Masukan nama pengguna
Senyum Sampingan
Cerpen Romansa Ringan Pabrik
oleh Arkana Jiwa
Senyum itu bukan buat aku. Tapi tetap aja bikin deg-degan.
Namaku Lia. Aku kerja di bagian pengecekan part 4 roda di PT Menbie. Tempatnya ramai, bising, penuh suara mesin dan deru produksi. Tapi di antara semua suara itu, hatiku selalu menunggu satu detik yang hening. Detik ketika aku melihat senyum itu. Senyum sampingan dari cowok yang entah sejak kapan membuatku jadi orang yang kelewat banyak mikir untuk hal yang seharusnya sederhana: naksir.
Namanya Hafiz. Anak bagian chromate. Pendiam. Nggak neko-neko. Nggak pernah ikut gosip warung atau haha-hihi di grup WhatsApp divisi. Tapi kalau sudah main bulutangkis, dia berubah jadi sosok yang penuh konsentrasi dan fokus. Kayak smash-nya, lurus, tajam, dan bikin deg-degan.
Banyak cewek yang bilang dia ganteng. Tapi buatku, yang lebih memikat dari wajahnya adalah caranya bersikap. Dia selalu sopan ke siapa pun, senyum seperlunya, dan—yang paling bikin aku meleleh—dia sangat dekat sama ibunya. Itu nilai plus yang bikin hati ini terhempas. Tiap habis gajian, dia mampir ke apotek buat beli vitamin. Kadang aku dengar dia bilang ke teman satu shift, "Kalau emak sehat, kerja juga tenang."
Aku dan Hafiz sebenarnya jarang banget berinteraksi langsung. Tapi entah kenapa, aku ngerasa dia tahu keberadaanku. Kadang aku lewat, dia senyum tipis. Kadang saat makan di kantin, dia duduk di pojok dan matanya sempat melirik ke arah meja tempat aku dan teman-teman duduk.
Senyum-senyum tipis dari dia itu... aku menyebutnya senyum sampingan. Karena selalu datang dari samping. Nggak frontal. Tapi cukup buat bikin pipi panas dan jantung lari sprint.
Setiap hari, aku cerita soal dia ke Rara, sahabatku di line.
"Dia lewat lagi, Ra. Tadi sempat nengok! Sumpah, matanya tajem tapi adem banget."
Rara cuma geleng-geleng sambil terus fokus ke part yang dia pegang. "Lia, kamu udah kaya kaset rusak. Ulangannya nggak abis-abis."
"Tapi aku nggak bosan."
"Iya, tapi kami yang denger bisa ubanan duluan."
Aku ketawa. Rara benar, aku memang lagi naksir berat. Dan Hafiz kayak racikan yang pas antara kopi hangat dan angin sore—nggak ribut, tapi nagih.
Pernah suatu hari aku salah masuk ruang chromate. Niatnya nyari laporan, eh malah nyasar ke tempat dia kerja. Waktu dia melihatku, aku langsung gugup.
"Mbak Lia ya? Nyari form ya? Di meja depan, biasanya ada tumpukan kertas dari bagian pengecekan."
Aku cuma bisa ngangguk dan buru-buru keluar. Tapi saat aku menoleh, dia senyum. Tipis. Dari samping. Dan... ya ampun, itu efeknya lebih dari minum kopi dua gelas.
Setelah kejadian itu, aku makin sering cari-cari alasan buat 'nggak sengaja' ketemu dia. Lewat lorong yang dia biasa lewati, beli minuman di jam yang sama, bahkan rela ke toilet bagian belakang karena dia sering ke sana setelah olahraga.
Kalau dia lewat dan senyum, aku langsung bisik-bisik ke Rara. “Tuh, tuh! Senyum lagi! Astaga, dia pakai parfum yang sama kayak kemarin, deh.”
“Lia, kamu itu cinta atau detektif?”
“Dua-duanya.”
Aku tahu aku lucu. Tapi aku juga tahu, aku benar-benar suka.
Waktu lomba bulutangkis antar shift, aku jadi penonton setia. Duduk paling depan, megang botol air mineral dua biji, pura-pura buat temen padahal sebenarnya pengen kasih ke dia. Dan saat dia menang—dengan smash keren banget yang bikin penonton heboh—aku tepuk tangan paling heboh.
Setelah pertandingan, aku lihat dia ninggalin botol minumnya. Aku ambil, pegang erat, dan besoknya aku bawa ke bagian chromate.
“Mas Hafiz, ini botolnya kemarin ketinggalan.”
Dia menatapku sesaat, lalu tersenyum. “Wah, iya. Makasih banyak, Mbak.”
Nama aku dia inget. Nggak salah denger. Dia bilang "Mbak Lia". Hari itu aku ngerasa dunia tiba-tiba lebih cerah dari biasanya. Bahkan meskipun sore itu hujan, aku tetap pulang sambil senyum-senyum sendiri di atas motor.
Hujan, ternyata, jadi alasan kami makin dekat.
Satu sore, hujan deras banget. Semua orang tertahan di parkiran. Aku berdiri sambil nunduk, pura-pura main HP. Hafiz berdiri tak jauh. Aku berharap, dia nyapa. Tapi nggak juga. Lima menit. Sepuluh menit. Aku mulai kecewa.
Tapi kemudian dia melangkah mendekat.
“Nunggu hujan ya, Mbak?”
“Iya...” jawabku dengan suara hampir hilang.
“Rumahnya daerah mana?”
“Dekat gardu perempatan.”
“Oh, saya lewat situ juga. Mau bareng?”
Astaga. Itu ajakan ter-romantis selama aku kerja di pabrik ini.
Kami boncengan pakai motornya. Jalannya pelan karena licin. Aku duduk dengan hati deg-degan. Helmnya harum, jaketnya hangat, dan punggungnya... duh, cukup dekat untuk membuat aku lupa cara berpikir.
Sesampainya di rumah, aku turun pelan.
“Makasih banyak ya, Mas Hafiz.”
Dia menatapku sebentar. “Hati-hati, Mbak Lia.”
Dan itu saja sudah membuat malamku penuh mimpi.
Sejak saat itu, kami jadi lebih sering berpapasan. Kadang aku ke kantin, eh dia duduk di meja samping. Kadang pas istirahat, kami berdiri di depan warung yang sama. Obrolan mulai lebih dari dua kata. Kadang dia tanya, “Bagian pengecekan padat ya hari ini?” Kadang aku jawab, “Nggak sepadat pikiran aku soal kamu.” (Dalam hati, tentu saja.)
Rara makin sering godain aku. “Fix ya, dia mulai sadar keberadaan kamu.”
Aku pura-pura santai. “Ya masa iya tiap hari kita papasan terus, dia nggak sadar?”
Momen paling bikin jantungku lompat adalah ketika dia ngasih aku minuman kotak di hari panas banget. Aku duduk sambil kipas-kipas, dan dia lewat, terus balik arah, lalu naro teh kotak di mejaku.
“Kayaknya panas banget ya. Ini buat kamu.”
Aku cuma bisa bilang makasih pelan. Tapi dalam hati, aku udah lari keliling pabrik sambil teriak.
Hari-hari selanjutnya makin manis. Kami mulai tukar cemilan, kadang ngobrol soal pertandingan bulutangkis, kadang cuma senyum kalau papasan. Tapi buatku, itu cukup.
Suatu hari, saat pabrik adain lomba karaoke antar divisi, aku diminta maju bareng Rara. Hafiz nonton dari kursi belakang. Aku nyanyi dengan hati yang deg-degan, bukan karena grogi—tapi karena dia nonton.
Saat turun panggung, aku nyaris keceplosan. “Aku nyanyi buat kamu, Mas.” Untung cuma dalam hati.
Malam itu, dia nyamperin sambil nyodorin air mineral. “Bagus nyanyinya.”
Aku senyum. “Makasih. Aku latihan lho.”
“Sukses besar deh. Kamu bikin malam ini beda.”
Kalimat itu sederhana. Tapi bagiku... seperti pengakuan tidak langsung.
Lalu, satu sore saat aku lagi nyapu depan line, dia datang dari belakang, pelan-pelan.
“Lia...”
Aku menoleh. Deg.
“Iya, Mas?”
Dia garuk kepala. “Kalau ada waktu, mau nemenin saya latihan bulutangkis nggak? Nggak usah main, cukup nonton aja biar semangat.”
Aku senyum lebar. Bukan dari samping. Tapi lurus. Penuh.
“Aku selalu punya waktu buat itu.”
Dan di situ... aku tahu. Cinta yang bermula dari senyum sampingan bisa berubah jadi cerita yang berjalan beriringan.
Karena kadang... rasa nggak butuh pelukan, pelabelan, atau status. Cukup keberanian kecil. Senyuman kecil. Dan hati yang pelan-pelan tumbuh tanpa suara.
TAMAT