Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,693
Pesugihan
Misteri

Rifki baru saja pulang dari tempat kerjanya, bertepatan dengan adzan maghrib yang sedang berkumandang. Suasana malam mulai datang, bertukar dengan cahaya jingga yang telah siap menenggelamkan dirinya.

Hujan gerimis perlahan semakin deras membasahi tubuhnya yang tertutup oleh sebuah jaket berwarna hitam. Jalanan sekitar persawahan yang dilaluinya berlubang, membuatnya kerap berhati-hati. Dari arah berlawanan seorang wanita cantik dengan pakaian khas gadis desa, terlihat basah kuyup berjalan seorang diri dengan mendekap badannya sendiri. Suasana yang mulai gelap membuat Rifki tidak terlalu memperhatikannya, hanya sekilas saja ia melihatnya.

Selang beberapa meter, Rifki kembali melihat wanita yang sama, membuat ia mulai bertanya-tanya. Rifki mulai mengamatinya sekilas. Selang beberapa meter, Rifki kembali melihat wanita yang sama.

Astaga!

Rifki terkejut, wanita yang sadari tadi ia lihatnya sedang berdiri mematung, mendekap badannya sendiri di pinggiran sawah dengan tatapan nanar seolah meminta pertolongan.

Loh bukannya itu mba-mba yang lewat tadi???

Rifki memutuskan untuk menghentikan laju motornya, perlahan ia mencoba untuk mendekatinya.

"Mba, Mba mau kemana?"

Matanya seketika menatap ke arah Rifki, ia mulai menyimpulkan senyum manisnya tanpa bersuara, perlahan jari telunjuknya bergerak menunjuk ke suatu arah.

Rifki mengangguk mengerti.

"Ayo naik mba, mari aku antar pulang ...."

Wanita itu kembali tersenyum dan mulai menaiki motor.

Tak terasa hujan mulai mereda, hanya percikan gerimis yang kini menjatuhinya. Sepanjang perjalanan keduanya membisu dalam kegelapan dan kesunyian. Area persawahan yang di sampingnya terdapat anak sungai, telah terlewati. Dari jauh ternampak sebuah rumah mewah dengan latar yang begitu luas tersorot lampu motor. Wanita itu segera menepuk-nepuk pundak Rifki tepat di depan rumah mewah. Rifki segera menghentikan motornya.

Wanita itu mulai turun, dan menundukkan kepalanya sebagai bentuk ucapan terima kasih. Rifki ikut serta membalasnya.

Jgeeer!

Hujan kembali deras disertai angin kencang, bentakkan petir kembali terdengar saling bersambut.

Jgeeer!

Wanita itu mengajaknya masuk ke dalam rumahnya dengan bahasa isyarat.

Rifki yang mulai kedinginan, ikut serta mengikutinya.

Tok tok tok ....

Krek ....

Seorang wanita paruh baya dengan paras sangat cantik, membukakan pintu untuknya.

"Ayu, darimana saja kamu?" tanyanya.

Jadi Ayu namanya?

Ayu masih saja terdiam, hanya saja matanya seakan mengisyaratkan sesuatu.

Mata wanita paruh baya itu, mulai tertuju pada Rifki.

"Kamu?"

"Saya Rifki tante, tadi Rifki lihat Ayu kehujanan. Ayu jalan sendirian di dekat sawah ...."

"Mari masuk ...," ajaknya ramah.

Rifki mengekor di belakangnya, matanya tak berkedip melihat kemegahan rumah yang ia masukinya.

Layaknya sebuah istana, kursi yang berada di ruang tamu bernuansa emas dengan ukiran-ukiran yang indah.

Rifki duduk disalah satu kursi, sedangkan Ayu masuk ke dalam kamarnya hendak berganti baju.

Terlihat para dayang-dayang mulai menuruni tangga, dengan pakaian adat layaknya sebuah kerajaan menyambut kedatangan Rifki dengan membawakan baki yang berisi berbagai makanan, buah, dan bunga segar yang tersusun rapi. Terlihat juga sebuah baju pengantin lelaki, dibawa salah satu dayangnya.

Seorang lelaki bertubuh gempal meminta Rifki untuk segera mengganti pakaiannya dengan pakaian pengantin.

"Maaf, ini maksudnya apa yah Pak?"

"Jangan membantah! Pakai pakaian itu sekarang."

Suaranya terdengar menggelegar, membuat Rifki merasa takut.

Dengan terpaksa Rifki menggunakan pakaian pengantin yang telah diberikan oleh salah seorang dayang.

Saat Rifki telah selesai mengenakannya, Ayu terlihat keluar dari dalam kamar menggunakan pakaian pengantin yang senada dengannya. Wajahnya semakin cantik dengan sebuah mahkota kecil berada di atas kepalanya membuat Rifki terpana.

"Mas ...." Dengan nada halus Ayu memanggilnya seraya mengulurkan salah satu tangannya.

Rifki tersenyum menyambut uluran tangan Ayu yang sangat putih dan bercahaya. Ayu tersenyum, saat Rifki tak segan untuk mencium tangannya.

Suara gamelan mulai terdengar, beberapa sinden mulai bernyanyi merdu, orang-orang mulai berdatangan berkumpul di latar yang sudah berhiaskan acara pesta pengantin dalam sekejap. Ayu menggandeng Rifki menaiki singgasananya. Mereka duduk bersanding di kursi pengantin dengan penuh kebahagiaan.

Jiwa Rifki telah terperdaya, ia mulai tak sadar dengan apa yang telah terjadi dengan dirinya. Para tamu mulai menikmati hidangan yang telah disuguhkan. Malam semakin larut, Rifki mulai merasakan keanehan. Pandangan Rifki tak menentu, semua tamu undangan yang ia lihatnya berubah-rubah menjadi menakutkan dengan bentuk yang beraneka ragam, seperti sosok-sosok siluman yang biasa di ceritakan warga sekitar sungai. Rifki mengucek matanya, yang dilihatnya kini telah berubah kembali layaknya manusia pada umumnya. Ayu terlihat masih seperti biasa tersenyum manis kepada para tamu undangan.

Suara kendang semakin kencang dan cepat, suara nyanyian sinden terdengar semakin nyaring, semakin malam suasana semakin mencekam, para tamu undangan yang Rifki lihatnya kembali berubah-rubah.

Hawa dingin mulai bercampur kengerian membuatnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Ayu ... Ayu ... ini kita sebenarnya dimana ya?"

Ayu perlahan menoleh ke arahanya, separuh mukanya bersisik, bola matanya berubah menjadi hitam menyala, gigi taringnya terlihat panjang dan tajam diiringi senyuman yang menyeringai.

Rifki tertegun, melihat para tamu undangan semuanya telah kembali berubah menjadi sosok-sosok yang menakutkan. Ibu Ayu yang dari tadi duduk di dekat seorang penabuh kendang, telah berubah menjadi sesosok ular hitam yang sangat besar yang perlahan mulai mendekat ke arah Rifki.

Tubuh Rifki semakin bergetar, mulutnya mulai membisu. Sebisa mungkin ia berucap.

"Yu, to-to-long a-ku Yu ...," ucapnya terbata.

Ayu hanya tersenyum dengan posisi masih terduduk di sampingnya.

"Enggak, enggak mungkin, aku pasti sedang bermimpi!!!" monolognya.

Rifki menepuk-nepuk pipinya sendiri, ia segera berlari menuruni singgasana dengan tergopoh untuk menghindari ular hitam yang terus mencoba menerkamnya. Rifki berlari, menuju arah gerbang.

Gerbang rumah yang terbuka lebar, tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. 

Brak!

"Tolong!!! Tolong!!!" Rifki menjerit ketakutan, tangannya berusaha mengguncang-guncangkan pagar yang telah tertutup, wajahnya memucat di iringi tangisannya.

Ular hitam yang mengejarnya semakin mendekat, lidahnya kini menjulur tepat ke salah satu pipi Rifki.

"Ampun ... ampun ...." Rifki memejamkan matanya, mulutnya meracau meminta pengampunan.

Zlep!!!

"Aaaakkk!!!"

Dua taring ular hitam itu, telah menancap tepat di leher Rifki. 

Pandangan Rifki mulai kabur, bayangan keluarganya kini menari-nari di pikirannya, perlahan semuanya berubah menjadi gelap.

Suara pesta semakin ramai, mereka tertawa melihat seorang anak manusia kini tak berdaya.

*****

Pagi telah tiba, beberapa orang yang hendak pergi ke sawah terlihat kebingungan melihat sebuah motor lengkap dengan helm dan tas terparkir di tengah jembatan tua yang tidak seorang pun berani melewati saat senja menjelang. Terlihat juga sepatu yang berada di bibir jembatan.

"Motor siapa ini?" seru seorang warga.

Beberapa orang menggelengkan kepalanya, matanya berpencar ke sekitar sungai. Awalnya mereka mengira ada seseorang yang telah menceburkan diri ke dalam sungai.

Tak lama, terlihat seorang lelaki berjalan kebingungan di antara semak ilalang yang berada di bawah sungai.

"Eh, itu ada anak laki siapa tuh? Ayo kita samperin."

Warga mulai menuruni sungai untuk menghampirinya.

Rifki berjalan gontai dengan menyebut nama Ayu berkali-kali, matanya berpandang tak tentu arah.

"Mas ... Mas ...," sapa warga yang melihatnya.

"Ayu ... Ayu ...."

"Mas, istighfar Mas, sadar ...."

"Ayu ... Ayu ...."

Yang Rifki ingat hanya nama Ayu yang semalam telah bersanding di pelaminan dengannya.

Rifki kembali meracau sambil menangis.

Warga mulai sadar, saat melihat dua buah titik hitam berada di leher Rifki yang menyerupai bekas gigitan ular.

Mereka saling bertukar pandang.

"Kita antarkan anak ini pulang ...," saran salah seorang warga.

Ia juga mengambil tas Rifki untuk melihat identitasnya.

Setelah dibaca, mereka saling mengangguk dan mengantarkan Rifki ke rumahnya.

"Assalamualaikum ...."

"Waalaikumsalam ...."

Bu Darmi kaget saat melihat bekas gigitan ular di leher Rifki. Anak bujangnya kini berbeda, wajahnya pucat pasi dengan bibir membiru, ucapannya ngelantur menyebut nama Ayu berkali-kali dengan pandangan kosong.

"Kenapa anak saya Pak?" Bu Darmi mulai bertanya.

"Anu Bu, kami ketemu anak ibu di sungai sekitar jembatan tua."

Bu Darmi bertanya sendiri dalam hati, "Bukankah itu tempat untuk sesembahan?" Sambil melihat kembali bekas gigitan ular di leher Rifki.

"Ya Allah, siapa yang tega melakukan ini ke kamu Nak?" Tangan Bu Darmi terus mengusap-usap kepala anaknya, air matanya mulai terjatuh.

Seseorang telah menumbalkan jiwa Rifki untuk dinikahkan dengan Ayu yang merupakan anak dari Nyai Ajeng sosok siluman ular penunggu jembatan tua yang sering dijadikan tempat untuk meminta pesugihan.

Tiga hari kemudian setelah kepulangannya, Rifki meninggal dunia.

Dari balik pohon kamboja, seseorang tersenyum melihat jasad Rifki mulai di kebumikan. Bu Darmi menangis di atas makam yang masih basah sambil menaburkan bunga.

****

Suara burung hantu menemani perjalanan malam seorang lelaki menuju sebuah jembatan tua. Ia mulai menyalakan dupa, beberapa sesajen telah siap dipersembahkannya. Mulutnya mulai berkomat kamit, membaca sebuah mantra.

Sekepul asap hitam menghampirinya. Perlahan asap hitam itu mulai menyebar, muncul lah sesosok ular hitam berkepala manusia.

"Lunas yah Nyai, aku sudah menumbalkan anak bujangku untuk Nyai."

"Tapi ini belum berakhir Joko, ingat! Setiap dua tahun tepat di bulan pernama kamu harus kembali membawakanku seorang bujang," titahnya halus sambil tersenyum.

Beberapa kepingan emas, terlihat berada di sekitar kakinya.

Joko tersenyum, ia mulai memasukkan kepingan emas itu ke dalam kantong kain berwarna hitam. Ia kembali berjalan pulang ke rumah orang tuanya.

Mantan suami Bu Darmi dengan tega telah menumbalkan anaknya sendiri demi sebuah kekayaan.

Di lain sisi, Bu Darmi masih menangis menerka-nerka siapa orang yang telah tega menumbalkan anak sulungnya. Hingga tengah malam tiba, Bu Darmi masih saja tak dapat memejamkan kedua matanya.

Tiba-tiba tirai kamarnya tersingkap angin. Saat Bu Darmi hendak menutup kembali tirai kamarnya, mata Bu Darmi tertuju pada satu sosok yang mirip dengan anaknya.

"Bu ... Ibu ... tolong Rifki Bu ...." Rifki menangis dari balik jendela sambil mengulurkan tangannya.

Saat Bu Darmi hendak menolongnya, tiba-tiba bayangan hitam berbentuk ular besar segera menyambar sosok Rifki.

"Rifki!!!!" Bu Darmi berteriak histeris melihat apa yang baru saja terjadi di hadapannya.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)