Masukan nama pengguna
Ilmu Batin
Cerpen Horor Psikologis oleh Arkana Jiwa
Aku tidak akan pernah lupa malam itu. Semua berawal dari kamar kontrakan paling ujung gang kecil di belakang PT. Garda Prima. Di deretan kamar petak itu, ada satu yang selalu gelap, jendelanya tertutup koran, dan pintunya jarang terbuka kecuali saat subuh atau tengah malam. Penghuninya bernama Damar—anak muda bertubuh kurus, rambut gondrong, matanya cekung, dan suaranya berat namun jarang terdengar. Dia bukan orang yang ramah, tapi juga bukan yang jahat. Lebih tepatnya... menyendiri.
Aku dan teman-teman menyebutnya 'si sunyi'. Kadang terlihat berdiri diam di ujung lorong saat hujan, atau duduk menunduk di bangku warung tapi tidak memesan apa-apa. Dia tak punya banyak teman, hanya handphone-nya yang menemaninya hampir setiap waktu. Awalnya kami kira dia pengangguran. Tapi ternyata dia kerja serabutan sebagai penulis artikel lepas.
Lama-lama, aku penasaran. Aku pengurus kontrakan, dan kadang suka periksa isi kamar pas penghuni pindah. Tapi Damar tidak pernah pindah. Sudah hampir dua tahun dia di sana, dan semakin hari, perilakunya semakin aneh. Suatu malam, aku melihat cahaya lilin dari balik lubang angin kamarnya. Kupikir mati lampu. Tapi hanya kamar dia yang gelap. Aku nguping pelan, dan kudengar gumaman panjang, seperti mantra. Ada bau kemenyan samar, padahal dilarang keras bawa kemenyan di kontrakan.
Aku coba pura-pura tidak tahu. Tapi semua berubah ketika suatu pagi, saat aku mau nyapu halaman, kulihat coretan di tembok belakang kamar Damar. "Jiwa yang dibuka tanpa penjaga akan dimasuki siapa saja." Tulisannya merah. Awalnya aku kira cat, tapi ketika kubersihkan, warna itu menempel aneh. Lengket. Dan baunya... anyir.
Aku langsung panggil ketua RT. Damar dipanggil, tapi dia hanya diam saat ditanya. Matanya kosong. Ketika dipaksa bicara, dia malah tersenyum kecil dan berkata: "Mereka sudah masuk, Pak. Tapi tenang saja. Saya belajar dari yang terpercaya... dari internet."
Kami makin khawatir. Tapi belum bisa bertindak lebih jauh. Sampai akhirnya, malam itu datang. Malam yang membuatku menggigil sampai hari ini. Pukul 2 dini hari, suara teriakan memecah keheningan. Aku langsung keluar kamar, begitu juga tetangga lain. Teriakan itu dari kamar Damar. Kami dobrak pintunya. Dan pemandangan yang kami lihat... tak akan pernah bisa hilang dari kepala.
Damar berdiri di tengah kamar, tanpa baju. Tangannya memegang pisau dapur. Di dinding kamar penuh coretan, simbol aneh, dan mantra-mantra asing. Di lantai ada lingkaran garam. Dan yang paling mengerikan—darah. Darah di mana-mana. Di tembok, di lantai, bahkan di jari-jarinya. Kami takut itu darah manusia. Tapi ketika polisi datang dan mengusut, ternyata darah ayam yang dia beli dari pasar. Namun, tulisan dengan darah itu membuat kami semua paham—Damar butuh bantuan. Bukan bantuan dari kepolisian. Tapi medis. Psikiatri.
Dia dibawa ke RSJ dengan kondisi kejang, matanya terbuka lebar dan mulutnya terus komat-kamit. Aku menjenguknya dua minggu kemudian. Dia duduk diam di pojok ruangan, memeluk lutut, dan terus bergumam: "Aku hanya ingin kuat. Aku hanya ingin dilihat. Aku hanya... ingin tahu kenapa hidup ini begitu sepi."
Dokternya bilang Damar mengalami gangguan kejiwaan akibat tekanan batin yang tidak tersalurkan sejak kecil. Dia mencari pelarian ke jalur spiritual—tapi hanya dari dunia maya. Tanpa bimbingan. Tanpa pengawasan. Hanya membaca dan mencoba sendiri. Dan karena dia sudah rentan, ‘pintu’-nya terlalu mudah terbuka. Dan yang masuk... tidak bisa dia kendalikan.
Belakangan, aku mulai menyelidiki. Rasa ingin tahuku mengalahkan rasa takut. Kupikir, mungkin aku bisa memahami bagaimana semua itu bermula. Aku mulai membaca catatan yang ditinggalkan Damar. Di kamar kontrakannya, setelah dia dibawa ke RSJ, aku diizinkan masuk untuk bersih-bersih. Di bawah bantalnya ada satu buku catatan lusuh, penuh coretan tangan dan tempelan kertas print.
Isinya... mengerikan dan menyedihkan sekaligus. Damar mencatat proses demi proses ritual yang ia jalani. Dari mulai latihan konsentrasi, meditasi buka cakra, hingga puasa tertentu. Ada gambar tubuh dengan tanda-tanda aneh di beberapa titik. Setiap halaman seperti labirin pikiran yang gelap. Dan makin lama kubaca, makin aku merinding. Ada satu halaman yang hanya berisi kalimat ini: "Aku tidak sendiri. Aku sudah ditemani. Mereka datang karena aku membuka. Tapi aku belum siap. Mereka tidak mau pergi."
Yang lebih menyeramkan, di halaman terakhir ada tempelan foto kecil yang dicetak dari internet. Foto seorang pria tua berjubah putih, entah siapa. Di bawahnya ditulis: "Guru gaib saya. Saya belum pernah bertemu, tapi dia membimbing dari kejauhan."
Aku telusuri siapa pria itu, dan hasilnya nihil. Nama yang tertulis tak muncul di mesin pencari mana pun. Mungkin akun fiktif. Mungkin sosok khayalan. Atau... sesuatu yang lebih. Dari informasi yang kudapat, Damar mulai tertarik dengan ilmu batin sejak tahun pertamanya kuliah. Ia merasa hidupnya hampa dan merasa tak pernah cukup. Ia mencari kekuatan agar bisa mandiri. Tapi alih-alih kekuatan, ia membuka pintu ke sesuatu yang bahkan tak ia mengerti.
Aku pikir, setelah beberapa bulan dirawat, Damar akan membaik. Tapi kabar dari rumah sakit mengatakan lain. Ia masih sering berbicara sendiri. Menulis di udara. Memanggil nama yang tak dikenali siapa pun. Kadang tertawa sendiri. Kadang menjerit minta keluar dari ‘lorong hitam’.
Lorong hitam itu apa? Dokternya bilang itu bisa jadi simbol alam bawah sadarnya. Tapi aku punya pendapat lain. Aku percaya, ketika seseorang melangkah ke dunia batin tanpa pembimbing sejati, yang mereka temui bukan cahaya... tapi bayangan. Dan Damar bertemu terlalu banyak bayangan, tanpa satu pun yang menuntunnya kembali ke terang.
Suatu hari, aku kembali menjenguknya. Kali ini, dia tampak lebih tenang. Wajahnya kurusan, tapi senyumnya lembut. Ia memanggil namaku. “Mas Doni...” katanya. “Terima kasih udah datang.” Aku duduk di sebelahnya, ragu-ragu. “Kamu baik-baik saja, Mar?”
Dia mengangguk pelan. “Aku tenang sekarang. Mereka tidak bicara lagi. Tapi aku tahu mereka belum pergi.” Aku menelan ludah. “Mar... kalau boleh tahu, kenapa kamu belajar semua itu sendirian?”
Ia memandang kosong ke arah jendela. “Aku cuma pengen kuat, Mas. Dari kecil aku nggak pernah diminta ngomong. Kalau nangis, dibilang manja. Kalau marah, dibilang durhaka. Jadi aku simpan semua. Lama-lama, aku kosong. Dan aku pikir... mungkin kalau aku punya kekuatan batin, aku bisa isi kekosongan itu.” Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke arahku. “Tapi aku lupa, kekosongan itu bukan buat diisi sendirian.”
Aku diam. Kata-katanya begitu menusuk. Kadang, yang paling berbahaya dari manusia adalah rasa sepinya. Bukan amarah. Bukan dendam. Tapi kesunyian yang tak ada pintu keluar.
Sebelum aku pamit, Damar memberikan satu kertas padaku. “Ini tulisan terakhirku. Kalau bisa, Mas Doni baca, dan... mungkin, bisa jaga orang lain biar nggak kaya aku.” Isinya singkat:
Jangan buka yang tak kau pahami. Jangan berjalan ke dalam tanpa tali yang menuntun. Karena di balik kesadaran, ada yang hanya menunggu dipanggil.
Aku simpan tulisan itu sampai hari ini. Dan setiap kali seseorang bertanya kenapa aku tak percaya ilmu gaib dari internet, aku hanya bilang: "Karena aku pernah tinggal dekat seseorang yang membuka gerbangnya... dan sampai sekarang belum benar-benar bisa menutupnya kembali."
TAMAT.