Cerpen
Disukai
0
Dilihat
14,356
Ular Tangga Pernikahan
Drama

Dalam Islam, hubungan antara suami istri bagaikan pakaian. Artinya bahwa suami dan istri adalah perhiasan dan sekaligus sebagai penutup aib di antara keduanya. Saling menutupi kekurangan masing-masing.

Kiranya seperti itulah yang aku tau tentang adab sebagai sepasang suami istri. Saling menutupi kekurangannya masing-masing.

Yang mereka lihat tidak seperti apa yang terlihat. Jika orang melihatku bahagia, ya semoga aja. Akan selalu aku Aamiinkan. Bukankah ucapan adalah sebuah doa?

"Cil ... Acil ...." (Acil = Tante)

Lamunanku terbuyarkan, tatkala suara tetangga sebelah memanggilku dari dalam kontraknya.

"Iya Pak, ada apa?" seruku dari balik kamar.

"Dapat salam dari Bapak," sahutnya kembali.

"Owhya Pak, Waalikumsalam, kapan Bapak kembali?" jawabku.

"Bulan depan Cil."

"Hmmmmm ... syukurlah, sudah diterimakah?"

"Sudah Cil, bulan depan mulai berangkat."

"Alhamdulillah. Semangat intinya Pak! buat anak istri, semoga lekas jadi karyawan tetap."

"Aamiin Cil ...," tutupnya.

Aku ikut merantau suamiku, di daerah Kalimantan. Tinggal di sebuah perkampungan yang masih begitu asri, tentram, dan damai. Saatku membuka jendela di pagi hari begitu terasa sejuk, ditambah pesona burung yang berterbangan dengan berbagai kicauannya. Setiap pagi berseliweran para pekerja tambang yang berangkat, ada yang menggunakan motor, ada juga beberapa yang menunggu jemputan. Itulah pemandangan yang setiap hari kerap kulihat. 

Tiga petak kontrakan kayu yang berjejer tiga pintu sudah kembali terisi, sejak dibukanya kembali sebuah Perusahaan Tambang. Akulah salah satunya yang merupakan penghuni tetap sekitar beberapa bulan yang lalu, yang lain pulang pergi ada juga yang kembali. Kebetulan hanya aku dan suami yang merupakan pasangan suami istri, di kontrakan tengah dan diujung di isi oleh bapak-bapak dan beberapa pemuda yang memilih mengontrak; dari pada tinggal di sebuah mess karyawan, walaupun mereka harus membayar kontrakan secara patungan setiap bulannya.

Kebetulan kami jarang mengobrol, hanya bertegur sapa dan tersenyum saat bertemu dan saling membantu saat membutuhkan pertolongan. Kiranya seperti itulah keseharian kami.

Terkadang kami juga bebicara seperti sedang bertelepon dari dalam kontrakan masing-masing. Karena hanya berbatas tembok yang terbuat dari triplek atau papan kayu, jadi saat berbicara pun kerap kali saling terdengar.

                  ****

Januari 2023

Kulihat sesosok yang pernah kukenal berjalan ke arahku, dengan tas ransel besarnya dan beberapa kardus packingan yang dibawa di tangan kanan kirinya.

"Ibu ...," sapanya ceria terdengar dari jauh.

Aku yang sedang menjemur baju tersenyum melihatnya. Yup! Dia yang sebelumnya pernah menjadi tetanggaku walau hanya sekitar dua bulan.

"Bapak, akhirnya kembali juga ...," sapaku balik.

"Iya Bu, Alhamdulilah udah dapat kerjaan lagi di sini," timpalnya lagi, seraya berjalan menghampiriku.

"Owhya Pak tunggu sebentar, tadi pagi Pak Anto titip kunci kontrakan." Aku segera masuk ke dalam mengambil kunci kontrakan yang Pak Anto titipkan sebelum berangkat kerja. 

Pak Anto yang kerap kali memanggilku 'Acil', sedangkan lelaki yang sedang bersamaku ini terbiasa memanggilku 'Ibu' sampai sekarang pun aku belum mengetahui siapa namanya. Yang aku tahu dia 'Bapak'. Semenjak bapak habis kontrak, tinggal lah pak Anto seorang diri di kontrakan tengah. 

"Ini Pak ...."

Aku menghampirinya seraya kuberikan kunci kontrakannya.

"Owhya, Makasih ya Bu ...." 

Kami saling tersenyum dan kulanjutkan kembali pekerjaanku, menjemur baju.

               ****

Hari-hariku masih seperti biasanya, hingga suatu ketika suamiku mendapati shift siang. Semenjak Perusahaan Tambang kembali buka, jam operasionalnya kini telah berubah seperti sediakala sebelum aku ikut ke perantauan, ada shift pagi dan shift siang. Sebelumnya setelah terjadi PHK, karyawan yang tersisa hanya mendapati shift pagi dan salah satunya suamiku. 

"Bun, Ayah hari jum'at besok mulai ada shift siang sampai seminggu kedepan," sahutnya.

"Lah Yah, nanti bunda sendirian kalau satu deret masuk shift siang semua? Takut ayah, disini kan cuma ada rumah kontrakan. Jauh dari rumah tetangga."

"Nanti coba ayah tanya tetangga sebelah, masuk shift siang juga ndak."

"Baiklah, semoga saja gak semuanya masuk shift siang," harapku cemas.

Adzan maghrib berkumandang, seperti biasanya suamiku langsung menuju mushola untuk sholat berjamaah. Aku juga segera melaksanakan sholat dan selesainya menyiapkan makan malam untuk kami.

Kudengar dari jauh seperti suara suamiku sedang mengobrol dengan para tetangga kontrakan.

Hmmmmm ... pantesan ditungguin ndak pulang-pulang.

"Assalamualaikum ...."

"Waalikumsalam Ayah," jawabku.

Klik klik!

Kubukakan pintu untuknya. 

"Ayah abis ngobrol ya? pulangnya lama."

"Iya, kebetulan tadi bareng di mushola jadi sekalian ngobrol tentang shift di tempat kerja."

"Terus gimana Yah?"

"Emmmh, Ayah tadi udah tanya semuanya. Kalau yang di ujung sama pak Anto itu kebetulan satu tim mekanik, mereka masuk shift siang semua sama kaya Ayah. Cuma Mas Bagas yang kebetulan masuk shift pagi. 

Tadi Ayah juga udah bilang Mas Bagas, buat jagain kamu dari jauh. Hahaha," jawabnya dengan candaan.

Owh jadi Bagas namanya.

"Ih Ayah apaan si, yang penting ada orang aja gitu. Biar ada tanda-tanda kehidupan," balasku manja.

"Iya Bunda sayang. Yuk makan, wih sedapanya!" celetuknya sambil melihat-lihat makanan yang telah kusiapkan.

              ****

"Bun, Ayah berangkat kerja dulu ya ...."

"Iya hati-hati Ayah ...." 

"Assalamualaikum ...."

"Waalikumsalam ...," kujawab salam suamiku sambil mengantarkannya ke depan pintu sebelum berangkat kerja.

Kulihat juga Pak Anto dan tetangga ujung mulai berangkat.

"Permisi mbak ...," sapanya kompak seraya berjalan dihadapanku. 

"Nggih monggo ...," aku menjawab dengan bahasa jawa yang masih sering lupa kuucapkan. Mereka hanya tersenyum sambil melihatku.

Tak terasa, kini langit mulai gelap.

Suamiku juga telah menelponku seusai maghrib. Aku berdiam diri dikamar, bertemankan dengan sebuah ponsel, bolak balik scroll medsos menunggu waktu untuk tertidur.

Hawa malam mulai terasa. Begitu sepi dan hening. Hanya suara jangkrik dan beberapa jenis serangga malam lainnya.

"Wanita macam apa kamu!!! Tidak tau diri!"

Suara Bagas yang sedang bertelepon begitu jelas terdengar, sepertinya ia dari arah belakang dan sekarang berada di ruang tamu yang berbatasan persis dengan kamarku yang hanya berbatas papan triplek kayu sebagai penghalang antar kontrakan. Entahlah apa yang sedang terjadi dengan rumah tangganya. Untungnya aku tidak mengerti bahasa daerah mereka. Aku hanya dengar dan tau saat Bagas menggunakan bahasa Indonesia saja.

Bruk!!!

"Astaghfirullah!" Seketika aku terkejut.

"Bu ... maaf ya Bu ...."

Terdengar suara Bagas meminta maaf dari balik tembok yang terbuat dari triplek kayu.

"Iya Pak ndappa. Apa Pak yang jatuh? Bikin kaget aja," tanyaku penasaran.

"Heee ... Anu Bu, tadi kelepasan nglempar HP," jawabnya.

"Owh ...."

"Ibu ... Sudah ngantuk belum?"

"Belum Pak, kenapa?"

"Kalau cerai karena perselingkuhan itu gimana ya Bu? Ibu dan Bapak kan kayanya lebih paham tentang agama, rumah tangganya aja tenang. Senang lihatnya, adem, gak pernah bertengkar. Gak seperti saya, sering marah, sering bertengkar sama istri."

"Bapak, saya dan suami juga orang awam Pak. Kalau mau curhat masalah rumah tangga tanya Mamah Dedeh aja. Hehe," jawabku.

"Hahaha ... ndak ada Mamah Dedeh di sini. Adanya Ibu, jadi aku tanya Ibu. Ya udah, menurut pendapat Ibu aja bagaimana," tanyanya kembali.

"Kalau diposisi aku sebagai istri si, kalau udah yang namanya KDRT atau perselingkuhan itu penyakit Pak. Sulit untuk diubah," terangku.

"Ya, bagitulah istriku! ada uang abang sayang. Kalau saya lagi nganggur, dia selingkuh sama lelaki lain. Kalau saya dah kerja, kembalilah dia."

"Astaghfirullah ...," ucapku langsung beristighfar.

"Udah beberapa kali Bu, padahal anak kami udah tiga. Mau cerai tapi kasihan anak. Dibiarkan saya ikut dosa, dinasihatin udah gak mempan Bu. Pusing saya," sambungnya.

"Waduh gimana ya Pak, coba tanya yang lebih paham agama Pak." 

"Iya Bu, nanti kapan-kapan aku tanya ustad buat konsultasi."

"Nah iya betul Pak," pungkasku. 

"Makasih Bu yah ..."

"Iya Pak, sama-sama."

Baru kali ini kami mangobrol banyak, sebelumnya hanya sekedar basa basi singkat saja. 

Kalau aku lanjutkan, takutnya aku balik curhat juga masalah rumah tanggaku yang selama ini kusimpan sendiri.

Seperti yang orang lihat, rumah tanggaku baik-baik saja. Ya karena aku lebih memilih diam dan bersabar, tidak pernah update status tentang kehidupan rumah tanggaku di sosial media maupun di aplikasi yang lain, ataupun kepada keluarga dan sahabatku. Setiap ada yang curhat masalah rumah tangganya, semaksimal mungkin agar aku tidak ikut serta juga untuk menceritakan isi dalam rumah tanggaku.

Tabiat suamiku, terbuka setelah pernikahan ini terjadi. Dia yang suka melihat postingan wanita-wanita cantik dan seksi di medsosnya. Awalnya aku cemburu dan insecure, beberapa kali aku menasihatinya tetapi tidak digubris olehnya. Lambat laun aku mulai terbiasa dengan kebiasaannya. Kupinggirkan rasa cemburuku. 

Aku juga membuang jauh-jauh kata seorang istri diratukan, karena pada kenyataannya aku tidak diratukan. Saat sakit pun aku tetap melakukan tugas seperti biasanya. Tanpa rasa pengertian dari suamiku. Saat dia meninggikan suaranya, aku lebih memilih untuk diam, karena sejatinya api akan padam jika disiram dengan air.

Masalah uang bulanan pun aku tidak peduli mau dikasih berapa! Bahkan lebih besar penghasilanku saat aku masih bekerja, walaupun aku tau gaji suamiku cukup lumayan untuk seorang operator tambang. Sudah cukup lelah untuk menunggu rasa pengertiannya entah sampai kapan. Untungnya sekarang hidupku jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, jadi tidak terbesit keinginan untuk membeli sesuatu yang sedang di trendingkan. Apalah dayaku, untuk membeli sesuatu pun sekarang harus minta ke suami. Beda saat aku masih bekerja yang bisa membeli apapun dengan uang hasil kerja sendiri, tanpa harus meminta-minta. Mungkin Tuhan belum menitipkan anak kepada kami, karena kami masih sama-sama egois dalam berumah tangga yang sudah berumur tujuh tahun ini.

Begitulah rumah tangga. Ada yang tersakiti ada pula yang terhianati. Selagi masih dibatas aman, akan aku tetap pertahankan rumah tanggaku.

Ibarat Ular Tangga, saat kita merasa bahagia berarti kita sedang menaiki tangga. Saat kita sedang kecewa, kita sedang menuruni sebuah ular. Semakin panjang ularnya, semakain dalam pula rasa kecewa yang kita rasakan.

Sebagi seorang istri, akan tetap selalu kudoakan yang terbaik untuk suamiku. Jika tidak dapat balasan di dunia, mungkin diakhirat kelak aku akan mendapatkannya. Itulah yang selalu kutanamkan dalam pikiranku.

Seminggu sudah berlalu, lega rasanya suamiku sudah kembali ke shif pagi. Seperti biasanya, aku mengantarnya sampai kedepan rumah.

"Berangkat dulu Bun ...."

"Iya Ayah ... hati-hati dijalan," seruku.

Kulihat dari jauh suamiku sudah berjalan menaiki motornya. Aku hanya bisa memandangnya.

"Ibu ... doain ya Bu," sapa Bagas saat lewat dihadapanku.

"Eh iya Pak, mau kemana?" tanyaku penasaran, saat melihat Bagas membawa stopmap dengan pakaian rapi.

"Ke kantor Pengadilan Agama Bu," jawabnya dengan senyuman.

"Owh, sabar ya Pak ... semoga keputusan yang terbaik untuk keluarga Bapak." Aku tersenyum menguatkannya.

"Iya Bu, nanti anak saya yang paling bontot aku titipkan Ibu ya ... hehe," ledeknya.

"Ya bawa kesini saja, buat teman saya di sini," jawabku.

Bagas hanya tersenyum dan menghampiri mobil hitam yang sudah bersiap mengantarkannya di tepi jalan.

Semua adalah pilihan! Ada yang tetap bertahan ada juga yang memilih untuk berhenti! 

Tiba-tiba Bagas berlari kembali menghampiriku.

"Bu, bagaimana kalau ternyata aku jatuh cinta?"

Deg!!! Jatuh cinta sama? Semoga bukan istri orang!


              Tamat




Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)