Cerpen
Disukai
1
Dilihat
2,150
Doa di Senja Hari
Romantis

Kita Usahakan Lagi


Karya: Arkana Jiwa

Terinspirasi dari lagu "Kita Usahakan Lagi" oleh Batas Senja



---


Ada bahagia yang belum bisa kami rasa.

Tapi aku tahu, ia sedang berjalan perlahan ke arah kami.

Dan sampai hari itu tiba, kami akan terus mengusahakannya—lagi, dan lagi.


Namaku Rani. Dan aku percaya, cinta yang tidak ribut-ribut, tidak berarti lemah. Kadang justru ia lebih kokoh—karena dibangun bukan dengan janji manis, melainkan dengan kesabaran.


Sejak dua tahun lalu, aku dan Andra memilih saling menjaga, dalam diam.

Bukan karena kami malu. Tapi karena kami tahu, belum semua orang siap menerima cara kami mencintai.


Kami tidak punya foto berdua yang dipajang di media sosial.

Kami tidak pernah merayakan hari jadi secara mewah.

Tapi kami punya satu hal yang terus kami rawat: keyakinan.


Keyakinan bahwa ketika sesuatu diperjuangkan tanpa tergesa, waktulah yang akan membuktikan bahwa ia pantas dimenangkan.


Andra berasal dari kota kecil di Jawa Tengah. Hidupnya sederhana, tapi tidak pernah mengeluh. Ia membangun bisnis kecil di bidang desain interior. Kadang gagal, kadang untung sedikit, tapi tidak pernah berhenti mencoba.

Sementara aku, tinggal di pinggiran kota Jakarta, bekerja sebagai perawat di sebuah klinik swasta.


Kami tumbuh di lingkungan yang sangat berbeda.

Nilai-nilai yang kami bawa sejak kecil—tentang keluarga, cara memandang hidup, bahkan cara memaknai cinta—tidak selalu sama.

Dan di situlah tantangan kami.


Ibu pernah berkata,

“Aku tidak menolak dia. Aku hanya khawatir kamu tidak kuat nanti.”


Aku paham. Kekhawatiran seorang ibu tidak lahir dari kebencian. Tapi dari rasa sayang yang bentuknya berbeda.

Aku tidak marah. Tapi aku ingin dimengerti.


Andra pun tidak memaksa. Ia hanya selalu berkata pelan, dengan mata penuh harap:


“Kita usahakan lagi, ya?”


Kalimat itu sederhana. Tapi entah kenapa, selalu berhasil menenangkan aku.

Mungkin karena aku tahu, dia tidak sedang menuntut masa depan yang muluk. Dia hanya ingin berjalan bersama—dalam langkah sekecil apapun, asal tetap seiring.


Setiap malam, kami saling mengirim pesan pendek. Kadang hanya,

“Sudah makan?”

atau

“Jangan begadang, ya.”


Tapi setiap pesan ditutup dengan doa.

Itu yang membuatku kuat.

Doa-doa kecil yang dikirim diam-diam, tanpa pamer, tanpa pamrih.

Seperti cinta yang tumbuh diam-diam dalam hati—tapi tidak pernah padam.


Kami pernah bertengkar.

Pernah merasa lelah.

Pernah sama-sama ingin berhenti.


Tapi setiap kali rasa itu datang, salah satu dari kami akan menarik napas, dan berkata,

“Jangan dulu pergi. Kita belum selesai berusaha.”


Lalu kami berdamai. Bukan karena semuanya tiba-tiba mudah, tapi karena kami memilih untuk tetap saling mendengar—meski kadang hanya dengan diam.


Sampai akhirnya, Andra menulis sepucuk surat.


Surat yang ditulis tangan, huruf demi huruf seperti ditata dari hati.

Ia tidak meminta restu dengan desakan. Hanya menjelaskan, dengan penuh hormat, bahwa ia ingin melangkah lebih jauh bersamaku. Bahwa meski belum punya apa-apa, ia akan terus berusaha.


Aku serahkan surat itu ke ibu, suatu sore saat langit mendung dan waktu terasa lambat.

Ibu membaca tanpa komentar.

Ia hanya meletakkan surat itu di meja makan. Tidak ada anggukan, tidak ada tolakkan.

Tapi aku tahu, diamnya berbeda dari biasanya.


Dua bulan kemudian, ibu berkata pelan,

“Kalau dia mau datang, bawa orang tuanya. Biar kita bicara baik-baik.”


Hatiku seketika berdebar.

Bukan karena takut, tapi karena akhirnya ada cahaya kecil di ujung doa kami yang panjang.


Pertemuan itu terjadi di ruang tamu rumah.

Andra mengenakan kemeja sederhana, ayah ibunya duduk berdampingan dengan tenang.

Ibu membuka percakapan, tidak dengan senyum, tapi juga tidak dengan nada dingin.


Mereka bicara tentang masa depan. Tentang bagaimana nanti, jika hidup tidak semudah sekarang. Tentang tanggung jawab, dan keyakinan.


Andra menjawab semua dengan tenang. Tidak semua jawabannya sempurna, tapi semuanya jujur.

Dan untuk pertama kalinya, aku melihat mata ibu mulai melunak.

Mungkin karena ia melihat: cinta ini bukan mimpi singkat. Ia tumbuh pelan-pelan, seperti pohon yang akarnya sudah lama menghujam tanah.


Setelah pertemuan itu, kami belum menikah.

Tapi percakapan tentang pernikahan bukan lagi sesuatu yang kami bisikkan dalam rahasia.


Kami mulai merancang hari.

Bukan untuk pesta besar, tapi untuk menyatukan dua keluarga yang berbeda.

Bukan untuk menunjukkan bahwa kami menang, tapi untuk menyatukan dua doa yang lama menunggu.


Kadang, kami masih diuji.

Ekonomi belum mapan.

Waktu masih terbagi.

Jarak masih memisahkan.


Tapi kami tahu, cinta bukan tentang kapan kita sampai. Tapi tentang bagaimana kita tetap berjalan, meski pelan.


Dan setiap kali aku mulai ragu, Andra akan menggenggam tanganku, entah lewat pesan, atau suara lembutnya, dan berkata,


“Kita usahakan lagi, ya…”



---


Kadang aku bertanya pada diri sendiri:

Kenapa kami tidak menyerah saja?

Bukankah lebih mudah berhenti, lalu membiarkan waktu menyembuhkan segalanya?


Tapi setiap kali pikiran itu datang, aku teringat pagi-pagi saat Andra masih sempat menanyakan,

“Kamu udah sarapan belum?”

Padahal ia sendiri sedang terburu-buru ke proyek bangunan kecilnya.


Atau malam-malam ketika aku tertidur di ruang jaga, dan saat membuka HP, hanya ada satu pesan:

“Jangan lupa istirahat, ya. Aku tunggu ceritamu besok.”


Hal-hal kecil seperti itu yang membuat aku bertahan.

Bukan bunga. Bukan hadiah. Tapi perhatian yang tak pernah putus—meski tidak selalu terlihat oleh orang lain.


Aku pernah mendengar, cinta sejati itu seperti sungai.

Ia tidak ribut, tapi terus mengalir. Ia tidak butuh tepuk tangan, tapi tahu ke mana harus bermuara.


Dan mungkin, begitulah kami.


Suatu malam, setelah ibu mulai terbuka, aku dan Andra bertemu di taman kota.

Kami duduk di bangku kayu tua yang catnya mulai mengelupas. Langit mendung, angin sedikit lembap.


Andra menatapku lama. Lalu berkata:


> “Aku nggak janji bisa jadi suami terbaik di dunia. Tapi aku janji akan terus belajar. Belajar sabar. Belajar paham kamu. Belajar jadi tempat pulang yang tenang.”




Aku tidak menjawab. Aku hanya menggenggam jemarinya.

Dan saat itu, aku sadar: cinta yang kami punya, tidak butuh janji indah.

Yang kami butuhkan hanyalah dua orang yang terus memilih satu sama lain—meski dunia belum sepenuhnya mengizinkan.


Sekarang, setiap kali hari terasa berat, aku membuka kembali surat tulisan tangan Andra yang dulu kuberikan ke ibu.

Kertasnya sudah mulai lusuh, lipatannya mulai aus. Tapi tulisan itu masih jelas:


> “Dengan segala kerendahan hati, saya mohon izin untuk memperjuangkan putri Ibu. Bukan untuk segera memiliki, tapi untuk perlahan-lahan meyakinkan bahwa kami layak bersama.”




Dan di bawahnya, ada satu kalimat kecil, tulisan tangan Andra yang khas:


“Kita usahakan lagi, ya.”



---


> Karena cinta bukan tentang siapa yang paling cepat sampai di garis akhir,

Tapi tentang siapa yang tetap memilih berlari—meski pelan, meski diguyur hujan, meski sering ingin berhenti.

Kami masih berjuang. Tapi kami tidak sendirian. Karena setiap langkah, selalu ada doa yang menyertai.




Dan selama doa itu belum berhenti, kami percaya: harapan pun belum mati. 🌧️✨


---


Catatan Penulis:


Cerita ini adalah surat terbuka bagi siapa pun yang sedang memperjuangkan sesuatu yang tampak tak kunjung sampai.

Bahwa doa yang belum dijawab, bukan berarti diabaikan.

Bahwa cinta yang tidak disiarkan ke mana-mana, bukan berarti tidak sungguh-sungguh.

Dan bahwa kesabaran, jika dirawat bersama, akan menemukan jalannya sendiri—meski pelan, meski sunyi.


Terima kasih kepada Batas Senja untuk lagu “Kita Usahakan Lagi”, yang menjadi pelita bagi banyak hati yang sedang belajar bertahan.

Terima kasih juga kepada semua yang mencintai dalam diam, tapi tidak menyerah. 🌿

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)