Masukan nama pengguna
✍️ Tinta, Tasbih, dan Taaruf
oleh: Arkana Jiwa
📍 Tempat: Perpustakaan kampus & grup dakwah online
🕒 Waktu: Di antara deadline skripsi, dzikir sore, dan DM yang gak dibalas-balas tapi dibaca
---
Namanya Fahri. Anak sastra, semester akhir. Penulis cerpen islami di komunitas daring. Followers-nya gak viral-viral amat, tapi kalau nulis, bisa bikin pembacanya diem... lalu istighfar.
Dia bukan tipe cowok yang doyan flexing. Bajunya sederhana, rapi, paling banter pake sepatu olahraga yang udah usang. Tapi... kalau udah buka laptop, dunia bisa diam.
Fahri nulis bukan buat terkenal. Tapi karena dia pernah terselamatkan oleh satu paragraf dari cerpen seseorang—dan dia pengen jadi penyambung pesan baik itu juga.
Dia nulis tentang hijrah, rasa yang tertahan, tangis yang gak harus disaksikan siapa-siapa, dan cinta... yang tahu batasnya.
Suatu hari, saat upload cerpen berjudul “Lelahmu Aku Dengar Dalam Doa”, dia dapat komentar panjang:
> “Mas, tulisannya bagus. Tapi kayaknya tokoh perempuannya terlalu sempurna. Boleh usul tokoh yang lebih manusiawi?”
Komentar itu datang dari akun: @NailahSabiya.
---
Nailah. Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab. Berhijab lebar, kalem, tapi kalau ngomentari tulisan—diksi tajam, tapi tetap beradab.
Dia bukan tipe yang muncul di explore. Tapi diskusinya di komunitas dakwah selalu bikin lawan bicara mikir ulang.
Fahri baca komentarnya tiga kali. Bukan karena sakit hati... tapi kagum.
> “Ini orang siapa, kok bisa ngasih kritik yang bikin gue pengen muhasabah?”
Lalu dia reply.
> “Jazakillah khair. Masukannya saya catat. Kalau boleh, tokoh seperti apa yang ukhti maksud?”
Balasannya cepat. Padat. Dalam.
> “Yang rapuh tapi berjuang. Yang gak selalu benar, tapi terus belajar. Seperti kita semua.”
Fahri senyum kecil. Matanya langsung mencari tombol ‘Follow’.
---
Dari sana, mereka sering diskusi via DM. Tapi gak pernah nyelonong. Gak ada “ukhti lagi ngapain?” atau “udah makan belum?”.
Bahasan mereka: karakter fiksi, ayat yang menyentuh, makna hijrah yang tidak hanya baju tapi juga bahasa.
Suatu hari, Nailah ngirim file PDF.
> “Mas Fahri, saya juga nulis. Tapi belum pernah publish. Mau minta masukan.”
Fahri baca. Dan...
> “Subhanallah.”
Tulisan Nailah bukan cuma puitis. Tapi mengandung dzikir di antara narasi. Lembut tapi menghunjam.
Dia ngetik:
> “Ini bukan sekadar tulisan. Ini pengingat.”
---
Hari-hari mereka jadi semakin terisi. Bukan oleh chat yang sering, tapi oleh bacaan dan tulisan yang saling terinspirasi. Kadang Fahri kirim quotes:
> "Cinta itu bukan tentang saling memiliki, tapi saling mengingatkan menuju yang Maha Memiliki."
Nailah balas:
"Maka jangan lewat tulisan saja. Tapi lewat doamu juga.”
Fahri diam. Menarik napas.
> “Ya Allah... ini apa namanya kalau bukan rasa yang harus dijaga?”
---
Tapi rasa suka itu nggak selalu tenang. Fahri mulai gelisah. Apakah dia sedang benar-benar kagum... atau mulai condong ke rasa yang lebih dari itu?
Dia muhasabah. Curhat ke seniornya di forum ikhwan.
> “Ana khawatir... niat nulisnya jadi bergeser. Dari lillah ke lil-ukhti.”
Temannya bilang:
> “Kalau rasa hadir, jaga. Kalau yakin, doakan. Tapi kalau hanya penasaran, jangan rusak tulusmu.”
Fahri tersadar.
Dia pun mulai lebih hati-hati. Komunikasi tetap, tapi lebih menjaga. Nggak terlalu sering. Fokusnya kembali ke tulisan dan ibadah.
---
Beberapa bulan kemudian, komunitas dakwah kampus bikin sayembara cerpen religi kolaborasi ikhwan–akhwat. Tanpa janjian... Fahri dan Nailah sama-sama daftar. Dan... dijodohkan jadi tim.
Deg-degan? Jelas. Tapi mereka berdua tetap profesional. Naskahnya selesai dalam waktu 10 hari. Judulnya: “Jarak yang Dirahmati”
Karya itu viral kecil-kecilan di komunitas. Banyak yang bilang:
> “Kalau dua penulis ini taaruf beneran, ending-nya pasti novel.”
Fahri cuma senyum. Tapi hatinya meng-Aamiin-kan.
---
Beberapa hari setelah lomba, Nailah kirim voice note:
> “Mas Fahri, saya sudah sampaikan ke orang tua. Kalau mas berniat serius... insyaAllah saya tunggu kabarnya.”
Fahri sujud lama malam itu. Bukan karena dia merasa berhasil. Tapi karena Allah menjaga cerita ini dari awal hingga tiba di titik ini.
---
Mereka bertemu. Bukan berdua. Tapi dengan wali. Dan kisah mereka... bukan lagi tentang tinta dan DM. Tapi akad dan doa yang tak lagi fiktif.
---
🕌 Quotes Penutup:
> “Cinta yang baik tak selalu dimulai dari tatap mata. Tapi bisa dari tatap huruf... yang menjaga kata.” “Kalau cinta membuatmu semakin dekat dengan Allah, mungkin itu bukan sekadar rasa. Tapi rahmat.” “Tinta yang direndami tasbih... akan menuntunmu ke jalan taaruf yang tak butuh drama.”
---
Ditulis oleh: Arkana Jiwa
Untuk kamu yang menulis dengan hati, mencintai dengan dzikir, dan percaya bahwa cerita terbaik... adalah yang Allah tuliskan sendiri.
✍️ Tinta, Tasbih, dan Taaruf (Sudut Pandang Nailah)
oleh: Arkana Jiwa
📍 Tempat: Kamar kost kecil penuh buku & kertas coretan
🕒 Waktu: Menjelang Maghrib, ketika suara adzan lebih jujur dari semua pesan masuk
---
Namaku Nailah. Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab yang lebih sering dianggap "serius banget" karena jarang update story dan lebih banyak diam di forum diskusi. Tapi siapa sangka, aku justru menulis. Diam-diam. Untuk diriku sendiri.
Aku tidak pernah menyangka, bahwa sebuah komentar di cerpen seorang ikhwan bernama Fahri, akan mengubah arah hidupku—dan hatiku.
---
Awalnya aku hanya iseng mampir ke forum cerpen komunitas dakwah. Di situ, ada satu tulisan berjudul “Lelahmu Aku Dengar Dalam Doa”. Judulnya indah, tapi aku merasa tokoh perempuannya terlalu sempurna. Tidak realistis.
Aku tinggalkan komentar:
> “Mas, tulisannya bagus. Tapi kayaknya tokoh perempuannya terlalu sempurna. Boleh usul tokoh yang lebih manusiawi?”
Tak kusangka... dibalas. Dengan ramah. Dengan adab. Dan sejak itu, diskusi kami dimulai.
---
Fahri bukan tipe ikhwan yang banyak basa-basi. Ia menjaga batas. Tapi setiap diskusinya membuatku berpikir. Tentang menulis, tentang hidup, tentang Allah.
Kami tidak pernah membahas hal pribadi secara langsung. Tapi lewat karakter fiksi, kami seperti saling mengenal. Melalui dialog tokoh, lewat alur cerita, lewat kritik yang dibalut kelembutan.
Sampai suatu malam, aku memberanikan diri mengirimkan naskahku.
> “Mas Fahri, saya juga nulis. Tapi belum pernah publish. Mau minta masukan.”
Responsnya membuatku terdiam.
> “Ini bukan sekadar tulisan. Ini pengingat.”
Malam itu, aku menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena pertama kalinya, seseorang membaca tulisanku dan tidak hanya fokus pada gaya bahasa... tapi pada pesan jiwa.
---
Diskusi kami terus berlanjut. Tak sering. Tapi bermakna. Kadang aku mengirim quotes:
> “Jika kata bisa menyentuh hati, semoga ia juga bisa menuntun menuju Ilahi.”
Fahri membalas:
> “Karena itu, menulis harus dari tempat yang bersih—dari hati yang sedang dekat dengan-Nya.”
Aku mulai mengerti. Bahwa mungkin... Allah sedang membentuk cerita kami. Perlahan. Lewat tinta. Lewat tasbih. Lewat kalimat-kalimat yang kami jaga adabnya.
---
Namun... aku juga belajar menahan harap. Aku perempuan. Aku tahu batasku. Maka aku mulai bertanya pada diri sendiri:
> “Ini rasa, atau kagum yang terbiasa?”
Aku istikharah. Berkali-kali. Dan jawabannya bukan mimpi. Tapi ketenangan. Bahwa aku tidak salah jika mengizinkan hati untuk berharap... selama harap itu disandarkan pada yang Maha Mengatur.
---
Ketika lomba kolaborasi cerpen dibuka, aku ikut. Dan ternyata, dipasangkan dengan Fahri.
Kami menulis naskah berjudul “Jarak yang Dirahmati”.
Sepuluh hari menulis bersama. Sepuluh hari menjaga hati. Sepuluh hari yang tak akan aku lupakan.
Saat naskah selesai, aku memberanikan diri bicara dengan orang tuaku.
> “Abi, kalau suatu hari ada ikhwan yang ingin serius... aku sudah punya satu nama dalam doa.”
---
Beberapa hari setelah lomba, aku kirim pesan pada Fahri:
> “Mas Fahri, saya sudah sampaikan ke orang tua. Kalau mas berniat serius... insyaAllah saya tunggu kabarnya.”
Jawabannya tak langsung. Tapi aku tahu, ia sedang sungguh-sungguh menyiapkan niat. Bukan hanya keberanian, tapi juga tanggung jawab.
---
Ketika akhirnya kami bertemu... bukan di taman. Bukan di kafe. Tapi di ruang tamu, bersama wali. Aku tahu: ini bukan cerita cinta biasa.
Ini bukan tentang aku dan dia. Tapi tentang Allah... yang mempertemukan dua pena, dua tasbih, dua doa... dan menjahitnya dalam satu naskah kehidupan.
---
🕌 Quotes Penutup:
> “Cinta sejati bukan dimulai dari pertemuan, tapi dari keikhlasan menjaga diri bahkan saat belum tahu akhirnya.”
“Perempuan yang baik tidak menunggu pangeran, tapi menunggu kepastian yang datang bersama iman dan keberanian.”
“Menulis bukan sekadar kata. Tapi doa. Dan aku pernah menulis doa tentang seseorang—dan Allah jawab dengan cara-Nya.”
---
Ditulis oleh: Arkana Jiwa
Untuk kamu yang menjaga hati dalam diam. Yang mencintai lewat tulisan dan dzikir. Yang percaya... tinta yang dijaga, akan menuntun pada cinta yang diridhai.
---
---