Masukan nama pengguna
Kau, Vespa, dan Hujan yang Tak Pernah Reda
Oleh: Arkana Jiwa
“Bar, serius lo ngajak gue malam mingguan naik vespa lo yang suka mogok itu?”
“Ini bukan vespa mogok, Ra. Ini vespa yang sedang melatih kesabaran kita,” jawab Akbar dengan wajah paling polos se-Bekasi Raya.
Rara memutar mata, tapi tetap naik juga ke boncengan. Helm half-face-nya kebesaran, dan jaket Akbar yang dipinjam malah bau solar. Tapi entah kenapa, naik vespa tua bareng Akbar di malam hujan itu... terasa seperti momen yang akan diingat selamanya.
---
Jam 8 malam, jalanan Bekasi basah oleh sisa gerimis. Vespa Akbar melaju pelan. Bukan karena sok romantis, tapi karena memang gas-nya suka nyangkut.
“Lo yakin nih, ngapel ke warung Indomie pinggir sawah di malam kayak gini?” tanya Rara, menggigil.
Akbar cuma ketawa. “Karena cinta itu nggak perlu fancy. Yang penting kenyang.”
Mereka sampai di warung itu, dengan suasana khas: lampu temaram, suara hujan di atap seng, dan satu kompor gas yang bunyinya kayak mau meledak. Rara memesan Indomie rebus plus telur setengah matang. Akbar? Nasi goreng plus level pedas ‘ingat mantan’.
---
Mereka duduk di bangku plastik, sepatu basah, rambut acak-acakan.
“Lo tau gak, Bar, gue tuh udah nolak 3 cowok tahun ini. Yang satu ngajak nikah, tapi ngajaknya di DM pake pantun,” cerita Rara sambil ngaduk kuah mie.
Akbar ngakak. “Gue juga pernah ditolak. Katanya gue terlalu religius buat dia. Padahal gue aja masih salah wudhu kadang.”
Rara tersenyum. Di antara tawa receh itu, mereka saling mengamati. Bukan dengan tatapan sinetron, tapi dengan kenyamanan orang yang udah tau sisi paling absurd satu sama lain.
---
Hujan di luar makin deras. Indomie habis. Obrolan makin ngaco.
“Gue rasa hujan ini kayak kita, Bar.”
Akbar mengernyit. “Maksudnya?”
“Ya... deras, bikin repot, tapi tetep dinanti. Hujan itu nggak selalu ditunggu karena romantis, tapi karena dia jujur. Dia dateng aja, meskipun orang lagi nggak siap.”
Akbar terdiam sebentar. “Lo kok puitis banget malam ini?”
“Laper bikin otak gue peka,” jawab Rara santai.
---
Jam 11 malam. Warung udah tutup. Mereka tetap duduk di pinggir jalan, nunggu hujan reda. Tapi ternyata… nggak reda-reda juga.
Akhirnya Akbar berdiri, menyalakan vespa. Tapi ya seperti biasa…
“Bar…”
“Iya, gue tau, Ra. Ini motor emang suka cari atensi.”
Vespa mogok. Lagi.
Akbar mulai dorong vespa. Rara bantu dorong juga, sambil ngomel:
“Bar, kalau kita jadi nikah nanti, dan vespa ini masih lo simpen, gue minta lo kasih nama deh.”
“Namanya? Apa?”
“Doa. Karena tiap kita naik, selalu butuh banyak doa.”
---
Di tengah hujan dan dorongan, mereka ketawa. Kedinginan, tapi hangat. Vespa tua itu jadi saksi malam minggu absurd mereka. Dan di balik segala kelucuan, ada hati yang pelan-pelan saling percaya.
Karena ternyata cinta nggak harus lewat dinner fancy, atau bunga mahal.
Kadang cinta datang di malam hujan, lewat vespa mogok, Indomie rebus, dan obrolan receh yang susah dilupakan.
Pulang dalam Hujan, Pulang dalam Rasa
Jam setengah dua belas malam. Hujan masih belum niat berhenti. Udara Bekasi makin dingin, dan vespa tua Akbar akhirnya nyala juga… setelah didoakan, dipukul pelan, dan dibujuk dengan janji “kalau nyala, gue cuci lo besok.”
“Udah, yuk kita pulang sebelum emak gue kirim WA pake huruf gede semua,” kata Rara sambil naik ke boncengan.
Akbar mengangguk. “Pegangan yang kenceng ya. Jalanan licin, cinta juga.”
Rara nyengir. “Gombal mulu. Nanti gue jatoh lo gak gue maafin seumur hidup.”
Mereka melaju. Pelan. Basah. Tapi bahagia.
---
Sepanjang jalan, hujan berubah dari gerimis ke tumpahan langit. Jaket mereka tembus, helm berembun, dan tangan Rara mulai kaku.
“Bar… gue rasa ini bukan hujan, ini kayak bekas cucian awan tumpah semua,” teriak Rara.
“Lo kuat gak?”
“Enggak.”
“Tapi lo masih bonceng?”
“Iya.”
“Nah itu cinta.”
Rara mau jawab, tapi malah batuk. Akbar tertawa.
---
Di pertigaan, ban vespa kena lubang.
BYURRR.
Rara teriak, “Bar! Ini bukan malam mingguan, ini simulasi tsunami!”
Akbar panik tapi ngakak juga. Mereka berhenti sebentar di bawah pohon.
“Hidung gue udah gak bisa ngerasain apa-apa,” kata Rara.
“Berarti cocok nikah. Lo udah tahan banting.”
Mereka duduk di jok basah, seperti sepasang mi instan setengah matang. Tapi mata mereka nggak sedih. Mereka menikmati hujan, menikmati gila-nya malam itu.
---
Saat hujan mereda, mereka lanjut jalan. Lampu-lampu gang kecil menyala remang. Di kejauhan terdengar suara azan Subuh... eh, belum deng, itu ayam tetangga udah mulai nyanyi.
Rara bersandar di punggung Akbar, lelah.
“Bar… kalo kita nikah nanti, hujan kayak gini masih bakal lo ajak keluar naik vespa?”
Akbar menjawab pelan, “Kalau lo masih mau ikut, iya. Tapi nanti gue bawa jas hujan dua. Satu buat badan lo, satu buat hati lo.”
“Lah, hati gue kena air juga?”
“Iya, biar adem.”
---
Sampai depan kos Rara, Akbar turun duluan, bantu bukain pagar. Rara celingukan. Kos sepi. Tapi chat dari Ibu Kos sudah masuk:
“DEK RARA KEMANA JAM SEGINI. JANGAN ULANGI LAGI YA. INGET ITU LINGKUNGAN ISLAMI!!!”
Rara ngelus dada. “Bar, gue bakal kena kultum subuh ini.”
“Gue temenin. Kalau perlu gue pura-pura jadi abang gojek yang nganterin mie instan.”
“Lo gila.”
“Tapi ganteng.”
---
Sebelum masuk, Rara nahan langkah. “Bar…”
“Hmm?”
“Thanks ya. Buat malam ini. Buat nggak marah pas gue ngomel, buat ketawa pas vespa mogok, buat nemenin gue basah-basahan.”
Akbar senyum, “Yang penting bukan nemenin lo nyakitin diri sendiri.”
“Gombal lagi?”
“Enggak. Itu doa.”
Rara tersenyum. Malam itu, dia pulang dalam hujan, dalam dingin, tapi hatinya hangat.
---
✨ Quotes Penutup:
> “Kadang yang bikin hati hangat bukan tempatnya, tapi siapa yang mau kehujanan bareng kita sampai rumah.”
“Kalau hujan tak reda, dan vespa tetap mogok, semoga kamu tetap punya orang yang nggak tinggalinmu di tengah jalan.”
> “Cinta itu bukan tentang hujan yang reda, tapi tentang siapa yang tetap berteduh bersamamu, meski bajunya udah basah.”
“Vespa boleh mogok, tapi kalau kamu tetap sabar dan ngakak… mungkin itu cinta.”
> “Kadang yang bikin hati hangat bukan tempatnya, tapi siapa yang mau kehujanan bareng kita sampai rumah. Yang gak nanya ‘kenapa lama?’, tapi malah bilang ‘udah makan belum?’. Yang nggak buru-buru ngajak status, tapi ngajak saling paham.”
“Kalau hujan tak reda, dan vespa tetap mogok, semoga kamu tetap punya orang yang nggak tinggalinmu di tengah jalan. Karena cinta yang dewasa itu bukan soal drama, tapi daya tahan. Bukan soal ‘kita ke mana?’, tapi ‘kita mau terus bareng meski gak tau arahnya ke mana.’”
“Dan kalau kamu udah nemu dia... jangan buru-buru nikah. Tapi juga jangan kelamaan ngetes.”
Ditulis oleh: Arkana Jiwa