Masukan nama pengguna
Judul: Aku, Alya, dan Dunia yang Tak Terlihat
Oleh: Arkana Jiwa
Adikku, Alya, punya dunia yang tak pernah bisa kumasuki sepenuhnya.
Dunianya sunyi, tapi kadang terlalu ramai. Kadang ia menatap kosong, tapi matanya seperti sedang mendengar teriakan yang tak kupahami.
"Ia bicara lagi, Kak," kata Alya suatu malam.
Kami sedang duduk di bawah lampu dapur, makan mi instan yang dia bilang rasanya seperti pelangi.
"Siapa?" tanyaku pelan.
"Yang di balik pintu. Katanya jangan tidur, nanti aku dibawa ke tempat gelap."
Aku menahan napas. Bukan karena takut. Tapi karena sedih.
Sudah sekian tahun, suara-suara itu menjadi bagian dari hari-harinya.
Schizophrenia, begitu dokter menyebutnya.
Dulu aku tak paham.
Kenapa Alya bicara sendiri di kamar, tertawa saat tidak ada siapa pun, dan menjerit saat kubuka jendela perlahan.
Kupikir dia kerasukan.
Kupanggil ustadz, kubacakan doa-doa, bahkan sempat kupaksa dia untuk puasa daud setiap Senin-Kamis.
Tapi suara-suara itu tetap datang. Lebih sering dari hujan di bulan Desember.
Lalu akhirnya kami sampai di satu klinik jiwa.
Dan di sanalah aku mulai belajar menjadi manusia baru.
"Mbak, adik mbak nggak kerasukan. Dia mendengar sesuatu yang otaknya sendiri kirimkan," kata psikolog itu lembut.
"Dia bukan gila. Dia cuma punya dunia lain yang terbentuk karena luka, dan sekarang sedang belajar kembali ke realita."
Saat itu aku menangis. Bukan karena malu. Tapi karena...
Aku baru benar-benar menyadari betapa kuatnya Alya selama ini.
Selama aku menuduh, dia bertahan.
Selama aku takut, dia melindungi aku... dari dirinya sendiri.
Kini setiap pagi, aku temani Alya minum obat.
Kadang dia marah. Kadang dia sedih karena katanya obat itu bikin kepalanya mati rasa.
Tapi setiap kali ia selesai minum dan menatapku, ada cahaya kecil di matanya.
"Kak, tadi suara itu dateng lagi. Tapi kali ini... aku bilang 'enggak.'"
Aku tersenyum. "Kamu hebat."
Dia tertawa. Lalu berkata, "Tapi kayaknya dia ngambek deh, Kak."
Malam-malam kami tak lagi penuh teriakan.
Kadang kami ngobrol soal hal-hal konyol:
tentang jodoh fiktif dari aktor Korea, tentang mi goreng yang katanya bisa nyembuhin hati,
dan tentang cita-cita Alya jadi penulis—meski ia lebih sering menulis di udara pakai jari.
Suatu hari, datanglah seseorang yang kemudian menjadi cahaya baru bagi kami. Namanya Bu Rini. Seorang relawan dari komunitas kesehatan jiwa. Ia datang setiap akhir pekan untuk mendampingi Alya menggambar dan menulis. Bu Rini tidak pernah memaksakan realitas. Ia masuk ke dunia Alya dengan lembut, seolah-olah sudah lama tinggal di sana.
"Alya, kamu mau cerita tentang suara itu?" tanya Bu Rini suatu sore.
Alya menggeleng. "Tapi aku bisa gambar dia."
Dan ia pun mulai menggambar sosok-sosok aneh di kertas. Bentuknya tak jelas, tapi warnanya kuat. Aku hanya bisa memandang, sementara Bu Rini menatapnya seperti karya seni.
"Mereka nggak jahat, Kak. Mereka cuma bingung," bisik Alya padaku malam itu. "Mereka juga pengen punya rumah kayak kita."
Pernah suatu malam, dia bertanya, "Kak, kalau aku nggak sembuh... Kakak masih sayang aku?"
Aku diam.
Kupeluk dia.
Lalu kubisikkan, "Kalau kamu sembuh, kamu tetap adikku.
Kalau kamu nggak sembuh pun, kamu tetap satu-satunya Alya yang kubutuhin di dunia ini."
Ia menatapku, lalu berkata, "Aku rasa, suara di kepalaku juga sayang sama Kakak. Soalnya dia mulai jarang marah tiap kita bareng."
Aku tertawa. "Mungkin dia udah sadar, kita tim yang kuat."
Aku tahu jalan Alya masih panjang.
Kadang dia baik, kadang dia kosong.
Kadang dia bisa bercanda, kadang dia mengurung diri.
Tapi sekarang aku tidak lagi mengharapkan kesembuhan seutuhnya.
Yang kuharapkan adalah… keberanian untuk hidup, meski dunia terasa kabur.
Suatu pagi, Alya masuk ke kamarku, membawa kertas lipat berwarna biru. Ia bilang ia baru mimpi ketemu guru dari masa kecil yang ngajarin dia "menulis cahaya". Aku bingung, tapi aku duduk dan mendengarkan.
"Kak, katanya... cahaya itu bukan dari matahari. Tapi dari hati. Kalau hati kita gelap, kita cuma akan ngeliat hal-hal gelap juga. Tapi kalau hati kita terang... suara-suara juga bisa berubah jadi musik."
Aku tercenung. Di antara fragmen-fragmen ganjil pikirannya, kadang Alya menyalakan lilin di kegelapan batinku.
Malam itu, setelah Bu Rini pulang, aku dan Alya duduk di beranda. Hujan turun pelan, seperti bisikan doa dari langit. Alya memegang gambar terakhir yang ia buat—sosok samar dengan cahaya di sekitarnya.
"Bu Rini bilang, aku bisa belajar berdamai sama mereka. Nggak harus ngusir, cukup kenalin mereka," ujar Alya perlahan.
Aku mengangguk. "Kamu pelan-pelan belajar hebat, ya."
Alya tersenyum. "Kamu juga. Kakak juga belajar hebat."
Kami diam cukup lama. Tapi diam kami bukan kosong. Ada banyak pelukan tak terlihat di sana. Pelan-pelan, aku merasa tak lagi sendirian dalam perjuangan ini. Bu Rini membawa warna baru ke dalam hidup kami.
Dan malam ini, sebelum tidur, Alya menyelipkan secarik kertas ke bawah pintuku.
Tulisannya:
"Terima kasih sudah jadi jendela untuk dunia yang kadang terlalu gelap buatku lihat. Aku sayang Kakak."
Aku menatap kertas itu lama.
Dalam sunyi, aku berdoa:
"Ya Allah, jika aku tak mampu menyembuhkan, biarkan aku mencintai tanpa henti.
Jika aku tak bisa menenangkan pikirannya, biarkan pelukanku jadi rumah yang ia tahu tak akan runtuh."
Keesokan paginya, aku menemukan Alya di dapur bersama Bu Rini. Mereka sedang membuat kue sederhana dari resep yang Alya temukan di buku lama Ibu. Entah bagaimana caranya, dapur kami yang dulu sepi kini seperti punya napas baru.
"Kue ini buat Kakak," kata Alya, menyodorkan satu loyang kecil dengan tulisan cokelat: "Terima kasih karena masih di sini."
Aku memeluknya.
"Kak, bolehkah suatu hari nanti aku cerita ke orang lain? Tentang dunia yang aku lihat, tapi nggak semua orang ngerti?"
Aku mengangguk. "Kalau kamu siap, aku akan bantu. Cerita itu bisa jadi pelita buat orang lain."
Bu Rini tersenyum. "Itulah kenapa Allah menaruh keunikan dalam tiap jiwa. Biar kita belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan. Beberapa justru bisa jadi jendela kasih sayang."
Hari itu langit Bekasi terang. Tapi lebih terang lagi adalah wajah Alya, yang untuk pertama kalinya, tersenyum tanpa beban saat menatap cermin.
---
Quotes Penutup:
> "Kita tak harus mengerti dunia orang lain untuk bisa mencintainya. Terkadang, cukup duduk di sampingnya, dan berkata: 'Aku di sini, meski kau sedang jauh.'"
"Cinta yang paling indah bukan yang hadir saat semua normal, tapi yang bertahan saat kenyataan retak."
"Orang dengan kondisi kesehatan mental bukan untuk ditakuti atau dikasihani. Mereka adalah manusia, dengan luka yang tak selalu tampak, tapi hati yang tetap mampu mencintai dan dicintai."
"Semakin kita membuka hati, semakin kita mampu melihat bahwa di balik gejala, ada jiwa yang berjuang. Jadilah saksi yang lembut, bukan hakim yang terburu-buru."