi warga yang mampu, semua itu bukanlah hal yang sulit. Berbeda dengan Adi dan teman-teman seperjuangannya. Dulu seusai pulang sekolah, mereka membantu orang tuanya mencari ikan ataupun berkebun yang merupakan mata pencahariannya.
Sembari menunggu pekerjaan barunya, Adi dan teman-temannya ikut bekerja sebagai nelayan menangkap udang atau ikan dilaut. Raut wajahnya yang tampan dan manis masih melekat pada dirinya, walau panas terik membuat kulit putihnya kian menghitam.
Seminggu sudah berlalu, Adi dan teman-temannya bersama Pak Anwar manaiki truk berwarna merah yang akan menuju ke Perkebunan Sawit milik Pak Hasan yang berjarak sekitar tiga jam dari kampungnya.
Jam 5 pagi, mereka telah berkumpul di depan rumah Pak Anwar. Mereka semua berjumlah dua belas orang, termasuk Adi. Beberapa orang diantaranya sudah berkeluarga.
Mess karyawan di Perkebunan Sawit telah tersedia, makan dan minum juga telah disediakan. Hanya beberapa baju yang mereka bawa. Tak lupa sepatu boots karet safety dan helm proyek mereka kenakan saat menaiki truk.
Sesampainya di Perkebunan Sawit, mereka di data dan di interview sebagai bentuk formalitas. Setelah semuanya selesai, mereka diminta berkumpul berbaris rapi. Beberapa arahan untuk pekerja baru disampaikan, masalah gaji mereka yang dihitung harian, mess, dan juga masalah konsumsi dijelaskannya secara detail.
Beberapa warga sekitar juga terlihat ikut bekerja di kebun sawit Pak Hasan.
Pak Anwar selaku mandor diminta Atasannya untuk membagi mereka menjadi beberapa Tim. Adi, Oki, Hadi, Andre, Candra, Arup, bergabung dalam satu Tim.
Pak Anwar sengaja membagi setengah dari mereka yang sudah berkeluarga dan yang setengahnya lagi masih sendiri. Ia berharap agar diantara mereka bisa saling menasihati dan saling mensupport saat bekerja bersama.
****
Hari pertama mereka bekerja yaitu memanen kelapa sawit secara bergantian, beberapa dari mereka memindahkan kelapa sawit ke dalam truk. Semua berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya. Pak Anwar juga ikut bekerkeliling mengawasi para pekerjanya dan ikut serta membantunya, saat melihat ada yang membutuhkannya.
Pak Anwar yang lulusan sarjana, membuatnya diterima di posisi yang cukup lumayan. Sudah lima tahun Pak Anwar bekerja di perusahaan Pak Hasan yang tidak hanya berada di wilayah tersebut. Beberapa kebun sawitnya juga ada di pulau seberang, walau tidak begitu besar setidaknya cukup untuk menjadikan mata pencaharian warga sekitar ataupun tetangga kampung yang membutuhkan pekerjaan.
Disaat makan siang dibagikan, mereka berkumpul ditengah kebun. Terdengar begitu ramai obrolan mereka. Bercerita tentang pekerjaan sebelum dan sebelumnya, suka duka menjadi pekerja harian yang bisa diputus kontrak kapan saja, belum juga gaji yang terkadang tidak sesuai dengan perjanjian, hampir dari mereka pernah merasakan pahit manisnya sebagai pekerja harian.
Tak terasa sebulan berlalu, gaji mereka dibayarkan setiap tanggal satu dan jumlah yang mereka terima sesuai dengan jumlah kehadiran mereka selama satu bulan.
Satu persatu dari mereka dipanggil ke dalam kantor untuk menerima bayaran.
"Adi Irham Maulana ...,"suara seorang wanita dengan lembut menyebut namanya.
Saatnya giliran Adi memasuki ruangan kantor, beberapa teman-temannya masih menunggu gilirannya masing-masing di teras kantor.
Adi berhenti sejenak saat memasuki ruangan kantor yang berukuran tidak seberapa. Ia terpana dengan seorang gadis yang akan membagikan amplop bayarnya. Dibayangkannya, seakan gadis itu melambai-lambai kearahnya dengan senyuman yang begitu manis.
"Adi!"
Kembali suara itu terdengar sedikit keras.
Adi terperanjat, terbuyarkan semua lamunannya.
"Iya mba," seru Adi seraya menghampiri wanita itu.
"Kenapa kamu berdiri saja disitu? Sini duduk, kamu baru ya?" tanyanya.
"Iya mba, saya baru disini ...," jawab Adi tersipu.
"Owh, yang di bawa Pak Anwar yah. Kenalin saya Tiara." Tiara memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya.
Adi tercengang, segera dia mengusap telapak tangannya ke baju yang ia kenakan sebelum meraih tangan Tiara.
"Hahaha ...," terdengar renyah tawa Tiara melihat kelakuan Adi.
"Hehe ... maaf tangan saya kotor mba. Saya Adi mba, dari kampung sebelah."
"Emmmm oke Adi, salam kenal ya ... semoga kamu betah bekerja disini. Ini uang gajian kamu. Kamu berangkat full ya, 30 hari." Tiara menjelaskan.
"Iya mba, makasih mba Tiara," ucap Adi disertai senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya.
Tiara tak bisa menahan tawanya melihat tingkah Adi yang lucu baginya.
"Iya, iya, udah sana kamu kerja lagi."
"Baik mba ... permisi,"
Tiara menganggukan kepalanya disertai senyuman manis yang selalu melekat di wajahnya.
Adi kembali bekerja setelah menerima amplop bayarannya. Wajahnya begitu sumringah sampai teman satu timnya terheran.
Ia juga tiba-tiba menyanyikan lagu yang berjudul 'Tiara' sembari mengangkut kelapa sawit ke atas truk.
"Jika kau bertemu aku begini
Berlumpur tubuh dan keringat membasah bumi
Di penjara, terkurung, terhukum
Hanya bertemankan sepi
Bisakah kau menghargai
Cintaku yang suci ini?"
Temanya tertawa mendengar suara Adi yang bagitu fals. Beberapa teman lainnya ikut bernyanyi bersama dan ada juga yang meledeknya.
"Adi lagi jatuh cinta nih kayaknya, tiba-tiba nyanyi dia! ndak ada angin ndak ada hujan. Biasanya juga marah-marah kalau kerjaan gak selasai-selasai. Haha," Ledek salah seorang temannya. Adi hanya tertawa dan mengabaikannya, ia tetap terus bernyanyi bersama teman yang lain.
"Ramainya ... lagi pada seneng nih abis nerima amplop bayaran. Iya kah?" Cletuk Pak Anwar ikut senang, saat menghampiri mereka.
"Ada yang lagi jatuh cinta Pak kayanya. Itu tuh ...," seru temannya sambil menunjuk Adi.
Pak Anwar segera menoleh ke arah Adi yang berada di belakang truk.
"Adi sudah kau tengok kah anak Pak Hasan?"
"Tiara Pak?" tanya Adi penasaran.
"Iya betul, itu dia anak Pak Hasan. Cantiknya ...." Pak Anwar menjawabi sambil memuji kecantikan Tiara yang merupakan anak pemilik kebun sawit.
"Waduh, anak pemilik kebun sawit? Berat, berat ...," timpal teman Adi yang lain.
"Cari yang lain lah kau Adi, bagaikan pungguk merindukan bulan takutnya," celetuk temannya yang lain.
"Tapi buat Bapak pribadi nih Di, kalau kamu jatuh cinta sama seseorang. Perjuangkan!"
Pak Anwar menyemangati Adi.
Adi terdiam sejenak saat mengetahui Tiara yang baru saja ia temui merupakan anak Pak Hasan.
Benar apa kata mereka si, tapi apa salahnya di perjuangkan seperti kata Pak Anwar.
Pak Anwar menepuk pundak Adi dan membisikan kata-kata ditelinganya.
"Semangat Di, jodoh ditangan Tuhan. Ayo kerja kembali."
Adi tersenyum mengangguk ke arah Pak.Anwar. Pak Anwar kembali berjalan mengawasi tim yang lain.
Semenjak ia bertemu dengan Tiara, ia seperti menjadi orang lain. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hari - hari yang ia lewati sepertinya terasa lebih cepat, pekerjaan yang berat terasa ringan dan kini ia menjadi pribadi yang ceria. Disela kerjanya, ia masih tetap menyanyikan lagu favoritnya 'Tiara'. Hingga suatu ketika, Tiara yang sedang berjalan bersama Pak Anwar melihat Adi yang sedang bernyanyi.
"Hahaha ...." Terdengar tawa seorang wanita yang sepertinya ia kenal.
Adi segera membalikkan badan, tepat di belakangnya ada Tiara yang sedang tertawa sembari menutup mulutnya dan juga Pak Anwar yang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Lanjut lagi kau nyanyi, suka-suka kaulah nadanya," seru Pak Anwar.
"Ayo mas Adi, lanjut lagi nyanyinya. Kami masih disini kok. Masih setia mendengarkan ...," timpal Tiara.
"Pak, Mba, hehe ...." Adi menyapanya, ia segera menganggukkan kepalanya sebagai tanda ucapan salam.
Tiara dan Pak Anwar membalasnya. Teman-teman Adi yang lain ikut tertawa melihat Adi gelagapan saat kepergok Tiara dirinya sedang bernyanyi.
"Begini Di, kami ditugaskan ke kebun sawit di pulau sebrang. Jadi kemungkinan nanti ada orang lain yang menggantikan. Besok kami berangkat. Kamu kan ketua Tim disini, nanti kamu sampaikan juga ke teman - teman Tim mu ya? kerja aja seperti biasa. Jangan hanya karena ganti orang jadi malas kerja. Oke?"
Tiara ikut mendengarkan apa yang diucapkan Pak.Anwar.
"Baik Pak," jawab Adi singkat.
Air mata Adi rasanya ingin segera jatuh. Saat mengetahui Pak Anwar dan Tiara akan dipindahkan ke pulau sebrang. Baru kedua kalinya ia bertemu dengan Tiara, tapi wajah cantik dan senyum manisnya akan selalu tertanam di dalam hari-harinya.
Adi menatap wajah Tiara lekat - lekat yang akan disimpannya entah sampai kapan ia akan dipertemukan lagi, begitu pun dengan Tiara dia memandangi wajah Adi yang terlihat begitu lelah.
Tiara mengulurkan tangan untuk kedua kalinya. Adi segera menerimanya. Digenggamnya erat tangan tiara yang begitu lembut, berbeda dengan tangan Adi yang terasa kasar. Seperti kopi dan susu yang bertemu saat tangan mereka bersatu.
"Kami pamit ya," ucap Tiara.
"Ayo Di, kami duluan yah. Baik-baik kalian disini ...," pungkas Pak Anwar.
Tiara dan Pak Anwar juga mendatangi pekerja lainnya untuk berpamitan. Tiara dan Pak Anwar kian jauh dari hadapannya. Adi hanya bisa menatap bayangannya dari jauh. Hingga Tiara dan Pak Anwar tak terlihat lagi dari pantauan matanya.
"Udah! Kalau jodoh gak akan kemana." Arup menepuk-nepuk pundak Adi.
Adi hanya tersenyum getir, gadis yang baru ia temui harus pergi meninggalkannya.
Semenjak Pak Anwar dan Tiara dipindahkan, beberapa hari masih belum ada penggantinya. Hanya Atasan kantor induk saja yang terkadang memonitornya sesaat. Masing-masing pekerjaan, sementara dipegang oleh masing-masing ketua Tim.
Saat Mereka sedang bekerja, seorang lelaki tampan, menggunakan pakain formal khas anak kota menghampiri para pekerja yang sedang memanen buah sawit.
"Pagi, Pak ... saya Adam pengganti Pak Anwar."
Adi mendengarnya dari jauh, lelaki itu sedang mengobrol dengan pekerja lain. Mungkin juga sebentar lagi dia akan menuju ke arahnya.
Tak lama sampai juga Adam dihadapannya.
"Pagi Pak, perkenalkan saya Adam. Saya pengganti Pak Anwar. Semoga untuk kedepannya kita bisa saling bekerjasama ya," sapanya ramah.
Adi beserta teman timnya segera memperkenalkan diri ke Adam. Umur Adam layaknya seumuran dengan Adi. Tapi untuk penampilan, Adam jauh lebih unggul dari dirinya. Hati Adi semakin kacau, takut jikalau Tiara ternyata pacar Adam. Hari-harinya menjadi semakin tak tenang, terkadang ia berkabar lewat ponsel dengan Pak Anwar yang merupakan tetangganya hanya sekedar mencari tau tentang keadaan Tiara.
Adam cukup baik, dia sama seperti Pak Anwar yang tak segan untuk membantu para pekerja yang sedang membutuhkan bantuannya. Dari jauh Adi melihat Adam membuatnya rendah diri.
Sesekali ia bercerita ke Arup yang sudah berumah tangga, Arup juga tak sungkan untuk menasihatinya dan terus menyemangatinya.
"Mas Adam baik banget ya, gaji kita di naikan," celetuk Adi.
"Iya, Padahal kemarin waktu Pak Anwar minta kenaikan gaji gak di Acc. Giliran Adam yang minta Alhamdulillah," Arup menimpalinya.
"Apa iya Mas Adam calon suaminya Tiara? Makanya di Acc permintaannya?" tanya Adi penasaran.
"Tak tau lah aku, nanti kami cari tahu bersama ya, siapa sebenernya Adam," jawab Arup sambil ikut berpikir.
****
Beberapa bulan kemudian Tiara kembali seorang diri, setelah dipindahkan tugaskan bersama Pak Anwar.
Adi masih bekerja seperti biasanya. Saat ia sedang mengunduh kelapa sawit, suara lembut itu terdengar kembali.
"Mas Adi ...."
Adi langsung menoleh ke arah suara itu, dengan wajah berseri dan mata yang berbinar-binar ia temukan kembali sebuah keindahan yang sempat hilang beberapa waktu.
"Mba Tiara? Benarkah?" Adi bertanya seakan tak percaya Tiara telah kembali.
Tiara tertawa kecil mendengar pertanyaan Adi.
"Iya mas Adi, siapa lagi kalau bukan saya? Makhluk bunian? Hehe," ucap Tiara meledek.
Tiara menemani Adi yang sedang mengunduh kelapa sawit. Adam yang sedang mengambil cuti, membuat Tiara ikut serta memonitoring perkebunan kelapa sawit orang tuanya. Semakin hari kedekatan Adi dan Tiara semakin terlihat. Tiara terkadang ikut serta makan bersama para pekerja sawit lainnya disaat jam makan siang sambil bercerita tentang dirinya. Adi yang tak pernah berhenti memandanginya, selalu berharap agar Tiara selalu ada bersamanya.
Hingga suatu ketika, kabar mengejutkan itu terdengar di telinga Adi. Kabar Tiara yang ternyata akan menikah dengan Adam. Ternyata benar apa yang Adi sangka selama ini. Adam pengganti sementara Pak Anwar merupakan calon suami dari Tiara. Adi yang telah menaruh harapan lebih ke Tiara, membuatnya untuk memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia pulang ke kampung halamannya seorang diri disaat pekerja lainnya sudah mulai berangkat bekerja.
"Kamu yakin di mau pulang?" tanya Candra yang merupakan teman dekatnya.
Adi hanya menganggukan kepalanya. Tak lupa ia juga berpamitan dengan teman lainnya. Mereka semua hanya bisa menyemangati Adi yang sedang patah hati.
"Semangat Di, kamu tampan oi ... manis pula! Masih banyak wanita disana yang menunggumu Di," ujar teman-temannya menguatkan.
Adi hanya membalasnya dengan senyuman kecil saat temannya berusaha untuk menghibur hatinya. Adi memilih untuk pulang menaiki speed, ia berjalan kaki seorang diri ke arah pelabuhan kampung melewati perkebunan sawit.
Pagi itu juga, Tiara mencari keberadaan Adi di dalam perkebunan sawitnya. Satu persatu tempat biasa Adi bekerja di hampirinya.
"Pak Oki, Adi kemana?" tanya Tiara saat ia bertemu Pak Oki yang masih satu Tim dengan Adi.
"Adi keluar mba, barusan dia jalan kaki ke arah pelabuhan. Katanya mau pulang naik speed."
Tiara yang mengetahui Adi akan pulang ke kampungnya, ia segera mengejarnya melewati pohon sawit yang begitu panjang. Matanya awas melihat ke kanan kiri mencari keberadaan Adi yang selama ini menemani harinya.
Saat hendak sampai di ujung perkebunan sawit, Tiara akhirnya berhasil menemukan Adi.
"Mas Adi ..., " seru Tiara terengah-engah setelah berlari kesana-kemari mencari Adi.
Ia segera menghampiri Adi.
"Mas Adi mau kemana?" timpal Tiara kembali.
"Pulang ...," jawabnya singkat matanya berkaca.
"Kenapa pulang Mas?"
"Sulit rasanya melihat seseorang wanita yang aku cintai akan menikah bersama lelaki lain," Adi menjelaskan.
"Tiara sayang mas Adi." Tiara berucap lirih, air mata kini menitik di pipinya.
Adi tercengang dengan ucapan Tiara.
Adi ikut meneteskan air mata, saat ia mengetahui Tiara juga menyayanginya.
Tiara segera memeluknya. Adi membalas pelukannya.
Dua insan yang tidak ditakdirkan bersama. Terkadang mereka hanya dipertemukan tapi tidak untuk disatukan.
"Tiara sudah tau dari Pak Anwar tentang mas Adi, tapi perjodohan ini sudah lama mas, sebelum Tiara ketemu mas Adi. Berat rasanya Tiara harus kehilangan mas Adi. Entah kapan kita bisa bertemu lagi mas ..., hiks,hiks," Tiara menangis di pelukan Adi.
"Semoga mba Tiara dan mas Adam bahagia selalu ya," ucap Adi sambil mengelus rambut Tiara untuk pertama kalinya.
Adi melepaskan pelukan Tiara, kedua tangan Tiara digenggamnya. Sebelum akhirnya ia melepaskannya secara perlahan.
Tiara melihat Adi berjalan semakin jauh meninggalkan perkebunan kelapa sawit. Hingga ia tak terlihat lagi. Tiara hanya bisa berdiri mematung menangis melihat bayangan Adi yang semakin menghilang dari pandangan matanya.